Reportase The 19th Postgraduate Forum on Health System and Policy Plenary 2

Strengthening Community and Preventive Health Approaches

Sesi plenary 2 dimoderatori oleh dr. Likke Prawidya Putri, MPH., PhD dari Departemen Manajemen dan Kebijakan Kesehatan di Universitas Gadjah Mada.

Pembicara pertama adalah Dr. Maarten Kok yang membahas tentang “Can AI Help Us Decide? Are More Expensive Medicines Worth It”. Dalam presentasi ini, Dr Maarten menceritakan beberapa studinya di Indonesia. Salah satunya menjelaskan tentang sejarah dari pelaksanaan universal health coverage di Indonesia yang menghasilkan jaminan kesehatan nasional sebagai aset politik presiden. Kemudian, studi keduanya menunjukkan capaian dari UHC yang diharapkan untuk dapat memeratakan akses pelayanan kesehatan, khususnya obat. Namun, terdapat tantangan untuk memperluas pelayanan kesehatan yang berkualitas dan memastikan sistem yang terjangkau. Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa biaya dari obat tidak memiliki pengaruh terhadap kualitas dari pelayanan. Studi Dr Maarteen juga menunjukkan bahwa di Indonesia masih memberikan obat dengan harga yang murah khususnya di publik sektor tetapi memiliki kualitas bagus. Kemudian, keberadaan AI menurutnya dapat menghasilkan publikasi yang tidak relevan dengan tujuan penelitian. Dari 10 AI yang diinvestigasi menunjukkan pula bahwa terdapat banyak studi yang terlewatkan dalam proses tinjauan sistematik.

Dari seluruh studi yang dilakukan Dr Maarteen, dapat disimpulkan bahwa tujuan Indonesia melaksanakan UHC memiliki dampak pada penyediaan obat yang terjangkau dengan kualitas baik. Sementara itu, AI tidak bisa menjadi alat utama dalam melakukan penelitian.

Pembicara kedua adalah Prof. Quazi Monirul Islam  dari Prince of Songkla University, Former WHO Director yang membahas tentang “Challenges and Priorities of Public Health in 21st Century: Can we achieve SDGs?”. Prof Quazi menjelaskan bahwa terdapat beberapa aspek transisi yang mempengaruhi kesehatan masyarakat. Pertama perubahan epidemiologi, yang mempengaruhi penyakit menular dapat menjadi penyakit tidak menular. Sementara itu, penyakit tidak menular memiliki pengaruh besar terhadap kematian di dunia, mencapai 76%. Penanganan penyakit tidak menular sendiri berpengaruh besar dari tahapan preventif dengan perubahan gaya hidup dan pola konsumsi. Kesehatan masyarakat dipengaruhi pula oleh faktor demografi mengenai angka kematian dan harapan hidup. Faktor demografi memiliki pengaruh penting untuk memastikan seluruh generasi, khususnya yang masih muda dapat memiliki kualitas hidup yang baik pada masa lanjut usia. Di sisi lain, kesehatan masyarakat juga dipengaruhi oleh kondisi migrasi masyarakat dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Faktor ini dapat berisiko pada penyebaran penyakit menular. Prof Quazi juga menjelaskan terdapat perubahan iklim yang baru-baru ini mempengaruhi kesehatan masyarakat sehingga sistem kesehatan perlu memiliki strategi untuk mengurangi dampak negatif yang dua hasilkan.

Pembicara ketiga adalah Prof. Dr. Tuti Ningsih Mohd Dom mengenai Resilience in Health Systems: Why Sustainable Financing Must Include Dental Care. Prof Tuti menjelaskan 3.7 orang di dunia yang memiliki penyakit mulut yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Prof Dr Tuti menjelaskan permasalahan mulut ini memiliki risiko besar terhadap penyakit tidak menular dan penyakit menular. Sayangnya, risiko yang besar tersebut tidak membuat perawatan mulut menjadi bagian terpenting dalam kesehatan masyarakat ataupun sistem kesehatan. Perawatan mulut ataupun gigi masih dilihat sebagai kebutuhan kesehatan yang tidak mendesak dan membutuhkan biaya besar sehingga dapat mengakibatkan OOP. Dibutuhkan strategi kebijakan yang integrasi untuk mendorong perawatan gigi dapat diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat. WHO merekomendasikan empat aksi prioritas yang berkaitan dengan UHC dan dental care. Strategi ini perlu dilakukan karena pelayanan gigi juga memiliki pengaruh besar terhadap ketahanan dari sistem kesehatan.

Pembicara keempat adalah Prof. Tippawan Liabsuetrakul, MD, Phd  mengangkat topik “Communication Strategies and Community Engagement for Sustainable Healthcare”.  Prof. Tippawan menyampaikan pentingnya strategi komunikasi dan keterlibatan komunitas dalam layanan kesehatan yang berkelanjutan. Prof. Tippawan menekankan bahwa partisipasi aktif masyarakat lokal harus menjadi hal yang penting dalam setiap intervensi kesehatan, mengingat konteks sosial dan sumber daya lokal yang berbeda-beda. Komunitas tidak hanya dipahami sebagai entitas geografis, tetapi juga sebagai kelompok dengan kepentingan dan nilai bersama. Untuk itu, kerangka interactive Evidence to Decision (iEtD) dari WHO diperkenalkan sebagai alat bantu dalam merancang kebijakan yang mempertimbangkan bukti ilmiah, nilai-nilai masyarakat, keadilan, hingga sumber daya yang dibutuhkan. Prof. Tippawan juga memperkenalkan model Social Behaviour Change Communication (SBCC) yang mengacu pada kerangka Socio-Ecological ModelSocial Behaviour Change Communication (SBCC) merupakan pendekatan strategis yang digunakan untuk mendorong perubahan perilaku individu maupun sosial melalui pemahaman hubungan antara manusia dan lingkungannya. Melalui dua studi kasus yang dipresentasikan yaitu peningkatan cakupan vaksinasi di Bangladesh dan penguatan vaksin COVID-19 di wilayah perbatasan selatan Thailand terlihat bahwa kolaborasi antara akademisi, penyedia layanan kesehatan, dan masyarakat menjadi kunci dalam menyusun strategi yang tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga dapat diterima secara sosial. Materi ini memperkaya diskursus akademik terkait praktik komunikasi kesehatan yang berbasis bukti dan kontekstual, serta membuka peluang kolaborasi lintas negara dalam pengembangan intervensi yang adaptif terhadap kebutuhan komunitas lokal.

Pembicara terakhir adalah Assoc. Prof Dr Mohd Fairuz bin Ali dari Universiti Kebangsaan Malaysia yang membahas tentang “Universal Health Coverage (UHC) for the Aging Population: Optimising Preventive Care for Older Patients at Primary Care”. Prof. Dr. Mohd Fairuz bin Ali (Universiti Kebangsaan Malaysia) menggarisbawahi urgensi penguatan layanan kesehatan primer dalam menghadapi tantangan populasi lansia yang terus meningkat. Diperkirakan pada 2050, jumlah penduduk dunia berusia 65 tahun ke atas akan mencapai 1,6 miliar, dengan hampir 60% di antaranya berada di Asia. Kondisi ini menuntut transformasi sistem kesehatan, terutama di negara berpendapatan rendah dan menengah, untuk memastikan tercapainya cakupan kesehatan secara universal atau Universal Health Coverage (UHC) yang inklusif bagi kelompok lansia. Dr. Fairuz menekankan bahwa layanan primer merupakan fondasi UHC yang mencakup promosi kesehatan, deteksi dini, rehabilitasi, serta perawatan jangka panjang yang terintegrasi dan berpusat pada pasien. Ia memperkenalkan pendekatan Integrated Care for Older People (ICOPE) dari WHO yang menitikberatkan pada pemeliharaan kapasitas fungsional lansia melalui asesmen komprehensif, rencana perawatan individual, dan intervensi yang terkoordinasi. Tantangan besar seperti keterbatasan tenaga medis, kesenjangan pelatihan, dan fragmentasi layanan sosial-medis, memerlukan strategi bottom-up yang melibatkan komunitas, pengasuh, dan kebijakan nasional yang berpihak pada lansia. Promosi kesehatan dan upaya pencegahan harus menjadi pilar utama dalam sistem layanan kesehatan, guna mendukung terwujudnya proses penuaan yang sehat. Selain itu, tenaga kesehatan di layanan primer perlu diberdayakan, dibekali pelatihan yang memadai, dan didukung secara sistematis agar mampu memberikan pelayanan yang menyeluruh dan berpusat pada individu, khususnya bagi populasi lanjut usia yang kian meningkat.

Sesi diakhiri dengan diskusi tanya jawab, dimana empat peserta menyampaikan pertanyaan kepada pembicara, dan selanjutnya ditutup secara resmi oleh moderator.

Reporter :
Tri Muhartini dan Karlina Dewi Sukarno (PKMK UGM)

Tags: SDG 17 SDG 3

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*