Reportase Forum Nasional 1 Manajemen Lembaga Penelitian Indonesia

Reportase Forum Nasional 1 Manajemen Lembaga Penelitian Indonesia

UNDUH MATERI     UNDUH TOR      UNDUH POSTER

PKMK – Yogya. Dalam rangka penguatan kapasitas manajemen lembaga penelitian di perguruan tinggi di Indonesia, Forum Nasional Manajemen Lembaga Penelitian Indonesia diselenggarakan untuk kali pertama di Auditorium Fakultas Kedokteran UGM, selama 3 hari berturut-turut pada tanggal 15-17 Mei 2017. Forum Nasional ini merupakan prakarsa dari Direktorat Penelitian UGM, Direktorat SDM UGM, Pusat Inovasi dan Kajian Akademik (PIKA) UGM, Fakultas Kedokteran UGM, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM, Knowledge Sector Initiative (KSI)-DFAT, serta LH Martin Institute-University of Melbourne. Dalam pembukaan hari pertama, Senin 15 Mei 2017 yang diisi dengan kegiatan Seminar Kepemimpinan dan Penguatan Manajemen Lembaga Penelitian di Perguruan Tinggi, hadir sejumlah pembicara baik skala nasional hingga internasional, dan peserta dari seluruh Indonesia yang berkaitan dengan lembaga penelitian di perguruan tinggi.

Membuka Forum Nasional pertama, Wakil Rektor bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Gadjah Mada, Prof. DR. Suratman dalam ceramahnya mengapresiasi digagasnya forum seperti ini. Mengingat riset yang ke depannya menjadi inovasi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan, untuk membawa dunia ke kehidupan yang lebih baik. Sementara riset tanpa adanya manajemen kelembagaan yang baik, juga akan sulit berjalan. Riset tentunya juga harus berjalan selaras dengan standarisasi. Harus ada good governance dan policy yang mendukung untuk pengembangan riset oleh pemerintah. Mengacu pada Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai bentuk dukungan terhadap riset, UGM juga akan secara bertahap merubah laboratorium penelitian dan pengujian menjadi laboratorium penelitian, pengembangan, dan inovasi. Meski Suratman menyadari investasi infrastruktur laboratorium riset tidak murah. Namun hal ini merupakan konsekuensi bila ingin budaya meneliti dan inovasi berkembang dengan baik di Indonesia. Sehingga Suratman juga berharap dukungan dari pemerintah, dengan menjadikan lembaga perguruan tinggi sebagai partner pembangunan negara.

Sementara itu, dalam ceramah pengantar kegiatan, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD selaku Ketua Board PKMK FK UGM menjelaskan bahwa Forum kali ini bukan membahas mengenai manajemen riset, melainkan manajemen lembaga riset. Karena tanpa adanya manajemen kelembagaan yang profesional, akan sangat sulit bagi research lifecyle untuk berjalan. Fakta yang ada, dari 15 unit riset peraih grant dari KSI hanya 4 diantaranya yang merupakan lembaga riset perguruan tinggi. Sedangkan sisanya merupakan lembaga riset swasta atau mandiri. Fenomena ini cukup menarik untuk dikaji, mengapa banyak lembaga riset perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan grant ini. Sebelum penyelenggaraan Fornas ini, sebelumya telah dilakukan survey internal ke sembilan pusat kajian di UGM, dan hasil yang ditemukan adalah selain masih kurang baiknya manajemen lembaga riset juga benturan birokrasi yang berat untuk lembaga riset di perguruan tinggi. Maka melalui fornas ini diharapkan akan terjadi perbaikan dalam manajemen lembaga riset di perguruan tinggi peserta Fornas. Benchmark yang dilakukan tidak hanya skala nasional, namun juga dengan standar internasiona, sekaligus untuk mencoba menarik beberapa isu strategis dalam penelitian di perguruan tinggi Indonesia, terutama terkait karir peneliti yang belum ada di Indonesia.

Masuk dalam Sesi pertama Fornas, yang dimoderatori oleh Ketua PIKA UGM, drg. Ika Dewi Ana, M.Kes, PhD; DR. Muhammad Dimyati selaku Dirjen Riset Kemristek Dikti mengatakan bila pemerintah saat ini sudah sangat concern terhadap penelitian. Menurut kajian yang dilakukan World Economic Forum tentang kegiatan penelitian di 148 negara, selama 3 tahun terakhir sebetulnya Indonesia menunjukkan track yang baik. Hanya saja di beberapa variabel, Indonesia masih kurang dibandingkan 147 negara lain. Kuantitas peneliti juga dinilai masih sangat minim di Indonesia, karena dari 250 juta lebih penduduk Indonesia, tercatat baru 1. 071 peneliti yang ada di Indonesia. Hal ini tidak sebanding dengan SDM Indonesia yang sangat kaya secara kuantitas. Bila dibandingkan dengan negara Korea, jumlah ini masih jauh. Selain kuantitas peneliti, load peneliti Indonesia juga dinilai masih rendah. Karena belanja litbang Indonesia hanya sebesar 22, 2 Trilyun. Dimyati menyebutkan ada 3 indikator riset, yakni Publikasi, Policy, dan SDM. Dari sisi publikasi, di ASEAN publikasi internasional Indonesia masih berada di ranking 4, sehingga Kemristek DIKTI mendorong agar Indonesia bisa menempati ranking pertama di ASEAN. Kemudian dari sisi regulasi, pemerintah sudah mengeluarkan beberapa peraturan yang mendukung budaya penelitian mengarah pada riset dan development. Baik untuk publikasi, hak cipta, prototype, hingga insentif publikasi. Anggaran infrastruktur riset juga akan ditingkatkan, karena diakui memang kondisinya masih memprihatinkan. Kaitannya dengan industri agar bisa kooperatif dengan periset, juga diberlakukan kebijakan double tax deduction.

Masih dalam Sesi pertama, Budiati Prasetiamartati dari Knowledge Sector Initiative (KSI)-DFAT sependapat dengan pernyataan bahwa situasi riset di Indonesia memang dinilai masih kurang kompetitif dibandingkan negara lain. Hasil penelitian masih terbatas dan kecil secara kuantitas, ditambah masih kurang berkualitas manajemen lembaga risetnya. Sehingga KSI-DFAT melakukan uji diagnostik terhadap empat lembaga riset di perguruan tinggi yang mendapat grant dari KSI; yakni Puskapol UI, PKMK FK UGM, Universitas Atmajaya, dan Pusat Kajian Islam UIN Syarif Hidayatullah; untuk melihat kendala dan tantangan yang dihadapi lembaga-lembaga tersebut. Mulai dari faktor struktural, intitutional level, hingga individual level. Dosen memiliki kewajiban tridharma di perguruan tinggi, dan ada ketidakselarasan antara apakah ini merupakan kewajiban individu atau lembaga. Beban kerja dosen menyebabkan turunnya minat dan energi untuk meneliti. Belum lagi ditambah pendanaan penelitian yang kurang lancar. Secara birokrasi, secara struktural hal lain yang menyebabkan turunnya energi meneliti adalah masih belum adanya jenjang karir peneliti di perguruan tinggi, seperti seringnya publikasi dari peneliti yang bukan dosen tidak diakui. Sehingga Budiati menyarankan pentingnya penguatan faktor pendorong produktifitas riset di Indonesia diantaranya melalui otonomi di masing-masing perguruan tinggi (PTN-BH), dibentuknya board of trustee, pembuatan rencana strategis riset, dan research management support.

Dalam diskusi sesi pertama, sejumlah pertanyaan dan tanggapan mengemuka. Seperti ynag disampaikan oleh dr. Budi Wiweko, SpOG(K), MPH selaku Manajer Riset FK UI terkait softskill. Menurutnya, mahasiswa saat ini, terutama di fakultas kedokteran kurang diberikan ruang untuk mengembangkan softskill, karena sudah terbebani dengan beban akademik yang berat. Sedangkan kemampuan invasi sangat berhubungan dengan softskill saat menempuh pendidikan. Sementara itu Siti Subandiyah dari Pusat Studi Bioteknologi mempertanyakan bagaimana strategi pemerintah terkait masih minimnya fasilitas laboratorium sebagai infrastruktur penunjang penelitian. Sedangkan Andi Awaluddin Fitrah dari Pusat Studi Sosial Asia Tenggara berpendapat bahwa riset dalam bidang sosio humaniora kerap kurang terperhatikan dibandingkan bidang eksak seperti teknik dan kedokteran.

Menanggapi sejumlah pertanyaan dan pendapat ini, Muhammad Dimyati mengakui bahwa memang pengembangan softskill masih kurang mendapat perhatian. Sehingga akhirnya energi mahasiswa yang luar biasa ini banyak yang menempati ruang-ruang radikal. Dimyati juga menyayangkan masih sulitnya prioritas anggaran untuk kebutuhan ini baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Kemudian terkait fasilitas riset, sebetulnya kemarin telah dianggarkan sejumlah 6 trilyun rupiah untuk kebutuhan tersebut namun entah mengapa tiba-tiba diganti dengan prioritas lain. Fasilitas laboratorium tergeser dengan pengadaan gedung atau bangunan, terutama untuk perguruan tinggi di luar jawa. Sedangkan untuk riset di bidang sosio humaniora, menurut Dimyati tidak ada yang namanya pengabaian dan sebetulnya sosio humaniora sudah diberikan ruang tersendiri dari Kemristekdikti. Hanya saja yang sering terjadi banyak para peneliti bidang sosio humaniora yang justru mengirimkan proposal di bidang lain.

Masuk ke sesi dua, dengan moderator Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD mengangkat pembahasan tentang kebutuhan pengembangan manajemen riset dan support structures. Terkait kebutuhan pengembangan manajemen riset yang diisi oleh dr. Yodi Mahendradhata, MSc, PhD; isu ini tidak hanya diperhatikan di tingkat nasional melainkan juga level internasional. Fenomena yang terjadi, kerap para pakar dan peneliti ini dinilai kurang memiliki skill kepemimpinan dalam mengelola sebuah lembaga riset. Akhirnya yang terjadi manajemen lembaga riset kurang atau bahkan tidak terkelola dengan baik. Apalagi untuk mendapatkan grant-grant penelitian internasional, syarat administratifnya sangat ketat. Sedangkan pada dasarnya pemenuhan syarat administrasi bukan pekerjaan peneliti melainkan manajer riset, agar fokus peneliti tidak bias. Dan tentunya sangat disayangkan ketika proposal penelitian harus gugur hanya karena persyaratan administratif tidak terpenuhi.

Kemudian terkait support structures untuk memperkuat manajemen riset, Prof. DR. Sri aharjo dari Direktorat Penelitian UGM menjelaskan bahwa support structures merupakan penunjang penting dalam research lifecycle. Dengan adanya support structure, peneliti akan semakin terfasilitasi dengan baik misalkan untuk mendapatkan informasi terkait grant-grant penelitian, fasilitas manajemen data, pengurusan syarat administratif. Dengan fasilitasi yang baik ke depannya akan mendorong budaya meneliti semakin baik pula. Namun Sri Raharjo menyayangkan masih banyaknya manajemen lembaga riset yang kurang berkualitas sehingga terkadang justru menghambat kinerja peneliti. Oleh karena itu dibutuhkan upaya penguatan kapasitas manajemen lembaga riset.

Dalam diskusi sesi dua ini, sejumlah pertanyaan yang mengemuka diantaranya oleh Anis Fuad dari divisi SIK PKMK tentang publikasi local content yang kadang kurang mendapat perhatian karena matriks publikasi yang digunakan adalah matriks internasional seperti scopus. Padahal seharusnya ada keseimbangan antara matrik lokal dengan internasional. Sementara itu Erida dari FK UNLAM menanyakan tentang bagaimana strategi menghadapi permasalahan kurangnya SDM dan produktifitas meneliti. Karena kasus yang terjadi di FK UNLAM adalah telah didapatnya dana penelitian dari USAID, namun ada benturan persyaratan terpenuhinya 10 scholar yang menghasilkan publikasi internasional. Sedangkan ketika ditawarkan ke staf non klinis, ada barrier sibuk dengan pekerjaan harian dan mengajar. Menanggapi hal ini Yodi Mahendradhata menyarankan FK UNLAM dapat lebih mengaktifkan pusat-pusat kajian yang ada di universitasnya, sebagaimana yang ada di FK UGM.

Sekitar 8 tahun terakhir, Fakultas Kedokteran UI telah mengembangkan Pusat Riset di bidang kedokteran. Pusat Riset ini awalnya bernama Indonesia Medical Education and Research Institute (IMERI). Harapannya, bukan hanya bidang kedokteran yang berkembang, melainkan juga bidang lain. Saat ini Pusat Riset sudah merangkul bidang lain, yaitu teknik, MIPA dan sebagainya. Program riset yang di bawah Pusat Riset berjumlah 17 topik. Pusat Riset ini juga menampilkan perkembangan riset di website yag dapat diakses secara bebas. Dalam Pusat Riset ini telah ada jenjang karir yang meliputi technician, riset assisten, fellow, research fellow dan lain-lain.
Saat ini Pusat Riset UI telah menetapkan sejumlah key performance untuk lembaga riset yang ada di lingkungan UI, ungkap dr. Budi Wiweko, Sp. OG (K), MPH, manajer riset FK UI. Melalui key performance tersebut, orang dan lembaga dapat diubah/diganti setiap waktu jika diperlukan. Ada beberapa hal yang menjadi fokus Pusat Riset saat ini, transdisiplin, clinical research, akselerasi public private partnership, pengembangan SDM, peningkataan pengelolaan fund. Pusat Riset juga membentuk diagnostic research center yang tersertifikasi ISO 17025 sebagai pusat laboratorium uji pengembangan alat kesehatan.
Pusat Riset juga memfasilitasi sejumlah hal, yaitu:

  • Clinical research supporting unit
  • Writing center: pre submission, editing article, submission service
  • Technology transfer office

Tujuan akhir Pusat Riset ialah terbentuknya medical science techno park pada 2026. Jadi, seluruh hasil riset dari beragam disiplin ilmu, dapat mendukung perkembangan teknologi kedokteran.

Asa Olsson dari LH Martin Institute, University of Melbourne menyatakan riset tidak bisa diprediksi, hal ini yang menarik dari riset. Selain itu, harus ada banyak skill dalam strategic planning. Kemampuan engaging international collaboration juga dibutuhkan agar riset lebih dapat menjawab kebutuhan jaman. Asa juga menyatakan sangat mahal untuk merekrut tenaga internasional. Namun, jika diperlukan maka LH Martin Institute akan melakukannya. Selain itu, dalam dunia riset ada banyak funding, maka kita harus berhati-hati dalam penggunaan dana tersebut. LH Martin Institute merupakan salah satu government institutional yang meningkatkan profesionalisme staf bidang akademik. Salah satunya dengan kolaborasi bersama Lund University dalam bidang innovation policy and management.

Budi Wiweko dalam diskusi menyatakan mengenai jenjang karir di Pusat Riset FK UI, pihaknya telah mengajukan hal tersebut ke FK UI dan Kemenristekdikti. Harapannya hal ini mampu mendorong EMIRI agar memiliki fleksibilitas penuh, dapat meng-hire orang, memiliki akun dan pembiayaan sendiri. Hal ini challenging karena masalah take home pay, jika mengikuti SBU banyak peneliti yang kurang berkenan. Faktanya, 70% pengajaran dilakukan oleh staf universitas, maka jenjang karirnya hanya mengajar atau meneliti saja.

Prof. dr. Laksono Trisnantoro menyatakan dana penelitian dari pemerintah diperkirakan akan meningkat. Dana ini sebagian merupakan mandat/tugas, umumnya dana yang tidak terserap karena kurang serius penanganannya. Bagaimana menyerap dana penelitian? Salah satunya dibutuhkan manajemen yang baik. Beberapa catatan dari kurang berkembangnya manajemen riset di 9 pusat riset di FK, yaitu: riset tim/klaster belum terbangun, kerjasama dengan peneliti dan luar negeri belum baik, infrastruktur belum baik. Maka rencana operasional pasca kegiatan ini:

  • Bagaimana pengembangan peneliti full timer dan karirnya?
  • Tulang punggung riset/post doc harus dikembangkan dengan baik
  • Pengembangan manajemen
  • Pengembangan leadership riset tim/klaster (leader di Pusat/kapusat dan professor/lector kepala yang memimpin tim)

dr. Ahmad Hamim Sadewa, PhD melalui presentasi berjudul Penguatan Manajemen Riset di Program Studi S3 Kedokteran dan Kesehatan menyatakan beberapa poin penting: pertama, manajemen riset sangat penting, dulu peneliti bekerja individual (tanpa target dan roadmap). Kedua, peneliti penting untuk merencanakan (hal yang sama juga diungkapkan Asa Olsson). Riset yang teratur dan dikelola dengan baik, bisa memberikan hasil yang jelas. Ketiga, from clinic to application yang berat. Faktanya, pusat penelitian di FK UGM memiliki grant yang lebih besar dibandingkan prodi. Maka, anjuran dari program S3 ialah pusat penelitian di FK UGM bersedia mengikutsertakan mahasiswa S3 FK UGM yang memiliki potensi sebagai peneliti dan memiliki minat penelitian yang besar. Sehingga, masing-masing kelompok dapat membuat penelitian transnasionalnya. Hamim menegaskan perilaku pemimpin akademik perlu ditingkatkan, agar mahasiswa mampu menerapkan ruh penelitian itu sendiri pasca lulus.

Prof Adi Utarini, MSc, MPH, PhD (pembahas) menemukan kutipan dari sebuah jurnal dan membagikannya pada peserta seminar hari ini (15/5/2017) “area riset leadership tidak banyak literaturnya, bahkan neglected”. Jika menilik internal FK UGM, peneliti full timer: ada sekitar 100, dengan pendidikan S1-S3 (mereka terdaftar sebagai teknisi, hanya ada tenaga pendidik dan teknisi yang tercatat di pusat data UGM). Maka, perlu digalakkan kemandirian penuh atas karirnya, atau pengelolaan keuangannyapada pusat riset yang menaungi banyak peneliti. Hal ini menjadi peluang yang harus digali. Advokasi masih perlu digalakkan. Internal di FK, peneliti senior harus mampu mendapatkan pengakuan dari fakultas dan universitas. Pengembangan peneliti full timer tidak dapat dipisahkan dari pengembangan kemampuan dosen-dosen muda. Banyak mahasiswa S3 yang statusnya part time di FK, maka perlu harmonisasi. Faktanya, training tidak akan berdampak apapun. Maka, FK dan pusat menyisihkan dananya untuk investasi pada peneliti dan dosen muda. Catatan akhir dari sesi 4 ialah mahasiswa S3 (TA 2017 ) telah dipertemukan dengan promotornya melalui program pra Doktor S3 FK UGM, namun mereka dapat juga belajar di kampus lain. Tercatat 70 orang mendaftar, namun sebagian masih mencari topik penelitian. Motivasi pelajar S3 di Indonesia masih seputar meningkatkan karir, prestise atau tugas dari institusinya. Sayangnya, banyak alumni S3 yang tidak meneliti lagi, rata-rata memilih pekerjaan administratif.

dr. Yodi Mahendradhata, MSc, PhD selaku Wakil Dekan Bidang Kerja Sama, Alumni, dan Pengabdian Kepada Masyarakat, FK UGM menyatakan Forum Manajemen Riset II akan diselenggarakan tahun depan di Universitas Indonesia, dr, Budi Wiweko sudah menyanggupi hal tersebut. (Edna/Wiwid)

Tags: 2017

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*