Senin, 2 September 2024
PKMK-Yogyakarta. Pasca berlakunya UU Kesehatan Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024, seorang pemimpin harus mampu memahami, menafsirkan dan menerjemahkan situasi ke dalam sebuah tindakan sebagai respons, dimana tindakan tersebut memerlukan koordinasi dan kolaborasi lintas sektor. Koordinasi dan kolaborasi tersebut merupakan sebuah kemampuan yang penting untuk dimiliki pemimpin dalam memimpin sebuah organisasi. Konsep meta leadership merupakan sebuah konsep dimana seorang memimpin dengan melintasi batas-batas tradisional organisasi, sektor dan ketugasan yang memiliki 3 dimensi utama, meliputi person leader (pribadi pemimpin), situation (situasi), dan connectivity (konektivitas).
Pengantar disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD terkait dengan tujuan pelatihan kepemimpinan yang merupakan sebuah program pengembangan individual yang nantinya bermanfaat untuk pengembangan organisasi dalam pengelolaan system kesehatan nasional pasca berlakunya UU Kesehatan dan PP Nomor 28 Tahun 2024. Untuk meningkatkan kemampuan leadership daerah dalam menangani berbagai isu kesehatan dan situasi sistem kesehatan yang kompleks, digunakan metode sense making serta didukung dengan tools berupa meta leadership, dimana meta leadership tersebut berfungsi untuk mengenali kekuatan yang dimiliki internal organisasi dan mendapatkan dukungan dari pihak eksternal organisasi.
Selanjutnya, Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS menyampaikan paparan tentang dimensi meta leadership yaitu person leader. Konsep meta leadership mempunyai 3 dimensi, yaitu person leader, situasi dan konektivitas. Person leader merupakan pemahaman terkait siapa pemimpin sebuah organisasi, situasi meliputi analisis lingkungan yang dihadapi organisasi dan perubahan lingkungan yang ingin dicapai, dan konektivitas berarti seorang pemimpin harus dapat memimpin agensi diluar tata birokrasi serta bawahan. Seorang meta leader sebagai center sebuah organisasi harus bisa menangani masalah kesehatan menggunakan tools kebijakan yang telah diterapkan dengan menjalankan fungsi kolaborasi dan koordinasi. Transformasi layanan primer merupakan sebuah contoh fungsi kolaborasi dan koordinasi yang harus dijalankan, misalnya kolaborasi untuk pemberdayaan masyarakat dan koordinasi dalam melaksanakan kebijakan aksi lintas sektor.
Adapun aspek yang harus diperhatikan seorang meta leader meliputi self awareness dimana seorang leader harus mampu mendefinisikan realita dan mengetahui implikasi, emotional intelligence meliputi pengendalian diri sendiri, dan resilience yaitu ketahanan mental dan emosi. Selain itu, seorang meta leader mempunyai dua tugas yang harus dilaksanakan secara berkesinambungan, yaitu managing dan leading, agar hasil yang didapatkan optimal dan bersifat jangka panjang. Dalam penyelenggaraan kepemimpinan, terdapat dua perspektif dalam mempengaruhi orang lain di dalam dan diluar organisasi, yaitu mempengaruhi tanpa power, yang bermanfaat dalam koordinasi lintas sektor, serta mempengaruhi menggunakan otoritas yang dimiliki, yang bermanfaat untuk memimpin bawahan dalam organisasi. Dengan menggunakan konsep meta leadership tersebut, harapannya seorang pemimpin akan mampu berpikir kreatif untuk membuat sebuah inovasi baru serta berani untuk mengambil risiko dengan memperhatikan regulasi yang diterapkan.
Terkait konsep person leader, Riati Anggriani selaku Analis Kebijakan Ahli Utama BKPK Kemenkes menjelaskan bahwa seorang pemimpin kesehatan mempunyai standar kompetensi pimpinan, yang meliputi managerial, sosio-kultural, serta teknis. Seorang pejabat pimpinan tinggi harus mampu berpikir kritis dan strategis, serta memiliki motivasi dan komitmen. Selain itu, seorang pemimpin kesehatan memiliki tanggung jawab dalam penetapan standar pelayanan meliputi penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebagai pelayanan dasar. SPM tersebut disusun berdasarkan tren penyakit Kabupaten/Kota serta tren penyakit di provinsi. Data yang sudah ada menunjukkan bahwa capaian yang didapatkan belum 100%, dengan hasil tren penyakit pada kabupaten/ kota mengalami kenaikan, sedangkan tren pada provinsi cenderung naik turun, dengan kasus terbanyak yaitu kasus kesehatan bayi baru lahir.
Dimensi meta leadership selanjutnya dipaparkan oleh Laksono terkait analisis situasi. Analisis situasi dalam konsep meta leadership menggunakan mobius loop meliputi dua tahap yaitu tahap diagnosis dan tahap aksi. Tahap diagnosiss meliputi analisis situasi, misalnya SWOT, dengan 3 variabel yaitu perceive yang berarti memahami, orientasi yang berarti mendefinisikan makna, serta predict yang berarti perkiraan. Setelah tahap diagnosis, maka akan berlanjut ke tahap aksi, dimana seorang leader harus mampu memutuskan apa yang seharusnya dilakukan, meliputi pembuatan program baru dan mengubah kebijakan yang lama. Contoh kasus dalam analisis situasi ini adalah kasus Diabetes Mellitus (DM). Analisis situasi terhadap kasus DM bertujuan untuk pengendalian kasus DM dan menurunkan beban penyakit. Sehingga untuk menangani kasus tersebut harus didukung dengan kebijakan terkait DM yang logis, menggunakan evidence based policy sebagai aksi dan melakukan perencanaan kegiatan. Salah satu implementasi evidence based policy yang sudah dilaksanakan yaitu berupa platform digital (website) untuk kasus DM di Provinsi Kalimantan Timur. Harapannya, platform digital tersebut dapat dimanfaatkan untuk pencarian strategi dan kebijakan yang nantinya dapat diterapkan untuk menangani kasus DM.
Menanggapi paparan dari Laksono terkait analisis situasi, Mispoyo, S.Pd., M.Pd menyampaikan implementasi analisis situasi pada Badan Pembangunan Daerah Provinsi Kalimantan Timur, dimana kualitas hidup masyarakat merupakan perhatian utama yang harus didukung dengan peningkatan anggaran kesehatan. Dalam mewujudkan kemudahan akses kesehatan masyarakat, maka harus dilakukan percepatan Pembangunan SDM kesehatan dengan berlakunya UU Kesehatan 2023 yang meliputi perluasan upaya promotive – preventif kesehatan, serta pengembangan layanan kesehatan. Untuk mewujudkan Indonesia Unggul 2045 diterapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang diterjemahkan menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), dimana terdapat aspek kesehatan meliputi pola hidup sehat di dalamnya. Adapun arah pembangunan yang diharapkan meliputi usia harapan hidup yang saat ini sudah mencapai presentase 82,45%, penanganan Tuberkulosis (TB) dan screening dini kasus DM, cakupan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pengembangan RS bertaraf Internasional, serta meningkatkan kemudahan akses ke fasilitas kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan.
Dimensi meta leadership yang terakhir, yaitu Connectivity disampaikan oleh Andreasta dengan pemaparan beberapa isu sistem kesehatan di Indonesia meliputi stunting, integrasi layanan primer (ILP), serta climate change yang melibatkan koordinasi lintas sektor. Sistem kesehatan yang meliputi sumber daya manusia, tata Kelola serta dukungan sistem teknologi membutuhkan seorang leader yang mampu memahami kekuatan dan kepentingan dari pihak yang terlibat. Konektivitas dalam memimpin mempunyai 4 arah, yaitu leading up, leading down, leading across, dan leading beyond. Leading up meliputi identifikasi suprasistem, dimana seorang leader memimpin tanpa upstaging (tanpa mengambil alih) dengan menitipkan kepentingan terkait isu kesehatan, misalnya kolaborasi dan koordinasi terhadap pemerintah pusat atau daerah yang lebih tinggi terkait dorongan perilaku masyarakat, dukungan regulasi, serta kegiatan pola hidup sehat. Leading across berarti seorang leader harus ikut memimpin sesama sektor agar pihak yang terlibat bisa membuat program untuk dukungan program organisasi kesehatannya. Leading beyond merupakan arah kepemimpinan lintas sektor, contohnya kolaborasi dan koordinasi dengan tokoh informal, organisasi profesi, serta LSM. Sedangkan leading down, merupakan sebuah arah kepemimpinan yang ditujukan untuk memimpin bawahan dalam organisasi. Selain arah kepemimpinan, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam menerapkan konektifitas, meliputi otoritas, sumber daya, jejaring untuk mitra, Key Performance Index (KPI), kredibilitas, serta chemistry.
Pembahasan terkait implementasi konektivitas disampaikan oleh Setyo Budi Basuki (Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur) dimana konektivitas dengan pemangku kepentingan bermanfaat dalam implementasi kebijakan. Contoh yang disampaikan yaitu konektivitas kesehatan provinsi yang meliputi koordinasi dengan instansi vertical (BPOM, RS Vertikal), Lembaga usaha, perangkat daerah, hingga organisasi masyarakat untuk penanggulangan penyakit. Selain itu, Dinas Kesehatan juga berperan untuk melakukan komunikasi ke bidang-bidang terkait seperti kesehatan masyarakat, bidang pencegahan dan pengendalian penyakit, bidang sumber daya kesehatan, dukungan OPD terkait SDM kesehatan, hingga bidang pelayanan kesehatan. Beliau juga menyampaikan salah satu contoh nyata penerapan konektivitas pada sistem kesehatan yaitu upaya percepatan vaksin yang memerlukan koordinasi lintas sektor saat pandemi COVID-19 berlangsung.
Reporter : Bestian Ovilia Andini
Artikel ini terkait pilar 4 SDGs yaitu Pendidikan Berkualitas.