Pada sesi pertama, dibuka dengan presentasi policy brief yang akan dibawakan oleh para penulis dan dimoderatori oleh Sealvy Kristianingsih, judul policy brief yang dibawakan antara lain:
Bagaimana Meningkatkan Kinerja FKTP dalam Menekan Rujuan Non Speasialistik Era JKN (Puguh Priyo Widodo).
Modifikasi Indikator KBK ssebagai Upaya Pencegah Farud dan Peningkatan Mutu Pelayanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama/ FKTP (Ratnawati)
Perbaikan Tata Kelola Kepesertaan melalui Pembaruan Sistem TI dalam Ekosistem JKN (Adriansyah)
Kebijakan Penetapan Daerah Prioritas (Lokus) sebagai Upaya Distribusi Fasilitas Kesehaan yang Berkeadilan (Jon Hendri Nurdan)
Menutup Kesenjangan Pelayanan Kesehaan dalam Implementasi JKN di Provinsi NTT (Stevie Ardianto Nappoe)
Ada beberapa masukan terhadap policy brief yang dipresentasikan, Laksono menggarisbawahi bahwa penggunaan bahasa ketika presentasi bisa menggunakan kalimat yang lebih singkat dan kedepannya mungkin dapat diadakan pelatihan lanjutan agar peserta lebih terbiasa membuat policy brief.
Setelah peserta terpilih menampilkan policy brief, dilanjutkan dengan acara inti dari Fornas yang dimoderatori oleh Shita Listya Dewi. Pemateri pada sesi pertama adalah Tri Aktariyani dengan topik yang disampaikan yaitu Perbaikan JKN dalam Perspektif Tata Kelola. Poin yang disampaikan oleh Tri antara lain adalah tujuan dari forum ini, kemudian Apa yang Terjadi dalam Proses Pembuatan UU SJSN?, Lingkup dan Ragam Masalah Tata Kelola JKN selama 6 Tahun, dan yang terakhir adalah Hal Kunci Perbaikan Tata Kelola JKN.
Dalam penjelasan mengenai proses yang terjadi dalam proses pembuatan UU SJSN Tari menjelaskan dengan 3 prosedur yang dilewati supaya UU SJSN lahir, antara lain agenda setting, formulasi dan legitimasi. Menurutnya dalam agenda setting berlangsung secara elitis teknokratis karena pelibatannya terhadap peran kalangan akademisi/ intelektual. Selain itu Tari menyebutkan adanya aktor – aktor yang menentang lahirnya UU SJSN dan dinamika politis yang dihadapi pada saat proses legitimasi. Rekomendasi yang diberikan terhadap kebijakan JKN adalah, revisi UU SJSN dan memberi ruang fleksibilitas untuk daerah supaya ikut dalam proses pengambilan keputusan secara dinamis.
Materi selanjutnya yang dibawakan oleh Prof. Laksono Trisnantoro adalah mengenai governance. Bahasan mengenai governance di JKN menurutnya adalah sebuah tantangan, bagaimana supaya memenuhi 8 ciri governance yang baik. Ada tiga poin yang ditebali, yaitu bagaimana proses keputusan tentang berbagai hal dalam jaminan kesehatan di Indonesia dijalankan, bagaimana keputusan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan dan governance di JKN terkait dengan struktur hubungan antar lembaga/ aktor.
Laksono mengamini apa yang disampaikan Tari, bahwa ada hal yang belum dilaksanakan seperti kebijakan kompensasi. Laksono juga menggunakan Teori Principle-Agent Relationship untuk menjawab siapa yang berperan di JKN, dan apa perannya. Ada banyak unit pemerintah yang terkait dengan JKN, seperti kantor presiden dan wapres, DJSN, Kemenkes, Kemenkeu dan BPJS, yang menjadi catatan adalah hubungan Kemenkes dan BPJS tidak jelas. Dampaknya Kemenkes tidak punya pengaruh besar di BPJS dan menimbulkan kesulitan untuk mencari siapa yang menjad regulator di jaminan kesehatan. Pada catatan akhir, terdapat pernyataan bahwa transformasi BPJS menjadi badan hukum publik, mencerminkan belum selesainya transformasi tersebut karena sistem IT yang ada belum menggunakan sistem IT Badan Hukum Publik yang punya ciri interoprabilitas dengan berbagai pihak.
Setelah dua pemateri memaparkan data – data tersebut, dilanjutkan dengan pembahasan yang akan diberikan oleh beberapa pembahas dari eksternal PKMK UGM. Abetnego Tarigan (Kantor Staf Presiden) menyambut baik gagasan seperti forum ini, menurutnya ada dua masalah dalam urusan kebijakan kesehatan.
Hal yang pertama adalah mengenai semata – mata urusan kesehatan hanya dipandang urusan klinis atau kuratif, kemudian yang kedua pengambil keputusan kebijakan merupakan politisi dan tidak terlalu memahami sektor – sektor kesehatan. Hal lain yang disampaikannya adalah mengenai kemampuan tiap daerah yang berbeda – beda sehingga eksekusi pada sektor kesehatan juga bisa jadi berbeda di setiap wilayah sehingga otonominya belummencapai seratus persen.
Tono Rustiano (DJSN) menyampaikan, hal – hal seperti defisit tidak pernah sampai kepada DJSN dan DJSN sepakat bahwa harus ada revisi terhadap regulasi yang ada. Hal ini disebabkan karena peran – peran yang tidak dapat terlaksana, Tono menjelaskannya dengan fungsi yang ada dalam UU SJSN dan UU BPJS bahwa fungsi DJSN itu sangat kuat, tetapi jika telah sampai pada aturan pendukung dibawahnya tidak ada yang bisa digunakan untuk menguatkan fungsi tersebut.
Budhis Utami (Institut KAPAL Perempuan) menyampaikan dari sudut pandang konsumen dan lebih spesifiknya perempuan, menyampaikan bahwa institusi KAPAL Perempuan beserta masyarakat perempuan yang diberdayakan fokus kepada monitoring terhadap pelaksanaan JKN. Indikator yang dipakai dalam monitoring tersebut berasal dari panduan yang diberikan oleh DJSN. Pada 2018 dilaksanakan monitoring yang dilaksanakan di beberapa daerah seperti NTB, NTT, dan Jawa Timur yang dipilih berdasarkan kondisi geografis tertentu.
Budhis menyoroti tentang 3 hal, yaitu kepemilikan/ kepesertaan kartu, aspek sosialisasi dan aspek pelayanan. Pada aspek kepemilikan kartu, dinilai bahwa banyak data yang salah sehingga tidak dapat dipakai. Pada aspek sosialisasi, ditekankan bahwa sosialisasi kepada masyarakat sangat minim sehingga lembaganya juga ikut bergerak, dampaknya banyak yang tidak tahu cara menggunakannya, kemudian banyak juga dari perempuan yang tidak menggunakannya untuk kesehatan reproduksi. Dari aspek pelayanan, hasil monitoring yang dilaksanakan menyebutkan bahwa pelayanan dan rujukan sangat lambat hingga berdampak pada kesehatan pasien.
Selanjutnya Yuli Farianti (Kemenkes) menyampaikan bahwa penting untuk mereviu kembali peran dari Kemenkes dan BPJS sebab ada peran yang saling tumpang tindih. Poin berikutnya, Yuli menyebutkan bahwa daya ungkit APBN tidak selalu bisa digunakan terus menerus untuk pembiayaan karena bisa semakin lemah, untuk itu penting mencari sumber pembiayaan lain seperti penguatan peran swasta.
Selain itu hal yang tak kalah penting adalah, bagaimana daerah bisa memperbaiki kebijakannya sementara tidak mengetahui keadaan daerahnya sendiri. Akibatnya anggaran dan kebijakan terjadi business as usual, akses data adalah hal yang menjadi penyebab mengapa hal ini terjadi. Pembahas terakhir yaitu Budiono Subambang (Kemendagri) memaparkan tentang dukungan pemda, dari segi landasan hukum, dan kebutuhan data yang digunakan.
Pada sesi kedua mengenai “Berbagai Hal Kunci dalam Equity dan Keberlanjutan Finansial JKN” menyampaikan paparannya dari sudut pandang ekonomi. Terdapat lima bagian yang disampaikan oleh Faozi, yaitu Pengantar Situasi JKN dan APBN, kemudian Pencapaian Ekuitas Era JKN, Situasi Kesenjangan Pelayanan Kesehatan di 13 Provinsi, Keberlanjutan Finansial JKN dan bagian terakhir adalah Kesimpulan dan Rekomendasi.
Faozi membuka dengan menyampaikan bahwa total defisit yang ada dari 2014 hingga 2019 adalah sebesar 66.7 Triliun rupiah yaitu pada segmen PBPU, BP, PBI dan PBI APBD. Hal ini terhitung sebelum kondisi pandemi COVID-19. Untuk saat ini anggaran kesehatan diarahkan pada percepatan pemulian kesehatan pasca pandemi, diikuti dengan peningkatan akses dan mutu layanan melalui sistem kesehatan. Kemudian, situasi ekuitas pelayanan kesehatan di Indonesia.
Dilanjutkan dengan penjelasan mengenai kesenjangan pelayanan kesehatan dari sudut pandang geografis. Terakhir Faozi menyimpulkan bahwa equity belum mencerminkan keadilan sosial bagi bangsa Indonesia, iuran JKN yang masih di bawah hitungan aktuaria, revenue collection yang belum optimal dan subsidi defisit pada PBPU dan BP.
Setelah Faozi menyampaikan materinya, pembahas mulai memberikan feedback terhadap penyampaian tersebut. Diawali oleh Yani Farida Aryani (Kemenkeu) yang menyampaikan bahwa sektor kesehatan berpengaruh kuat dalam keadaan fiskal negara. Yani menyampaikan jika manusia dalam sebuah negara dalam keadaan sehat yang berkualitas, maka hal tersebut dapat mendorong produktivitas yang dampaknya akan lahir kreativitas dan inovasi.
Lebih jauh lagi outcome yang digambarkan, bahwa manusia tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang kuat. Terdapat beberapa masukan untuk materi yang disampaikan Faozi, seperti pertumbuhan RS sesungguhnya ada kaitan dengan jumlah penduduk di daerah tersebut, inilah mengapa pada regional tertentu lebih banyak pemanfaatan faskesnya dibanding regional lain yang jumlah penduduknya lebih sedikit. Benjamin Saut Parulian Simanjuntak (BPJS Kesehatan) melanjutkan sesi pembahasan dari perspektif BPJS.
Benjamin mengungkapkan bahwa dalam sebagian besar hal yang disampaikan oleh pemateri sepakat untuk diadakan perbaikan suaya Jaminan Kesehatan dapat terwujud secara berkelanjutan dan inklusif. Untuk mencari sumber pembiayaan lain, saat ini bisa dikembangkan metode crowdfunding dan filantropi meskipun belum diatur. Serta BPJS saat ini dalam proses menyerahkan hak akses Dashboard JKN kepada pemerintah daerah.
Pembahas berikutnya yaitu Dian Kartika Sari (INFID) menjelaskan dari perspektif lembaga non pemerintah, membenarkan mengenai data kepesertaan yang disampaikan oleh Faozi, dan juga persebaran dokter spesialis yang belum merata. Dirinya menjelaskan bahwa posisi INFID mengambil sudut pandang bahwa tidak perlu ada kelas atau klasifikasi supaya tidak perlu ada diskriminasi antara PBI dengan PBPU.
Reporter: Eurica Stefany Wijaya, MH.