Reportase The 19th Postgraduate Forum on Health System and Policy Plenary 3

Health System Resilience & Global Governance

Sesi ini dipandu oleh Shita Listyadewi, S.IP., MM, MPP, peneliti di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK UGM). Shita membuka sesi dengan menjelaskan sistem kesehatan menghadapi berbagai tekanan, mulai dari tekanan jangka pendek (seperti penyakit musiman), hingga tekanan jangka panjang (seperti perubahan iklim). Dengan demikian, berbagai pilar sistem kesehatan perlu diperkuat untuk membangun sistem yang resilien.

Pembicara pertama pada sesi plenary ketiga ini adalah Dr. Somil Nagpal yang merupakan Senior (Lead) Health Specialist di The World Bank. Paparan Somil mengambil tajuk “Financing Resilient Health Systems in the Face of Global Crises”.  Dalam paparannya, Somil, melalui studi kasus kawasan Asia Pasifik Timur (East Asia Pacific/ EAP), menggarisbawahi bahwa tantangan keberlanjutan pendanaan sistem kesehatan dapat mempengaruhi pencapaian sistem kesehatan dalam kerangka Universal Health Coverage (UHC). Kondisi finansial berbagai negara pasca pandemi COVID-19 beragam. Sebagian negara, seperti Vietnam, Indonesia, Kamboja, dan Filipina, mampu mencapai kondisi keuangan yang melampaui kondisi pra pandemi, namun beberapa negara lain, misalnya Palau dan Vanuatu, mengalami penurunan Gross Domestic Product (GDP) per kapita, bahkan mencapai dibawah kondisi pra pandemi 2019. Somil juga menggambarkan capaian indikator cakupan pelayanan kesehatan UHC, di mana kawasan Pasifik menempati peringkat kedua terendah dibandingkan kawasan lain dalam tahun-tahun terakhir. Dengan demikian, jalan menuju UHC masih terlihat panjang sekaligus berliku dengan adanya kesulitan-kesulitan finansial yang dialami berbagai negara. Somil menutup presentasinya dengan menekankan bahwa repriotisasi adalah kunci untuk mendukung keberlanjutan pendanaan kesehatan di tengah berbagai krisis.

Sesi dilanjutkan dengan paparan dari Associate Professor Dr. Aznida Firzah Abdul Aziz dari Department of Family Medicine, Faculty of Medicine Universiti Kebangsaan Malaysia, dengan judul “Measuring UHC Progress: What Indicators Matter Most for the Malaysian Healthcare System?” Aznida memaparkan kondisi pencapaian indikator-indikator terkait UHC di Malaysia dalam tahun-tahun terakhir. Pada 2023, 64% indikator sustainable development goals (SDG) Malaysia berstatus on track. Cakupan populasi yang menerima pelayanan kesehatan di Malaysia meningkat dari 70% pada 2018 menjadi 73% pada 2020, namun persentase masyarakat yang memiliki pengeluaran out-of-pocket (OOP) mencapai 38.3% pada 2023, yang diakui sebagai salah satu persentase tertinggi di kawasan. Walaupun Malaysia telah mengalami perubahan-perubahan signifikan dalam hal pelayanan kesehatan primer sejak 1960, beberapa isu kesehatan kontemporer, seperti populasi yang menua dan peningkatan prevalensi penyakit tidak menular menjadi tantangan bagi sistem kesehatan di Malaysia. Aznida juga menjelaskan bahwa indikator-indikator UHC yang saat ini berlaku di Malaysia, perlu dikaji ulang dengan indikator tambahan. Sebagai contoh, aspek penyakit tidak menular yang diukur dengan diabetes screening rates, perlu ditambahkan dengan indikator terkait demensia atau stroke.

Pembicara ketiga adalah Profesor Maria Nilsson, Chair of Lancet Countdown in Europe, Umeå University dengan judul “Driving University Collaboration for Global Health through the Sustainable Health Partnership (SHIP)”. Maria menjelaskan bahwa SHIP dibentuk sebagai wadah kolaborasi transdisipliner untuk mengusung tantangan-tantangan global yang kompleks dan berimplikasi pada kesehatan. SHIP dibentuk karena kesadaran bahwa tantangan-tantangan seperti perubahan iklim atau deforestasi, bukan lagi tantangan sektor lingkungan semata, melainkan juga sektor kesehatan. SHIP bertujuan untuk mendukung pertukaran dan produksi pengetahuan secara kolektif, serta menciptakan perspektif baru untuk memfasilitasi translasi pengetahuan menjadi aksi. Melalui SHIP, peserta akan mendapatkan akses ke collaborative space, berbagai instrumen dan metode, serta beragam ekspertis. SHIP tidak hanya beranggotakan universitas di Swedia, namun juga beragam universitas lain di seluruh belahan dunia.

Pembicara selanjutnya adalah dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph.D, Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM dengan judul  Harnessing Digital Transformation for Sustainable Health. Lutfan menekankan pentingnya transformasi digital dalam sektor kesehatan sebagai strategi mitigasi perubahan iklim dan penguatan sistem kesehatan yang berkelanjutan. Indonesia sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia memiliki peluang besar untuk menurunkan jejak karbon melalui pemanfaatan teknologi kesehatan digital, seperti telemedicine, yang terbukti mampu mengurangi emisi karbon hingga 40–70 kali dibandingkan kunjungan fisik. Transformasi digital tidak hanya tentang efisiensi, tetapi juga merupakan langkah strategis menuju model pelayanan kesehatan rendah emisi. Universitas Gadjah Mada melalui proyek Climate Change Mitigation and Adaptation Policies (CCMAP) dan sistem peringatan dini demam berdarah memanfaatkan teknologi telemedicine sebagai strategi mitigasi perubahan iklim. CCMAP merupakan kolaborasi lintas sektor yang berfokus pada eHealth untuk adaptasi iklim di wilayah seperti Gunungkidul, sementara sistem peringatan dini demam berdarah dikembangkan sebagai alat bantu pengambilan keputusan yang mengintegrasikan data kesehatan, cuaca, dan pendidikan, serta didukung oleh kerjasama antar lembaga lokal dan internasional. Untuk menjamin keberhasilan transformasi digital ini, strategi digital harus mendukung agenda prioritas nasional, memperkuat jaminan kesehatan nasional, terintegrasi dengan sistem yang ada, bersifat inklusif, dan mampu diperluas secara berkelanjutan.

Pembicara terakhir dalam sesi plenary ini adalah Profesor Ming Xu. MD, PhD selaku dekan Department of Global Health, School of Public Health, Peking University dengan judul “Global Public Goods for Health in the Fight Against Infectious Diseases”. Prof. Ming menyoroti pentingnya menjadikan produk kesehatan sebagai barang publik global (global public goods) yang non-rivalrous dan non-excludable, tujuannya untuk menjamin akses setara terhadap obat dan alat kesehatan, terutama dalam penanganan penyakit menular. Prof. Ming juga menjelaskan bagaimana pengadaan publik global harus transparan dan berbasis regulasi ketat, serta bagaimana strategi market shaping seperti medicines patent pool (MPP)penetapan harga, dan kemitraan pengembangan produk dapat memperkuat inovasi, keterjangkauan, dan keberlanjutan. Contoh sukses seperti Medicines for Malaria Venture (MMV) dan inisiatif global seperti ACT-A dan AVMA memperlihatkan peran kolaborasi internasional dalam mempercepat akses terhadap vaksin dan terapi di negara berkembang. Pendekatan ini menegaskan bahwa produk kesehatan perlu dikelola sebagai barang publik global untuk memastikan keadilan dan efisiensi dalam respons kesehatan dunia.

Sesi kemudian dilanjutkan dengan diskusi tanya jawab yang dipandu oleh moderator. Dalam sesi ini, terdapat empat topik bahasan utama, yakni tentang pengukuran penurunan emisi karbon yang dihasilkan dari penerapan telemedicine, penyedia layanan bantuan kesehatan mental di Malaysia, inovasi yang telah dilakukan negara dalam rangka meningkatkan ketahanan layanan kesehatan (health service resilience), serta penerapan pendekatan riset transdisipliner dan transformasi hasil pengetahuan dari riset tersebut menjadi aksi nyata.

 

Reporter:
Monita Destiwi & Mentari Widiastuti (Divisi Public Health, PKMK)

Tags: SDG 17 SDG 3

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*