Arsip:

SDG 3

Pertemuan Tahunan Departemen KMK dan PKMK: Mendorong Sinergi, Mengawal Transformasi

Pertemuan Tahunan Departemen KMK dan PKMK: Mendorong Sinergi, Mengawal Transformasi

Pertemuan tahunan Departemen KMK dan PKMK tahun 2025 khususnya penting untuk mengidentifikasi bagaimana Departemen KMK dan PKMK dapat lebih sistematis lagi mencari peluang-peluang sinergi khususnya secara internal di FKKMK, dan selanjutnya dengan fakultas lain di UGM, sesuai dengan tema FK-KMK “Mendorong sinergi, mengawal transformasi”, karena dibutuhkan keahlian transdisiplin untuk dapat mendukung pemerintah melaksanakan transformasi Kesehatan. Oleh karena itu, pertemuan tahunan kali ini bukan hanya dilakukan untuk mengkaji isu-isu strategis kebijakan dan manajemen Kesehatan, positioning vis-à-vis para pemangku kepentingan dan baik di tingkat daerah, nasional mau pun global, namun juga identifikasi peluang-peluang sinergi sumber daya antara Departemen KMK dan PKMK dengan unit kerja lain di FK-KMK. Selain itu, diharapkan dari pertemuan ini dapat menghasilkan langkah-langkah konkret untuk memperkuat kontribusi akademik dan praktis dalam pengembangan kebijakan kesehatan serta pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan. read more

Reportase Reportase Webinar Sejarah Kebijakan Pendidikan Dokter Umum dan Dokter Spesialis: Apakah Terjadi “History in the Making” Karena Adanya UU Kesehatan 2023

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bekerjasama dengan Departemen Sejarah FIB UGM menyelenggarakan Seri Webinar Sejarah Kebijakan Kesehatan pada Jum’at (14/2/2025) dengan tema =&0=&=&1=&=&2=&dalam Annual Scientific Meeting FK-KMK UGM. Acara ini membahas transformasi kebijakan pendidikan kedokteran dari era kolonial hingga pasca Undang-Undang Kesehatan 2023. 

Kegiatan dibuka dengan Pengantar “Perspektif Sejarah dalam Kebijakan Pendidikan Kedokteran” yang disampaikan oleh Kepala Departemen Sejarah FIB UGM, Dr. Abdul Wahid, M.Hum., M.Phil. Wahid mempertegas pentingnya sejarah dalam kebijakan pendidikan kedokteran, merujuk pada kajian luas kesehatan sejak abad ke-19 dan telah berkembang menjadi disiplin multi dan transdisiplin di negara maju. Meskipun relatif baru di Indonesia, bidang sejarah kesehatan ini menjanjikan dengan historiografi yang berkembang dan telah masuk kurikulum Ilmu Sejarah. Tantangannya adalah integrasi ke kurikulum pendidikan kesehatan dan kurangnya dialog antar ilmu kesehatan dan humaniora. Hal ini yang mendasari kolaborasi antara FK-KMK UGM dan Departemen Sejarah FIB UGM untuk bekerja sama dalam penelitian, pendidikan, dan penerbitan guna mengembangkan sejarah kesehatan di Indonesia. 

Materi  VIDEO

Sesi pertama menghadirkan Baha’Uddin, S.S., M.Hum., yang membahas evolusi pendidikan dokter umum, mulai dari Sekolah Dokter Jawa (1849) hingga reformasi kurikulum modern, termasuk kerja sama dengan University of California, San Francisco pada 1954 dan pengenalan KIPDI I dan II (1982 & 1992). Setelah reformasi, diberlakukannya UU Nomor 29 tentang Praktik Kedokteran yang memperkenalkan regulasi terkait kompetensi dokter serta izin prakteknya. Dilanjutkan dengan hadirnya UU Kesehatan 2023 yang membawa perubahan dalam regulasi pendidikan dokter, termasuk dokter spesialis. Adanya sistem pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (Hospital-Based Education) yang memungkinkan rumah sakit utama menyelenggarakan pendidikan spesialis secara lebih mandiri. Selain itu, Perubahan dalam struktur Kolegium dan Konsil Kedokteran yang tidak lagi sepenuhnya di bawah organisasi profesi.

Materi  VIDEO

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., membahas perubahan dalam pendidikan residen melalui UU Kesehatan 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024. Reformasi ini mengubah sistem dari berbasis universitas ke hospital-based education, meningkatkan standar dan distribusi dokter spesialis. Regulasi baru juga mengakui residen sebagai pekerja dengan hak dan kewajiban yang lebih jelas serta mengubah kolegium menjadi lembaga independen. Namun perlu diingat bahwa UU Kesehatan 2023 baru saja dijalankan, sehingga dampak jangka panjangnya belum dapat dipastikan. Keberhasilan implementasi UU ini akan menentukan apakah perubahan-perubahan ini akan dikenang sebagai bagian penting dari sejarah pendidikan residen di Indonesia.

Webinar ini menyoroti evolusi pendidikan dokter umum dan spesialis serta tantangan dan peluang ke depan. Reformasi kebijakan diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan nasional.

Materi  VIDEO

Reporter: 

  • Nila Munana, SHG. MHPM
  • Ijtihadun Nisa, SKM., MPH. 
  • Aulia Putri Hijriyah, S.Sej.,
  • Galen Sousan Amory, S. Sej.,

Tag: SDG 17,Kemitraan untuk Mencapai Tujuan

Reportase : Webinar Review Kebijakan Tuberkulosis Tahun 2024 Berbasis Transformasi Sistem Kesehatan dan Outlook 2025

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM mengadakan webinar “Review Kebijakan Tuberkulosis Tahun 2024 Berbasis Transformasi Sistem Kesehatan dan Outlook 2025” dalam rangka Annual Scientific Meeting 2025 . Acara ini digelar secara daring melalui Zoom Meeting serta luring di Gedung Litbang FK-KMK UGM. Webinar ini dihadiri oleh akademisi, praktisi kesehatan, serta pemangku kepentingan serta berbagai instansi yang berfokus pada kebijakan dan penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia. Selaras dengan pilar ketiga SDGs yang berfokus pada menjamin kesehatan dan kesejahteraan bagi semua individu di semua usia, webinar ini digelar untuk membahas  implikasi kebijakan-kebijakan  terkait penanganan Tuberkulosis (TB) di Indonesia  yang diharapkan dapat menjadi strategi untuk meningkatkan kesejahteraan kesehatan masyarakat secara optimal.


Webinar dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., Guru Besar FK-KMK Universitas Gadjah Mada. Prof Laksono menjelaskan pentingnya inovasi penggunaan data sebagai basis dalam pengambilan kebijakan penanganan tuberkulosis yang tepat. Prof Laksono juga menekankan kebijakan yang dilaksanakan seharusnya dapat efektif dalam mengentaskan masalah tuberkulosis (TB). Kebijakan penanganan tuberkulosis memerlukan adanya transdisiplin dan melibatkan banyak partisipasi stakeholder untuk dapat mendefinisikan dan mencari solusi dari semua sisi. Dalam hal ini, Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) hadir sebagai rumah dimana analisis kebijakan TB dari berbagai level baik pusat, provinsi, dan daerah dapat diakses dan di analisis secara lanjut dan menghasilkan data komprehensif sehingga proses pengambilan kebijakan pengentasan TB dapat lebih efisien dan efektif.

Pada sesi materi yang disampaikan oleh Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua dijelaskan bahwa kondisi TB di Indonesia belum bisa disebut membaik. Masih banyak kasus yang belum dilaporkan terutama TB pada anak, dan masih ada 13% pasien yang belum berhasil menyelesaikan terapi atau mengalami kegagalan pengobatan. Bahkan kasus TB masih terus mengalami peningkatan hanya dua provinsi yang berhasil mencapai target tatalaksana TB. Kondisi ini juga dibarengi dengan tantangan seperti jumlah dokter paru yang terbatas dan distribusi dokter yang tidak merata. Oleh karena itu, perlu adanya solusi strategis dalam pembuatan kebijakan untuk dapat mengentaskan TB dan mencapai target end TB Indonesia pada 2030.

“Kita perlu sebuah kejelasan mengenai data sebagai sebuah knowledge untuk pengambilan kebijakan” tutur dr. Hanevi. Platform DaSK diharapkan dapat membantu dalam menganalisis data kasus TB di berbagai wilayah agar menjadi informasi untuk strategi inovatif menggunakan prinsip transformasi kesehatan. Berdasarkan data ini, pengambilan kebijakan dapat direplikasi dari strategi yang digunakan pemerintah pusat bisa ditiru dan dimodifikasi oleh pemerintah daerah sehingga proses pengentasan TB bisa dilakukan dengan efisien. Sampai saat ini data yang baru terkumpul dalam DaSK baru ada di level nasional, harapannya seiring berjalannya waktu data yang dikumpulkan melalui DaSK bisa menjangkau data TB dari setiap daerah.

Pada sesi pembahas,, Dr. Tiffany Tiara Pakasi-Ketua Tim Kerja TB, Direktorat P2PM, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI mengamini bahwa penting adanya transformasi data dalam upaya pengentasan TB di Indonesia. Sejauh ini, Kementerian Kesehatan memiliki Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) sebagai platform untuk data TB yang bisa diakses secara langsung. Selain itu ada Lapor TB website yang dapat digunakan sebagai forum untuk menyampaikan informasi seputar TB. Kemudian, terdapat “The Policy Tracker” sebuah wadah untuk dapat mencari kebijakan baik level pusat maupun daerah. Meskipun sudah terdapat banyak sistem informasi TB, tantangan pencegahan TB masih dirasa cukup besar dengan pemerintah sendiri yang mengatakan adanya satu layanan TB di setiap kabupaten/kota. Sejauh ini masih terdapat sekitar 140 kabupaten/kota yang belum terdapat layanan TB. Kaitannya dengan DaSK, dr. Tiara memaparkan bahwa DaSK dapat membantu pemerintah dalam menyusun kebijakan berbasis data serta mengidentifikasi strategi akselerasi program TB secara lebih efektif.

Dr. dr. Fathiyah Isbaniah, Sp.P(K) selaku Ketua Poka Infeksi PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia) read more

Reportase Peran Kepemimpinan SpOG: Kunci Menekan Angka Kematian Ibu

PKMK-Yogyakarta 23 Januari 2025. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) bekerja sama dengan Himpunan Obstetri Ginekologi Sosial Indonesia (HOGSI), menyelenggarakan webinar dengan judul “Peran Kepemimpinan SpOG: Kunci Menekan Angka Kematian Ibu”. Narasumber dan pembahas dalam kegiatan ini berasal dari berbagai instansi. Narasumber adalah Dr. dr. Yessi Rahmawati, Sp.OG., M.H. selaku direktur RSUD Waluyo Jati Probolinggo, Dr.dr.I Wayan Agung Indrawan,Sp.OG(K), MMRS selaku Kepala Bidang Pelayanan Medik RSU Saiful Anwar Malang, dan drg. Muhammad Zamroni selaku Kabid Kesmas Dinas Kesehatan Kota Malang. Sedangkan pembahas adalah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD selaku guru besar PKMK FK-KMK UGM. Pembahas kedua adalah dr. Muhammad Ardian C.L., Sp.OG (K), M.Kes dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan Plt. Wadir Yanmed RS Unair. Kegiatan ini dipandu oleh Dr. dr. Prita Muliarini, Sp.OG, Subsp.Obginsos., M.H., FISQua, CMC selaku moderator. Sebelum pemaparan inti oleh para narasumber, kegiatan diawali dengan pengantar dari Prof Laksono.

Dr. dr. Yessi Rahmawati, Sp.OG., M.H. membahas pentingnya peran kepemimpinan dokter spesialis obstetri dan ginekologi (SpOG) dalam menurunkan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia. Meskipun berbagai kebijakan dan program telah diterapkan, AKI masih tinggi, terutama di daerah terpencil, akibat keterbatasan akses layanan kesehatan, fasilitas medis, serta kesadaran masyarakat. Solusi yang ditawarkan mencakup peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, edukasi reproduksi, pelatihan tenaga medis, penggunaan teknologi digital untuk mendukung deteksi dini, dan sistem rujukan yang efektif. Dengan kolaborasi tenaga medis, masyarakat, dan pemerintah, diharapkan target penurunan AKI dapat tercapai demi kesehatan ibu dan bayi.

Materi Video 

Dr. dr. I Wayan Agung Indrawan,Sp.OG(K), MMRS memaparkan dengan mengintegrasikan pendekatan digital seperti aplikasi rujukan dan inovasi alat medis seperti STIPUTS BRA, efektivitas pelayanan maternal meningkat secara signifikan. Tantangan seperti akses layanan, resistensi terhadap perubahan, dan kurangnya edukasi masyarakat diatasi melalui kolaborasi lintas sektor, pelatihan tenaga medis, dan penguatan sistem rujukan. Kepemimpinan SpOG yang efektif dan kolaboratif terbukti menjadi kunci penting dalam menurunkan AKI dan meningkatkan kualitas kesehatan ibu serta bayi di Indonesia.

Materi Video 

drg. Muhammad Zamroni menyampaikan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menurunkan AKI. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Malang seperti mengadakan loka karya dan audit maternal perinatal yang mengundang seluruh puskesmas, rumah sakit, klinik, dan TPMB.  Kemudian dilakukan pembahasan untuk mengetahui penyebab kematian ibu dan bayi serta bagaimana cara melakukan pencegahan dan tatalaksananya sebagai bahan pembelajaran agar tidak terjadi kasus serupa. Selain itu juga diadakan kolaborasi dengan gerakan peduli ibu dan anak sehat (GELIAT) UNAIR- UNICEF. Dinas kesehatan juga melakukan refreshing Materi Tatalaksana Gawat Darurat di Bidang Obstetri dan Ginekologi kepada para Dokter dan Bidan di Seluruh Puskesmas Kota Malang, sosialisasi layak hamil kepada bidan, kader, lintas sektor dan pemuka agama, dan workshop peningkatan pelayanan CTU dan AMPSR. Upaya ini dilakukan untuk menurunkan kematian ibu di kota Malang.

Materi Video 

dr. Muhammad Ardian C.L., Sp.OG (K), M.Kes menyampaikan bahwa peran kepemimpinan klinis dan meta leadership dalam meningkatkan kualitas pelayanan maternal semakin mendapat perhatian. Saat ini, tuntutan agar para klinisi berperan sebagai pemimpin dan manajer terus meningkat di seluruh dunia. Hal ini mendorong pengembangan tema kepemimpinan klinis yang didukung oleh agenda kebijakan, seperti keselamatan pasien dan peningkatan mutu layanan kesehatan. Dalam konteks kepemimpinan klinis, pendidik di sekolah kedokteran memegang peran penting dalam mengasah potensi kepemimpinan para mahasiswa. Tugas pendidik tidak hanya terbatas pada mengajar dan praktik klinis, tetapi juga mencakup memberikan teladan sebagai pemimpin yang kompeten.

Video 

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menyampaikan pentingnya peran kepemimpinan SpOG sebagai pemimpin teknis untuk upaya penurunan kematian ibu. Untuk mendukung peran SpOG tersebut, diperlukan suatu kebijakan berbasis bukti dengan menggunakan data. Saat ini, PKMK FK-KMK UGM sedang mengembangkan suatu inovasi analisis kebijakan berbasis data melalui Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK). Melalui DaSK, pengguna dapat mengakses data terkini analisis kebijakan berbasis bukti, serta visualisasi yang intuitif untuk membantu memahami situasi kesehatan secara komprehensif di level pusat, provinsi, sampai kabupaten.

Materi Video 

Webinar ini ditutup dengan take home message dari Dr. dr. R. Soerjo Hadijono, Sp. OG, Subsp. Obsginsos selaku Ketua HOGSI yang menekankan pentingnya kepemimpinan SpOG dalam upaya preventif dan promotive dapat memberikan dampak yang bermakna dalam menurunkan kematian ibu karena pemimpin memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai elemen yang diperlukan. Dengan kepemimpinan yang kuat dan terkoordinasi, berbagai tantangan yang menghambat penurunan AKI dapat diatasi secara lebih efektif dan berkelanjutan.

Materi Video

Reporter:  Monita Destiwi (Divisi Public Health)

SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 10: Berkurangnya Kesenjangan, SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan

Reportase | Review Kebijakan Diabetes Melitus Tahun 2024 berbasis Transformasi Sistem Kesehatan dan Outlook 2025

Kamis, 30 Januari 2025

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan webinar Review Kebijakan Diabetes Melitus Tahun 2024 berbasis Transformasi Sistem Kesehatan dan Outlook 2025 pada Kamis (30/01/2025).

Acara dibuka oleh Prof Laksono Trisnantoro MSc. PhD selaku Guru Besar FK-KMK UGM yang menjelaskan tentang pentingnya penggunaan Dashboard Digital dalam menghasilkan review-review kebijakan yang bermanfaat dalam penyusunan evidence based policy making bagi para pemangku kepentingan. Oleh sebab itu, peserta didorong untuk menjadi mitra kolaborator data-data terkait Diabetes Mellitus dari berbagai daerah.

Acara dilanjutkan dengan paparan terkait gambaran penggunaan DASK oleh Candra, SKM., MPH selaku peneliti PKMK FK-KMK UGM. Candra menjelaskan dari hasil review, terdapat ketidakmerataan pelayanan kesehatan Diabetes Mellitus di Indonesia antara wilayah timur dan barat. Melalui Prinsip Transformasi Kesehatan, diharapkan kebijakan pencegahan dan penanggulangan Diabetes Mellitus dapat dilaksanakan dengan lebih komprehensif melalui kerjasama yang semakin kuat sebagai hasil pemantauan bersama data-data perkembangan penyakit  Diabetes Mellitus di daerah.

Selanjutnya, paparan narasumber pertama oleh dr. Esti Widiastuti M, MScPH selaku Ketua Tim Kerja Diabetes Melitus dan Gangguan Metabolik, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). Esti menjelaskan bahwa pencegahan dan penanggulangan Diabetes Mellitus perlu bekerja sama dengan sektor lain. Harapannya platform yang dapat memberikan gambaran penyakit Diabetes Mellitus akan sangat membantu Pemangku kepentingan, khususnya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam melakukan evaluasi dan pemantauan layanan Diabetes Mellitus yang berlangsung selama ini.

Paparan kedua oleh dr Donni Hendrawan, M.P.H, CGP, CHIP, CGRCP Deputi Direksi Bidang Riset dan Inovasi BPJS Kesehatan menjelaskan perlunya literasi data, bagaimana data dikumpulkan, diolah dan dimanfaatkan perlu dipahami oleh para pemangku kepentingan sehingga kualitas data terjaga dan hasil analisis data dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu koordinasi penanganan kasus juga diperlukan agar data yang masuk pada sistem yang ada tersusun sistematis.

Paparan ketiga oleh dr. Lana Unwanah selaku Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta menjelaskan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan Diabetes Melitus di wilayah Yogyakarta yang telah dilakukan berdasarkan prinsip transformasi kesehatan, kendati demikian, tidak hanya usaha dari para pemangku kepentingan saja, tetapi juga diperlukan kesadaran masyarakat tentang penatalaksanaan Diabetes Melitus.

Paparan keempat disampaikan oleh Hasnah Haerani, Apt selaku Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Balikpapan. Haznah menjelaskan penatalaksanaan Diabetes Melitus di wilayah Kota Balikpapan telah dilakukan berdasarkan prinsip transformasi kesehatan dengan fokus pada penurunan komplikasi akibat Diabetes Mellitus. Kerjasama lintas sektor, OPD, Akademisi dan profesi juga diterapkan hingga saat ini untuk menanggulangi Diabetes Mellitus sehingga pencapaian SPM telah melebihi target. Masyarakat juga meningkat kesadarannya untuk melakukan skrining Diabetes Mellitus. Inovasi Balikpapan Hidup Manis Tanpa Gula (Bahimat) telah berjalan selama 3 tahun dari puskesmas hingga tingkat kota. Inovasi ini juga didukung dengan regulasi-regulasi tingkat daerah sehingga dampak inovasi ini dapat lebih dirasakan manfaatnya di Kota Balikpapan.

Reporter: Ester Febe, MPH (Peneliti PKMK UGM)

Reportase  Diskusi Online  Putusan MK : Spa sebagai Bagian dari Pelayanan Kesehatan Tradisional

Reportase Diskusi Online  Putusan MK : Spa sebagai Bagian dari Pelayanan Kesehatan Tradisional

Rabu, 15 Januari 2024

Spa merupakan salah satu wisata kebugaran yang baru-baru ini mengalami perubahan kebijakan menjadi pelayanan kesehatan tradisional atas dikabulkannya perkara tersebut dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 19/PUU-XXII/2024 mengenai Pasal 55 ayat (1) huruf I UU No. 1 Tahun 2022, serta merujuk kepada kebijakan terkait pelayanan Kesehatan tradisional dalam UU No. 17 Tahun 2023 dan PP No. 28 Tahun 2024. Berdasarkan kebijakan tersebut, maka spa sebagai pelayanan kesehatan tradisional memiliki dasar hukum yang jelas, sehingga spa sebagai perwujudan dari layanan medical wellness dapat terus dikembangkan secara berkelanjutan.

Video

Pengantar disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D  bahwa spa saat ini sudah memiliki dasar hukum yang jelas atas dikabulkannya sebagian atas perkara spa sebagai pelayanan Kesehatan tradisional dalam Keputusan MK.  Dalam webinar ini, akan dibahas implikasi putusan MK, pemenuhan kebutuhan SDM, hingga prospek spa sebagai bagian dari pelayanan kesehatan tradisional untuk mendukung medical wellness. Pelayanan kesehatan tradisional Indonesia harus sudah mengikuti perkembangan yang ada di luar negeri, salah satunya Thailand. Hal tersebut termasuk variasi layanan, hingga pengaturan dan pengadaan SDM terkait sertifikasi dan kompetensi SDM yang dibutuhkan untuk melakukan pelayanan tersebut.

Materi Video

Implikasi putusan MK dipaparkan oleh Dr. M. Asyhadi, S.Kes., SE., M.Pd bahwa yang menjadi kendala saat ini diantaranya pemenuhan SDM terkait kompetensi, kewenangan, standarisasi dan sertifikasi SDM. Berdasarkan putusan tersebut, maka SDM untuk spa mengalami perubahan dari yang berawal dibawah kewenangan Kementerian Pariwisata akan beralih dibawah kewenangan Kemenkes. Terkait regulasi dalam sektor kesehatan, usaha spa memang sudah banyak mengalami perubahan dari UU No. 23 Tahun 1992 hingga UU No. 17 Tahun 2023 Pasal 22 ayat 1 terkait penyelenggaraan upaya kesehatan Huruf W terkait dengan pelayanan kesehatan tradisional dan PP No. 28 Tahun 2024. Sedangkan dalam sektor pariwisata, spa telah diatur mulai dari UU Pariwisata No. 10 Tahun 2009 Pasal 14. Pengajuan perkara spa sebagai Kesehatan tradisional sudah diajukan sejak 2022, sampai kemudian diputuskan pada 3 Januari 2025. Pengajuan tersebut merujuk pada UU No. 1 Tahun 2022 Pasal 55 ayat (1) huruf I dan Pasal 58 terkait pajak, namun dalam pengabulan putusan oleh MK hanya dikabulkan sebagian yaitu untuk Pasal 55. Terkait standarisasi SDM, landasan kebijakan merujuk pada Perpres No. 68 Tahun 2022, Permendikbud No. 3 Tahun 2020, Peraturan BAN-PT No. 2 dan No. 4, Kepmenaker No. 333 Tahun 2020, serta PP No. 40 Tahun 2021. Adapun standarisasi pendidikan, ditetapkan standar kompetensi kerja dan standar kompetensi profesi atas rekomendasi Kemenkes, namun untuk standar usaha tetap oleh Kementerian Pariwisata terkait Wellness & Medical Tourism. Selain itu, juga terdapat standar untuk prodi pengobatan tradisional, sistem sertifikasi, sistem registrasi, serta kolegium. Untuk standarisasi pelayanan, maka harus dilakukan keseragaman persyaratan, sistem, mekanisme, prosedur, jangka waktu pelayanan, biaya, produk, hingga penanganan terhadap pengaduan, saran, dan masukan.

Materi Video

Berikutnya, prospek spa sebagai bagian dari pelayanan kesehatan tradisional untuk mendukung medical wellness dijelaskan oleh dr. M.M.V Lianywati Batihalim, Sp.Ok., M. BIOMED AAM., Dipl. CIDESCO SPA., Dipl. CIBTAC SPA. Hidroterapi, aromaterapi, massage merupakan 3 komponen penting yang harus ada di dalam spa. Tren saat ini, spa sebagai layanan kebugaran semakin banyak dinikmati oleh masyarakat pasca pandemi COVID-19 dan produk spa terus dikembangkan menggunakan bahan alami dan organik. Manfaat spa berupa relaksasi, rejuvinasi, dan revitalisasi dikembangkan sesuai dengan ketersediaan SDM, perkembangan teknologi, serta variasi layanan yang dimiliki. Spa sebagai bagian dari layanan wellness mendefinisikan bahwa setiap pasien harus memiliki journey dan kegiatan yang disesuaikan dengan kompetensi terapis dan variasi layanan yang dimiliki, serta dipengaruhi oleh faktor spiritual dan lingkungan. Untuk mencapai hasil yang optimal, maka harus dilakukan peninjauan dari akar masalah masing-masing individu untuk mengeliminasi faktor-faktor penyebab masalah tersebut.

Faktor-faktor tersebut terbentuk dalam hubungan antara pikiran, tubuh dan jiwa, dimana fungsi-fungsi organ, saraf, hormon dalam tubuh individu akan mempengaruhi satu sama lain. Kesadaran individu atas keberhasilan perawatan yang dilakukan atas dirinya merujuk pada wellness paradigm sehingga pelayanan spa sebagai pelayanan kesehatan preventif harus dilakukan melalui integrasi dengan kehidupan pasien sehari-hari, dimana jembatan integrasi tersebut harus saling berkolaborasi secara komprehensif antar tingkatan kualitas kompetensi SDM yang dimiliki. Untuk mencapai outcome pasien yang lebih optimal, dapat dilakukan kolaborasi antar profesi dengan pendekatan langsung kepada pasien melalui anamnesa oleh dokter sekaligus saat pasien dilakukan layanan pijat, kemudian dokter dan terapis dapat berkonsultasi satu sama lain terkait kondisi pasien hingga perencanaan perawatan holistik berikutnya, namun hal tersebut tentu membutuhkan durasi pelayanan yang lebih lama tiap pasien. Dalam hal pengembangannya, spa masih memiliki tantangan berupa biaya operasional, perubahan tren konsumen dan regulasi, sehingga harus dikembangkan strategi berupa penawaran layanan yang harus berkualitas tinggi, pemenuhan kompetensi SDM, branding, hingga adaptasi terhadap tren.

Materi Video

Spa sebagai pengobatan tradisional mengikuti UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 dibahas oleh Prof. Laksono. Regulasi lainnya seperti PP No. 28 Tahun 2024 juga harus menjadi landasan penyelenggaraan layanan tersebut. Pengobatan tradisional tidak hanya dilaksanakan untuk fungsi kuratif, namun juga dapat dilakukan untuk fungsi rehabilitatif dan paliatif. Berdasarkan regulasi tersebut, maka pelayanan spa dapat dilakukan sinergi bersama dengan pelayanan kesehatan, sehingga tempat praktik spa juga harus diatur oleh Kementerian Kesehatan, seperti dalam PP No. 28 Tahun 2024 Pasal 485, Dimana pelayanan kesehatan tradisional dapat dilakukan secara praktik mandiri, Puskesmas, RS, fasyankes tradisonal, serta fasyankes lain yang ditetapkan oleh Menteri. Selain itu implikasi hukum terkait pajak kemudian dirujuk juga kepada organisasi Dinas Kesehatan. Terkait pemenuhan SDM yang merujuk kepada PP No. 28 Tahun 2024, maka pelayanan kesehatan tradisional dilakukan oleh tenaga kesehatan tradisional melalui pendidikan formal, atau tenaga lain dan penyehat tradisional yang memiliki kompetensi pelayanan kesehatan tradisional. Berdasarkan hal tersebut, harapannya dibutuhkan pembahasan lebih lanjut terkait kurikulum pendidikan untuk terapis spa melalui pendidikan formal di Perguruan Tinggi.  (Bestian Ovilia Andini)