Arsip:

arsip pengantar

Reportase Zoom Meeting : Diskusi Internal PKMK UGM: Pengembangan Social Media

Reportase Zoom Meeting : Diskusi Internal PKMK UGM: Pengembangan Social Media

13 Oktober 2020

PKMK – Yogya. Tim Peneliti dan Konsultan PKMK FK – KMK UGM menyelenggarakan diskusi internal membahas pengembangan media sosial bagi pusat penelitian. Social media diharapkan dapat menjadi platform untuk advokasi dan diseminasi hasil penelitian di PKMK, di samping juga sebagai salah satu upaya promosi kegiatan PKMK mendatang. Diskusi menghadirkan narasumber dr. Ida Rochmawati, SpKJ yang merupakan psikiater di RSUD Wonosari namun aktif di social media dan cukup banyak diikuti follower (dalam hal ini masyarakat yang mengakses informasi kesehatan). read more

Tingkatkan Kewaspadaan Bencana Kesehatan Pandemi COVID-19 dan Mitigasi Bencana Alam Saat Pandemi

Tingkatkan Kewaspadaan Bencana Kesehatan Pandemi COVID-19 dan Mitigasi Bencana Alam Saat Pandemi

Kepala Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM, dr Bella Donna, M.Kes. menjadi narasumber program Galeri Publik yang diselenggarakan JakTV pada Kamis, 8 Oktober 2020. Diskusi kali ini mengambil tema Tingkatkan Kewaspadaan Terhadap Bencana Kesehatan Pandemi COVID-19 dan Mitigasi Bencana Alam di Saat Pandemi. Program televisi berlangsung selama satu jam dan ditayangkan secara langsung melalui kanal-kanal JakTV.

Pandemi COVID-19 telah berlangsung selama 7 bulan hingga Oktober ini. Indonesia masih berjuang menghadapi pandemi yang tidak hanya mengancam nyawa tapi juga mempengaruhi sistem pelayanan kesehatannya. Pada bulan oktober, wilayah indonesia mulai memasuki perubahan musim. Masyarakat dihadapkan pada bencana kesehatan non alam COVID-19 dan juga meningkatnya resiko kejadian bencana alam. Beberapa daerah bahkan sudah terdampak oleh banjir seperti Jakarta, Cianjur, Kalimantan Tengah, dan Riau.

Bella Donna menyampaikan bahwa sebelum terjadi bencana, minimal di tingkat RT/RW perlu melakukan pencatatan kelompok rentan seperti ibu hamil, orang tua, dan anak-anak. Protokol kesehatan tetap dijalankan apabila warga harus mengungsi karena terdampak bencana. Masyarakat akan dikelompokkan di tempat pengungsian berdasarkan keluarga dan diberi batasan jarak. Persiapan logistik pencegahan COVID-19 seperti tempat cuci tangan, masker, hand sanitizer perlu dipikirkan oleh pemerintah. Rapid test bisa dilakukan setelah para pengungsi masuk untuk screening dan memisahkan orang yang perlu diperiksa lebih lanjut dengan swab test. Kementerian Kesehatan RI bersama universitas dan praktisi kebencanaan telah menerbitkan pedoman untuk di penampungan maupun bencana alam saat pandemi.

Simak video selengkapnya di bawah ini

 

Reportase Course Webinar Keterlibatan Sektor Swasta dalam Layanan Kesehatan Kesembilan

Reportase Course Webinar Keterlibatan Sektor Swasta dalam Layanan Kesehatan Kesembilan

Kursus the Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS) kembali diselenggarakan pada 7 Oktober 2020. Ini merupakan series ke – 9 dari 10 series pelatihan yang diadakan oleh Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK – KMK UGM. Narasumber utama pada kegiatan ini adalah Prof. Kenneth Y. Hartigan-Go. M.D. BSc. dari Asian Institute of Management dan Asst. Prof. Dr. Narjis Rizvi dari Universitas Aga Khan serta dimoderatori oleh Shita Listya Dewi dari PKMK FK – KMK UGM. Topik yang disampaikan adalah bagian terakhir dari framework yakni cara – cara untuk memastikan nilai uang, terutama dengan layanan kontrak dan infrastruktur PPP.

Pada sesi pengantar, Kenneth menyampaikan bahwa mayoritas negara mengalami keterbatasan sumber daya kesehatan. Dari tantangan tersebut, ingin diketahui sejauh mana sektor swasta terlibat, bagaimana sektor swasta mendefinisikan value for money dan bagaimana memperkuat sistem kesehatan. Untuk itu pada sesi kali ini Kenneth juga mengundang Esther Go, CEO dari perusahaan MediLink, yang merupakan bagian dari konsorsium perusahaan yang berperan penting dalam penyediaan layanan kesehatan dan berbagai inovasi. Esther memberikan paparan terkait data – data kesehatan di Filipina. Filipina memiliki tantangan yakni angka harapan hidup relatif rendah jika dibandingkan Negara – negara di ASEAN, rasio dokter per 1000 penduduk tergolong rendah dan jumlah rumah sakit sedikit. Di era pandemi seperti sekarang juga bermasalah terkait pembiayaan, karena asuransi tidak berlaku untuk semua penyakit.

Diketahui bahwa pada 2015, out of pocket di Filipina merupakan angka tertinggi di Asia yakni mencapai 53,5% dari total belanja kesehatan. Pada 2016 diketahui bahwa angka kematian di Filipina mayoritas disumbang dari faktor penyakit tidak menular yang disebabkan oleh gaya hidup dan lingkungan yang kurang baik. Penyakit tidak menular ini selain mempengaruhi beban pasien, juga menimbulkan beban untuk keluarganya jika penyakitnya tergolong kategori lanjut.

Layanan berbasis nilai atau yang disebut dengan (Value Based Healthcare/ VBH) yakni memberi layanan yang tepat, dilokasi dan waktu yang tepat dan dengan personil yang tepat. Sedangkan fee for service (FFS) adalah model konvensional dimana pasien membayar per episode/layanan, tidak ada kaitan langsung antara pembayaran dengan hasil yang diperoleh. Layanan berbasis nilai adalah dengan tarif tertentu (misal per tahun) pembayar dan juga provider memiliki insentif untuk menyelaraskan matriks dengan kebutuhan pasien, layanan hanya diberikan untuk pasien yang sakit serta tidak bergantung pada jumlah kunjungan.

Untuk dapat memberikan layanan kesehatan ini, tidak bisa hanya bergantung pada satu instansi. MediLink merupakan health enterprise platform dimana berfungsi untuk mengecek kapasitas untuk membayar, apakah preminya sudah dibayarkan dan apa saja cakupan yang di – cover asuransi tersebut. Selanjutnya ada juga yang dinamakan dengan Maxicare yakni untuk perencanaan asuransi yang memberikan perlindungan terhadap resiko finansial. Lalu ada juga Equitable Computer Services yang berfungsi untuk membayarkan copayment yang dikumpulkan di Maxicare ke dokter/penyedia layanan. Untuk koordinasi terkait perawatan dilakukan melalui teknologi infomasi kesehatan melalui digitalisasi perawatan kesehatan yang memungkinkan anggota untuk menerima pemantauan dan pengobatan pada tahap yang sangat awal, juga menghilangkan hambatan fisik dan psikologis untuk mencari perawatan kesehatan secara tepat waktu, terutama selama pandemi.

Prof Kenneth menutup sesi dengan kesimpulan bahwa manajemen kemitraan dan manajemen layanan merupakan hal yang sangat penting dalam melayani pasien. Perawatan kesehatan berbasis nilai adalah hal yang penting meskipun kita menghadapi banyak tantangan dalam hal sikap, nilai, dan tradisi. Ini memberi nilai lebih untuk uang bagi pelanggan karena sistemnya yang terintegrasi, serta sektor publik. Kebocoran dan pemborosan sumber daya dapat dikelola, melalui kemitraan dan koordinasi perawatan dengan sektor swasta.

Sesi kedua disampaikan oleh Narjis Rizvi terkait kegiatan pengelolaan dan pemantauan hasil/ luaran dari layanan kesehatan. Latar belakang kegiatan pemantauan dan monitoring adalah untuk memastikan kualitas layanan yang dibeli. Kerangka konsep yang digunakan adalah yang berpusat pada pengguna layanan, dimana semua pemangku kepentingan berkoordinasi untuk memberikan layanan yang berkualitas. Negara yang menyelenggarakan universal health coverage (UHC) adalah negara – negara yang menilai kesehatan merupakan hak dasar dari manusia. Bagian dari layanan terpadu ini maka pemberi layanan harus bisa diakses oleh setiap orang, kualitas layanan harus baik, memenuhi kebutuhan dan harapan dari pengguna layanan. Selain itu sistem kesehatan juga harus didasarkan pada ekuitas, komprehensif, juga mencakup pencegahan serta promosi kesehatan dan juga harus sensitif terhadap faktor penentu yang ada di sosial seperti faktor resiko yang mempengaruhi status kesehatan seseorang.

Manajemen yakni menetapkan strategi organisasi dan mengkoordinasikan upaya karyawan (atau relawan) untuk mencapai tujuannya melalui penerapan sumber daya yang tersedia, seperti keuangan, alam, teknologi, dan sumber daya manusia. lalu kegiatan pemantauan adalah pelacakan/ pelaporan rutin dari informasi prioritas tentang suatu proyek/program. Jadi untuk layanan kesehatan terpadu, bagaimana sebuah negara bergerak menuju layanan kesehatan terpadu dengan aspek monitoringnya adalah input, apa proses yang sudah diterapkan, output/ keluaran, outcome/hasil, serta apa dampaknya dari semua kegiatan yang dilakukan. Untuk bisa memonitor, harus ada 3 level yakni makro, meso dan mikro. Di tingkat makro fungsinya untuk lihat apakah ada lingkungan yang mendukung, tingkat meso untuk melihat apakah layanan berpusat pada manusia dan terintegrasi, dan tingkat mikro untuk melihat layanan apakah memang dikoordinasikan seputar kebutuhan dari masyarakat.

Pada pemantauan di tingkat makro/ input adalah stabilitas politik, akuntabilitas dari pemerintah, kualitas dari regulasi, penegakan tentang undang – undang, kontrol terkait korupsi, sumber pembiayaan untuk sektor keseharan, tindakan lintas sektor dalam penanganan determinan struktural dari kesehatan, perlu kolaborasi antara sektor kesehatan dengan sektor lainnya seperti (pendidikan dan sosial), kebijakan publik yang sehat yang berfokus pada UHC dan ekuitas, serta pembangunan sosial ekonomi. Untuk di tingkat meso/ tingkat proses, yang harus di pantau dan kelola adalah pemberdayaan masyarakat, memperkuat tata kelola dan akuntabilitas, orientasi ulang model layanan yang komprehensif (kuratif, promotif dan preventif), koordinasi tiap layanan antara publik dan swasta, koordinasi sektor kesehatan dan lainnya juga lingkungan yang mendukung. Untuk di tingkat mikro, pemantauan dilakukan menggunakan 6 komponen dari WHO yakni pembiayaan untuk sektor kesehatan, paket layanan yang diberikan oleh pemerintah, ketersediaan obat/ teknologi dan peralatan, sistem informasi kesehatan apakah relevan dan dikumpulkan tepat waktu, tenaga kesehatan harus memadai dan terampil.

Pelaksanakaan pemantauan dilakukan melalui mengukur perubahan dari karakteristik yang bisa dikuantifikasi atau biasa disebut dengan istilah indikator. Indikator yang digunakan adalah input, proses, output, outcome dan dampak. Indikator di tingkat makro contohnya strategi kesehatan nasional apakah dikaitkan dengan kebutuhan dan prioritas nasional, apakah ada kebijakan obat nasional, rencana strategi nasional untuk beberapa penyakit seperti TB, malaria, HIV dan kesehatan ibu anak, serta keberadaan dokumen penganggaran, tinjauan kinerja tahunan, mekanisme untuk bisa mendapatkan input dari pasien. Untuk indikator meso, antara lain inisiatif dari pemerintah untuk membuat kerangka kebijakan fleksibel, pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk berkomunikasi dengan pasien/ komunitas lainnya, formulasi kerangka dan mekanisme untuk penguatan pemerintahan dan akuntabilitas, penguatan anggaran untuk layanan pencegahan, inisiatif untuk penyelenggaraan bersama untuk berkolaborasi.

Selanjutnya untuk indikator di tingkat mikro adalah terkait penyediaan layanan kesehatan seperti layanan bisa diekspansi hingga ke daerah pedesaan/terpencil, apakah didasarkan pada kesetaraan terutama untuk komunitas yang rentan, lalui juga terkait ketersediaan obat – obat esensial, ketersediaan tenaga kesehatan, serta ketersediaan informasi. Untuk indikator outcome antara lain cakupan anak yang diimunisasi, kualitas dari penyedia layanan yang sesuai protokol, kesetaraan dari penerima layanan terutama untuk kelompok rentan, program yang komprehensif dan jumlah program yang berkolaborasi dengan pihak – pihak di luar sektor kesehatan. Selanjutnya untuk indikator dampak bisa dilihat dari penurunan angka kematian ibu dan anak, responsif terhadap kebutuhan dari masyarakat, perlindungan finansial bisa dicek melalui prosentase rumah tangga yang sudah memiliki asuransi, serta peningkatan efisiensi.

Kegitan monitoring membantu dalam pengambilan keputusan dari pemangku kepentingan melalui informasi yang telah dikumpulkan, untuk memecahkan masalah, melibatkan masyarakat dan civil society organization (CSO) contohnya adalah edukasi/ penyuluhan. Selain itu monitoring juga bisa untuk meninjau akuntabilitas dari petugas kesehatan terkait beban kerja, bisa juga untuk penentuan anggaran karena disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi pada wilayah tersebut, mendorong pembelajaran antar negara agar saling bisa mengambil pengalaman apa saja yang sudah diterapkan di masing – masing negara.

Langkah – langkah untuk mengembangkan kerangka kerja dari monitoring antara lain menetapkan tujuan programnya, contohnya yakni layanan kesehatan terpadu. Kedua adalah menetapkan pertanyaan monitoring, indikator dan kelayakan yang dipantau di tingkat makro, meso dan mikro. Ketiga adalah menetapkan metodologi peninjauan, sebagai contoh mengumpulkan infromasi dan data melalui data pemerintah, atau survey atau wawancara ke klien, atau data literatur/ laporan. Keempat adalah merancang mekanisme untuk bisa mengatasi jika ada pemasalahan dalam implementasi. Kelima adalah indentifikasi sumber daya internal maupun eksternal, keenam adalah mengembangkan matriks dan jadwal dari rencana kerja. Serta terakhir adalah mengembangkan diseminasi hasil dan pemanfaatan temuan dari kegiatan monitoring yang sudah dilakukan.

Sesi terakhir adalah sesi penutup dengan menyampaikan pertemuan selanjutnya akan ada presentasi dari peserta terkait pilot proyek peran sektor swasta. Selain itu pada series ke – 10 pada 14 Oktober 2020 juga akan ada presentasi dari World Bank terkait manajemen kontrak, ketrampilan yang harus dimiliki serta tantangan yang dihadapi dalam membentuk kemitraan dengan sektor swasta.

Reporter: Herma Setiyaningsih

Reportase Pelatihan Minggu ke-5 Pengembangan Perpustakaan dengan Konsep Knowledge Management untuk Mendukung Penanganan Pandemi COVID-19

Reportase Pelatihan Minggu ke-5 Pengembangan Perpustakaan dengan Konsep Knowledge Management untuk Mendukung Penanganan Pandemi COVID-19

Pertemuan minggu keempat pelatihan knowledge management kali ini membahas tentang materi “Taksonomi dan Tagging Sumber Referensi”. Materi tersebut disampaikan oleh dr. Lutfan Lazuardi, PhD. Sebelum pemaparan materi, peserta mengerjakan kuis untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan peserta terkait review materi yang diberikan pada pertemuan sebelumnya. Lutfan memaparkan, knowledge management merupakan proses membuat, membagi dan menggunakan informasi dan pengetahuan untuk mengambil manfaat bagi organisasi. Siklus manajemen pengetahuan meliputi create, share, store, use, update. Basis data yang terkenal sebagai perangkat pendukung penerapan manajemen pengetahuan adalah Pubmed dan Cochrane Library. Selain itu website tersebut, saat ini PKMK FKKMK UGM sedang mengembangkan manajemencovid.net yang dapat dengan mudah diakses. Ada banyak informasi baru dari pakar tentang COVID-19 ini sehingga ada lonjakan informasi yang luar biasa yang perlu kita kelola. Pengelolaan literatur dapat lebih mudah dengan konsep taksonomi dan tagging. Taksonomi adalah pengklasifikasian akan sesuatu dalam hal ini yang diklasifikasikan adalah sumber referensi agar mudah diakses oleh penggunanya. Metadata merupakan informasi mengenai data itu sendiri. Misalnya saja sebuah buku memiliki metadata yaitu judul buku, pengarang, kota terbit, tahun terbit, penerbit, ISBN, kata kunci, edisi. Ada beberapa software untuk mengelola referensi, antara lain Endnote, Zotero, Jabref, Bibtex, dan Mendeley. Endnote adalah software berbayar, sedangkan Jabref, Bibtex, dan Mendeley dapat diakses secara gratis. Mendeley dinilai mudah digunakan untuk pemula karena memudahkan untuk sinkronisasi dan ada fasilitas grouping. Selanjutnya Lutfan menunjukkan tutorial cara penggunaan software Mendeley agar peserta dapat mencobanya secara mandiri. Di akhir pertemuan, Lutfan memberikan pembahasan singkat mengenai kuis yang telah dikerjakan oleh peserta. Lalu peserta diberi tugas untuk mencoba menggunakan software Mendeley secara mandiri sebagai penugasan pertemuan minggu kelima ini.

Pelatihan minggu ke-6 dilaksanakan Senin, 12 Oktober 2020 pukul 13.00-14.30 dengan agenda presentasi setiap tim mengenai proposal pengembangan learning center di institusi masing-masing yang akan dibimbing oleh dr. Lutfan Lazuardi, PhD, Niluh Putu Eka Andayani, SKM. MKes, dan dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthIinfo. Sampai jumpa di pertemuan minggu berikutnya.

Reporter: Monica Abigail

Reportase Course Webinar Keterlibatan Sektor Swasta dalam Layanan Kesehatan Kedelapan

Reportase Course Webinar Keterlibatan Sektor Swasta dalam Layanan Kesehatan Kedelapan

Series ke-8 kursus the Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS) diselenggarakan pada 30 September 2020 yang diikuti oleh 42 peserta melalui platform webinar. Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM selaku penyelenggara acara ini menghadirkan 2 narasumber utama yang dimoderatori oleh Shita Dewi, salah seorang peneliti senior di PKMK. Dua narasumber utama tersebut adalah Prof. Eng Kiong Yeoh dari Chinese University of Hong Kong dan Prof. Kenneth Y. Hartigan-Go. M.D. BSc. dari Asian Institute of Management.

Webinar ini dibuka oleh Shita Dewi dengan menanyakan tanggapan dari peserta terkait kursus yang sudah berjalan dalam 8 minggu terakhir. Sebagian besar peserta menyampaikan jika dengan adanya kursus ini dapat menambah pengetahuan terutama diberikannya paparan terkait model – model PPP yang diterapkan di berbagai negara sehingga menjadikan pembelajaran untuk membuat model yang bisa diimplementasikan sesuai dengan kondisi masing-masing lembaga/negara. Peserta juga mengapresiasi atas materi yang diberikan oleh narasumber yang memang sudah berpengalaman dibidangnya baik secara konsep maupun praktek sehingga memudahkan peserta dalam memahami framework PPP secara keseluruhan.

Sesi selanjutnya adalah penyampaian materi oleh narasumber pertama yakni E. K. Yeoh dengan topik tren dan tantangan layanan PPP di Asia Pasifik. Dirujuk dari artikel Anne Millis dkk pada 2002, Sektor kesehatan swasta terdiri dari semua penyedia layanan dan sumber keuangan yang ada di luar sektor publik, baik itu yang bertujuan untuk filantropi atau komersial, dan yang bertujuan untuk mengobati penyakit atau mencegah penyakit. Kemitraan publik – swasta di negara – negara Asia memiliki pola yang berbeda – beda, sektor swasta memainkan peran penting dalam pembiayaan dan penyediaan, bahkan di Myanmar, Laos dan Kamboja sebagian besar total belanja kesehatannya berasal dari sektor swasta. Untuk Hongkong dan China memiliki persentase yang imbang antara publik dan swasta.

Layanan kesehatan di sektor swasta digunakan tidak hanya di negara maju, bahkan negara – negara yang masuk dalam kategori miskin dan kelompok ekonomi terendah juga mengakses penyedia layanan kesehatan dari sektor swasta. Alasan untuk menggunakan layanan kesehatan di sektor swasta antara lain karena kemudahan akses, ketersediaan staf dan obat – obatan yang lebih banyak, lebih terjaga kerahasiaannya, kompetensi teknis yang lebih tinggi, persepsi bahwa penyedia swasta lebih peduli dan bertanggung jawab, menggunakan biaya dalam sistem publik, dan tetap dapat mengakses layanan publik.

Peran dari sektor kesehatan antara lain sebagai penyedia layanan, terkait pembiayaan, tata kelola dan kepemimpinan, dan menciptakan sumber daya. Peran dari sektor swasta dinilai penting karena terintegrasi dengan semua sistem kesehatan; pengaruh pada akses, kesetaraan, efektivitas biaya dan hasil kesehatan; sumber daya utama untuk cakupan kesehatan universal; kapasitas potensial, dan merupakan mitra penting untuk perawatan terpadu untuk beban penyakit kronis. Untuk definisikan ulang peran sektor swasta dalam cakupan kesehatan universal, pemerintah menggunakan himbauan, perpajakan, pengeluaran, regulasi, dan kepemilikan publik sebagai kebijakan pemerintah.

Masing – masing negara memiliki konsep yang berbeda dalam merancang PPP, dirancang sesuai dengan konteks politik, ekonomi, dan lingkungan sosial. Mengingat permasalahan tersebut, maka perlu dikaji bagaimana merancang kontrak dan menentukan peran mana yang dapat dilakukan oleh sektor swasta. Dalam menjalik kemitraan, faktor – faktor utamanya adalah: harus ada kepercayaan, tujuan dan peran yang jelas, komitmen waktu, transparansi dan informasi yang jujur terutama yang berkaitan dengan risiko dan manfaat, fleksibilitas kontrak, teknis bantuan atau insentif keuangan di balik pengaturan prosedural, serta kesadaran dan penerimaan perubahan struktural terkait dengan tanggung jawab dan keputusan.

Berdasarkan definisi dari WHO tahun 2013, Cakupan Kesehatan Universal (UHC) yakni memastikan bahwa semua orang memiliki akses ke layanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dibutuhkan dengan kualitas yang memadai agar efektif, sekaligus memastikan bahwa orang tidak mengalami kesulitan keuangan saat membayar layanan ini. Tiga dimensi yang perlu dipertimbangkan saat bergerak menuju cakupan universal adalah: populasi (siapa yang tercakup?) Dimensi kedua adalah layanan (layanan apa yang tercakup), dan perlindungan finansial: (apa yang harus dibayar sendiri?) Tujuannya adalah memperluas akses, meningkatkan kualitas, memajukan pemerataan, perlindungan finansial, mengoptimalkan efisiensi, dan meningkatkan hasil.

Strategic purchasing adalah semacam mencari cara terbaik untuk memaksimalkan kinerja sistem kesehatan dengan memutuskan intervensi mana yang ingin kita beli, bagaimana, dan dari siapa. Untuk membuat keputusan, seseorang perlu mengidentifikasi intervensi atau layanan yang akan dibeli; menentukan apakah akan membuat atau membeli layanan tersebut, kemudian memilih penyedia layanan berdasarkan ketersediaan kapasitas, kualitas, efisiensi, dan ekuitas; dan menentukan cara membeli (menggunakan instrumen sisi permintaan atau penawaran, pengaturan kontrak dan mekanisme pembayaran penyedia). E. K. Yeoh juga membagikan aplikasi dalam desain dan implementasi pembelian strategis dari sektor swasta di Hong Kong. Program tersebut menggunakan voucher untuk mendeteksi penyakit kronis pada populasi berusia 45 ke atas.

Setelah paparan dari E. K. Yeoh kemudian dilanjutkan dengan sesi kedua yakni penjelasan terkait pemasaran sosial dan waralaba serta keterlibatan pemangku kepentingan yang disampaikan oleh Kenneth Hartigan-Go. Dua pemangku kepentingan yang akan dibahas disini yaitu penyedia layanan kesehatan (misalnya dokter, fasilitas rumah sakit) dan pasien. Definisi kesetaraan, ekuitas, dan keadilan. Kesetaraan berarti Anda memberi setiap orang sumber daya yang sama, sedangkan ekuitas berarti Anda memberi lebih banyak kepada mereka yang lebih membutuhkan sehingga mereka dapat berpartisipasi secara bermakna dan setara. Untuk membuka perspektif pemecahan masalah pembiayaan kesehatan/ perawatan kesehatan universal/ kerja sama sektor publik – swasta yang mungkin ada inovasi seperti keadilan, yang berarti menghilangkan batasan sehingga semua orang berpartisipasi dalam mengakses sesuatu yang mereka nikmati tanpa harus memberi mereka sumber daya tambahan.

Wicked problem adalah masalah tanpa algoritma standar untuk dipecahkan karena persyaratan yang kontradiktif, tidak lengkap dan/ atau berubah – ubah yang seringkali tidak terduga dan sulit dikenali. masalah jahat tidak dapat diselesaikan karena solusi yang dikemukakan selalu merupakan solusi yang berkembang. Perawatan kesehatan universal adalah bentuk dari masalah yang jahat, tidak ada solusi yang sempurna dan saat kita mereformasi dan berubah, itu akan menciptakan masalah lain. Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu diingat yakni Anda hanya dapat mengelola sebagiannya dan tidak mencoba menyelesaikan seluruh masalah sendirian. Kenneth menyatakan bahwa bagian dari masalah dalam sistem kesehatan adalah bahwa beberapa pemerintah negara lalai untuk berkonsultasi dengan pasien mereka dan penerima manfaat dari pembiayaan kesehatan, hal itu mencabut hak mereka. Akibatnya, solusi yang dikedepankan sangat top down dan gagal menciptakan ekosistem kepedulian. Dalam pemasaran sosial, kami menciptakan sistem untuk memberi insentif kepada orang – orang, bukan untuk menggunakan uangnya, tetapi untuk menjaga diri mereka tetap sehat dan mengadopsi gaya hidup yang lebih baik. Sistem perawatan kesehatan universal, khususnya di Filipina, ditemukan bahwa terdapat 3 kekurangan antara lain apakah ada kesamaan visi nasional, apresiasi terhadap rantai nilai penguatan sistem kesehatan hilang, sistem nilai penyedia layanan kesehatan harus berubah.

Prinsip dari pelayanan kesehatan universal berbasis nilai adalah untuk mencegah pasien dari komplikasi, perlu menanamkan perawatan rawat jalan preventif promotif, menghindari adanya kasus lanjutan dimana akan berdampak pada pembiayaan yang lebih besar dan akan ada kehilangan peluang ekonomi yang signifikan. Dalam hal mendesain model yang berpusat pada pengalaman pasien, ada tiga perubahan pola pikir yang dibutuhkan, antara lain pergeseran ke berbasis nilai, pergeseran dari reaktif menjadi proaktif, dan regulasi yang seimbang dengan eksperimen.

Pemasaran sosial tidak mencoba untuk menjual suatu produk, tetapi merupakan paket komunikasi pemasaran secara sosial sehingga mengubah gaya hidup yang akan berkontribusi pada jaminan kesehatan sosial. Salah satu cara adalah dengan memperkenalkan beberapa konsep pemasaran, dengan menentukan target pasaran melalui cara berikut: 1) produk apa yang ingin dijual pemerintah 2) berapa harga yang ingin diinvestasikan oleh pemerintah 3) di mana tempat terbaik untuk memberikan layanan ini dan 4) bagaimana cara mempromosikan pesan pemasaran. Dalam konsep waralaba sosial, pemerintah perlu mencari kemitraan karena tidak mampu memberikan kontribusi yang komprehensif dalam segala hal. Harus ada model waralaba sosial yang akan membawa praktisi perawatan swasta dan asuransi kesehatan swasta untuk berpartisipasi dalam sistem asuransi kesehatan sosial pemerintah.

Pada akhir sesi, Kenneth mengadakan diskusi kelompok, kemudian dilanjutkan dengan sesi penutup oleh moderator dengan menyampaikan informasi terkait pelaksanaan series 9 yang akan dilaksanakan pada 7 Oktober 2020 dengan menghadirkan 2 narasumber yakni Prof. Kenneth Y. Hartigan-Go. M.D. BSc. dari Asian Institute of Management dan Asst. Prof .Dr. Narjis Rizvi dari Universitas Aga Khan. Topik yang akan dibicarakan adalah bagian terakhir dari framework yakni cara – cara untuk memastikan nilai uang, terutama dengan layanan kontrak dan infrastruktur PPP. Kemudian juga akan menjelaskan pentingnya mengelola dan memantau hasil untuk memastikan bahwa yang dibeli adalah layanan yang berkualitas.

Reporter: Herma Setiyaningsih

Reportase  Pelatihan Minggu ke-4  Pengembangan Perpustakaan dengan Konsep Knowledge Management untuk Mendukung Penanganan Pandemi COVID-19

Reportase Pelatihan Minggu ke-4 Pengembangan Perpustakaan dengan Konsep Knowledge Management untuk Mendukung Penanganan Pandemi COVID-19

Pertemuan minggu keempat pelatihan knowledge management kali ini membahas tentang materi ”Analisis Bibliometrik Kesehatan”. Materi tersebut disampaikan oleh Anis Fuad, DEA. Anis memaparkan bibliometrik merupakan hal yang pasti sudah dikenal oleh pustakawan. Bibliometrik adalah penggunaan metode statistik dalam menganalisis literatur. Studi bibliometrik bermanfaat untuk scoping dan identifikasi perkembangan/trend pengetahuan, analisis jejaring dan kolaborasi peneliti/institusi, perkembangan sitasi. Misalnya untuk penelitian COVID-19 dilihat bagaimana trennya, dan berapa jumlah publikasinya. Peserta diberikan contoh artikel mengenai bibliometrik kesehatan. Bibliometrik dapat digunakan untuk melihat perkembangan ilmu untuk dapat disampaikan pada klinisi dan manajemen di rumah sakit. Metode dalam studi bibliometrik, antara lain analisis sitasi, analisis co-sitasi, keterhubungan bibliografis, analisis co-author, analisis co-word. Perangkat lunak yang gratis dan dapat dimanfaatkan untuk pengolahan data adalah VOSviewer, CitNetExplorer, BibliometrixR, Gephi. Anis menambahkan,untuk dapat menggunakan perangkat lunak tersebut, pustakawan harus memiliki basis data pengetahuan seperti Pubmed, Dimensions, Scopus, Web of Science, Google Scholar. Langkah – langkah membuat studi bibliometrik yaitu perumusan topik, formulasi query (pencarian di basis data), ekspor hasil pencarian untuk analisis lebih lanjut, pembersihan data (data cleaning), pengolahan dan visualisasi data, data linkage (menghubungkan dengan sumber data lain), analisis dan interpretasi, dan penulisan. Muncul pertanyaan dari peserta apakah perangkat lunak yang berbeda akan menunjukkan hasil yang berbeda? Anis menjawab bahwa masing – masing aplikasi saling melengkapi dan bisa jadi ada perbedaan hasil. Oleh karena itu, sebaiknya yang digunakan adalah fitur komparasi. Pada akhirnya perbedaan tersebut bukan hal yang principal karena pada akhirnya yang peting adalah metodologi dan waktu eksperimen dilakukan. Perkembangan ilmu berlangsung begitu cepat sehingga hasil yang diperoleh hari ini dapat berbeda dengan besok. Anis menyampaikan tutorial mengenai pencarian artikel di Pubmed untuk analisis bibliometrik dan analisis data Pubmed menggunakan VOSviewer. Di akhir pertemuan, peserta diberi tugas mencoba teknik bibliografi untuk mendapatkan informasi dari Pubmed dengan topik bebas. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan perangkat VOSviewer.

Pelatihan minggu ke-5 akan dilaksanakan Senin, 5 Oktober 2020 pukul 13.00-14.30 WIB dengan materi tentang “Tutorial: Taksonomi dan tagging sumber referensi” yang akan disampaikan oleh dr. Lutfan Lazuardi, PhD. Sampai jumpa di pertemuan minggu berikutnya.

Reporter: Monica Abigail

REKAMAN VIDEO

Reportase Diskusi Sesi 5 Rekomendasi Kebijakan Pendidikan Residen

Reportase Diskusi Sesi 5 Rekomendasi Kebijakan Pendidikan Residen

Sesi ke-5 adalah sesi terakhir dari Seri Diskusi Online Kebijakan Pendidikan Residen “Mencari Kebijakan yang Tepat untuk Pendidikan Residen Pasca UU Pendidikan Kedokteran 2013 di era Pandemik Covid-19”. Sesi ini akan membahas lebih lanjut tentang beberapa rekomendasi kebijakan untuk pendidikan residen.

Sesi ini diawali oleh Prof. Laksono Trisnantoro yang memberikan sedikit ringkasan tentang permasalahan yang terjadi pada pendidikan residen, yaitu jumlah dan distribusi spesialis yang menyalahi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran 2013. Jumlah dan distribusi spesialis bisa diakses dalam bentuk visualisasi pemetaan di DaSK yang terdapat di web www.kebijakankesehatanindonesia.net. Dapat terlihat bahwa persebaran dokter spesialis terutama sub spesialis sangat tidak merata, bahkan ada spesialisasi dan subspesialisasi yang tidak tersedia di provinsi di luar Jawa. Hal ini menimbulkan ketidak adilan dalam hal akses pelayanan kesehatan. Klaim BPJS pun lebih banyak di kota – kota besar. Namun secara kualitatif, RS – RS di kota besar mengeluh kekurangan spesialis dan subspesialis, sehingga masyarakat Indonesia yang mempunyai kemampuan, mencari pelayanan ke luar – negeri. Dalam masa pandemik COVID-19 kekurangan di kota – kota yang menjadi episentrum terasa sekali. Akibatnya, Indonesia rentan dimasuki oleh spesialis dan subpesialis asing. Indonesia saat ini menghadapi 2 masalah sekaligus, yaitu spesialis yang harus mengisi kekosongan di daerah terpencil dan spesialis yang bekerja di pelayanan kesehatan internasional.

Saat ini, belum terdapat data tentang tempat asal dan tujuan kerja residen, hal ini menyulitkan pengambilan kebijakan mengenai pendidikan residen. Terjadinya missing link ini menunjukkan rendahnya perhatian bangsa kepada pendidikan residensi dan rentan untuk dimasuki spesialis dan sub-spesialis dalam konteks Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang dimulai pada 2015 ini.

Terdapat beberapa masalah pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran (2013) antara lain Sistem semi-hospital based belum dijalankan, residen direkrut tidak berdasarkan kebutuhan RS Pendidikan, Pengembangan jumlah RS Jaringan dan dosen NIDK berjalan lambat dan kolegium sebagai organisasi profesi di bidang pendidikan belum diakui sebagai organisasi profesi oleh pemerintah. Sistem semi hospital based berarti secara hukum pendidikan residen tetap mengacu ke UU Sisdiknas, namun secara praktis mengarah ke hospital based. Arti operasionalnya adalah residen dalam level tertentu merupakan tenaga kerja di RS pendidikan dan RS pendidikan jaringan. Untuk bisa menjalankan sistem ini dibutuhkan perubahan sistem rekrutmen dan penambahan RS – RS Pendidikan.

Prof Laksono melanjutkan dengan rekomendasi kebijakan pendidikan residen. Pendidikan kedokteran perlu dikelola dengan ciri: 1) memiliki tujuan yang jelas; 2) memiliki komponen pelaku kegiatan tugas dan fungsi yang terkelola; dan 3) memiliki sistem pendanaan yang baik. Mewujudkan ciri tersebut perlu menggunakan pendekatan sistem (lihat gambar di bawah) yang sesuai dengan UU Pendidikan Kedokteran 2003.

Pada akhir paparan, Prof Laksono memberikan catatan akhir dalam rekomendasi yang telah disampaikannya. Pendidikan residen merupakan hal yang kompleks dan mempunyai tradisi yang kurang sesuai, serta berhadapan dengan kenyataan yang masih jauh dari ideal. Tindak lanjut rekomendasi ini membutuhkan leadership dan nilai kebangsaan para pelaku, analis kebijakan yang handal untuk perumusan kebijakan, dan konsultan – konsultan manajemen RS Pendidikan dan FK yang baik.

REKAMAN VIDEO

Sarasehan Pustaka KPK: Pelayanan Publik dan Pemberantasan Korupsi 25 September 2020

Sarasehan Pustaka KPK: Pelayanan Publik dan Pemberantasan Korupsi 25 September 2020

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan UPT Perpustakaan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menggelar Sarasehan Pustaka dengan tema Pelayanan Publik dan Pemberantasan Korupsi pada 25 September 2020. Survei penilaian integritas KPK tahun 2019 menilai pelayanan publik sebagai salah satu sektor yang rentan pada terjadinya tindak pidana korupsi. Sarasehan ini digelar untuk mendiseminasikan pengetahuan tersebut sekaligus sebagai sarana promosi kegiatan penulisan jurnal Integritas yang digagas oleh KPK.

Acara ini dibuka oleh Dr. Aminuddin Prahatama, M.Pd selaku Wakil Rektor I Bidang Akademik ULM. ULM sejak 2017 telah ditetapkan sebagai zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi. Pada  2018, Perpustakaan ULM meluncurkan KPK Corner untuk lebih mengedukasi para mahasiswa. Kegiatan sarasehan pustaka pada 2020 sangat relevan dengan beberapa persoalan bangsa. Diskusi diharapkan bisa memberikan gambaran rambu – rambu yang jelas dalam pelayanan publik dan pencegahan korupsi.

Sesi pertama dibuka dengan presentasi materi dari Cucu Supriatna, Kepala Kanwil DJP Kalselteng. Cucu menyampaikan bahwa Direktorat Jenderal Pajak secara nasional memiliki beban menghimpun penerimaan negara sebesar 1198 trilyun rupiah. Kanwil Kalselteng bertanggung jawab pada dua wilayah kerja yaitu provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Kondisi geografis dua provinsi ini didominasi oleh hutan, perkebunan, dan pertambangan. Tantangan yang dihadapi antara lain adalah pegawai DJP tidak dapat menghindari bertemu secara langsung dengan wajib pajak yang rawan akan pemberian gratifikasi.

Kanwil DJP Kalselteng menjawab tantangan tersebut dengan pencanangan zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi. Peningkatan integritas ditunjukkan melalui komitmen dan teladan pemimpin antara lain dengan tidak menemui wajib pajak di luar kantor, dalam pelayanan pajak tidak menerima pemberian wajib pajak dalam bentuk apapun, serta tidak menerima ajakan wajib pajak untuk makan di luar kantor.  Budaya organisasi dibangun dengan morning activity setiap jumat agar integritas dalam melaksanakan pelayanan pajak tetap prima dan profesional. Monitoring pelayanan dilakukan dengan survei sederhana dimana wajib pajak dapat memilih “Puas, Biasa, atau Tidak Puas”.

Narasumber kedua adalah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D selaku Ketua Board PKMK FK – KMK UGM. Laksono memaparkan mengenai tantangan fraud pada pelayanan publik di era JKN. Pada era JKN, BPJS Kesehatan memiliki peran sebagai purchaser yang mengelola dana pemerintah dan swasta serta mengkontrak lembaga pelayanan kesehatan. Pelayanan publik disini menjadi cukup kompleks karena melibatkan pembiayaan dari pemerintah(APBN/APBD) dan swasta serta pelaksanaan pelayanan kesehatan oleh faskes pemerintah dan faskes swasta. Laksono menyatakan pelayanan kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan merupakan pelayanan publik yang mempunyai resiko terkena korupsi.

Kelemahan yang ada saat ini, dari sisi pemerintah belum jelas dalam monitoring dan investigasi fraud di pelayanan kesehatan. Masyarakat pun dinilai kurang bersuara mengenai hal ini. Selain itu dari sisi pemberi pelayanan kesehatan di level puskesmas/klinik maupun RS, kontrol mutu dianggap masih buruk dan upaya pencegahan masih belum ada yang khusus untuk fraud. Laksono melihat hal – hal ini meningkatkan potensi fraud yang bisa menjadi korupsi canggih. Apabila dibandingkan dengan kondisi di Amerika, terdapat sekitar 3 – 5% dana yang masih “terkena” fraud. Laksono menyoroti apakah dana BPJS Kesehatan yang mencapai 90-an trilyun rupiah sudah bebas dari fraud. Penyelidikan fraud kesehatan di Amerika melibatkan para investigator dari FBI dengan sebuah unit khusus sementara di Indonesia masih belum jelas siapa yang akan menangani penindakan hukum. Laksono menutup paparan dengan sebuah pertanyaan pada KPK dimana dana yang dikelola BPJS Kesehatan makin meningkat setiap tahunnya, apakah KPK akan melakukan pengawasan dengan investigator terlatih untuk memberantas korupsi gaya baru.

Narasumber ketiga adalah Varinia Pura Damaiyanti, S.Sos, M.Si, dosen dari Universitas Lambung Mangkurat. Topik yang disampaikan adalah materi Whistleblowing, Konflik Kepentingan, dan Perilaku Koruptif dalam Tinjauan Sosiologi Korupsi. Secara umum, whistleblowing adalah ketika seseorang atau beberapa orang mengadukan kecurangan yang terjadi di perusahaan/ organisasinya kepada pihak lain. Sosiologi korupsi melihat kecurangan yang banyak terjadi adalah perilaku koruptif dalam perusahaan/organisasi. Motivasi whistleblowing untuk menjaga nilai moral organisasi dari kecurangan yang terjadi. Seorang pelapor ketika mengadukan kecurangan menghadapi beberapa dilema, antara lain dapat berdampak pada pencemaran nama baik, sanksi sosial, keamanan dan keselamatan terancam, serta kurangnya bukti dan saksi. Orang – orang yang tahu adanya kecurangan pun seolah malas melaporkan karena pesimis akan adanya perubahan.

Whistleblowing di Indonesia sulit karena beberapa alasan yaitu budaya malu, sejak dini tidak diajarkan menjadi “pengadu”, aduan justru mempersulit diri sendiri, citra perusahaan/ organisasi, rasa kekeluargaan/ konflik kepentingan, serta tidak adanya kejelasan batasan aturan. Berbagai alasan tersebut mendorong munculnya kerangka kerja langkah penerapan whistleblowing. Langkah – langkah tersebut antara lain dengan memeberikan kepercayaan pada karyawan, kebijakan keterbukaan, menyediakan kotak saran anonim, atau kerjasama dengan pihak ketiga. Pihak ketiga berperan sebagai pihak netral pada saat terjadi pengaduan di suatu instansi.

Narasumber keempat yaitu Drs. Suwarsono, MA selaku mitra bestari jurnal Integritas KPK. Suwarsono menyampaikan ada dua madzab tentang pemberantasan korupsi. Madzab pertama menyebutkan korupsi hanya bisa diberantas dengan penindakan, contohnya adalah Singapura. Madzab kedua menyebutkan korupsi dapat diberantas dengan penindakan dan pencegahan, contohnya adalah Hongkong dimana penindakan dan pencegahan berjalan bersama dengan persentase penindakan lebih tinggi. Suwarsono menilai pada saat ini di KPK porsi pencegahan lebih besar dari penindakan. Korupsi dan pelayanan public yang kurang baik pun seolah menjadi budaya di Indonesia. Persoalan korupsi klasik seperti pengadaan dan perijinan masih terjadi dan bahkan meluas sampai pelosok daerah bahkan pedesaan.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa yang salah. Merujuk pada buku berjudul Curbing Corruption in Asian Countries: An Impossible Dream?, Suwarsono menemukan jawaban-jawabannya. Pertama, kurangnya kehendak politik (political will) dari pemegang kekuasaan tertinggi. Kedua adalah partisipasi publik yang luar biasa. Suwarsono menilai sejak 2015 hingga sekarang, political will semakin melemah. Dampaknya partisipasi publik makin melemah, rakyat tidak berani berbuat sesuatu diluar kenormalan.

Presentasi ditutup dengan penjelasan jurnal Integritas yang diterbitkan oleh KPK sejak  2015. Jurnal ini terbit dua kali setahun. Para penulis yang cukup sering mengisi jurnal Integritas adalah pakar dari bidang ilmu hukum, sosiologi, agama, dan pendidikan. Bidang ilmu yang jarang muncul dalam jurnal tersebut adalah ekonomi, antropologi, dan kesehatan. Tema – tema yang lebih kecil dan spesifik juga diharapkan dapat mengisi jurnal Integritas, seperti perpajakan dan jasa atau alat kesehatan. Paparan ditutup dengan rencana kegiatan klinik penulisan jurnal yang akan dilaksanakan pada Oktober 2020.

Sarasehan ditutup oleh Febri Diansyah selaku Kepala Biro Humas KPK. Humas KPK memahami bahwa perpustakaan KPK tidak hanya mengelola buku tapi mengelola pengetahuan anti korupsi. Diskusi yang diselenggarakan pada topik pelayanan publik ini mengundang narasumber dari berbagai sektor karena ada tidaknya korupsi di pelayanan publik bisa menyangkut hajat hidup orang banyak dan memberikan dampak besar. Isu penting lain dari diskusi ini adalah konsep whistleblowing. Jalur pengaduan ketika ada penyimpangan atau korupsi di pelayanan publik dianggap masih sulit untuk diakses masyarakat. Harapannya diskusi ini dapat menguatkan ikhtiar pemberantasan korupsi di Indonesia.   

Saksikan rekaman video acara ini pada link berikut

Video Rekaman

 

Reporter: dr. Sudi Indra Jaya

Reportase Course Webinar Keterlibatan Sektor Swasta dalam Layanan Kesehatan Pertemuan Ketujuh

Reportase Course Webinar Keterlibatan Sektor Swasta dalam Layanan Kesehatan Pertemuan Ketujuh

Kursus the Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS) series ketujuh diselenggarakan pada 23 September 2020. Kursus ini diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK – KMK UGM melalui webinar yang diikuti oleh 42 peserta dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Hongkong. Narasumber pada series ketujuh ini adalah Siripen Supakankunti dari Chulalongkorn University dan Narjis Rizvi dari Aga Khan University, dengan moderator Shita Dewi dari PKMK FK -KMK UGM.

Sesi pertama merupakan paparan materi oleh Siripen Supakankunti yang menjelaskan terkait implementasi Public Private Partnership (PPP) di rumah sakit dengan studi kelayakan di Thailand. Menurut artikel dari Klijn dkk tahun 2007, definisi PPP adalah kerjasama permanen antara aktor publik dan swasta dalam mengembangkan layanan dimana ada aturan pembagian resiko, biaya, dan keuntungan. Jika di sistem kesehatan, layanan yang dimaksud adalah layanan klinis dan non klinis. Karakteristik kunci adalah adanya alokasi resiko antara publik dan swasta, adanya kontrak dalam jangka panjang yang berdasarkan indikator yang disepakati bersama.

Bentuk – bentuk keterlibatan sektor swasta yang menjanjikan di bidang kesehatan ada dalam kategori “layanan” dan “fasilitas kesehatan”. Untuk lingkup layanan bisa dikelompokkan ke kategori non klinis (contohnya sistem informasi, laundry, makanan penglolaan limbah, layanan parkir, layanan asrama untuk tenaga medis), layanan pendukung klinis (contohnya layanan laboratorium, radiologi, layanan hemodialisa) dan layanan klinis (contohnya adalah perawatan akut, perawatan menengah dan perawatan untuk lansia). Sedangkan untuk fasilitas kesehatan, PPP bisa dalam bentuk membangun fasilitas klinik (seperti ruang pasien, peralatan medis, ruang operasi, tempat tidur pasien atau bahkan membangun rumah sakit), dan non fasilitas klinik (seperti dapur, tempat parkir, dan asrama).

Berdasarkan studi kelayakan yang dilakukan di Thailand pada 2015, sebelumnya perlu dilakukan pra studi kelayakan dengan mewawancarai 4 rumah sakit regional. Dari hasil pra studi, proyek yang berpotensi pada rumah sakit regional pertama, adalah terkait MRI, dialisis, dan laboratorium patologi. Di rumah sakit regional kedua, potensial proyeknya adalah CT scan, dan Dialisis. Sedangkan untuk rumah sakit regional ketiga dan keempat, potensial proyeknya adalah MRI center, CT scan, dan dialisis. Proyek tersebut bisa dalam bentuk membuat sesuatu yang baru atau mengembangkan dari unit yang sudah ada sebelumnya.

Berdasarkan permintaan Kementrian kesehatan dan masyarakat di Thailand, program ini berfokus pada studi kelayakan pada MRI dan CT scan. Data – data yang dikumpulkan adalah terkait informasi umum (seperti model PPP apa yang akan diterapkan, durasi proyeknya), data dari sisi permintaan (jumlah kasus, ekspektasi kasus di MRI center yang baru, ekspektasi rujukan, skema asuransi kesehatan, tarif asuransi, serta data kompetitor), selanjutnya adalah data investasi dan biaya operasional (seperti besar pajak, jumlah pegawai beserta besar gaji, belanja peralatan, biaya manajemen, pengeluaran untuk pemasaran, biaya training, serta biaya untuk kontrol kualitas).

Masalah utama yang muncul pada studi kelayakan di Thailand adalah dukungan dari kementerian tidak memadai (terkait regulasi dan kebijakan tentang PPP), kerangka/ proses dari PPP tidak jelas, tidak ada kepastian secara politis, komunikasi di rumah sakit juga sulit, kendala dari SDM (kekurangan tenaga profesional yang spesialis), konflik kepentingan, serta masalah lahan yang terbatas. Sebagai tindak lanjutnya, setelah studi ini pemerintah mengeluarkan semacam tool kit untk pedoman pemerintah yang ingin melaksanakan PPP. Pemerintahn juga melakukan pendekatan ke mitra swasta yang berpotensi.

Dari beberapa proyek yang kita ajukan ke pihak mitra, rata-rata disambut baik namun untuk laboratorium dinilai memerlukan investasi yang cukup besar sehingga dianggap secara finansial tidak layak serta didukung dengan data demand yang tidak cukup banyak.

Tantangan PPP yang dihadapi di Thailand adalah peran dan tanggung jawab harus dirumuskan dengan baik, serta standar layanan profesional, mutu layananan, komunikasi publik dan swasta, evaluasi dan audit, manajemen risiko, perubahan teknologi, isu hukum serta isu keuangan.

Sesi kedua disampaikan oleh Narjis Rizvi terkait jalur pasien dan jaringan provider dalam layanan yang terpadu. Definisi jalur pasien adalah rute yang pasien lalui dari kontak pertama dengan petugas sampai perawatan pengobatan selesai. Lalu definisi jaringan provider adalah daftar dari petugas kesehatan dan fasilitas yang bisa dikontak untuk menerima layanan kesehatan. Latra belakang dari topk ini menggunakan contoh kasus di negara pendapatan rendah dan menengah, yang memiliki banyak desa yang memiliki kesulitan akses ke fasilitas kesehatan dan keterbatasan akses listrik, air dan gas.

Sementara itu, isu kesehatan yang dihadapipun beragam seperti diare, TB, hepatitis, malaria, diabetes, hipertensi dan lainnya. Sedangkan dari sisi provider – nya, fasilitas pemerintah tidak terlalu berfungsi serta tidak profesional, dan dari sektor swasta juga tenaga kesehatannya kurang terlatih dan membutuhkan biaya yang lebih mahal. Dari kondisi tersebut menyebabkan masyarakat mendunda mencari perawatan, angka kesakitan meningkat lalu menyebabkan angka kematian juga meningkat. Dari contoh tersebut, maka disimpulkan penting untuk mengelola jalur pasien, serta mengelola penyedia layanan kesehatan.

Cara yang bisa dilakukan untuk mengelola jalur pasien antara lain membangun hubungan dengan tokoh/ perwakilan masyarakat, menyusun komite yang bisa berkomunikasi dengan komunitas, mengedukasi masyarakat agar lebih peka terrkait kesehatannya, melatih perwakilan masyarakat tersebut agar memiliki perilaku yang lebih sehat, tentang faktor risiko, dan lainnya. Sedangkan untuk mengelola penyedia layanan kesehatan, yang bisa dilakukan antara lain memetakan semua penyedia layanan kesehatan, indentifikasi ruang lingkup layanan, membentuk komite untuk berkoordinasi dengan mudah dengan semua penyedia layanan sehingga bisa memperbaiki rujukan antar fasilitas kesehatan dan lintas level.

Tantangan yang dihadapi dalam mengelola jalur pasien dan jaringan penyedia layanan kesehatan adalah tidak adanya kerangka kebijakan, hukum dan kelembagaan terkait tata kelola PPP ini, budaya medis dan organisasi yang selama ini berlaku (komunikasi yang kurang baik antara pemerintah dan swasta), kurangnya kapasitas dalam berkoordinasi, ketakutan dan kekhawatiran dari pemangku kepentingan, serta kurangnya motivasi terutama dari sektor publik.

Dari laporan WHO pada 2008, pengelolaan jalur pasien dan jaringan penyedia layanan kesehatan bertujuan untuk mengintegrasikan layanan kesehatan yang dikelola dan diberikan dengan cara memastikan masyarakat menerima promosi kesehatan yang berkelanjutan, pencegahan penyakit, diagnosis, pengobatan, manajemen penyakit, rehabilitasi dan layanan perawatan paliatif, di berbagai tingkat dan tempat perawatan dalam sistem kesehatan, dan sesuai dengan kebutuhan mereka seumur hidup.

Prinsip yang dibutuhkan dalam pengelolaan ini adalah memberikan nilai kepada pasien terkait kesehatan, mengelola penyedia layanan kesehatan, pengukuran hasil serta biaya yang disesuaikan dengan risiko. Tentu saja dalam melakukan perubahan ini diperlukan tim yang memiliki background multidisiplin agar bisa memenuhi kebutuhan perubahan yang akan dilakukan.

Webinar ini ditutup dengan menyampaikan informasi terkait pelaksanaan series 8 yang akan dilaksanakan pada 30 September 2020 dengan menghadirkan 2 narasumber yakni Prof. Eng Kiong Yeoh dari Chinese University of Hong Kong dan Prof. Kenneth Y. Hartigan-Go. M.D. BSc. dari Asian Institute of Management. Kedua narasumber akan menyampaikan materi terkait kemitraan non infrastruktur, menjelaskan beberapa contoh layanan kontrak yang tersedia dari masing – masing wilayah, serta memaparkan pemasaran sosial dan waralaba sosial.

Reporter: Herma Setiyaningsih

Reportase Pelatihan Minggu ke-2 Pengembangan Perpustakaan dengan Konsep Knowledge Management untuk Mendukung Penanganan Pandemi COVID-19

Reportase Pelatihan Minggu ke-2 Pengembangan Perpustakaan dengan Konsep Knowledge Management untuk Mendukung Penanganan Pandemi COVID-19

Pertemuan minggu kedua pelatihan knowledge management kali ini membahas tentang materi “Information Retrieval COVID-19 dari Berbagai Sumber”. Sesi ini bertujuan memberikan pengetahuan untuk menelusuri informasi ilmiah dan juga pemanfaatan search tool. Penelusuran literatur merupakan sebuah proses pencarian sistematis terhadap semua literatur yang dipublikasikan berkaitan dengan topik tertentu. Fungsi dari penelusuran adalah untuk bahan pendukung penulisan, membantu pemilihan metodologi penelitian, dan menghindari kesalahan dari penelitian terdahulu. Pelatihan ini memilih topik penanganan pandemi COVID-19 sebagai bahan pembelajaran peserta.

Informasi ilmiah dapat diperoleh dari seminar/konferensi, kelas, jurnal/buku, maupun tesis dan disertasi. Penelusuran informasi dimulai dengan mengidentifikasi permasalahan. Identifikasi permasalahan mencakup hal apa yang ingin dibahas, hal apa yang ingin dipelajari lebih lanjut dan hal apa yang ingin dikesampingkan. Rumusan tersebut dirangkum dalam sebuah answerable question. Identifikasi permasalahan dilanjutkan dengan menentukan search terms.

Strategi selanjutnya adalah menentukan search terms. Penentuan tersebut dapat dibantu dengan alat bantu penelusuran yang dapat dipakai seperti logika boolean (operator AND, OR dan NOT), truncation/wildcard, grouping/nesting, dan frasa. Penggunaan operator “AND” dapat bersifat menyempitkan pencarian, sedangkan “OR” bersifat memperluas pencarian. Truncation menggunakan simbol seperti *,?,$, atau # tergantung dari sumber data yang digunakan. Penggunaan truncation akan memunculkan semua padanan terms yang diinginkan. Grouping/nesting dilakukan dengan menggunakan simbol tanda kurung ( ). Hampir semua sumber data literatur menyediakan layanan penggunaan grouping. Terakhir adalah metode frasa dengan menggunakan tanda kutip “ ”. Penggunaan alat bantu ini sangat membantu untuk mencari frasa atau judul tertentu.

Tahap selanjutnya adalah memilih sumber daya informasi. Civitas akademika di Universitas Gadjah Mada (UGM) dapat menggunakan akses literatur yang disediakan oleh ugm. Pencarian referensi bagi pemilik akun UGM dapat dilakukan melalui satu pintu di ugm.summon.serialssolutions.com. Laman ini menyediakan akses ke semua database yang dilanggan UGM. Selain itu, sumber daya informasi dapat diambil dari beberapa situs open access seperti sciencedirect.com, springerlink, wileyonline, maupun dari e-resources.pnri.go.id (Perpustakaan Nasional RI). Tim Knowledge Management FK-KMK UGM pun menyediakan informasi mengenai COVID-19 dari berbagai departemen melalui website manajemencovid.net. Penelusuran literatur dapat dilakukan menggunakan “basic search” maupun “advanced search”. Basic search biasanya tidak mengandung  banyak konsep dan hanya satu ruas (field). Sedangkan Advanced search memiliki banyak field sehingga dapat menelusuri berbagai macam konsep dengan alat bantu penelusuran.

Reporter: dr. Sudi Indra Jaya