PKMK – Yogya. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK – KMK UGM) pada Kamis, 2 April 2020 pukul 10.00 – 12.00 WIB menyelenggarakan webinar terkait isu evaluasi implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan mengambil perspektif keadilan.
Webinar ini bertujuan untuk mendiskusikan beberapa tantangan dan temuan awal terkait capaian prinsip keadilan dalam pelaksanaan JKN di Indonesia. Harapannya diskusi ini dapat memberi wacana tambahan dalam upaya perbaikan sistem JKN kepada para pengambil kebijakan, khususnya untuk mencapai tujuan keadilan dalam JKN. Webinar ini terselenggara atas kolaborasi PKMK FK – KMK UGM dengan Harvard T.H. Chan School of Public Health, Global Health and Population dan dimoderatori oleh DR. Dyah Ayu Puspandari, Apt. MBA, MKes. Webinar menghadirkan beberapa narasumber berikut:
- Fatimah T. Zahra (Harvard Business School) UNDUH MATERI
- Pembahas 1: dr. H.M. Subuh, MPPM (Kementerian Kesehatan RI) UNDUH MATERI
- Pembahas 2: Prof. dr. Ascobat Gani, MPH, Dr.PH (Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia)
Acara dibuka oleh dr. Yodi Mahendradhata, MSc., PhD, Wakil Dekan FK – KMK UGM. Yodi memberikan sambutan dengan menyatakan isu perlindungan kesehatan yang berkeadilan juga relevan dalam situasi darurat pandemi COVID-19 ini, khususnya bagi kelompok masyarakat yang rentan. Kelompok masyarakat rentan lebih sulit coping dengan situasi social distancing dan work-from-home karena akses mereka terbatas terhadap teknologi yang bisa membantu mereka untuk coping dan juga untuk tes COVID-19. Oleh karena itu, prinsip keadilan dalam perlindungan finansial penting dalam situasi apa pun, termasuk pandemi.
SESI MATERI
Pembicara, Fatimah T. Zahra menyampaikan paparannya yang berjudul “What is the relationship between household expenditure and financial risk protection upon healthcare?” Fatimah menyatakan bahwa berdasarkan kepadatan penduduk, maka di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya, akan mengalami medical impoverishment tertinggi di masa depan. Fatimah menggunakan data Susenas 2018 dalam analisisnya, dengan menggunakan spatial analysis. Hasil pemetaan menunjukkan konsentrasi jumlah kepersertaan JKN dan juga konsentrasi catasthropic medical expenditure, dan dikaitkan dengan konsentrasi masyarakat miskin. Hal ini disebabkan salah satunya oleh disparitas beban biaya transportasi, out of pocket, serta proporsi penduduk lebih tua (> 65thn) dan lebih muda (< 15thn). Dalam tahap penelitian berikutnya, Fatimah akan berfokus pada kemiskinan yang terjadi di Papua termasuk melakukan cost-incidence analysis untuk masyarakat miskin yang memiliki kartu JKN sehingga dapat memberikan gambaran dampak JKN terhadap masyarakat yang miskin. Fatimah berencana untuk menggunakan time series analysis juga untuk data Susenas 2012 – 2018.
Pembahas pertama, Dr. H.M. Subuh, MPPM, menyampaikan bahwa memang ada kaitan antara perlindungan finansial dalam situasi darurat pandemi ini. Menteri Keuangan telah memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini yg 2% bisa turun ke 0% jika terjadi lockdown. Akibatnya tentu saja pengangguran semakin tinggi, dan mereka semakin rentan terhadap risiko medical impoverishment. dr. Subuh mengingatkan bahwa prinsip JKN menurut Undang – Undang ada 2, yaitu selain prinsip asuransi sosial, juga prinsip keadilan. dr Subuh menyatakan beberapa poin berikut:
- Cakupan JKN sudah sangat baik (223 juta penduduk atau 84% dari total populasi). Proporsi kepersertaan juga baik, subsidi APBN dan APBD untuk peserta JKN telah mencapai 60%.
- Akses: pemerintah ingin meningkatkan peran FKTP sebagai gatekeeper. Laporan utilisasi faskes menunjukkan peningkatan pemanfaatan oleh masyarakat miskin, baik di FKTP mau pun di layanan rujukan.
- Perlindungan finansial: selain pemerintah telah menyediakan perlindungan finansial melalui subsidi premi, klaim rasio PBI telah meningkat dari tahun ke tahun. Untuk PBPU, klaim ratio tertinggi ada di kelas 3.
- Lorenz curve menunjukkan bahwa secara nasional sudah ada perbaikan ke arah ekuitas. NHA menunjukkan bahwa OOP disinyalir akan turun. NHA 2018 menunjukkan bahwa belanja public sekitar 53% (walau pun terhadap PDB masih 3.2%) dan memiliki trend naik dari tahun ke tahun.
Namun, JKN bukannya tanpa tantangan. Isu defisit dan pembatalan kenaikan premi, serta dampak pandemi mungkin akan menjadi tantangan di masa depan. Supply side dan penataan sistem rujukan juga masih menjadi PR bagi pemerintah. Di sisi lain, administrasi BPJS khususnya dalam kepersertaan dan kepatuhan pembayaran adalah tantangan sendiri.
Pembahas kedua, Prof. dr. Ascobat Gani, MPH, Dr.PH menyampaikan bahwa asuransi menyediakan perlindungan finansial ketika seseorang sakit, dan upaya yang perlu dilakukan yaitu baik dari sisi demand maupun supply. Asuransi baru bermanfaat jika ada akses kepada layanan. Inequity vertical memang bisa dilihat melalui Lorenz curve, tetapi horizontal inequity tidak terlihat disitu. Ada ketidakseimbangan antara upaya yang sangat besar di sisi demand (meningkatkan kepersertaan) tetapi supply lemah (pemerataan akses). Ini dianggap Ascobat sebagai pelanggaran dari prinsip JKN yang ada dalam UU SJSN. Untuk daerah – daerah dimana tidak tersedia akses, asuransi tidak berguna (walau pun pesertanya ada di daerah itu), dan jika asuransi tetap ada ini justru meningkatkan inequity. Selain itu, Prof Ascobat berpendapat bahwa asuransi adalah isu ekonomi kesehatan, tetapi tantangannya akan menjadi besar ketika terkontaminasi oleh isu politik.
SESI DISKUSI
Dalam diskusi, Prof Peter Berman (Direktur School of Population and Public Health, Harvard University) menyampaikan pendapatnya bahwa bahwa kelompok yang berbeda di masyarakat akan mengalami pengalaman yang berbeda dalam menikmati perlindungan finansial dari JKN. Angka agregat tidak bisa menunjukkan hal ini. Masyarakat memang memiliki akses yang lebih luas terhadap layanan kesehatan (ditunjukkan oleh angka utilisasi), tetapi biaya OOP untuk melakukan akses tersebut sangat variatif di daerah yang berbeda dan untuk kelompok masyarakat yang berbeda (kaya, menengah, miskin, sangat miskin).
Dr. Subuh menanggapi bahwa tantangan Indonesia memang ada disparitas yang sangat besar. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. PhD (Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM) juga menyampaikan bahwa Laurenz curve menunjukkan berkurangnya inequity secara agregat nasional, karena angka Jawa yang terlalu besar “menyembunyikan” angka daerah-daerah lain. Prof Laksono menyatakan mungkin tidak cukup menggunakan data Susenas, tetapi juga harus menggunakan data daerah. Prof Berman juga mempertanyakan apakah sumber daya JKN secara khusus ditargetkan untuk melindungi masyarakat miskin dari financial risk, bukan sekedar menyediakan ‘manfaat (benefit)’ bagi masyarakat miskin. Prof Ascobat memberi contoh ratusan pulau di Kepulauan Riau yang kadang hanya dihuni beberapa keluarga. Di pulau mereka tidak tersedia layanan faskes, sehingga jika mereka ingin mengakses layanan, biaya transportasi yang harus mereka keluarkan sangat tinggi, dan mereka tidak terlindungi dari financial risk untuk mengakses layanan kesehatan. Fatimah menambahkan bahwa OOP memang menjadi bahasan yang penting untuk mengukur prinsip keadilan, karena proporsi OOP terhadap penghasilan menentukan seberapa besar risiko medical impoverishment terhadap kelompok masyarakat tersebut.
Dr. Subuh menyatakan bahwa memang sesungguhnya ada dana kompensasi untuk daerah – daerah sulit akses, tetapi amanat UU ini belum dilaksanakan dan belum ada aturan turunannya. Model untuk melaksanakan amanat dana kompensasi yang bisa dipertimbangkan:
Mendatangkan SDM yang dibutuhkan
Melengkapi sarana/prasarana
Mendekatkan pelayanan ke masyarakat yang membutuhkan
Menurut Dr. Subuh, Indonesia memang belum mencapai UHC, karena dari sisi cakupan belum 100%, akses juga belum 100%, perlindungan pembiayaan juga belum 100%, apalagi mutunya juga belum 100% terjamin. Prof Ascobat mengingatkan bahwa menurut WHO, UHC adalah access to everyone without financial hardship, health services consists of community public services and individual services. Artinya UHC juga harus mencakup hal – hal di luar JKN, artinya harus ada perluasan cakupan juga terhadap layanan – layanan kesehatan publik.
Prof Laksono menutup acara ini dengan menyimpulkan bahwa ini merupakah diskursus yang masih akan sangat panjang perjalanannya, namun pihaknya menyambut baik bahwa semua berkontribusi dalam upaya untuk menuju perbaikan kebijakan. Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa bekerjasama untuk membangun kebijakan JKN yang lebih adil.
Kesimpulan dan catatan untuk pembaca:
Kita perlu melihat kembali prinsip – prinsip yang ada di dalam UU SJSN mengenai JKN dan memastikan bahwa JKN berjalan sesuai prinsip-prinsip tersebut
Indonesia sangat bervariasi, sehingga one policy for all mungkin tidak cocok. Selama belum ada pemerataan akses di seluruh wilayah Indonesia, apakah mungkin skema perlindungan finansial perlu memiliki model yang berbeda untuk daerah yang berbeda (daerah dengan akses baik, dan daerah dengan akses kurang/tidak ada)? Model yang seperti apa? Pasti diperlukan data yang lebih komprehensif untuk menyusun model yang sesuai untuk daerah. (Shita Dewi)