Jumat, 11 April 2025, pukul 13.00 -15.00 WIB
PKMK-Yogyakarta. Departemen Sejarah FIB UGM bekerjasama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM menyelenggarakan Webinar Bedah Buku pada Jumat (11/4/2025) dengan tema “MERAWAT KEHIDUPAN: 100 TAHUN RUMAH SAKIT HUSADA (JANG SENG IE)” karya Dr. Ravando. Acara ini membahas perjalanan 100 tahun Rumah Sakit Husada yang ada di Jakarta Pusat yang telah menjadi institusi kesehatan yang berperan penting dalam perkembangan pelayanan kesehatan di Indonesia, dengan semangat inklusivitas sejak didirikan oleh dr. Kwa Tjoan Sioe pada 1924 dengan nama Jang Seng Ie (JSI).
Sambutan pertama disampaikan oleh Dr. Abdul Wahid, M.Hum., M.Phil selaku Ketua Departemen Sejarah FIB UGM. Pihaknya menyampaikan kolaborasi dari dua disipliner berupa dialog antar disiplin-ilmu salah satunya melalui sejarah kebijakan kesehatan. Dalam hal ini, PKMK dan Departemen Sejarah FIB UGM telah banyak menerbitkan hasil kerjasama salah satunya baru saja mengembangkan penelitian sejarah kebijakan kesehatan bersama dengan Departemen Kesehatan. Berbicara mengenai sejarah rumah sakit, berdasarkan sudut pandang ilmu sejarah hal ini menjadi kajian penting yang berada dalam sub kajian dari Sejarah Kesehatan. Sejarah Rumah Sakit tidak hanya sebatas membahas mengenai sejarah kesehatan semata melainkan juga unsur-unsur lain yang mempengaruhi berdirinya dan lahirnya rumah sakit di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, tujuan dari kolaborasi yang dikembangkan oleh PKMK FK-KMK UGM bersama dengan Departemen Sejarah FIB UGM untuk mengembangkan kajian ini menjadi sesuatu yang penting, terutama dalam perkembangan kesehatan di Indonesia. Karya Dr. Ravando mengenai Rumah Sakit Husada ini dapat menunjukkan adanya sejarah panjang dalam perkembangan rumah sakit ini ditengah-tengah pelayanan kesehatan di Indonesia sejak awal pendiriannya. Abdul juga menyampaikan tujuan dan keinginan yang besar dari kolaborasi antara PKMK FK-KMK UGM melalui Prof. Laksono dengan Departemen Sejarah FIB UGM untuk dapat mengembangkan kajian sejarah rumah sakit yang serupa kepada rumah sakit – rumah sakit lainnya di Indonesia.
Selanjutnya, perwakilan dari Rumah Sakit Husada menyampaikan sambutannya melalui Soegianto Nagaria, selaku Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan Husada. Soegianto menyampaikan bahwa buku ini bukan hanya kumpulan kisah masa lalu saja tetapi merupakan potret dari dedikasi, ketulusan dan kerja keras yang diwariskan oleh dr. Kwa dan para pengurus lainnya sejak perkumpulan ini dibentuk dengan nama “Jang Seng Ie” pada 1924 lalu. Sebagai rumah sakit yang lahir dari komunitas dan dikembangkan oleh solidaritas masyarakat Tionghoa. RS Husada selalu berkomitmen memberikan pelayanan kesehatan kepada siapapun terutama bagi mereka yang kurang mampu, dan sudah menjadi nafas yang diwariskan oleh para pendiri RS Husada. Nagaria menyampaikan bahwa 100 tahun berdiri RS Husada tidaklah mudah, tetapi dengan semangat dan inovasi dari generasi penerus menjadi langkah serta nafas baru untuk terus mengembangkan RS Husada ini. Harapan Soegianto, semoga adanya diskusi ini, dapat lebih mengenang RS Husada bukan hanya dari sejarah panjang dari pendiriannya saja tetapi juga dari kualitas medis, komitmen sosial yang terus terjaga sampai saat ini.
Pada pengantar diskusi yang disampaikan oleh Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., sebagai seseorang yang bukan berasal dari “sejarah”, namun sosok yang memiliki keterkaitan dengan sejarah dan mencintai sejarah. Selain itu, Laksono dalam pengantarnya menyampaikan pesan yang dikutip dari Stephen Ambrose yaitu “The past is a source of knowledge, and the future is a source of hope”, Laksono menyampaikan bahwa masa lalu sebagai sumber pengetahuan, masa depan sebagai sumber harapan. Dalam pengantar ini, Laksono menyampaikan beberapa bagian yang menarik dalam buku ini seperti pada halaman 308. Pada halaman ini, menampilkan lukisan bangunan yang modern untuk tahun itu, dimana ini adalah gedung utama Husada. Laksono menambahkan, bahwa pihaknya tidak bisa membayangkan buku ini membahas bangunan yang sudah berdiri 100 tahun yang lalu saja, arsitekturnya seperti gedung kelas atas untuk orang-orang berduit di kalangan itu. Laksono juga menyampaikan harapan kepada penulis dan perkumpulan Husada, untuk membuat inovasi lain mengenai promosi buku dengan video pendek yang menggambarkan buku. Dengan tujuan untuk dapat menarik minat anak muda lebih tertarik membaca buku.
Memasuki, pemaparan bedah buku “Merawat Kehidupan: 100 Tahun Rumah Sakit Husada (Jang Seng Ie)”, yang disampaikan langsung oleh penulis. Ravando menceritakan bahwa dalam buku ini, dipaparkan mengenai motivasi dr. Kwa Tjoan Sioe sebagai tokoh pendiri untuk mendirikan sebuah instansi pelayanan kesehatan terutama bagi ibu dan anak dan masyarakat kurang mampu, terutama dari golongan Tionghoa. Adapun disampaikan juga makna dari “Jang Seng Ie” itu berdiri dimulai dari Motto saat didirikan, fokus pendirian rumah sakit ini yaitu untuk menyediakan poliklinik gratis untuk masyarakat tidak mampu, serta beberapa capaian dari Rumah Sakit Husada seperti penelitian yang dilakukan. Ravando berharap dengan adanya buku ini, Jang Seng Ie tidak hanya dikenal sebagai rumah sakit semata tetapi juga ada nilai perjuangan dalam pendirianya dan warisan-warisan baik yang diteruskan dari generasi ke generasi.
Sesi ini ditutup dengan pembahasan yang disampaikan oleh Baha’uddin yang menyampaikan bahwa berdirinya Rumah Sakit Husada atau Jang Seng Ie ini serupa dengan rumah sakit – rumah sakit swasta pada saat itu. Rumah sakit swasta pada masa kolonial memiliki kesamaan dalam nama dan misi sebagai lembaga penolong masyarakat, contohnya RS Petronella (RS Dokter Pitulungan), RS PKO Muhammadiyah (Penolong Kesengsaraan Umum), dan RS Jang Seng Ie (Rumah Penolong Kehidupan). Unsur filantropi, penggalangan dana, dan awal pendirian dari poliklinik menjadi ciri khas RS swasta masa kolonial. Buku “Merawat Kehidupan: 100 Tahun RS Husada” karya Dr. Ravando, `mengulas perjalanan RS ini secara komprehensif, menggunakan pendekatan kronologis-tematis untuk menganalisis dinamika pendirian, perkembangan, dan adaptasi selama empat periode penting: masa kolonial, pendudukan Jepang dan Revolusi, Orde Baru, serta Reformasi. Prinsip “challenge and response” menjadi kunci keberlanjutan RS Husada, yang tetap berorientasi non-profit di tengah komersialisasi sektor kesehatan. Nilai kemanusiaan, solidaritas, dan empati menjadi roh utama pelayanan RS Husada hingga kini.
link informasi selengkapnya bisa di klik pada laman berikut
Reporter:
Aulia Putri Hijriyah, S.Sej.,
Galen Sousan Amory, S. Sej.,