Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut ada 20 penyakit yang termasuk Penyakit Tropis yang Terabaikan atau Neglected Tropical Diseases (NTD). NTD adalah Penyakit yang disebabkan oleh berbagai patogen, termasuk virus, bakteri, protozoa, dan cacing parasit. Hari NTD Sedunia pertama kali dicanangkan pada 30 Januari 2020. Tanggal tersebut dipilih karena merupakan tanggal pelaksanaan Deklarasi London 2012 tentang NTD yang yang menyatukan mitra lintas sektor, negara, dan komunitas profesional kesehatan untuk mendorong investasi dan penanganan yang lebih besar terhadap NTD. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan meluncurkan tonggak pencapaian baru setiap tahun hingga tahun 2030 untuk memandu kemajuan melawan NTD.
Syarat
Syarat:
Kamis, 2 Februari 2023
diselenggarakan oleh
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK)
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM
PENDAHULUAN
Sistem Kesehatan di Indonesia mengalami goncangan hebat di sepanjang 2020-2022 lalu akibat bencana non alam pandemi COVID-19. Pandemi ini berdampak dan menguji langsung Sistem Kesehatan Nasional dan Daerah (SKN dan SKD), serta mendorong lahirnya gebrakan Kementerian Kesehatan untuk melakukan transformasi Sistem Kesehatan.
Transformasi Sistem Kesehatan diarahkan untuk mengubah secara signifikan pilar-pilar (1) pelayanan dasar melalui edukasi masyarakat, primary prevention, secondary prevention dan penguatan kapasitas dan kapabilitas faskes primer, (2) pelayanan rujukan yang menyediakan layanan berkualitas dan efisien, yang dimungkinkan melalui peningkatan akses dan kualitas layanan di tingkat sekunder dan tersier, serta memperkuat resiliensi sektor obat dan alkes, dan juga (3) memastikan kesiapan dan efektivitas respon tanggap bencana. Namun, penguatan pilar-pilar harus didukung beberapa landasan yang kuat pula dari sisi pembiayaan kesehatan, jumlah dan distribusi tenaga kesehatan serta digitalisasi kesehatan dan pengambilan keputusan berdasarkan data. Transformasi kesehatan diharapkan mampu memperkuat sistem kesehatan Indonesia untuk dapat merespon tantangan-tantangan masa depan sembari terus meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Tentu saja transformasi sistem kesehatan bukannya tanpa tantangan. Pertama, siapkah seluruh komponen dalam sistem kesehatan melakukan transformasi ini secara cepat namun tepat? Siapkah unsur-unsur pemangku kepentingan di tingkat pusat bergegas menelurkan kebijakan-kebijakan yang mendukung transformasi kesehatan? Bagaimana dengan para pelaksana di tingkat daerah?
Unduh Permenkes pada tautan berikut KLIK DISINI
Simak video sosialisasinya di bawah ini
Kualifikasi
– Usia maks 30 tahun
– Pendidikan S1/S2 Ilmu Kedokteran, rumpun Ilmu Kesehatan atau Manajemen Bencana
– Mampu berbahasa Inggris (aktif/pasif)
– Domisili Yogyakarta
– Berpengalaman menjadi relawan (diutamakan)
– dan syarat lain yang dibutuhkan
Selengkapnya silakan simak di infografis berikut:
LATAR BELAKANG
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM telah memasuki tahun ke-24 dan telah menjadi salah satu organisasi riset dan konsultasi yang terdepan di sektor kesehatan. Sebagai organisasi pembelajar, PKMK perlu terus terbuka terhadap kesempatan-kesempatan untuk melakukan evaluasi dan refleksi serta belajar dari pengalaman untuk menata langkah ke depan. Kegiatan pertemuan kaleidoskop merupakan kegiatan tahunan yang dilaksanakan oleh PKMK sebagai sarana untuk berhenti sejenak dan melakukan refleksi dan evaluasi.
REPORTASE
Forum Nasional (Fornas) Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) XII pada hari ketiga (19/10/2022) mengangkat topik “Peran Analis Kebijakan dan Keterampilan yang Dibutuhkan: Penggunaan Data Sekunder Kesehatan dan Teknik Advokasi”. Acara yang dipandu oleh Mashita Inayah, S.Gz selaku master of ceremony (MC) ini dimulai dengan pembukaan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., sebagai Ketua JKKI. Laksono membuka acara dengan menekankan pentingnya basis bukti atau evidence dan keterampilan advokasi untuk mendukung proses penyusunan kebijakan. Sesi pembukaan diakhiri dengan pertanyaan,”Apakah diperlukan pemisahan profesi/peran sebagai advokator kebijakan dan analis kebijakan?”
Sesi Pemaparan
Acara dilanjutkan dengan paparan dari tiga narasumber. Sesi ini dimoderasi oleh Shita Listyadewi, MM, MPA selaku Kepala Divisi Kesehatan Masyarakat PKMK. Narasumber pertama untuk sesi ini adalah Dr. dra. Dumilah Ayuningtyas, MARS, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Dumilah membawakan materi yang bertajuk “Interpretasi Data Kualitatif dan Kuantitatif untuk Analis Kebijakan”. Dumilah berargumen sebuah kebijakan membutuhkan basis bukti berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Lebih jauh lagi, evidence-based policy membutuhkan kompetensi teknis untuk mengintegrasikan pengalaman, pertimbangan, dan ekspertis dengan data yang tersedia untuk memastikan penyusunan kebijakan dilakukan secara objektif dan bukan sekadar berbasis opini.
Mengambil contoh kejadian di Stadion Kanjuruhan, Dumilah menunjukkan bahwa evidence diperlukan secara cepat dari berbagai sumber untuk memungkinkan respon kebijakan yang lebih cepat. Dumilah juga menggunakan contoh dinamika data vaksinasi, mobilitas, dan pertambahan jumlah kasus yang mempengaruhi rekomendasi-rekomendasi terkait kebijakan pencegahan dan respon COVID-19, seperti screening, testing, dan pembatasan perjalanan. Menutup pemaparannya, Dumilah menekankan bahwa profesi advokator sebaiknya tidak dipisahkan dari profesi analis kebijakan. Analisis menghasilkan luaran berupa rekomendasi. Supaya rekomendasi dapat termanfaatkan, diperlukan upaya persuasi atau dorongan atas perubahan. Oleh karena itu, seorang analis kebijakan memerlukan keterampilan untuk juga menjadi advokator kebijakan.
Narasumber kedua adalah dr. Likke Prawidya Putri, MPH, Ph.D (cand), Dosen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK), Universitas Gadjah Mada (UGM). Likke memberikan pemaparan yang berjudul “Metode Realist Evaluation untuk Analis Kebijakan”. Likke menyampaikan bahwa realist evaluation (RE) merupakan pendekatan yang berbasis pada realisme, yakni penerimaan akan kenyataan yang terjadi di lapangan sebagaimana adanya dan merespon temuan-temuan tersebut.
RE memperhatikan aspek-aspek sosial yang berinteraksi dengan program atau kebijakan. Likke menutup paparannya dengan menekankan bahwa RE tidak berhenti pada kesimpulan “Ya” atau “Tidak”, melainkan juga menjelaskan konteks-konteks pada mana program atau kebijakan dianggap efektif atau tidak efektif.
Narasumber ketiga yaitu Gabriel Lele, M.Si, Dr.Phil, Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), UGM. Gabriel memberikan pemaparan “Teknik Advokasi Kebijakan untuk Analis Kebijakan”. Senada dengan paparan Dumilah, Gabriel menyampaikan bahwa peran advokator kebijakan tidak bisa dipisahkan dengan peran analis kebijakan. Gabriel mengatakan bahwa analis kebijakan perlu memposisikan dirinya sebagai “policy entrepreneur” supaya hasil-hasil kajian dapat ditindaklanjuti oleh pembuat kebijakan. Titik-titik advokasi dapat bervariasi, misalnya di fase agenda-setting, formulasi alternatif solusi, implementasi, dan evaluasi.
Gabriel menutup paparannya dengan menjelaskan langkah-langkah kunci advokasi yang terdiri atas penentuan masalah kebijakan, memahami lingkungan kebijakan, menentukan target audiens, menentukan target substantif, dan memilih strategi untuk mengatasi masalah. Selain itu, Gabriel juga menekankan bahwa strategi advokasi perlu mempertimbangkan pendekatan akademik-saintifik dan sosial-politik.
Setelah pemaparan dari ketiga narasumber, acara dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab. Sesi ini memunculkan wacana-wacana tentang pentingnya keberpihakan pada publik dalam penyusunan dan analisis kebijakan publik, sensitifitas atas ekologi kebijakan dalam pelaksanaan advokasi atau translasi hasil penelitian untuk penyusunan kebijakan, objektivitas dan independensi analis kebijakan, menginterpretasi hasil secara berimbang, serta penggunaan data yang akurat dan reliabel supaya rekomendasi dapat termanfaatkan, alih-alih terjadi garbage-in-garbage-out.
Presentasi Policy Brief
Setelah sesi pemaparan dan diskusi, acara dilanjutkan dengan presentasi policy brief yang dipandu oleh Tri Muhartini, MPA. Presentasi pertama dibawakan oleh Mandira Ajeng Rachmayanthy dengan topik “Integrasi Pelayanan Kesehatan Mental Berbasis Telehealth”. Penggunaan fasilitas Telehealth diharapkan dapat menjembatani masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan mental. Telehealth yang berkembang pesat dapat menjangkau wilayah secara luas sehingga menjadi rekomendasi layanan kesehatan dengan mempertimbangkan aspek tata kelola, keuangan, pelayanan dan potensi bahayanya. Oleh karena itu diperlukan regulasi terkait sistem pelayanan kesehatan mental melalui Telehealth yang terintegrasi dengan sistem pemerintah pusat.
Presentasi kedua berjudul “Data Pelaporan dan Data Survei: Perlukah Dipertentangkan?”. Presentasi ini dibawakan oleh Luna Amalia, Meilinda, Melyana Lumbantoruan, Nirmala A. Ma’ruf, Novi Budianti, Nurul Puspasari, dan Syachroni. Data berperan penting sebagai penyusun informasi, baik di skala mikro hingga makro seperti dokumen evaluasi capaian pembangunan kesehatan. Data dari berbagai sumber seringkali dipertentangkan sebagai dualisme data dan informasi seperti pada data rutin dan data survei. Pada dasarnya, data pelaporan rutin dan data survei memiliki karakteristik yang berbeda dan memang tidak untuk dipertentangkan. Oleh karena itu, data pelaporan rutin sebaiknya dipergunakan sebagai bahan perencanaan dan penentuan prioritas program intervensi kesehatan. Sedangkan data survei sebagai bahan evaluasi dampak kinerja pembangunan kesehatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari persepsi adanya dualisme data.
Setelah pemaparan policy brief, acara selanjutnya adalah pembahasan oleh Farida Sibuea, SKM, M.Sc.PH. selaku Ketua Tim Kerja Analisis Data, Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan dan dr. Monika Saraswati Sitepu, M.Sc selaku Ketua Tim Kerja Integrasi Pelayanan Primer Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan. Farida menyatakan bahwa ada hal penting dalam Telehealth yaitu perlindungan data. Data kesehatan harus disimpan di dalam negeri dan bukan luar negeri karena hal ini telah diatur dalam undang-undang PP Nomor 71 Tahun 2019. Sedangkan terkait pelaporan data rutin, diperlukan penguatan data rutin karena akan mewakili apa yang ada di lapangan sehingga data rutin dapat mewakili data survei. Namun, beberapa indikator kesehatan tetap perlu dilakukan survei sebagai kontrol. Monika menambahkan bahwa layanan kesehatan mental masuk ke dalam pelayanan kesehatan minimal. Namun, dalam policy brief tersebut perlu ditambahkan pendeteksian masalah jiwa di layanan primer dan untuk mengoptimalkan Telehealth perlu didukung infrastruktur yang memadai. Sementara itu, untuk meningkatkan kualitas data rutin perlu dukungan pemerintah daerah yang dapat mendorong pemanfaatan data rutin dengan lebih baik.
Selanjutnya, Tri Muhartini, MPA menyimpulkan hasil diskusi pada kegiatan ini bahwa data rutin yang selalu diperbaharui dan data survei yang tersedia akan mendukung transformasi sistem kesehatan dan membantu dalam penyusunan analisis kebijakan. Materi dan detail kegiatan Fornas XII dapat diakses di https://fornas.kebijakankesehatanindonesia.net. Salam Sehat!
Reporter:
Monita Destiwi, MPA dan Mentari Widiastuti, MPH (Divisi Public Health, PKMK)
REPORTASE
Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo menjelaskan universitas berperan mendorong berbagai rekomendasi berbasis data sekunder di level nasional dan provinsi. Hal ini berpotensi digunakan universitas lain sehingga utilitasnya dapat digunakan secara luas. Untuk kebijakan nasional dan daerah sehingga dapat melakukan monitoring aktif di daerah yang dilakukan pihak akademisi,peneliti dan student. Dalam melakukan monitoring aktif, dan di daerah yang dilakukan pihak akademik, peneliti, dan student. Utilisasinya masih belum maksimal pada data di Kemenkes dan BPJS Kesehatan. Oleh karena itu munculnya dashboard DaSK.
Sensa Gudya Sauma Syahra menjelaskan Digital Data Corner (DDC) dilatarbelakangi biological/ medical information menjadi big data terbesar, sumber data penelitian dan data sekunder semakin banyak di lingkup penelitian kesehatan serta perlu pengelolaan yang optimal untuk big data kesehatan. Produk dari DDC adalah website DaSK. DDC ini memiliki layanan data warehouse, pelatihan dan tutorial, serta konsultasi dan pendampingan. Data Visualization ini https://dashboard.digitaldatacorner.net/
dr. Lutfan Lazuardi, PhD menjelaskan banyak data kesehatan tersedia dan salah satu strateginya visualisasinya. Mengembangkan visualisasi dengan dashboard untuk memudahkan pemangku kebijakan dan peneliti untuk memvisualisasikan datanya. DaSK tersedia banyak data dan berkontribusi mendapatkan informasi dari universitas. Kita dapat berkolaborasi meningkatkan cakupan dan mutu bagi universitas. DaSK dimanfaatkan oleh peneliti, students dan akademisi.
Tri Murhatini, MPA menjelaskan analisis kebijakan provinsi diharapkan berkolaborasi di universitas masing-masing provinsi sehingga dapat mengelola dashboard provinsi masing-masing. Tujuan mitra DaSK yaitu menyediakan data sistem kesehatan provinsi yang terintegrasi dan terbaru, meningkatkan kemampuan akademisi untuk melakukan riset kebijakan dalam konteks kebijakan kesehatan nasional dan daerah, serta meningkatkan kemampuan akademisi dalam menulis artikel.
Reporter:
Ardhina Nugrahaeni, MPH (Divisi Public Health, PKMK UGM)
REPORTASE
Topik 2 pada forum nasional JKKI kali ini mengangkat tema bukti baru dari data sampel BPJS Kesehatan, khususnya pada pelayanan penyakit katastropik dan transformasi kesehatan. Diharapkan dengan memanfaatkan data sampel BPJS Kesehatan dapat menganalisis kondisi beban dalam pelayanan kesehatan, salah satunya menunjang dalam enam transformasi kesehatan yakni pembiayaan kesehatan dalam JKN. Forum Nasional JKKI hari Kedua dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro selaku Ketua Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang menyampaikan seluruh lapisan masyarakat sudah dijamin kesehatannya oleh negara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, namun masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan keadilan dari pelayanan katastropik.
Bila melihat data sampel tahun 2015 – 2019 mengalami kenaikan besaran klaim, namun pada 2020 biaya klaim mengalami penurunan akibat terdapat pandemi COVID-19. Jika melihat lebih jauh, kenaikan klaim ini banyak terjadi di regional 1 bahkan meningkat tajam besaran klaimnya hingga 2019, dan berbanding terbalik di regional 4 dan 5 cenderung klaim paling rendah bahkan terlihat stagnan. Pada 2020, di seluruh regional biaya klaim menurun karena dampak pandemi COVID-19. Hal ini akan berdampak pada kebijakan untuk equity di daerah dimana salah satu faktor yang mempengaruhi yakni akses layanan. Akses layanan di Jawa dan luar Jawa sudah terlihat perbedaan demografinya. Untuk mengatasi kesenjangan ini, diperlukan peninjauan kembali kebijakan kesehatan yang berlaku saat ini (transformasi kesehatan, khususnya pilar rujukan dan pembiayaan) termasuk meninjau akar penyebab variasi beban penyakit antar provinsi serta memperkuat program dan kebijakan yang bertujuan mengurangi kesenjangan di seluruh Indonesia.
Keynote Speech
Pada sesi ini menghadirkan Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., PhD, AAK selaku Direktur Utama BPJS Kesehatan menyampaikan banyak tantangan dari keadilan, ketersediaan, aksesibilitas, demikian juga mutu proteksi penyakit katastropik sehingga BPJS Kesehatan berfokus dalam preventif-promotif, termasuk screening karena hampir seluruh penyakit katastropik mengalami tren rebound kecuali gagal ginjal.
Hal ini juga ditambah dari perubahan pandemi ke endemi, BPJS Kesehatan ikut terlibat dalam upaya mengendalikan fenomena “rebound” berupa kolaborasi dengan pemangku kepentingan dengan collaborative research, join innovation, publication, policy formulation, dan capacity building termasuk BPJS Kesehatan memiliki program goes to campus, bukan hanya kampus dalam negeri melainkan kampus luar negeri. BPJS Kesehatan berharap melalui upaya ini dapat meningkatkan efektivitas penyusunan dan rekomendasi kebijakan JKN, mendukung perbaikan program JKN (Evidence-Based Policymaking) melalui inovasi berkelanjutan, serta BPJS Kesehatan terbuka melakukan kerja sama dan berkolaborasi dalam pengembangan dan pengolahan analisis data untuk menunjang program JKN.
Sesi Pemaparan
Narasumber pertama, M. Faozi Kurniawan, MPH selaku peneliti PKMK FK-KMK UGM menyatakan bahwa pada 2019-2021 berdasarkan data sampel BPJS Kesehatan mengalami peningkatan peserta, khususnya pada regional 1 yang lebih tinggi dan peningkatan ini juga sejalan dengan memadainya fasilitas dan SDM Kesehatan (dokter speasialis) yang cukup sehingga mempengaruhi penyerapan klaim. Bila melihat kondisi klaim FKL seluruh penyakit tahun 2015-2020 terjadi peningkatan kecuali 2020 karena mengalami penurunan klaim akibat pandemi COVID-19 dan turunnya kunjungan ke RS. Provinsi dengan besaran klaim tertinggi tahun 2015-2020 yaitu provinsi Jawa Barat dan paling sedikit adalah Papua Barat. Sedangkan segmen peserta PBPU dan PPU mendominasi pemanfaatan BPJS selama 6 tahun di Jawa Barat.
Bila melihat rata-rata biaya klaim per segmen peserta per jumlah peserta per tahun dan jumlah peserta yang mengakses fasilitas kesehatan didominasi oleh segmen PBPU dan PPU. Berdasarkan data sampel BPJS Kesehatan 2015-2020, besaran klaim untuk penyakit jantung, kanker dan stroke masih didominasi oleh Regional 1 dibanding Regional 4 dan 5 sehingga belum ada pemerataan pelayanan kesehatan yang dipengaruhi oleh kesenjangan kunjungan rujukan antar segmen dan masih didominasi oleh PPU dan PBPU. Selain itu, provinsi yang menerima rujukan pasien dari berbagai provinsi terbanyak yakni DKI Jakarta dan Sumatera Utara. Maka diperlukan penguatan pilar pembiayaan pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan kebijakan kompensasi untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah di bidang kesehatan, khususnya dana promotif-preventif, fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan.
Narasumber kedua, dr. Yasjudan Rastrama Putra, SpPD selaku Staf Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-KMK UGM mengungkapkan bahwa penyakit kanker terbesar kedua dalam klaim BPJS, dimana jumlah kunjungan juga terbilang tinggi meski terjadi penurunan di 2020 akibat pandemi COVID-19 dan segmen PBPU/mandiri menjadi urutan pertama besar klaim untuk pelayanan kanker. Bila melihat tren segmen tahun 2015-2020 per provinsi, Pulau Jawa dan provinsi Sumatera Utara paling banyak mengajukan klaim kanker dengan dominasi segmen yakni PBPU dan PPU. Selain itu, kenaikan besaeran klaim kanker per regional tahun 2015-2019 masih didominasi regional 1 dengan biaya klaim tertinggi, namun pada 2020, regional 1 dan 4 mengalami kenaikan tahun 2020 sedangkan paling sedikit adalah regional 5 di sepanjang tahun 2015-2020.
Sehingga dapat disimpulkan penggunaan layanan kanker belum merata dan hal ini dipengaruhi oleh keterbatasan dan kurang meratanya SDM layanan kanker dalam penggunaan layanan, maka diperlukan usaha berkelanjutan untuk pemerataan penggunaan layanan kanker berupa pengampuan dan bantuan biaya studi untuksebaran ahli kanker agar sebanding dengan pemanfaatan utilisasi.
Narasumber ketiga, dr. Real Kusumanjaya Marsam, M.Kes, SpJP(K) selaku Dokter Spesialis Penyakit Jantung RSUP Dr Sardjito, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK-KMK UGM menyatakan bahwa hasil Riskedas 2018 beberapa provinsi lebih tinggi dari angka nasional (setidaknya 15 dari 1.000 orang atau sekitar 2.784.064 individu di Indonesia menderita penyakit jantung).
Bila melihat RS rujukan layanan jantung, bnayak tersebar di sebagian Pulau Sumatera, Jawa dan Bali. Ketersediaan ini belum banyak, namun diharapkan 24 provinsi di 34 provinsi mampu melakukan layanan jantung secara mandiri. Selain itu, lebih 1.500 dokter di 13 institusi pendidikan di 3 tempat tadi dan masih banyak menumpuk di regional 1. Masalah utama dalam pelayanan jantung di Indonesia adalah masih tingginya biaya pelayanan jantung, sebaran dokter spesialis jantung yang belum memadai dan pemerataan layanan yang masih menumpuk di regional 1. Sehingga upaya yang dapat dilakukan dengan optimalisasi jeajring RS, memudahkan regulasi diaspora kesehatan bagi WNI lulusan luar negeri, menambah jumlah program studi dan beasiswa, serta meningkatkan kemampuan dokter jantung yang sudah ada.
Narasumber keempat, Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt. M.Kes selaku Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KP-MAK) FK-KMK UGM menyatakan bahwa adanya transformasi kesehatan diharapkan kesehatan bisa menyesuaikan dengan dinamika-dinamika yang ada saat ini, sehingga kualitas layanan kesehatan menjadi lebih baik. Selain itu, inovatif funding perlu dibangun namun tidak dapat berjalan sendiri karena perlu keterlibatan stakeholder dari hulu hingga hilir sehingga tidak ada lagi kegiatan yang tidak ada sumber pendanaannya.
Sesi Pembahasan
Terdapat pembahas yang telah hadir pada forum nasional JKKI kali ini yakni pembahas pertama, dr. Yuli Farianti, M.Epid selaku Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan (Pusjak PDK), Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan akan melakukan pengampuan kepada RS di daerah sehingga kualitas layanan bisa tersedia, menghindari angka kematian dan keselamatan pasien mutunya terjaga. Selain itu, data BPJS Kesehatan bisa diakses oleh seluruh daerah, misal kisaran buyer dan penyakit terbanyak sehingga sesi hulu bisa memperkuat promorif-preventif. Untuk mengetahui ekuitas yang belum tersedia di layanan faskes diakibatkan oleh pemertaan faskes dan pemerataan dokter spealias di daerah serta besaran tarif layanan yang kurang, sehingga perlu dilihat lagi oleh BPJS Kesehatan dan tidak ada pasien dirujuk karena tarif layanan yang rendah.
Pembahas kedua, dr. Lily Kresnowati, M.Kes selaku Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan, BPJS Kesehatan menyampaikan bahwa kesenjangan dari sisi pembiayaan, pemanfataan layanan, dan pertumbuhan klaim masih terjadi dikarenakan isu terbesarnya yakni layanan JKN pada aspek ekuiti sehingga engagement bersama stakeholder lain (Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah perlu ditingkatkan). Hal ini bisa terlihat masih ada daerah sudah mencapai UHC namun layanan dan faskesnya belum tersedia atau sebaliknya. Selain itu, perluasan akses layanan ini juga dapat memperluas akses BPJS Kesehatan terutama pada layanan jantung yang menjadi prioritas sehingga kita semua perlu mengawal JKN agar ketersediaan akses dari peserta JKN dapat terlayani.
Diakhir sesi, terdapat pertanyaan dari peserta, “Apakah ada arah kebijakan mengenai rujukan di “provinsi kepulauan” mengingat besaran klaim dari Indonesia bagian timur lebih kecil yang kemungkinan disebabkan akses yang sulit antar pulau?”. Lily menjawab, “Natuna dan Morotai bisa menjadi contoh penggunaan ambulans laut sebagai angkutan lokal dan peraturan daerahnya juga untuk ambulans ini. Ambulans laut ini digunakan untuk akses antar kepulauan”. Selain itu, M. Faozi Kurniawan, MPH selaku Peneliti PKMK FK-KMK UGM juga menambahkan, “Kebijakan kompensasi bisa menjadi solusi untuk RS pengampuan yang kesulitan dana. Kebijakan kompensasi bisa menjadi mengatasi equity karena peserta akan dirujuk ke beberapa daerah dan ketika pasien dirujuk, pengantar juga ikut sehingga pendanaan ini perlu diperhatikan. Kebijakan kompensasi bisa menjembatani wilayah kepulauan dan kesenjangan itu sambil menunggu dokter spesialis di provinsi lebih banyak termasuk peralatan”.
Reporter:
Agus Salim, MPH (Divisi Public Health, PKMK UGM)