Artikel ini terkait pilar 5 SDGs: Kesetaraan gender dan pilar 10 SDGs: Berkurangnya Kesenjangan.
PKMK-Yogya. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) bekerja sama dengan INKLUSI menyelenggarakan Diseminasi Hybrid yang bertajuk “Analisis Imlementasi Pelayanan Kesehatan untuk Penyandang Disabilitas (Fisik dan Sensorik) dalam Mencapai Universal Health Coverage (UHC)” pada Rabu (30/10/2024). Kegiatan penelitian ini didukung oleh Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia melalui progam INKLUSI Kemitraan Autralia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif.
Acara dibuka dengan sambutan yang disampaikan oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, MAS selaku Ketua PKMK mengenai tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas agar dapat menerima pelayanan kesehatan, baik di layanan kesehatan primer maupun rujukan. Melalui UHC, diharapkan tidak ada perbedaan dalam mengakses layanan kesehatan termasuk untuk para penyandang disabilitas. Selain itu, pelayanan kesehatan harus inklusif dan tidak membedakan seperti slogan “No one left behind”.
Sambutan kedua disampaikan oleh Irene Widjaya selaku Head of Partnership and Policy INKLUSI. Irene menyampaikan pentingnya program ini agar dapat meningkatkan kualitas hidup kawan-kawan penyandang disabilitas. Riset ini diharapkan dapat memberikan informasi berbasis data kepada pemangku kepentingan terkait implementasi layanan kesehatan penyandang disabilitas.
Dr. Dra. Retna Siwi Padmawari, M.A selaku Ketua Tim Penelitian memaparkan bahwa penelitan telah dilakukan sejak bulan 2023 hingga September 2024 di Yogyakarta, Bali, dan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Penelitian ini telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan khusunya mitra INKLUSI yaitu SIGAB dan YAKKUM, pemerintah pusat meliputi Kementerian Kesehatan, BAPPENAS, Kemenko PMK, Kementrian Sosial dan Komisi Nasional Disabilitas. Selain itu, penelitian ini juga melibatkan pemerintah daerah setempat seperti Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan BAPPEDA. Penelitian ini merupakan Langkah awal untuk menganalisis tantangan pelayanan Kesehatan yang dihadapi penyandang disabilitas. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu proses advokasi kebijakan serta dapat menjadi data/evidence untuk menyusun kebijakan.
Kegiatan pemaparan hasil penelitian dimoderatori oleh Shita Listya Dewi, MM., MPP., selaku peneliti PKMK FK-KMK UGM dan wakil direktur PKMK FK-KMK UGM. Terdapat 4 peneliti yang memaparkan hasil penelitian.
Tri Muhartini, MPA memaparkan hasil penelitian yang menemukan bahwa kebijakan kesehatan untuk penyandang disabilitas di level telah tersedia. Namun, masih belum dapat diimplementasikan secara optimal karena terbatasnya kebijakan operasional. Sementara itu, di level daerah, kebijakan kesehatan untuk penyandang disabilitas masih berpusat pada Peraturan Daerah tentang penyandang disabilitas yang hanya mengatur hak-hak kesehatan secara prinsip. Kondisi ini dapat terjadi karena terbatasnya data untuk merumuskan kebijakan, keterbatasan pemahaman tentang disabilitas, dan urusan disabilitas masih terpusat di Dinas Sosial (untuk level daerah). Kondisi ini membuat penyandang disabilitas mengalami keterbatasan akses ke fasilitas pelayanan kesehatan. Di sisi lain, fasilitas pelayanan kesehatan yang telah diakses belum memiliki sarana prasarana inklusif untuk penyandang disabilitas. Kondisi ini semakin diperburuk dengan SDM (sumber daya manusia) kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan yang belum dapat berkomunikasi sensitif dengan disabilitas.
Relmbus Fanda, MPH menyampaikan jika sebagian besar responden disabilitas fisik dan sensorik dari penelitian yakni 89% telah memiliki JKN, sedangkan yang belum memiliki JKN sebanyak 11,25% (300 disabilitas). Alasan belum memiliki JKN salah satunyakarena sistem pendaftaran belum dimengerti dan tidak mampu membayar premi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah berupaya untuk memastikan penyandang disabilitas tercakup dalam JKN. Namun, penyanadang disabilitas yang memiliki JKN, hanya 25% memanfaatkannya. Terbatasnya pemanfaatan itu karena layanan JKN belum mencakup kebutuhan, tidak jelasnya layanan dan kepastian keaktifan peserta. Dari hasil analisis regresi, ditemukan salah satu faktor yang mempengaruhi penyandang disabilitas memanfaatkan JKN.
Ardina Nugrahaeni, MPH memaparkan hasil survei terkait kepemilikan alat bantu kesehatan, menunjukkan bahwa 66,35% penyandang disabilitas tidak memiliki alat bantu. Alasan utama meliputi tidak merasa membutuhkan, keterbatasan biaya, dan kurangnya informasi. Tantangan dalam penyediaan alat bantu melibatkan keterbatasan produksi dalam negeri, anggaran daerah, serta keterbatasan cakupan jenis dan tarif alat bantu di BPJS Kesehatan.
Muhamad Faozi Kurniawan, SE, MPH menyampaikan akses terhadap layanan terapi, seperti terapi fisik, wicara, dan okupasi, untuk penyandang disabilitas. Hasil menunjukkan bahwa 75% responden tidak mengakses layanan terapi, dengan alasan terbesar adalah tidak membutuhkan. Tantangan yang dihadapi termasuk kurangnya layanan terapi di Puskesmas dan keterbatasan durasi terapi yang didanai JKN.
Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan kesehatan yang mengatur kebutuhan layanan kesehatan disabilitas saat ini sudah tersedia namun dalam pelaksanaan masih belum optimal. Selain itu, diperlukan pedoman untuk fasilitas pelayanan kesehatan inklusif, menyediakan pelayanan khusus seperti deteksi dini risiko disabilitas, informasi dan akses alat bantu kesehatan, materi dan metode komunikasi. Dari sisi pembiayaan kesehatan untuk penyandang disabilitas perlu adanya penguatan JKN dengan skema khusus untuk penyandang disabilitas.
Terdapat 5 pembahas yang memberikan komentar terhadap hasil penelitian yaitu:
drg. Vensya Sitohang, M.Epid., PhD selaku Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lansia, Ditjem Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa Kementerian Kesehatan sedang menyusun Peraturan Menteri yang merupakan turunan dari UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, yang mencakup substansi tentang kesehatan penyandang disabilitas. Rancangan ini mengedepankan kebutuhan SDM di Puskesmas, termasuk psikolog klinis dan fisioterapis sebagai tenaga prioritas. Tantangan terbesar dalam penyusunan kebijakan ini adalah kurangnya data tentang jumlah, jenis disabilitas, dan kebutuhan terapi spesifik. Kemenkes juga sedang mengembangkan kurikulum layanan kesehatan inklusif, dengan dua rancangan peraturan yang mengakomodasi penyandang disabilitas.
Sedy Fajar Muhamad selaku Analis Kebijakan Penjaminan Manfaat Rujukan BPJS Kesehatan menyebut bahwa tantangan utama dalam layanan untuk penyandang disabilitas meliputi akses, sarana prasarana, dan SDM, khususnya terkait jarak geografis dan transportasi. Saat ini, BPJS belum mencakup biaya transportasi, sehingga skema JKN belum mampu memenuhi kebutuhan perjalanan ke fasilitas kesehatan.
drg. Lien Andriany, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan NTT menyampaikan bahwa di NTT, masalah akses, sarana, dan SDM masih menjadi kendala dalam layanan disabilitas. NTT sedang mengembangkan layanan telemedicine dan telekonsultasi untuk meningkatkan akses di daerah terpencil dan mendorong integrasi layanan primer yang lebih inklusif.
Iftita Rakhma Ikrima, MTPn selaku Perencana Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan BAPPENAS menyoroti pentingnya penguatan sistem dan integrasi regulasi untuk memastikan layanan kesehatan inklusif bagi penyandang disabilitas. Selain akses, kualitas layanan juga harus setara dan ramah bagi mereka. Partisipasi masyarakat juga penting untuk mendukung layanan kesehatan yang inklusif.
Muh Syamsudin, S.E. selaku Wakil Direktur SIGAB menekankan pentingnya pendampingan bagi penyandang disabilitas dalam mengakses layanan kesehatan. Banyak penyandang disabilitas yang menahan sakit karena kurangnya rasa percaya diri atau takut ditolak. Pendampingan tidak hanya bersifat psikologis tetapi juga terkait dengan akses layanan kesehatan yang setara.
Sigit Triyono, A.Md. Kep selaku Kasi Tim Medis Pusat Rehabilitasi YAKKUM menjelaskan bahwa rehabilitasi bagi penyandang disabilitas bertujuan memenuhi hak kesehatan mereka, dengan kolaborasi dari pemerintah daerah, seperti Dinkes dan Dinas Sosial. Hambatan utama dalam rehabilitasi adalah stigma masyarakat yang masih tinggi.
Acara ini ditutup oleh Dr. Dra. Retna Siwi padmawati, M.A yang menyampaikan harapan dari diseminasi ini agar dapat dikembangkan sebagai kebijakan bagi penyandang disabilitas.
Reporter:
Irma Noor Budianti (Divisi Public Health, PKMK FK-KMK UGM)