Project Experiences Divisi Kebijakan Kesehatan

Penguatan SKD Kota Balikpapan adalah pendampingan yang melibatkan tim konsultan PKMK UGM membantu Pemda Kota Balikpapan untuk menyusun Perda Sistem Kesehatan Daerah Kota Balikpapan yang akan digunakan pada tahun 2023.

Pendampingan ini membantu mensintesa informasi dan ide dalam penguatan sistem kesehatan daerah yang mengintegrasikan program, layanan, dan dukungan dari berbagai sektor atau stakeholder di Kota Balikapapan.

Produk yang dihasilkan dalam pendampingan ini adalah Naskah Akademik Sistem Kesehatan Daerah dan Rancangan Peraturan Daerah Kota Balikpapan. Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Sistem Kesehatan Daerah ini selanjutnya akan diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Balikpapan untuk pembahasan lebih lanjut dan pengesahan hingga menjadi sebuah Peraturan Daerah yang mengikat baik terhadap institusi pemerintah, organisasi, swasta, maupun  masyarakat di Kota Balikpapan sendiri. Peraturan Daerah ini memiliki tujuan akhir pada peningkatan status kesehatan masyarakat secara optimal dengan berbagai kewenangan dan kewajiban yang ditetapkan.

Sebagai upaya awal dalam penguatan sistem kesehatan di Kota Balikpapan, peraturan daerah ini seharusnya dapat dilanjutkan hingga ke tingkat program dan layanan kesehatan di Kota Balikpapan, sebab kebijakan adalah hal berbeda dengan implementasi. Oleh karena itu operasionalisasi dari aturan-aturan yang dibuat dalam bentuk program dan layanan tentunya akan secara langsung memberikan dampak karena bersentuhan langsung dengan penduduk sebagai upaya praktis dalam perbaikan status kesehatan.

Lokasi Kegiatan

Kegiatan dilaksanakan di 2 kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Banyuwangi.

Tujuan

melakukan analisis situasi pembiayaan kesehatan yaitu untuk menggambarkan hambatan bagi pengambil keputusan untuk mengetahui kebutuhan dasar kesehatan, kesenjangan dalam pembiayaan, dampak terhadap indikator kesehatan (outcome) dan sumber-sumber pembiayaan yang secara periodik dapat di pantau.

Hasil

  • Perencanaan (Formulasi Anggaran): 1) Besaran anggaran kesehatan di masing-masing kabupaten di atas 10% setiap tahunnya; 2) Pemerintah daerah menggunakan SIPD untuk perencanaan anggaran daerah. Kabupaten Banyuwangi menggunakan aplikasi BIPA-4, sedangkan di Kabupaten Kulon Progo menggunakan SIMDA sebagai pendukung SIPD; dan 3) Belum semua kabupaten menggunakan Siscobikes untuk menghitung kebutuhan anggaran program kesehatan karena minimnya tenaga input, kesulitan menerapkan tools pada program yang lintas sektor dan belum mengakomodasi perhitungan SDM untuk pemberian layanan.
  • Pelaksanaan Anggaran: Juknis DAK sering terlambat terbit bahkan terbit ketika tahun anggaran sudah berjalan. Hal ini sangat berpengaruh pada perencanaan di daerah karena dana DAK menjadi salah satu dana prioritas untuk pelaksanaan program kesehatan termasuk SPM
  • Monitoring dan Pelaporan Anggaran: 1) Pemantauan dan pelaporan keluaran program dan pembiayaan kesehatan telah dilakukan di daerah dengan menggunakan berbagai aplikasi sistem informasi. Sistem informasi pelaporan tidak terintegrasi satu sama lain; 2) DHA menggunakan beberapa dimensi yang belum dapat dihubungkan langsung dengan nomenklatur yang ada pada SIPD. Oleh karena itu, penginputan data-datanya memerlukan effort yang besar bagi pengelola data dan anggaran di dinas kesehatan.

Rekomendasi

  • Perencanaan (Formulasi Anggaran): Sicobikes perlu terintegrasi dengan dengan SIPD.
  • Pelaksanaan Anggaran: Pengelolaan pendanaan kesehatan dengan menggunakan Sistem Pembiayaan dan Akun Kesehatan (SPAK) di daerah. Penyaluran dana DAK dirubah dengan skema atau model pendanaan Block Grant untuk mengatasi kelemahan pendanaan program kesehatan.
  • Monitoring dan Pelaporan Anggaran: Integrasi sistem informasi dari berbagai sistem penginputan data

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pembangunan kesehatan membutuhkan dukungan pembiayaan yang cukup memadai. Alokasi anggaran yang adekuat, terintegrasi, stabil, dan berkesinambungan memegang peran yang vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Kemampuan pemerintah untuk memberikan layanan kesehatan tergantung pada kualitas pengelolaan keuangan publik (Public Financial Management) (Piatti-Funfkirchen & Smets, 2019). Salah satu hambatan yang dialami dalam pengelolaan dana publik adalah sumber pendanaan yang terfragmentasi yang menyebabkan target indikator derajat kesehatan tidak tercapai (Ascobat Gani, 2019). Kurangnya informasi tentang fakta kekurangan pendanaan dan akibatnya pada pencapaian tujuan pembangunan kesehatan. Terlalu banyak sumber pendanaan menghalangi pelaporan pelaksanaan anggaran yang komprehensif, melemahkan posisi tata kelola (stewardship) Kementerian Kesehatan dan kemampuannya untuk memastikan efisiensi alokasi (Piatti-Fünfkirchen & Schneider, 2018). Selain itu, umumnya tidak terjadi perencanaan dan penganggaran program kesehatan yang berbasis pada data akun kesehatan yang relevan (World Bank, 2020). Sistem dan proses pengelolaan keuangan publik yang kuat dapat memastikan alokasi anggaran yang lebih tinggi dan lebih dapat diprediksi, mengurangi fragmentasi dalam aliran pendapatan dan aliran dana, pelaksanaan anggaran yang tepat waktu, akuntabilitas dan transparansi keuangan yang lebih baik (P4H, 2020)

Hasil temuan di daerah sebaga berikut:

  • Perencanaan (Formulasi Anggaran): 1) Besaran anggaran kesehatan di masing-masing kabupaten di atas 10% setiap tahunnya; 2) Pemerintah daerah menggunakan SIPD untuk perencanaan anggaran daerah. Kabupaten Banyuwangi menggunakan aplikasi BIPA-4, sedangkan di Kabupaten Kulon Progo menggunakan SIMDA sebagai pendukung SIPD; dan 3) Belum semua kabupaten menggunakan Siscobikes untuk menghitung kebutuhan anggaran program kesehatan karena minimnya tenaga input, kesulitan menerapkan tools pada program yang lintas sektor dan belum mengakomodasi perhitungan SDM untuk pemberian layanan
  • Pelaksanaan Anggaran: Juknis DAK sering terlambat terbit bahkan terbit ketika tahun anggaran sudah berjalan. Hal ini sangat berpengaruh pada perencanaan di daerah karena dana DAK menjadi salah satu dana prioritas untuk pelaksanaan program kesehatan termasuk SPM
  • Monitoring dan Pelaporan Anggaran: 1) Pemantauan dan pelaporan keluaran program dan pembiayaan kesehatan telah dilakukan di daerah dengan menggunakan berbagai aplikasi sistem informasi. Sistem informasi pelaporan tidak terintegrasi satu sama lain; 2) DHA menggunakan beberapa dimensi yang belum dapat dihubungkan langsung dengan nomenklatur yang ada pada SIPD. Oleh karena itu, penginputan data-datanya memerlukan effort yang besar bagi pengelola data dan anggaran di dinas kesehatan.

Rekomendasi:

  • Perencanaan (Formulasi Anggaran): Sicobikes perlu terintegrasi dengan dengan SIPD.
  • Pelaksanaan Anggaran: Pengelolaan pendanaan kesehatan dengan menggunakan Sistem Pembiayaan dan Akun Kesehatan (SPAK) di daerah. Penyaluran dana DAK dirubah dengan skema atau model pendanaan Block Grant untuk mengatasi kelemahan pendanaan program kesehatan.

Monitoring dan Pelaporan Anggaran: Integrasi sistem informasi dari berbagai sistem penginputan data

TUJUAN

melakukan analisis situasi pembiayaan kesehatan yaitu untuk menggambarkan hambatan bagi pengambil keputusan untuk mengetahui kebutuhan dasar kesehatan, kesenjangan dalam pembiayaan, dampak terhadap indikator kesehatan (outcome) dan sumber-sumber pembiayaan yang secara periodik dapat di pantau.

LOKASI

Kegiatan dilaksanakan di 2 kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Banyuwangi.

HASIL DAN REKOMENDASI

  1. Policy Brief Fragmentasi Pembiayaan Kesehatan di daerah
  2. Policy Brief Strategi pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Daerah.
  3. Factsheet Situasi Pembiayaan Kesehatan di Kabupaten Kulon Progo
  4. Factsheet Situasi Pembiayaan Kesehatan di Kabupaten Banyuwangi

TIM

  1. Shita
  2. Faozi Kurniawan
  3. Faisal
  4. Candra

WAKTU

Tahun 2020-2024

RINGKASAN EKSEKUTIF

USAID HFA (United States Agency for International Development Health Financing Activity) mendukung Pemerintah Indonesia untuk mempertahankan dan meningkatkan efisiensi dalam pembiayaan kesehatan. USAID HFA bekerjasama dengan Pusat Kebijakan, Pembiayaan, dan Desentralisasi Kesehatan (Pusjak PDK) melaksanakan beberapa kegiatan yang fokus pada pengembangan kapasitas pelaku dan lembaga Indonesia untuk menghasilkan dan menerapkan bukti pada kebijakan. Salah satunya melalui memperkuat jaringan, seperti Jejaring Kebijakan Kesehatan Nasional (Health Policy Network), untuk meningkatkan upaya berbagi pengetahuan.

Kegiatan ini diawali dengan asesmen ke beberapa universitas lokal yang ada di Indonesia dan didapatkan 10 universitas potensial yang berada di pusat wilayah Barat dan wilayah Timur Indonesia (mudah diakses, dan dapat menjangkau wilayah lain), masuk dalam daerah transformasi kesehatan Kementerian Kesehatan, dan termasuk wilayah prioritas yang memiliki wilayah terdepan, terpencil dan tertinggal (3T). Hasil asesmen didapatkan bahwa adanya keterbatasan akses menjadi tantangan para dosen universitas lokal untuk mendapatkan informasi dan ilmu terkait pembiayaan kesehatan. Selain itu, dukungan universitas lokal kepada pemerintah daerah masih berupa penelitian mahasiswa dan kebutuhan dari pemerintah daerah terkait karena universitas lokal menyesuaikan dengan resources yang dimiliki.

Disisi lain, tim melakukan diseminasi buku ekonomi kesehatan kepada universitas lokal guna mengatasi keterbatasan terhadap pengetahuan dan informasi terbaru mengenai topik ekonomi kesehatan dan pembiayaan kesehatan. Kegiatan ini dilakukan secara daring dengan serangkain seri webinar yang dihadari oleh peserta dari 10 universitas lokal yang telah diasesmen, pemerintah daerah dan BPJS-K Cabang di daerah serta terdapat universitas lokal lainnya yang mengikuti kegiatan ini seperti Universitas Fort De Kock, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, STIKES Hangtuah Jawa Timur, Universitas Maju Indonesia dan Universitas Tidar. Banyak peserta yang mengikuti kegiatan seri webinar ini, namun keterbatasan waktu dan aktivitas dari setiap peserta sehingga beberapa peserta tidak hadir secara penuh dalam kegiatan ini. Kedepannya kegiatan terkait dengan pembiayaan kesehatan untuk universitas lokal perlu dilakukan secara offline untuk memastikan intensitas kehadiran peserta. Kegiatan yang akan datang yakni pengembangan kapasitas untuk universitas lokal menjadi jembatan dalam mengatasi tantangan tersebut dengan mengadopsi perangkat pembiayaan kesehatan yang dimiliki Pusjak PDK dan HFA untuk meningkatkan kebermanfaatannya dan penerapannya dalam pembiayaan kesehatan daerah.

TUJUAN

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah salah satu organisasi konsorsium yang bertanggung jawab dalam penguatan dan pengembangan kapasitas melalui pengetahuan dan penerapan bukti berbasis evidence kepada universitas lokal di beberapa daerah di Indonesia untuk menjadi bagian jejaring kebijakan kesehatan nasional.

LOKASI

Kegiatan penguatan Jejaring Kebijakan Kesehatan Nasional (Health Policy Network) bersama mitra universitas yakni Universitas Sumatera Utara, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Universitas Udayana, Universitas Nusa Cendana, Universitas Mulawarman, Universitas Andalas, Universitas Diponegoro, Universitas Airlangga, Universitas Kristen Indonesia Maluku dan Universitas Ahmad Dahlan.

HASIL DAN REKOMENDASI

  1. Laporan Asesmen Universitas Lokal untuk Jaringan Kebijakan Nasional
  2. Laporan Sosialisasi Buku Ekonomi Kesehatan

TIM

  1. Shita Dewi
  2. Agus Salim
  3. Tri Muhartini

WAKTU

Tahun 2020-2024

RINGKASAN EKSEKUTIF

Bersama tiga organisasi lain (ThinkWell, R4D dan CHEPS UI), PKMK bergabung dalam Konsorsium HFA untuk memastikan keberlanjutan pembiayaan Kesehatan di Indonesia dengan pendanaan dari USAID. Dalam konsorsium ini PKMK berfokus pada peningkatan kapasitas OMS dalam pembiayaan kesehatan, serta membangun mekanisme pelibatan penerima manfaat. Di akhir tahun 2022, PKMK sudah menyepakati kegiatan penjangkauan masyarakat dan advokasi bersama enam OMS di berbagai daerah untuk meningkatkan pemahaman dan praktik pengelolaan pembiayaan ibu hamil, menurunkan pengeluaran pribadi untuk mendapatkan layanan Kesehatan Ibu dan Anak dan mendorong mereka untuk memanfaatkan layanan BPJS. Rencana kerja dalam kesepakatan ini akan diimplementasikan di tahun 2023.

TUJUAN

HFA CSO bertujuan meningkatkan kapasitas masyarakat sipil serta mekanisme pelibatan penerima manfaat dalam implementasi JKN untuk memastikan keberlanjutan pembiayaan kesehatan oleh Pemerintah Indonesia

LOKASI

Kabupaten Garut,Kabupaten  Bogor, Kabupaten Brebes, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Malang

HASIL DAN REKOMENDASI

Di akhir program, hasil yang diharapkan adalah: (1) peningkatan jumlah ibu hamil yang menjadi peserta BPJS sebesar 2-5%; (2) pengurangan pengeluaran pribadi untuk Kesehatan ibu dan anak pada 5% ibu hamil dan melahirkan. Untuk mencapai indicator tersebut, rancangan program mensyaratkan peningkatan pemahaman dan keterampilan ibu dalam mengelola keuangan keluarga untuk persiapan kehamilan dan persalinan. Bekerja sama dengan OMS di beberapa Kabupaten, program ini diharapkan menjangkau kurang lebih 48 juta penerima manfaat program, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kerja sama dengan OMS sudah diawali di tahun 2022. Kesepakatan dengan YKMNU ditandatangani di bulan April 2022. Di bulan Oktober 2022 melalui Program Madani, PKMK mengajak Yayasan Eska Unggul, KITA Institute, Persepsi, LKTS, dan Yayasan Paramitra bekerja bersama dalam isu pembiayaan Kesehatan, dengan peningkatan kapasitas dalam pembiayaan kesehatan, serta merancang bersama kegiatan penjangkauan masyarakat dan advokasi untuk mencapai tujuan program.

Beberapa produk yang dihasilkan:

  • Dokumen Pembelajaran Pembiayaan Publik: Sukuk Wakaf
  • Dokumen Pembelajaran Pembiayaan Komunitas: Jimpitan
  • Laporan analisis situasi “Pengelolaan Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah di Tingkat Komunitas: sosial budaya, kesehatan, dan pembiayaan”;
  • Modul peningkatan kapasitas OMS:
  • Memahami Anggaran Desa dan Kabupaten
  • Advokasi untuk Pembiayaan Kesehatan
  • Pendanaan Komunitas untuk Kehamilan dan Persalinan
  • Analisis Situasi Partisipatoris
  • Webinar “Kepesertaan, pemanfaatan, mekanisme pembayaran, dan pengelolaan JKN untuk OMS”
  1. https://youtu.be/yfUKJunrR8Q
  2. https://youtu.be/40SLTycnmTI
  • Webinar “Persiapan Persalinan untuk Menjamin Kualitas Hidup Ibu dan Bayi” yang mengulas sisi Kesehatan dan Pembiayaan”
  1. https://youtu.be/bZ6Paic_DnQ
  2. https://youtu.be/mpUjViWLxeQ

Kedua webinar terakhir dapat diakses melalui Youtube PKMK UGM

TIM

Shita Listya Dewi, Mentari Widiastuti, Abigael Wohing Ati

WAKTU

Januari 2021-Desember 2023

RINGKASAN EKSEKUTIF

Uji coba Strategic Health Purchasing atau Belanja Kesehatan Strategis Layanan Kesehatan Ibu dan Anak (BKS KIA) di FKTP dilakukan di Kabupaten dan Kota Serang. Pelaksanaan uji coba ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan Health Financing Activity (HFA) yang didukung oleh Pusjak PDK Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan dan USAID. Secara umum, tujuan dari uji coba BKS KIA adalah untuk memastikan pembiayaan yang dikeluarkan sesuai dengan kualitas layanan yang diberikan. Skema uji coba BKS KIA terintegrasi dengan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Secara khusus, tujuan uji coba BKS KIA adalah untuk memperluas akses layanan KIA, meningkatkan kualitas layanan KIA sesuai dengan standar Permenkes No. 21/2021 dan meningkatkan efisiensi serta keberlangsungan pembiayaan.

Secara teknis, terdapat empat komponen intervensi dalam skema BKS KIA, yaitu intervensi terhadap spesifikasi manfaat yang disesuaikan dengan Permenkes No. 21/2021 di antaranya terdiri dari kunjungan ANC sebanyak minimal enam kali, dengan pemeriksaan dokter dan USG di kunjungan pertama trimester pertama dan kunjungan kelima di trimester ketiga; pemeriksaan ANC 10T dengan pemeriksaan Triple Eliminasi (3E) yaitu sifilis, hepatitis B dan HIV; persalinan enam tangan dengan salah satunya oleh dokter di fasilitas kesehatan dan pemeriksaan nifas sebanyak minimal empat kali. Komponen intervensi yang kedua adalah penyesuaian mekanisme kontrak antara BPJS Kesehatan dan FKTP untuk memastikan layanan yang diberikan oleh FKTP dan manfaat yang didapatkan oleh pasien. Yang ketiga adalah mekanisme pembayaran di mana besaran tarif non-kapitasi untuk layanan KIA disesuaikan dengan layanan yang diberikan agar FKTP swasta terdorong untuk memberikan layanan KIA yang lengkap dan berkualitas. Dan yang terakhir adalah monitoring dimana terdapat coordinator jaringan yang di masing-masing FKTP yang berfungsi untuk memastikan kualitas layanan dan membantu verifikasi pembayaran, pencatatan e-Kohort bagi seluruh FKTP serta penyesuaian P-care BPJS Kesehatan.

Uji coba BKS KIA dimulai pada Oktober 2022 hingga September 2023. Sebelum pelaksanaan uji coba, tim PKMK melakukan baseline study atau studi dasar untuk melihat situasi layanan KIA dan kesiapan FKTP dalam memberikan layanan KIA sesuai standar Permenkes No. 21/2021 di daerah intervensi. Sebelum uji coba, didapatkan bahwa sebagian besar FKTP swasta belum dapat memberikan seluruh layanan ANC 10T, terutama layanan laboratorium dasar dan 3E karena terbatasnya infrastruktur, akses reagen serta SDM. Selain itu, sebagian besar FKTP swasta merujuk pemeriksaan USG ke rumah sakit, persalinan pun belum dapat dilakukan enam tangan dengan dokter. Selain itu, tidak semua FKTP melakukan pencatatan e-Kohort yang menjadi standar pencatatan layanan KIA di faskes. Pencatatan Buku KIA pun kebanyakan tidak terisi di bagian persalinan dan nifas. Sementara itu dari sisi pasien, didapatkan bahwa sebagian ibu melakukan kunjungan ANC dan persalinan di Praktik Mandiri Bidan (PMB), dimana sebagian besar PMB tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Didapatkan pula bahwa peserta JKN masih mengeluarkan biaya OOP untuk layanan ANC hingga Rp 500ribu dan untuk persalinan hingga Rp 1 juta.

TUJUAN

Secara umum, tujuan dari uji coba BKS KIA adalah untuk memastikan pembiayaan yang dikeluarkan sesuai dengan kualitas layanan yang diberikan. Skema uji coba BKS KIA terintegrasi dengan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Secara khusus, tujuan uji coba BKS KIA adalah untuk memperluas akses layanan KIA, meningkatkan kualitas layanan KIA sesuai dengan standar Permenkes No. 21/2021 dan meningkatkan efisiensi serta keberlangsungan pembiayaan.

LOKASI

Kota Serang, Kab. Serang, Denpasar, Medan

HASIL DAN REKOMENDASI

Saat ini uji coba BKS KIA masih berlangsung. Tim PKMK akan melakukan monitoring dan evaluasi sepanjang pelaksanaan melalui riset implementasi dan endline study di akhir masa uji coba.

RINGKASAN EKSEKUTIF

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memberikan manfaat pemeliharaan dan perlindungan kesehatan bagi pesertanya, baik manfaat medis maupun non medis.  Seluruh peserta JKN berhak atas manfaat medis yang sama, tidak terikat dengan besaran iuran. Sedangkan manfaat non medis berupa akomodasi layanan rawat inap terikat dengan besaran iuran, terbagi atas tiga kelas ruang perawatan, yaitu Kelas 1, Kelas 2, dan Kelas 3.  Namun Perpres No 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan mengamanahkan peninjauan ulang ruang rawat inap menjadi kelas rawat inap standar (KRIS) dan berlaku secara bertahap mulai 2022. Pemberlakuan KRIS akan berdampak pada manfaat non medis yang diterima oleh Pekerja Penerima Upah (PPU) Penyelenggara Negara. Undang-undang No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pasal 92 ayat (2) mengamanatkan Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada PNS berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian mencakup jaminan sosial yang diberikan dalam program Jaminan Sosial Nasional.  Penggunaan kata ‘mencakup’ dalam pasal tersebut memungkinkan pemberian manfaat tambahan jaminal sosial kesehatan bagi PNS dalam sistem Jaminan Sosial Nasional.

TUJUAN

Memperoleh informasi yang mendalam terkait potensi pemberian manfaat tambahan bagi PPU Penyelenggara Negara dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional, khususnya saat implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) JKN

HASIL DAN REKOMENDASI

On Going project.  Diharapkan selesai di Februari 2023.

Perkiraan Hasil: mayoritas PNS yang menempati ruang ranap inap kelas 1 merasa keberatan dan tidak nyaman apabila jumlah tempat tidur dalam 1 ruang berubah dari yang biasanya 2 tempat tidur menjadi 4 tempat tidur. Dengan adanya KRIS, diharapkan layanan menjadi lebih baik, tidak ada pemulangan paksa pasien, obat lebih ‘paten’ dan diberikan seluruhnya sesuai yang diresepkan dokter. Mayoritas informan PNS berharap medical check-up setahun sekali menjadi pertimbangan sebagai manfaat tambahan KRIS.

Pengambil kebijakan di daerah menunggu keputusan dan arahan dari Pusat terkait implementsi KRIS.  Sementara di tingkat pusat, dinamika pembahasan KRIS masih berlangsung dan berfokus pada ruang rawat inap standar sesuai dengan 12 kriteria. KRIS sedang diujicobakan di beberapa Rumah Sakit vertical dengan skema 2 kelas, yaitu kelas I dengan maksimal 2 tempat tidur dan kelas KRIS dengan maksimal 4 tempat tidur. Belum ada pembahasan mengenai penyesuaian tarif..

Rekomendasi: Rencana ruang rawat inap JKN dengan skema kelas I (maksimal 2 tempat tidur) dan kelas KRIS (maksimal 4 tempat tidur) akan menjadi keputusan yang tepat karena dapat meminimalisir kekhawatiran dan keresahan ASN terhadap penurunan kualitas layanan JKN dikarenakan KRIS.

TIM

  1. Shita Listya Dewi
  2. Dwidjo Susilo
  3. Faozi Kurniawan
  4. Luqman Hakim
  5. Matsna Hanifah

WAKTU

Oktober 2022 – Januari 2023

 

RINGKASAN EKSEKUTIF

Projek ini adalah sebuah studi observasi yang diaksanakan oleh PKMK UGM bekerja sama dengan JICA Indonesia. Studi ini terkait dengan sumber daya manusia kesehatan di Indonesia yang menyorot ketimpangan distribusi SDMK di wilayah timur dan terpencil

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang situasi ketimpangan distribusi SDMK saat ini di Indonesia. Studi ini juga ingin memperjelas sikap dan kebijakan para pembuat kebijakan, lembaga pendidikan, dan organisasi profesi tentang masalah ini. Tujuan lainnya adalah untuk memahami masalah persebaran dan kekurangan tenaga kesehatan di pedesaan dan wilayah terpencil.

LOKASI

Toraja Utara (Sulawesi Selatan) dan Timor Tengah Utara (NTT)

HASIL

  1. Produksi
  • Pemerintah daerah memiliki kemauan politik untuk mengirim siswa lokal ke sekolah kedokteran dan dokter spesialis. Namun masih sebatas biaya kuliah untuk mahasiswa dari daerah, dan khusus untuk dokter umum berstatus PNS bisa mendapatkan beasiswa lanjut pendidikan spesialis.
  • Universitas membuka rekrutmen mahasiswa dengan sistem kuota sesuai dengan tingkat akreditasi fakultas kedokteran. Menurut Kementerian Pendidikan, perguruan tinggi akan memiliki kuota tambahan. Namun kendalanya adalah keterbatasan tenaga pengajar dan fasilitas penunjang. Hal ini dapat berdampak pada kualitas output.
  • Kurikulum Fakultas Kedokteran belum dirancang untuk mengembangkan kapasitas calon dokter bekerja di daerah terpencil. Saat ini kegiatan kemahasiswaan yang dapat memberikan gambaran dan praktik yang akurat untuk mengenal daerah terpencil hanya sebatas kegiatan pengabdian masyarakat, bakti sosial, dan Kuliah Kerja Nyata yang dilaksanakan kampus.
  1. Persebaran
  • Sistem rekrutmen dokter umum dan distribusi spesialis ke daerah terpencil terdiri dari skema nasional melalui Nusantara Sehat untuk dokter umum dan Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS) untuk dokter spesialis. Program rekrutmen dokter di tingkat kabupaten dengan skema kontrak dokter (PTT).
  • Dokter spesialis layanan dasar tersedia minimal 1 orang di semua rumah sakit pemerintah, sedangkan dokter umum cukup tersedia. Hanya beberapa puskesmas di Kab. TTU dan Kab. Toraja Utara yang tidak memiliki dokter
  • Preferensi bagi dokter dan spesialis untuk bekerja di daerah terpencil antara lain gaji yang kompetitif, dukungan fasilitas praktik medis yang memadai, fasilitas perumahan, dukungan keluarga, serta dukungan manajemen.
  1. Pengembangan Karier dan Retensi
  • Dinas Kesehatan dan rumah sakit telah memberikan informasi tentang pelatihan, seminar, dan workshop serta membantu dalam mengikuti kegiatan tersebut. Namun, dokter masih membayar sendiri terutama untuk menghadiri pelatihan klinis.
  • Tantangan bagi dokter dan spesialis yang berpraktek di daerah terpencil antara lain pembayaran gaji yang terlambat, persediaan medis yang tidak mencukupi, akses internet yang buruk, pasien yang minim, dan kondisi akses.
  • Bidan dan perawat untuk sementara menggantikan Pelayanan di puskesmas yang mengalami kekosongan dokter. Mereka berkonsultasi dengan dokter jika membutuhkan layanan lebih lanjut atau, dalam kasus mereka tidak dapat menanganinya.
  • Hampir semua dokter umum dan spesialis di perkotaan melakukan praktik ganda. Namun, dokter yang bekerja di daerah terpencil dan sangat terpencil tidak dapat melakukan praktik ganda.
  1. Telemedicine
  • Implementasi telemedicine sangat terbatas, baik pengguna maupun infrastruktur diperlukan untuk mendukung metode layanan ini.

Rekomendasi

  1. Produksi
  • Kolaborasi di lingkup kementerian kesehatan untuk percepatan pemenuhan kebutuhan dokter spesialis melalui skema Academic Health System.
  • Kementerian Kesehatan dan Kemendikbud berkolaborasi menggabungkan data mahasiswa dan lulusan untuk data Akun Tenaga Kesehatan Nasional guna mendapatkan gambaran kebutuhan jenis dan jumlah dokter dan spesialis
  • Kementerian Kesehatan dan Kemendikbud berkolaborasi mengembangkan kurikulum pendidikan kedokteran dan magang berbasis pedesaan, terpencil dan sangat terpencil
  • Kementerian Kesehatan meningkatkan kuota beasiswa tenaga kesehatan dengan penempatan (termasuk dokter spesialis) untuk wilayah DTPK
  • Kementerian Kesehatan memperluas kuota beasiswa afirmasi bagi tenaga kesehatan yang berasal dari DTPK
  1. Persebaran
  • Pemerintah pusat memiliki dua skema terkait program rekrutmen dokter umum dan dokter spesialis. Sistem bersifat terbuka dan memberikan informasi detail mengenai materi dan non materi yang akan didapatkan oleh calon dokter. Dokter hanya perlu menyesuaikan kebutuhannya dengan situasi di fasilitas kesehatan dan kemampuan pemerintah daerah. Format rekrutmen yang transparan seperti yang telah diterapkan oleh pemerintah pusat juga dibutuhkan oleh pemerintah daerah untuk memperbaiki proses rekrutmen untuk mengurangi masalah di masa yang akan datang.
  • Kementerian Kesehatan memanfaatkan dokter pasca internship untuk ditempatkan di daerah terpencil dan sangat terpencil dengan skema penugasan khusus.
  • Kementerian Kesehatan menetapkan peraturan tentang kewenangan tenaga kesehatan di daerah yang sulit akses pelayanan kesehatannya.
  1. Pengembangan Karier dan Retensi
  • Program penempatan dokter di pedesaan atau daerah terpencil perlu dipertimbangkan kembali dengan kemampuan pemerintah daerah, baik kemampuan manajemen maupun keuangan, untuk memastikan pelaksanaan program tersebut berjalan. Perlu pemantauan berkala untuk menilai situasi dokter dan kapasitas pemerintah daerah dan fasilitas kesehatan.
  • Pembagian biaya program penempatan dokter dari pemerintah pusat dan daerah dapat disesuaikan dengan kondisi keuangan pemerintah daerah. Kabupaten dengan indeks fiskal rendah seharusnya mendapatkan subsidi yang lebih signifikan daripada kabupaten dengan indeks fiskal tinggi.
  • Berbagai tantangan di daerah terpencil, antara lain masalah telekomunikasi, akses, keamanan, karier, dan lain-lain, harus diselesaikan dengan kerjasama antar kementerian.
  1. Telemedicine
  • Perkembangan telemedicine cukup menjanjikan di rumah sakit yang terletak di ibu kota kabupaten dan Puskesmas yang dekat dengan ibu kota yang pengguna teknologinya sudah lebih masif.
  • Infrastruktur untuk telemedicine, seperti koneksi internet dan listrik, harus disediakan dan ditingkatkan, setidaknya di area rumah sakit atau puskesmas.

TIM

  1. Andreasta Meliala
  2. Faisal
  3. Candra
  4. Srimurni Rarasati

WAKTU

 April – Agustus 2022

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pelaksanaan vaksinasi COVID-19 di Indonesia diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Namun capaian tersebut tidak merata pada beberapa daerah dan pada populasi rentan, seperti lansia dan penyandang disabilitas serta kesetaraan akses vaksin antara laki-laki dan perempuan. Studi kualitatif dilakukan di 10 kabupaten/kota di 5 provinsi dengan melibatkan 304 orang  melalui 48 diskusi kelompok terpumpun (FGD) terpisah antara laki-laki dan perempuan dengan masyarakat umum, penyandang disabilitas dan lansia sebagai informan. Wawancara mendalam dilakukan dengan pejabat Dinas Kesehatan Kabupaten dan vaksinator di Puskesmas. Precede-Proceed framework digunakan untuk menganalisis perilaku kesehatan masyarakat terhadap COVID-19 melalui faktor-faktor pendorong (predisposing), penguat (reinforcing), dan pemungkin (enabling).

TUJUAN

Untuk memahami pandangan, penerimaan, keprihatinan, dan aksesibilitas terhadap Vaksin, 3T, dan Pencegahan COVID-19.

LOKASI

Sulawesi Selatan (Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa), Bali (Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Karangasem), Jawa Tengah (Kota Pekalongan dan Kabupaten Magelang), dan Yogyakarta (Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Kulunprogo).   

HASIL DAN REKOMENDASI

Hasil: kekhawatiran akan konsekuensi administratif akibat tidak divaksinasi, seperti penghentian bantuan sosial, akses ke layanan publik dan larangan penggunaan transportasi umum tertentu, menjadi faktor penguat yang paling berkontribusi terhadap cakupan vaksin di empat provinsi studi. Pengaruh keluarga, teman sebaya, dokter, tokoh masyarakat, dan pemuka agama memperkuat atau memperlemah minat lansia laki-laki dan perempuan untuk divaksinasi. Ketersediaan vaksin, akses informasi program vaksinasi dan lokasi vaksinasi, layanan door to door untuk lansia dan penyandang disabilitas, serta dukungan pemerintah daerah, sektor swasta, dan komunitas memungkinkan masyarakat untuk divaksinasi. Persepsi yang salah mengenai vaksin dan COVID-19 yang terbentuk dari berita bohong (hoaks) yang tersebar melalui berbagai kanal informasi, terutama media sosial, pesan instan, dan dari mulut ke mulut membuat individu ragu dan takut untuk vaksinasi dan testing COVID-19.

Rekomendasi: penguatan komunikasi risiko dan pendidikan kesehatan untuk meningkatkan cakupan vaksinasi COVID-19.  Pertama, berbagai saluran dan sarana informasi yang efektif perlu dimanfaatkan untuk menyampaikan konten yang dapat diakses semua orang, khususnya kelompok tertentu (jenis kelamin, kelompok usia, disabilitas). Kedua, diperlukan konsistensi informasi dari pusat hingga daerah untuk menghindari kebingungan masyarakat. Ketiga, penguatan peran tokoh masyarakat, tokoh agama, organisasi akar rumput dan pemberdayaan masyarakat dalam strategi komunikasi menjadi suatu keharusan. Keempat, memberikan kesempatan bagi perempuan dari segala usia untuk berpartisipasi aktif dalam mekanisme dan forum perencanaan daerah, khususnya dalam hal penanggulangan COVID-19.        Kelima, ketersediaan opsi vaksin untuk memenuhi preferensi individu terkait merk vaksin tertentu.

Dalam hal kanal komunikasi ririko, hasil penelitian ini merekomendasikan penyampaian informasi terkait vaksin dan COVID-19 disalurkan melalui kanal yang disukai (atau kurang disukai) terutama untuk kelompok lansia dan penyandang disabilitas.  Komunikasi tatap muka dan penggunaan Bahasa serta budaya lokal lebih disukai kelompok lansia, khususnya yang tinggal di perdesaan.  Kelompok lansia lebih mempercayai tenaga kesehatan, tokoh masyarakat dan pemuka agama dalam penyampaian informasi. Penyandang disabilitas lebih mempercayai informasi dari jaringan yang mereka miliki, terutama dari influencer yang memiliki kesamaan keterbatasan dengan mereka. Bagi kawan buta, informasi  berupa gambar di media sosial menyulitkan mereka karena tidak dapat dibaca oleh aplikasi pembaca teks pada telepon seluler. Penyediaan running teks atau penterjemah Bahasa isyarat memudahkan kawan tuli dalam menerima informasi melalui TV atau media sosial.

TIM

  1. Shita Listya Dewi
  2. Dwidjo Susilo
  3. Mentari Widiastuti
  4. Sri Murni Rarasati

WAKTU

November 2021 – Februari 2022

Pandemi COVID-19 menimbulkan tantangan besar bagi sistem kesehatan di Indonesia, yang memiliki kapasitas terbatas untuk menangani kasus-kasus COVID-19 berat. Dengan hanya 1,4 tempat tidur rumah sakit per 1.000 orang populasi dan keterbatasan kapasitas dan peralatan rawat intensif, pemerintah harus cepat memobilisasi sumber daya untuk meningkatkan kapasitas. Kementerian Kesehatan telah memperluas jaringan rumah sakit rujukan COVID-19 dan membeli peralatan rawat intensif, serta menerima dukungan dari mitra pengembangan dan donor lainnya. Ini meningkatkan kapasitas sistem kesehatan untuk mengatasi lonjakan pasien, khususnya pasien kasus COVID-19 berat. Namun, diperlukan lebih banyak penelitian untuk menentukan pembelajaran terkait peningkatan pada perawatan kritis ini dan tantangan dalam mengoperasikannya di masa depan.

TUJUAN

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mencatat pengalaman sistem kesehatan Indonesia dalam meningkatkan kemampuannya untuk menangani kasus COVID-19 berat, mengidentifikasi peluang untuk memaksimalkan penggunaannya dalam dunia pascapandemi COVID-19 dan menarik pelajaran tentang bagaimana memanfaatkan kapasitas tambahan tersebut secara optimal di masa depan.

Tujuan spesifik dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Mencatat proses identifikasi kebutuhan untuk peningkatan kapasitas di Unit Perawatan Intensif sebelum dan selama masa pandemi di Indonesia.
  2. Mencatat ekspansi atau konversi kapasitas tempat tidur perawatan intensif, ventilator dan oksigen sebelum dan sesudah investasi, serta menilai efek investasi terhadap kemampuan sistem kesehatan untuk menangani kasus COVID-19 berat.
  3. Menilai penggunaan kapasitas tambahan unit perawatan intensif di rumah sakit yang dipilih.
  4. Mengidentifikasi tantangan dan pelajaran di masa depan dalam mengoperasikan kapasitas yang telah ditingkatkan di Unit Perawatan Intensif, serta pengembangan kapasitas teknis yang diperlukan.

Mengidentifikasi upaya-upaya yang mungkin untuk memaksimalkan penggunaan optimal kapasitas unit perawatan intensif yang telah ditingkatkan pascapandemi COVID-19, serta tantangan mengoperasikan kapasitas yang ditingkatkan di masa depan.

LOKASI

40 Rumah sakit pemerintah pusat maupun daerah yang tersebar di 10 Provinsi, meliputi provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.

HASIL DAN REKOMENDASI

Luaran yang diharapkan dari penelitian ini berupa laporan hasil penelitian dan dokumen saran kebijakan bagi seluruh stakeholder terkait, baik stakeholder pusat, daerah, dan rumah sakit. Saran kebijakan tersebut meliputi :

  1. Kepastian adanya dukungan finansial dan teknis bagi rumah sakit dan daerah dalam menambah kapasitas rumah sakit untuk menangani pasien COVID-19 yang memerlukan perawatan intensif.
  2. Daerah harus mengoptimalkan manajemen sumber daya dan perencanaan untuk menambah kapasitas rumah sakit sehingga sesuai dengan kebutuhan.
  3. Rumah sakit harus memastikan adanya kebutuhan perawatan intensif dan sumber daya manusia yang memadai seiring dengan peningkatan kapasitas.
  4. Perlunya standar untuk kapasitas rumah sakit dan pengelolaan perawatan intensif bagi pasien COVID-19 atau kedaruratan kesehatan lain.

Daerah dan rumah sakit harus memastikan adanya sistem monitoring dan evaluasi yang efektif untuk memastikan bahwa kapasitas perawatan intensif sesuai dengan kebutuhan dan dapat digunakan dengan efisien.

TIM

  1. Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, MAS
  2. Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, SKM, M.Kes
  3. Dwidjo Susilo
  4. Luqman Hakim, MPH

WAKTU

6 October 2022 – 30 April 2023

RINGKASAN EKSEKUTIF

Studi ini dilakukan untuk memahami tentang dampak COVID-19 terhadap perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marginal dengan menempatkan analisis gender dan interseksionalitas. Pendekatan gender digunakan untuk memahami perbedaan dampak pandemi COVID-19 terhadap perempuan dan laki-laki. Sementara itu, interseksionalitas adalah perspektif yang menggambarkan bahwa gender dan aspek lain seperti kelas sosial, lokasi, status disabilitas, dan usia tumpang tindih membentuk pengalaman diskriminasi yang berbeda.

TUJUAN

Tujuan penelitian  untuk mengeksplorasi dampak COVID-19 pada GEDSI.
Tujuan khusus  :

  1. Untuk memahami bagaimana COVID-19 berdampak pada perempuan dan laki-laki dari berbagai latar belakang dan konteks (seperti disabilitas, usia, status sosial ekonomi, etnis, lokasi geografis, dan agama)
  2. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perbedaan dampak terhadap perempuan dan laki-laki dari kelompok yang beragam dan terpinggirkan
  3. Untuk mengidentifikasi pendekatan dan/atau strategi relevan yang telah digunakan selama COVID-19 yang mengatasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perbedaan pengalaman hidup perempuan dan laki-laki dari kelompok yang beragam dan terpinggirkan.

LOKASI

 Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Bali

HASIL DAN REKOMENDASI

Ringkasan hasil  :

  • Masyarakat marjinal lebih merasakan dampak pandemi COVID-19 dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dampak tersebut mulai dari aspek penghidupan, dinamika rumah tangga, pendidikan, kegiatan sosial dan keagamaan, hingga dampak kesehatan.
  • Baik kelompok laki-laki maupun perempuan di semua tingkatan mengeluhkan penurunan pendapatan selama pandemi.
  • Tugas rumah tangga meningkat di semua kelompok tetapi lebih menonjol di kelompok perempuan. Banyak ibu rumah tangga yang mengeluhkan tingginya permintaan di masa pandemi, namun pendapatan keluarga yang menurun.
  • Terdapat kesulitan untuk pembelajaran online di kalangan informan yang merupakan mahasiswa. Apalagi bagi yang rumahnya di perkampungan dan lokasinya agak terpencil, sulit untuk mengakses internet yang stabil. Kegiatan pembelajaran jarak jauh juga memberikan dampak yang sangat kuat bagi teman-teman penyandang disabilitas untuk beradaptasi dengan sistem pembelajaran daring.
  • Kelompok perempuan dan laki-laki penyandang disabilitas memiliki akses yang terbatas terhadap asuransi perlindungan sosial yang berdampak pada tingkat kerentanan mereka, terutama ketika mereka kehilangan pekerjaan selama pandemi Covid-19.
  • Kekuatan gender (gender power) memainkan peran penting untuk faktor-faktor yang berkontribusi terhadap dampak pandemi yang berbeda pada perempuan dan laki-laki. Kelompok perempuan mereka merasakan beban tambahan, selain melakukan pekerjaan rumah dan pekerjaan sampingan, juga harus mengayomi anak dalam pembelajaran jarak jauh, maupun membantu dalam perekonomian keluarga. Jelas terlihat bahwa di tingkat rumah tangga, perempuan lebih banyak menanggung beban tambahan dibandingkan laki-laki.
  • Pada kelompok marjinal, status disabilitas membuat mereka rentan mengalami kekerasan berbasis gender termasuk diskriminasi dari waktu ke waktu. Ketika berbicara tentang masalah diskriminasi dengan kelompok ini, cukup sulit untuk membedakan apakah pandemi memperburuk keadaan atau tidak, karena sering terjadi pada mereka.

Rekomendasi:

  1. Pemberdayaan Ekonomi:
    Pemerintah daerah untuk menyediakan modal bisnis, pelatihan vokasi, penyediaan pusat kreatif, dan pembangunan kapasiatas kepada dewasa muda, perempuan, dan kelompok marginal lainnya untuk bertahan menghadapi situasi kebencanaan, seperti pandemic COVID-19.
  2. Perlindungan sosial
    Pemerintah daerah memberikan bantuan permodalan dalam pelaksanaan pembatasan kegiatan bagi usaha kecil dan menengah yang terdampak pandemi terutama bagi kelompok pemuda yang menunjukkan semangatnya dalam mendukung kebutuhan keluarganya. Juga  Pemerintah Daerah memberikan bantuan tunai untuk memberikan modal usaha bagi penyandang disabilitas yang kehilangan usahanya dan penyandang disabilitas yang tidak memiliki pekerjaan.
  3. Asuransi Sosial
    Pemerintah desa sebaiknya mendata secara merata lansia miskin yang belum terdaftar sebagai peserta jaminan kesehatan untuk didaftarkan ke Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan. Selain itu,  Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi pekerja informal (khususnya penyandang disabilitas, ODHA, dan LGTBQ). Jaminan Kehilangan Pekerjaan bagi pekerja informal yang tidak dapat bekerja selama program kartu kerja bagi mereka sulit diakses dan tidak dapat memberikan bantuan secara merata.
  4. Infrastruktur yang inklusif
    Pemerintah Daerah menyediakan akses kursi roda dan pendamping disabilitas di setiap kantor pelayanan publik (kantor administrasi kependudukan). Selain itu, Pemerintah Daerah memberikan pendidikan atau peningkatan kapasitas tentang kepekaan terhadap penyandang disabilitas bagi pekerja di setiap kantor layanan publik. Organisasi komunitas penyandang disabilitas dapat memberikan pendidikan atau peningkatan kapasitas.
  5. Pelayanan Kesehatan yang sustainable.
    Menyediakan akses komunikasi bagi penyandang tunarungu di rumah sakit dan puskesmas atau posyandu. Puskesmas membentuk kader (petugas lapangan) untuk kunjungan rutin ke rumah untuk memberikan pendampingan kepada ODHA baru dan ODHA yang berhenti minum obat
  6. Memperkuat Organisasi Berbasis Komunitas untuk Penyandang Disabilitas, Lansia, ODHA dan LGBTQ
    Pemerintah daerah memfasilitasi organisasi masyarakat untuk kelompok marjinal termasuk penyandang disabilitas dan ODHA untuk memastikan efektivitas dan keberlanjutan advokasi.

TIM

Desintha, Sandra Frans, Herni Ramdlaningrum, Tri Muhartini

WAKTU

Desember 2021 – Juli 2022

RINGKASAN EKSEKUTIF

Selama puncak COVID-19, Indonesia mengalami kesulitan pasokan oksigen yang signifikan untuk pengobatan pasien COVID-19. Hal ini kemudian menyebabkan terganggunya pelayanan medis di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk memetakan kebutuhan pasokan biomedis termasuk oksigen yang menangkap situasi di tingkat nasional untuk dapat mempersiapkan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung ketersediaan alat bantu pernapasan saat ini di pusat rujukan COVID-19 di Indonesia dan mengevaluasi besarnya kesenjangan ketersediaan oksigen menurut alat, wilayah, dan jenis rumah sakit (RS). Metodologi penelitian menggunakan pendekatan metode campuran, gabungan antara penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Rancangan penelitian ini adalah survei cross-sectional dengan menggunakan teknik multi-stage random sampling. Pengumpulan data dilakukan di 96 RS rujukan COVID-19 (90% response rate) di 5 provinsi di Indonesia yaitu: Jawa Tengah, Lampung, Kalimantan Selatan, Bali, dan Sulawesi Utara.

TUJUAN

Menghitung ketersediaan alat bantu pernapasan saat ini di pusat rujukan COVID-19 di Indonesia dan mengevaluasi besarnya kesenjangan ketersediaan oksigen menurut alat, wilayah, dan jenis rumah sakit (RS)

LOKASI

Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Lampung, Bali dan Sulawesi Utara

HASIL DAN REKOMENDASI

Temuan utama    :

  1. Peralatan terkait sumber oksigen, penghantaran oksigen, dan sistem pendukung tersedia di sebagian besar RS rujukan COVID-19, dengan peralatan lebih banyak dimiliki oleh RS pemerintah dan RS kelas A dan B. Alat kesehatan tersebut antara lain:
    • Pada kategori sumber oksigen, semua RS kelas A dan B dilengkapi dengan tangki oksigen, namun hanya separuh RS kelas C dan hanya 7% RS kelas D.
    • Semua RS rujukan COVID-19, Kelas A dan B memiliki oksigen konsentrator, dibandingkan dengan 84% kelas C dan 60% kelas D yang memiliki oksigen konsentrator. Semua RS pemerintah memiliki peralatan ini, sedangkan 30% RS swasta tidak.
    • High Flow Nasal Cannula (HFNC) seluruhnya dimiliki oleh RS kelas A dan B, 76,5% RS kelas C, dan 30% RS kelas D. Dalam hal kepemilikan RS, 90,6% RS pemerintah dan 53,1% RS swasta memiliki HFNC.
    • Bi-level positive airway pressure (BiPAP) dan Continuous positive airway pressure (CPAP) 87,5% dimiliki oleh RS pemerintah dan 62,5% dimiliki oleh RS swasta. Dalam hal tipe RS, proporsi RS tipe C dan A yang lebih tinggi memiliki BiPAP/CPAP (masing-masing 86,3% dan 83,3%) dibandingkan dengan 66,7% RS tipe B dan 43,3% RS tipe D.
    • Ventilator dimiliki oleh seluruh RS kelas A dan B, 96,1% RS kelas C, dan 66,7% RS tipe D. Dalam kepemilikan RS, ventilator dimiliki oleh seluruh RS pemerintah dan 81,3% RS swasta.
  2. Di antara daerah yang termasuk dalam studi, terdapat disparitas yang cukup besar antar daerah dalam hal jumlah dan jenis peralatan yang tersedia, yaitu RS di Jawa cenderung memiliki perlengkapan yang lebih baik daripada RS di luar Jawa. Sebagai contoh:
    • Tujuh puluh persen (70%) RS yang memiliki tangki oksigen cair berada di pulau Jawa dan 30% sisanya di luar Jawa.
    • Mesin BiPAP/CPAP dimiliki oleh 76,9% RS di Jawa dan 58,1% RS di luar Jawa.
    • Flow splitter dimiliki oleh 38,5% RS di Jawa dan 3,2% RS di luar Jawa.
  3. Mengenai kelengkapan sistem oksigen, secara total 64,6% RS dalam penelitian telah memiliki sistem oksigen yang lengkap. Berdasarkan wilayah, 66,1% RS di Jawa dan 61,3% RS di luar Jawa memiliki sistem oksigen yang lengkap. Jika dilihat dari kelas RS, semua RS kelas A memiliki satu set lengkap sistem oksigen dan yang paling sedikit memiliki satu set lengkap adalah RS kelas D. Sedangkan menurut status kepemilikan, RS pemerintah lebih banyak yang memiliki sistem oksigen lengkap dibandingkan dengan RS swasta yaitu masing-masing 81,3% berbanding 56,3%..
  4. RS biasanya menyiapkan kebutuhan oksigen sesuai data riwayat. Saat terjadi pandemi dan lonjakan, belum ada rumus perhitungan kebutuhan oksigen yang bisa digunakan. Hanya ada pedoman kebutuhan oksigen per pasien, tetapi variasinya sangat besar. Formula yang digunakan hanya untuk menghitung kebutuhan per pasien, ternyata tidak bisa dijumlahkan ke dalam perhitungan tingkat RS.
  5. Terdapat perbedaan metode pencatatan peralatan biomedis yang tersedia di setiap RS. Mayoritas belum memiliki aplikasi yang terintegrasi untuk pencatatan, pelaporan dan pemantauan alat kesehatan.
  6. Sayangnya, lonjakan dan kekurangan oksigen ini belum mendorong pembuat kebijakan dan manajemen RS untuk mengembangkan instrumen pengukuran kecukupan oksigen dan peralatan biomedis. Sistem pencatatan yang digunakan belum terintegrasi.

Rekomendasi dari studi ini adalah:

  1. RS menggunakan instrumen WHO yang ada dengan menyesuaikan konteks Indonesia untuk menghadapi situasi bencana. Dalam situasi saat ini, rekapitulasi peralatan biomedis tersebar di beberapa departemen di RS. Peralatan biomedis harus direkam dalam satu sistem yang terintegrasi agar lebih efisien.
  2. RS merumuskan kebutuhan perhitungan oksigen dengan melibatkan klinisi dan pengelola RS. Simulasi kebutuhan oksigen harus didasarkan pada situasi normal dan bencana. Hal ini dapat dicapai dengan membentuk tim rencana penanggulangan bencana untuk mengembangkan pedoman sistem oksigen dalam situasi apa pun.
  3. Dinkes kabupaten untuk memantau peralatan biomedis di RS dan membuat dashboard regional untuk kebutuhan oksigen dan peralatan biomedis.
  4. Sistem pemantauan oksigen di tingkat nasional dan kabupaten harus diperkuat dan diintegrasikan dengan sistem yang sudah ada, seperti ASPAK dan dapat diakses oleh para pengambil keputusan.

TIM

  1. Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, MAS
  2. Sandra Olivia Frans, MPH
  3. Widy Arini Nur Hidayah, MPH
  4. Siti Nurfadilah H, MPH

WAKTU

10 Jan – 30 Aug 2022 (NCE to 31 Des 2022)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Berkembangnya konsep kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) membuat hasil penelitian semakin memiliki arti penting mengingat peran politisnya terhadap berbagai pihak, seperti pembuat kebijakan, media, organisasi non-pemerintah (LSM) dan mitra pemerintah dalam pembangunan (developing partners). Hasil penelitian menjadi salah satu penghasil bukti (evidences) yang dibutuhkan oleh para pembuat kebijakan.

Program “Capacity Building to use evidence in health policy and practice” kerjasama K2P AUB dan PKMK UGM bertujuan memberikan pelatihan/pengembangan kapasitas kepada “Institusi Pusat Penelitian dan Pengembangan” (PUSLITBANG) beserta institusi rekanan mengenai pentingnya penggunaan bukti (evidence) serta cara cara efektif dalam melakukan advokasi hasil-hasil penelitian berbasis bukti (evidence) untuk kemudian diterjemahkan kedalam kebijakan.

Kegiatan peningkatan kapasitas ini juga diadaptasi oleh PKMK UGM dengan memberikan pelatihan kepada mitra PKMK UGM di daerah maupun nasional, salah satunya fellowship program dan in-house training. Fellowship program ini bertujuan mempromosikan Kebijakan berbasis Bukti kepada para mitra dan membangun kapasitas mitra terpilih dalam memproduksi penelitian dan analisis kebijakan bermutu sebagaimana memproduksi produksi terjemahan pengetahuan. In-house training diberikan kepada mitra yang ingin didampingi secara kelompok dalam satu institusi.

Selain kegiatan peningkatan kapasitas, PKMK UGM juga melakukan advokasi kebijakan ke pemerintah berupa produk kebijakan mengenai penanganan minuman berpemanis dalam kemasan. PKMK UGM juga menerjemahkan produk pelatihan kedalam kurikulum perkuliahan untuk mahasiswa. Diharapkan mahasiswa mampu memahami bukti untuk pembuatan kebijakan dan strategi penyusunan policy brief sebagai bukti kebijakan.

TUJUAN

  1. Memberikan pelatihan kepada PKMK mengenai Health Policy and System Research
  2. Memberikan pelatihan kepada PKMK dan partner mengenai penggunaan bukti (evidence) dalam mengadvokasi kebijakan kesehatan.
  3. Pelatihan mengenai cara efektif dalam melakukan advokasi hasil penelitian kepada policy maker / stakeholder terkait
  4. Memberi pengenalan dan pelatihan mengenai Knowledge Translation Product
  5. Mendampingi dalam menulis/menyusun policy brief pada tema NCDs dan Referral System.

LOKASI

Kegiatan dilakukan secara luring dan daring baik internal PKMK UGM dan mitra PKMK UGM di daerah maupun nasional.

HASIL DAN REKOMENDASI

  1. Policy brief mengatasi tingginya konsumsi minuman berpemanis di Indonesia
  2. Policy brief meningkatkan kemandirian masyarakat dalam program penanggulangan TB di Kalimantan Barat, Indonesia
  3. Media bite penguatan layanan TB, JKN dan stunting di daerah
  4. Laporan case study mengatasi tingginya konsumsi minuman berpemanis di Indonesia
  5. Laporan Health Policy and System Research

TIM

  1. Shita Listyadewi, SIP, MM, MPP
  2. Agus Salim, MPH
  3. Tri Muhartini, MPA

WAKTU

1 Sept 2018 – 30 Nov 2022

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bekerja sama dengan Ariadne Labs untuk mengeksplorasi kelayakan, penerimaan dan manfaat dari kegiatan context assessment yang telah dilaksanakan oleh tim MOMENTUM sebelumnya. Kegiatan ini berlangsung dari Februari hingga Juli 2022 dan melibatkan pimpinan serta staf di 4 rumah sakit umum daerah (RSUD) dan 6 puskesmas di Nusa Tenggara Timur (NTT). Tim dari PKMK bertugas untuk melakukan wawancara terkait kegiatan context assessment dan menganalisis data hasil wawancara menggunakan aplikasi Dedoose. Berdasarkan kegiatan ini, para pimpinan dan staf di fasilitas kesehatan menyatakan bahwa mereka semakin memahami situasi dan kondisi di fasilitas kesehatan sehingga berguna untuk mengatasi kesenjangan dan masalah terkait pelayanan kesehatan masyarakat di wilayahnya. Selain itu, didapatkan pula rekomendasi dari para pimpinan dan staf terkait pentingnya perencanaan dan sumber daya yang memadai untuk meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan di NTT.

TUJUAN

Untuk mengeksplorasi kelayakan, penerimaan dan manfaat dari kegiatan context assessment yang telah dilaksanakan oleh tim MOMENTUM sebelumnya di fasilitas kesehatan terpilih. 

LOKASI

Kegiatan ini melibatkan pimpinan serta staf di 4 rumah sakit umum daerah (RSUD) dan 6 puskesmas di Nusa Tenggara Timur (NTT).

HASIL DAN REKOMENDASI

Berdasarkan kegiatan ini, para pimpinan dan staf di fasilitas kesehatan menyatakan bahwa mereka semakin memahami situasi dan kondisi di fasilitas kesehatan sehingga berguna untuk mengatasi kesenjangan dan masalah terkait pelayanan kesehatan masyarakat di wilayahnya. Mereka lebih menyukai diskusi dibandingkan mengisi survei terkait pemetaan masalah di fasilitas kesehatan dan sangat tertarik apabila ada kegiatan serupa di masa yang akan datang.

Tantangan yang dihadapi pada kegiatan ini adalah beberapa peserta kesulitan untuk mengingat kembali kegiatan context assessment yang telah dilakukan oleh tim MOMENTUM sebelumnya. Selain itu, dikarenakan kegiatan wawancara dilakukan melalui telepon, beberapa peserta terkendala oleh kualitas sinyal telepon yang kurang bagus sehingga beberapa kali proses wawancara sempat terputus. Hal lain yang menjadi kendala pada kegiatan ini adalah penyesuaian jadwal wawancara antara tim PKMK dan responden. Acapkali kegiatan wawancara harus diundur atau diubah sewaktu-waktu mengikuti ketersediaan waktu responden. Meskipun menghadapi beberapa kendala, kegiatan ini dinilai bermanfaat oleh responden dan organisasi pelaksana karena dengan melakukan evaluasi dari kegiatan context assessment yang telah dilakukan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan. Selain itu, dari kegiatan ini didapatkan rekomendasi terkait pentingnya perencanaan dan sumber daya yang memadai untuk meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan di NTT.

TIM

  1. Shita Listyadewi, SIP, MM, MPP
  2. Sandra Olivia Frans, MPH
  3. Widy Arini Nur Hidayah, MPH
  4. Monita Destiwi, MPA

WAKTU

1 Jan – 30 Apr 2022 (NCE to 30 Jun 2022)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Respons Indonesia pemerintah terhadap COVID-19 menghadapi tantangan yang signifikan. Pemerintah Indonesia perlu memperkuat aspek keadilan dalam pengujian, penelusuran, pengobatan untuk kasus COVID-19, dan mempercepat penyebaran vaksinasi. Meskipun pemerintah Indonesia juga telah meningkatkan kesiapan fasilitas kesehatan untuk isolasi dan mengobati kasus dengan gejala respirasi yang parah, masih ada kekhawatiran tentang kapasitas sistem kesehatan di luar Jawa dan Bali dalam mengatasi gelombang baru karena varian Omicron. Demikian juga, dalam kapasitas pengujian dan penelusuran, penambahan rapid antigen sebagai tes diagnostik konfirmasi harus dilengkapi dengan kapasitas untuk penelusuran dan pelaporan di tingkat lokal. Untuk mengatasi masalah ini, studi ini berusaha melakukan evaluasi cepat respons COVID-19 pada tingkat sub-nasional/lokal untuk menangkap variasi respons yang mungkin karena kapasitas geografis dan sistem kesehatan, dan memberikan informasi tentang apakah respons pemerintah Indonesia dalam jalur untuk mencapai tujuannya, mengatasi kecukupan, keadilan, dan kualitas.

Penelitian ini fokus pada kapasitas respons COVID-19 pemerintah Indonesia pada tingkat sub-nasional dalam 5 area kunci: 1) Distribusi vaksin COVID-19, 2) Kapasitas rumah sakit rujukan dalam perawatan kritis kasus COVID-19 pada tingkat kabupaten/ kota, 3) Kapasitas untuk menjaga keberlanjutan layanan kesehatan esensial pada tingkat layanan primer, 4) Kapasitas test COVID-19 di laboratorium pada tingkat kabupaten/ kota, dan 5) Pembayaran klaim kasus COVID-19 di rumah sakit, serta insentif dan kompensasi kematian untuk tenaga kesehatan.

Studi ini dilakukan di empat Kabupaten di empat Provinsi di Indonesia, yaitu Kabupaten Bantul di Provinsi DI Yogyakarta, Kabupaten Bintan di Provinsi Kepulauan Riau, Kabupaten Manggarai Barat di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Kabupaten Sorong di Provinsi Papua Barat. Di setiap Kabupaten, dipilih 2 rumah sakit yang dilengkapi dengan laboratorium pengujian COVID-19, serta lima Puskesmas untuk dievaluasi.

Penelitian ini menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif meninjau data terkait area kunci yang dievaluasi, melalui survei masyarakat terkait layanan kesehatan dasar di Pusat Kesehatan Masyarakat. Pendekatan kualitatif menggunakan wawancara mendalam pada informan kunci pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi area kunci yang dievaluasi. Sampel untuk pendekatan kualitatif ditentukan melalui sampling purposive, menargetkan otoritas dan fasilitas kesehatan di berbagai tingkat, sementara sampel untuk survei merupakan pengunjung Puskesmas. Informan kunci terdiri dari kepala otoritas setempat terkait serta pimpinan dan staf fasilitas.

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk menilai kapasitas tanggap COVID-19 di tingkat sub-nasional di Indonesia. Khususnya, untuk menilai area kunci berikut:

  1. Distribusi vaksin dan pelaksanaan vaksinasi COVID-19.
  2. Kapasitas rumah sakit rujukan COVID-19 dalam memberikan perawatan kritis.
  3. Kapasitas menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan esensial.
  4. Kapasitas pengujian laboratorium COVID-19 di tingkat sub-nasional/lokal.
  5. Pembiayaan COVID-19 di tingkat sub-nasional/lokal, berfokus pada pembayaran klaim kasus dan insentif tenaga kesehatan.

LOKASI

DIY, Kepulauan Riau, NTT dan Papua Barat

HASIL DAN REKOMENDASI

HASIL

  1. Distribusi vaksin dan pelaksanaan vaksinasi COVID-19.
    Jenis vaksin yang berbeda membutuhkan penyimpanan dan pelatihan untuk penanganan logistik yang berbeda. Banyak fasilitas cold-storage tingkat kabupaten tidak memiliki penyimpanan Ultra-Low Temperature, menyebabkan vaksin Pfizer disimpan di freezer atau kulkas vaksin, sehingga mengurangi masa simpan. Pendistribusian vaksin dari Kemenkes di beberapa daerah seperti Manggarai Barat dan Kabupaten Sorong memakan waktu dan biaya lebih lama karena vaksin harus ke Dinas Kesehatan Provinsi yang jaraknya lebih jauh dari Dinas Kesehatan Kabupaten.
    Banyak lokasi studi yang berprofil kepulauan menjadi kendala distribusi vaksin dan membutuhkan tambahan transportasi laut atau udara. Pengiriman vaksin seringkali tertunda karena kondisi cuaca buruk. Selain itu, masyarakat yang tinggal di wilayah kepulauan membutuhkan banyak tenaga dan biaya untuk mengakses pusat vaksinasi di daratan. Pelibatan masyarakat dalam promosi vaksin dan komunikasi risiko dengan melibatkan tokoh adat dan tokoh agama terbukti efektif dalam meningkatkan permintaan vaksinasi di beberapa daerah seperti Manggarai Barat dan Bintan. TNI dan Polri berperan signifikan dalam meningkatkan akses masyarakat untuk vaksinasi COVID-19 dengan menyediakan pusat vaksinasi tambahan, vaksinator, dan sosialisasi ke daerah terpencil oleh Babinsa dan Bhabinkamtibmas
  1. Kapasitas rumah sakit rujukan COVID-19 dalam memberikan perawatan kritis.
    Sebagian besar rumah sakit merekrut tenaga kerja tambahan untuk meningkatkan kapasitas layanannya. Stok obat-obatan dan bahan habis pakai di rumah sakit cenderung mencukupi. Saat gelombang Delta, beberapa rumah sakit di Yogyakarta dan RS JP Wanane kehabisan oksigen medis, namun kini memiliki generator oksigen sendiri. Provinsi Yogyakarta memiliki kapasitas perawatan kritis yang jauh lebih tinggi dibandingkan tiga provinsi lainnya. Namun, kapasitas ini masih tidak cukup memenuhi lonjakan kebutuhan saat gelombang Delta dimana kasus positif harian sangat tinggi. Sebagian besar rumah sakit mampu meningkatkan kapasitas IGD mereka untuk mempersiapkan gelombang selanjutnya, namun hanya RS Panembahan Senopati, RS PKU Muhammadiyah, dan RS Busung yang mampu meningkatkan kapasitas perawatan kritisnya secara signifikan. Dari hasil keseluruhan, sejauh ini rumah sakit telah bertahan dari perubahan regulasi, panduan, dan situasi yang dipengaruhi oleh pandemi. Ini karena pemerintah cukup kuat mengatur financing button/checklist dari sistem kesehatan. Kebijakan re-focusing anggaran nasional dan daerah sangat membantu keberlangsungan layanan di rumah sakit rujukan COVID-19. Di sisi lain, komponen lain dari sistem kesehatan, yaitu sumber daya manusia dan logistik, masih memerlukan peningkatan. Saat ini, pemerintah mendorong industri dalam negeri untuk dapat memenuhi kebutuhan logistik kesehatan domestik, namun rantai pasok yang kompleks akan menjadi tantangan besar. Begitu juga, produksi dan distribusi SDM kesehatan tidak mudah dipenuhi dalam jangka pendek.
  1. Kapasitas menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan esensial.
    Implementasi kebijakan pembatasan sosial skala besar dan pembatasan aktivitas masyarakat skala mikro mempengaruhi akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Puskesmas menjadi pilihan utama bagi masyarakat di Kabupaten Bintan dan Kabupaten Sorong untuk mencari perawatan ketika sakit. Hasil survei mengungkapkan kesulitan dalam mengakses pelayanan kesehatan penting seperti layanan kesehatan darurat, perawatan kesehatan mental, Posyandu, imunisasi dan pelayanan gizi, perawatan HIV/AIDS, malaria dan demam berdarah, KB, kunjungan rumah, perawatan penyakit kronis, dan pelayanan ibu hamil selama pandemi. Beberapa fasilitas Puskesmas tertutup karena staf dinyatakan positif terkena COVID-19 dan harus isolasi. Dalam hal ini, pelayanan dipindahkan ke Puskesmas terdekat.  Konsultasi melalui telepon (telemedicine) dilaksanakan untuk perawatan rutin pasien dengan penyakit tidak menular/kronis, dan pasien ibu hamil yang tidak bisa datang ke Puskesmas.
  1. Kapasitas pengujian laboratorium COVID-19 di tingkat sub-nasional/lokal.
    Wilayah di bagian timur Indonesia dan wilayah kepulauan mengalami tantangan yang lebih besar dalam meningkatkan kapasitas tes RT-PCR. Selain itu, Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat mengalami keterlambatan dalam pelaporan data COVID-19. Selain itu, Kabupaten Sorong melaporkan keterbatasan sumber daya manusia untuk data entry dan tantangan geografis yang menyebabkan tertundanya penerimaan dan pemeriksaan spesimen, serta keterbatasan pasokan reagen. Di Yogyakarta, kerjasama dengan sektor pertanian dan pendidikan tinggi teridentifikasi. Di Batam, kerjasama dengan penyedia transportasi untuk mengirim spesimen sudah ada.
  1. Pembiayaan COVID-19 di tingkat sub-nasional/lokal, berfokus pada pembayaran klaim kasus dan insentif tenaga kesehatan.
    Masalah terkait pembayaran klaim lebih banyak terjadi di wilayah timur Indonesia dan fasilitas kesehatan swasta. Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Sorong mengalami keterlambatan dalam pembayaran yang lebih lama. Selain itu, kapasitas sumber daya manusia dalam menangani klaim dan administrasi, register penduduk, serta konektivitas internet menyebabkan keterlambatan pengajuan klaim di Kabupaten Sorong. Selain itu, semua rumah sakit swasta yang berpartisipasi dalam studi ini mengalami keterlambatan yang lebih lama dibandingkan rumah sakit milik pemerintah. Kekurangan insentif terjadi pada SDM kesehatan yang tidak menangani pasien COVID-19 langsung terjadi di semua wilayah studi. Masalah lain yang termasuk adalah ketidakcocokan antara regulasi dan beban kerja sebenarnya, daftar penerima yang tidak pasti, kesalahan dalam aplikasi pengajuan, dan pembayaran yang terlambat.

REKOMENDASI

  1. Distribusi vaksin dan pelaksanaan vaksinasi COVID-19.
    (1) Mengembangkan sistem yang dapat melacak individu yang melewatkan vaksinasi dosis kedua yang dapat diakses dan dikoreksi oleh Puskesmas setempat. (2) Pemerintah lokal sebaiknya bekerja sama dengan lebih banyak pemangku kepentingan untuk meningkatkan promosi dan pelayanan vaksinasi, dengan melibatkan lebih banyak kerja sama lintas sektor seperti pemerintah, institusi keagamaan, dan TNI/Polri. (3) Meningkatkan peran TNI/Polri dalam distribusi vaksin ke tempat yang sulit seperti wilayah kepulauan atau daerah terpencil. (4) Memperluas kapasitas fasilitas penyimpanan dingin di tingkat kecamatan dan Puskesmas, terutama di daerah yang kurang memiliki unit penyimpanan dingin seperti kecamatan Sorong. Peningkatan kapasitas harus diikuti oleh penambahan staf yang berkualifikasi atau terlatih untuk mengelola fasilitas penyimpanan.
  1. Kapasitas rumah sakit rujukan COVID-19 dalam memberikan perawatan kritis.
    (1) Mendorong rumah sakit untuk mematuhi ketentuan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2021 mengenai kapasitas intensif di rumah sakit sehingga Indonesia memiliki kapasitas nasional yang lebih baik dalam mengatasi kemungkinan pandemi di masa depan. (2) Pembangunan kapasitas fisik, terutama di bidang khusus seperti unit perawatan kritis, hanya bisa dilakukan dengan jumlah sumber daya manusia yang sesuai sertifikasi. (3) Kekurangan obat dan barang medis, terutama pada awal pandemi, bisa dicegah dengan mempertahankan stok cadangan untuk setiap item pada daftar yang direkomendasikan sesuai panduan manajemen bencana. (4) Kejadian bencana termasuk pandemi selalu menyebabkan situasi kacau, sehingga diperlukan sistem komando yang handal untuk dapat mengintegrasikan sumber daya dan aktivitas internal rumah sakit dan bekerja sama dengan pihak eksternal dalam upaya manajemen bencana.
  1. Kapasitas menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan esensial.
    (1) Berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat untuk menginformasikan ketersediaan layanan kesehatan esensial selama pandemi akan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Masyarakat perlu tahu jenis layanan yang tersedia, kapan, di mana dan bagaimana mengaksesnya. (2) Kesiapsiagaan menghadapi pandemi perlu diintegrasikan ke dalam konsep desa siaga. Desa harus berperan lebih aktif mendukung layanan kesehatan esensial, misalnya dengan membantu pengiriman obat selama peningkatan kasus.
  1. Kapasitas pengujian laboratorium COVID-19 di tingkat sub-nasional/lokal.
    Untuk meningkatkan kapasitas pengujian pada tingkat subnasional/lokal, perlu dipertimbangkan adanya kerjasama dengan fasilitas laboratorium swasta atau non-pemerintah. Analisis lebih lanjut perlu dilakukan terkait (1) motivasi, faktor pendorong, dan tantangan yang dihadapi oleh laboratorium swasta, khususnya di luar pulau Jawa, dalam bekerja sama dengan sektor publik untuk meningkatkan kapasitas pengujian diagnostik, dan (2) hambatan, dan kapasitas yang dibutuhkan oleh pemerintah nasional dan daerah untuk melibatkan laboratorium swasta dalam meningkatkan kapasitas pengujian diagnostik. Selanjutnya, perlu adanya rencana tentang pemanfaatan laboratorium diagnostik dengan kapasitas NAAT di masa depan yang dibuat oleh pemerintah yang akan meliputi (1) memperluas aplikasi klinisnya untuk penyakit menular lainnya, seperti tuberculosis atau (2) mengaitkan laboratorium swasta dan publik dengan institusi akademik untuk meningkatkan kapasitas kedua sektor tersebut.
  1. Pembiayaan COVID-19 di tingkat sub-nasional/lokal, berfokus pada pembayaran klaim kasus dan insentif tenaga kesehatan.
    Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk meringankan beban birokrasi rumah sakit dengan sumber daya yang rendah selama krisis kesehatan, seperti dengan mengizinkan perpanjangan sementara tanggal jatuh tempo klaim. Pemerintah pusat juga perlu membantu pemerintah provinsi atau kabupaten untuk meningkatkan kualitas tata kelola rumah sakit, sumber daya manusia, dan infrastruktur di daerah tertinggal. Asosiasi rumah sakit provinsi atau kabupaten seharusnya bekerja sama dengan Dinkes Kabupaten/Kota untuk memfasilitasi pengembangan berkelanjutan bagi tim manajemen fasilitas kesehatan publik dan swasta, untuk meningkatkan administrasi di fasilitas tersebut. Karena kebijakan berubah dengan cepat selama pandemi, forum pengembangan berkelanjutan dapat memberikan kesempatan untuk memahami dan mendiskusikan peraturan terbaru, serta pembelajaran dan praktik terbaik dari masing-masing fasilitas.
    Dalam hal insentif, pemerintah provinsi dan kabupaten seharusnya mempertimbangkan untuk memberikan tunjangan tunai bulanan kepada staf pendukung (non-tenaga kesehatan) yang terlibat dalam penanganan wabah di fasilitas kesehatan dan masyarakat. Sumber pendanaan dapat dialokasikan dari anggaran provinsi atau kabupaten (untuk tenaga kesehatan) atau dana desa (untuk relawan masyarakat). Pemerintah provinsi atau kabupaten juga dapat memulai kemitraan dengan pihak swasta untuk memberikan insentif non-moneter, seperti persediaan makanan, selain insentif moneter. Di luar pandemi COVID-19, pemerintah pusat perlu lebih berupaya meningkatkan pembiayaan sumber daya manusia Puskesmas sebagai bagian dari revitalisasi sistem kesehatan primer karena Puskesmas merupakan gatekeeper dalam perlindungan kesehatan masyarakat di Indonesia.

TIM

  1. Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, MAS
  2. Shita Listyadewi, SIP, MM, MPP
  3. Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, SKM, M.Kes
  4. Dwidjo Susilo
  5. Luqman Hakim, MPH
  6. Mentari Widiastuti, MPH
  7. Cici Permata Rusadi, MPH
  8. Galuh Sitorukmi MPH

WAKTU

2 Feb – 30 Jun 2022 (NCE to 31 Okt 2022)