Pada 9 September 2020, Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK – KMK UGM menyelenggarakan webinar series kelima rangkaian kursus berbasis website the Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS). Kali ini pemateri utama berasal dari Centre for Health Economics Universitas Chulalongkorn yakni Assoc. Prof. Chantal Herberholz, Ph.D dan Prof. Siripen Supakankunti. Chantal Herberholz akan memberikan pemahaman tentang mekanisme pembayaran berbeda yang melibatkan sektor swasta. Lalu dilanjutkan pada sesi dua yakni Siripen Supakankunti yang akan menjelaskan infrastruktur kesehatan public-private partnership dan berbagai model PPP serta perbedaannya.
Pada sesi pertama, Chantal Herberholz menjelaskan tentang puchasing mechanism sebagai tool yang digunakan dalam keterlibatan sektor swasta. Apabila dilihat dari kerangka kerja Private Sector Engagement (PSE), pembahasan ini akan berfokus ke bagian implementasi dan monitoring yakni terkait proses pembelian dan kontrak dengan penyedia layanan. Proses pembelian merupakan kunci dari pembiayaan kesehatan. Pada tahun 2000, WHO mendefinisikan proses pembelian adalah proses dimana dana yang dikumpulkan dari peserta kemudian dibayarkan kepada penyedia layanan kesehatan untuk memberikan serangkaian intervensi kesehatan yang ditentukan atau yang tidak ditentukan.
Peran purchaser (pembayar) dianggap penting, antara lain karena terjadinya ketidak seimbangan informasi antara penyedia layanan kesehatan dengan pasien, hal ini disebabkan oleh kompleksnya layanan di faskes sehingga membuat pasien terkadang sulit untuk memahami informasi. Selain itu dengan adanya pembayar juga dapat meningkatkan kinerja dari penyedia layanan melalui mekanisme pembayaran yang diberikan, salah satunya adalah insentif. Insentif bisa disesuaikan dengan kompleksitas layanan yang diberikan, untuk mengelola kualitas layanan, untuk mengelola diantara tipe penyedia layanan yang berbeda, atau juga untuk mengelola manajemen berbagai penyakit kronis pasien. Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan dengan adanya pembayar bisa membantu mengatur hubungan antara pasien dan penyedia layanan untuk mengurangi asimetri informasi diantara keduanya.
Berdasarkan penelitian tahun 2005, Figueras menyebutkan bahwa jika dibandingkan dengan passive purchasing, strategic purchasing dapat meningkatkan kinerja sistem kesehatan melalui alokasi sumber daya keuangan yang efektif kepada penyedia layanan. Tiga hal yang yang dipertimbangkan ketika menggunakan pembayaran strategis adalah intervensi layanan apa saja yang harus dibeli? Bagaimana proses pembeliannya? Dari siapa layanan tersebut dibeli?
Dalam melakukan pembayaran strategis terdapat 3 agen utama. Diadopsi dari penelitian Sanderson (2019), Hanson (2014) dan Forder (2005), tergambar kerangka kerja hubungan antara ketiga agen utama. Hubungan Principle Agent (PA) yang pertama adalah antara konsumen dengan pembayar, dimana terjadi pembelian layanan perawatan kesehatan dan memutuskan layanan apa saja yang mencerminkan kebutuhan dan preferensi dari populasi.
Hubungan PA yang kedua yakni antara pembayar dengan penyedia layanan kesehatan (baik milik publik maupun milik swasta), dimana keduanya melakukan kontrak kerjasama terkait mekanisme dan sistem pembayaran yang akan dilakukan, menentukan supplier (pemasok) layanan kesehatab dalam konteks keadilan, kualita dan efisiensi. Hubungan PA ketiga adalah antara pemerintah dengan pembayar, dimana keduanya menentukan jenis intervensi yang akan dibeli serta mempertimbangkan prioritas kesehatan dan efektivitas biaya (cost-effectiveness).
Di akhir sesi, Chantal kembali menerangkan bahwa purchasing adalah pendekatan untuk memanfaatkan dan melibatkan penyedia layanan kesehatan publik dan swasta. Strategic purchasing dapat membantu pembeli memastikan kualitas, efisiensi, kesetaraan, dan responsif dalam memberikan layanan kesehatan. Serta penerapan strategic purchasing membutuhkan kontrak dan mekanisme pembayaran yang erat kaitannya terhadap kinerja.
Setelah paparan dari Chantal, dilanjutkan sesi kedua dengan pembicara utama Siripen Supakankunti yang memaparkan gambaran umum kemitraan antara publik dan swasta/ PPP (Public Private Partnership) untuk rumah sakit, kemudian juga peluang dan tantangan yang dihadapi. Menurut Klijn, Edelenbos dan Hughes (2007) PPP memiliki definisi kerja sama yang kurang lebih permanen antara pelaku publik dan swasta dimana ada produk atau layanan yang kembangkan bersama, dan juga biaya dan resiko dibagi kedua belah pihak. PPP memiliki beberapa karakteristik yakni terdapat alokasi risiko, kontrak berlaku jangka panjang (5-30 tahun) dan kontrak didasarkan pada indikator kinerja yang disepakati bersama.
Terdapat beberapa bentuk keterlibatan sektor swasta, bisa berupa program kesehatan masyarakat dan sosial (contohnya pengembangan produk obat/ vaksin, membuat akses berdasarkan geografi dan kegiatan promosi kesehatan), berupa layanan (contohnya mengkontrak layanan baik klinis dan non klinis), atau juga berupa fasilitas kesehatan (contohnya pengoperasian dan manajemen fasilitas kesehatan, sektor swasta bisa melakukan pembiayaan untuk publik, sektor swasta juga bisa gabung dengan sektor publik dengan mengambil alih pelayanan RS publik, dan juga yang disebut juga dengan Ko-lokasi dimana swasta memberikan layanan yang bertempat di RS publik.
Model PPP yang bisa diterapkan di rumah sakit ada beberapa macam, antara lain Design- Build (DB) yakni merancang dan membangun, kemudian ada Design- Build- Maintain (DBM) yakni setelah dirancang dan dibangun lalu diperlihara. Ada juga model Design – Build- Operate (DBO) yakni merancang, membangun lalu mengoperasikan. Model PPP lainnya ada DBOM (Design – Build – Operate – Maintain), DBFO, DBFM atau DBFO/M (Design – Build – Finance – Operate/ Maintain), BTO (Build – Transfer- Operate) , kemudian BOT (Build – Operate – Transfer) dan lainnya. Sebagian besar model yang digunakan adalah untuk pengembangan infrasturktur.
Siripen menyatakan bahwa model PPP di rumah sakit memiliki keunggulan namun ada juga kelemahannya. Keuntungannya adalah ada alternatif untuk memberikan proyek infrastruktur karena publik memiliki keterbatasan terkait hal ini. Lalu publik maupun fasilitas kesehatan juga bisa fokus terhadap hal- hal yang terkait penyediaan layanan klinis, bisa meningkatkan efisiensi, mengadopsi teknologi dan manajemen baru serta terdapat pembagian risiko antara publik dan swasta. Namun model PPP di RS juga terdapat kelemahan antara lain biaya modal lebih tinggi, lalu transaksi, pemantauan dan biaya pengaturan juga lebih tinggi.
Kelemahan selanjutnya adalah dengan ukuran project pendanaan yang besar namun persaingannya rendah, inovasi rendah, kurangnya integrasi (model perawatan klinis dengan desain infrastruktur), manajemen untuk mengelola juga tidak mudah, lalu memiliki risiko lumayan besar dengan pihak pemerintah. PPP juga berpotensi dalam penyelenggaraan Universal Health Coverage (UHC), kerena dapat digunakan dengan tujuan kebijakan publik, investasi jangka panjang dari pendanaan publik dan swasta, transfer risiko dari publik ke sektor swasta, netralitas biaya untuk pasien, kesetaraan akses untuk semua pasien dan keuntungan efisiensi di seluruh sistem.
Siripen mengutarakan trend di Asia lebih banyak untuk outsourcing dan purchasing. Untuk saat ini dukungan dalam PPP sudah ke arah yang lebih baik, seperti pembentukan unit PPP, pelatihan dan penguatan kapasitas terkait PPP juga semakin banyak dan salah satunya juga seperti kegiatan yang sedang kita laksanakan. Saat ini model PPP untuk rumah sakit semakin dipertimbangkan, namun memang masih ditemui banyak tantangannya. Contohnya di Thailand, tantangan disana terkait anggaran, operasional dan kelembagaan.
Di Filipina, tantangannya berupa tidak ada kemauan politis, keterlibatan dari pemangku kepentingan sangat terbatas, modelnya sangat kompleks, tidak ada transparansi dan pengalaman, kontrak tidak fleksibel dan juga tidak ada mekanisme pembayaran untuk jangka panjang. Sehingga dari keduanya kita bisa mengambil pembelajaran, antara lain kemauan politik adalah hal penting sehingga bisa mengajak politikus terlibat pada implementasi PPP, melibatkan semua pemangku kepentingan di semua proses, membuat proyek lebih menarik untuk sektor swasta, harus ada kepercayaan dalam membangun manajemen hubungan baik formal maupun non formal, fokus dalam perencanaan layanan bukan hanya infrastuktur, mengembangkan pendekatan untuk menentukan nilai uang, selanjutnya adalah kemampuan dari tim PPP merupakan kunci berhasil atau tidaknya program.
Sesi berikutnya adalah diskusi yang diikuti oleh peserta via chat atau bisa juga bertanya langsung di platform webinar. Total peserta yang mengikuti webinar series 5 sebanyak 49 peserta baik nasional maupun internasional. Webinar selanjutnya yaitu series ke 6 akan diadakan pada 16 September 2020, yang akan memberikan pemahaman tentang kapabilitas potensial baik dari pembeli dan penyedia serta perantara.
Reporter: Herma Setiyaningsih