Reportase Course Webinar Keterlibatan Sektor Swasta dalam Layanan Kesehatan Pertemuan Keenam

Reportase Course Webinar Keterlibatan Sektor Swasta dalam Layanan Kesehatan Pertemuan Keenam

Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM kembali menyelenggarakan webinar series keenam rangkaian kursus the Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS) dengan topik pemahaman tentang potensi kemampuan pembeli dan penyedia serta perantara dalam sistem kesehatan. Webinar ini diselenggarakan pada Rabu (16/09) pukul 09.00 – 11.00 WIB yang diikuti oleh 41 peserta. Moderator kali ini adalah dr. Jodi Visnu dengan 2 narasumber yakni Prof. Kenneth Y. Hartigan-Go. M.D. BSc. dari Asian Institute of Management dan Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD dari Universitas Gadjah Mada.

SESI I

Pada sesi pertama, Kenneth menyampaikan materi terkait sustainabilitas keuangan dan kapasitas lembaga untuk purchaser (pembayar) dan provider (penyedia layanan). Tujuan dari topik ini adalah mencari solusi terbaik dengan memahami bagaimana sistem keuangan bekerja dan bagaimana sistem pemerintahan mempengaruhi kapasitas organisasi. Sejauh ini belum ada negara yang sudah sempurna dalam menjalankan sistem asuransi kesehatan mereka, yang akan dilakukan melalui pembelajaran sistem asuransi kesehatan di beberapa negara. Beberapa materi yang akan dibahas antara lain enam elemen dasar layanan dukungan kesehatan, pentingnya kapasitas institusi, apa saja peran pembayar dan penyedia layanan, kapasitas absorpsi, peran pemimpin dalam menciptakan sistem keuangan transparan yang stabil untuk mencakup layanan kesehatan serta bagaimana cara kerja peredaran keuangannya.

Pada 2007, World Health Organization mengembangkan kerangka kerja untuk penguatan sistem kesehatan yakni melalui 6 building blocks (pilar) yang mencakup (i) leadership/ pemerintah, (ii) service delivery, (iii) health workforce, (iv) health information systems, (v) access to essential medicine, dan (vi) financing. Pemerintah berperan dalam membuat kebijakan, regulasi, strategi, menentukan dan mengalokasikan sumber daya, serta melakukan monitoring. Untuk service delivey berkaitan dengan paket layanan, model layanan, infrastruktur, manajemen, keselamatan dan kualitas, serta kebutuhan akan pelayanan. Health workforce berkaitan dengan kebijakan tenaga kerja nasional, advokasi, norma, standar, dan data. Information berkaitan dengan fasilitas dan infomasi yang berbasis masyarakat, surveillans, dan peralatan. Access to essential medicine berkaitan dengan akses yang merata dan berkualitas, akses untuk produk medis serta teknologi yang sesuai standar. Serta financing berkaitan dengan kebijakan pembiayaan kesehatan nasional, pengeluaran, dan tarif.

Dari pilar – pilar di atas, selanjutnya dijelaskan pula peranan dari provider dan purchaser. Provider disini bisa dokter, perawat, apotek, dokter gigi, layanan laboratorium, supplier farmasi dan lainnya. Mereka berperan dalam memastikan biaya yang efektif pada intervensi yang dilakukan dan penggunaan teknologi. Perlunya kehati – hatian dalam perhitungan terkait kompensasi dan juga perhitungan inflasi. Sedangkan purchaser lebih cenderung berpikir terkait bisnis, wirausaha sosial dalam perilaku, dengan pemeriksaan dan keseimbangan yang baik pada tata kelola, audit, manajemen risiko. Beberapa hal yang dilakukan adalah menerapkan asesmen teknologi kesehatan sebagai pedoman dalam seleksi. Purchaser juga melakukan negosiasi harga untuk barang dan jasa. Perlu manajemen pengadaan yang dilakukan oleh pihak ketiga (dalam hal ini provider) agar tidak timbul masalah di kemudian hari.

Kenneth menekankan sumber daya saja tidak cukup apabila tidak diimbangi dengan kemampuan dalam menyerap segala sumber daya tersebut. Adanya regulasi yang baik, kebijakan, serta kemampuan keuangan perlu ditunjang dengan kapasitas dalam melakukan inisiasi, mengimplementasi serta pelembagaan.
Terkait mekanisme alur peredaran keuangan, pemerintah menggunakan pajak atau pengumpulan kontribusi iuran dari masyarakat. Setelah dana tersebut terkumpul, kemudian diputuskan berapa banyak yang dialokasikan untuk pengadaan barang dan jasa, lalu berapa banyak yang harus dimasukkan ke dalam cadangan biaya, atau kapan harus meningkatkan kontribusi tersebut berdasarkan peraturan yang telah disepakati.

SESI II

Sesi kedua disampaikan oleh Prof Laksono terkait filantropi sebagai salah satu sumber pembiayaan kesehatan dengan contoh kasus di Indonesia. Kegiatan amal/ filantropi termasuk dalam skema kerangka kerja Private Sector Engagement (PSE) dalam skema pembiayaan yang melibatkan sektor swasta. Dalam presentasi ini, secara garis besar menjelaskan tentang pembiayaan kesehatan dan situasi ketidakadilan di Indonesia, prospek filantropi di bidang kesehatan, pemetaan filantropi kesehatan di Indonesia dan alat kebijakan untuk meningkatkan filantropi.

Sebelum adanya pandemi, situasi ekonomi selama 10 tahun terakhir menggambarkan Produk Domestik Bruto (PDB) yang semakin meningkat sedangkan pendapatan (baik yang berasal dari pajak maupun bukan) cenderung datar, untuk pajak di sekitar 10% saja. Sumber pendanaan ada 2 macam yakni yang berasal dari pemerintah dan dari sektor swasta. Pendanaan pemerintah pusat yakni dari pajak yang dikumpulkan dan pendapatan bukan pajak, sedangkan dari pemerintah daerah berupa APBD. Pendanaan dari sektor swasta bisa berasal dari out of pocket, asuransi swasta, pekerja formal dan informal, serta pendanaan yang berasal dari filantropi. Data belanja kesehatan pada 2010 – 2016 menunjukkan bahwa pembiayaan kesehatan mengalami perubahan yang signifikan, pembiayaan kesehatan publik mengalami peningkatan dari 29% menjadi 48,7% sedangkan pembiayaan kesehatan swasta mengalami penurunan dari 71% menjadi 51,3% hal ini karena adanya skema UHC yang mulai diterapkan sejak 2014.

Untuk saat ini, pelaksanaan UHC masih menghadapi sejumlah kendala yakni kekurangan dana di sektor kesehatan dan masih terjadi ketimpangan. Sistem single pool dari beberapa segmentasi peserta. Banyak rumah sakit yang kekurangan dana karena tingkat klaimnya lebih rendah daripada biaya yang dikeluarkan RS, terdapat peserta yang menunggak karena tidak mampu lagi membayar premi secara rutin. Masyarakat tidak mampu terbatas soal akses karena sulit menjangkau fasilitas akibat adanya biaya tambahan seperti transportasi dan akomodasi. Skema UHC tidak memiliki dana untuk memberikan kompensasi bagi daerah terpencil dan sulit. Hal- hal tersebut berdampak pada kualitas pelayanan serta layanan kesehatan dan inovasi pun terhambat dan menjadi langka.

Objektif stategi pembiayaan adalah meningkatkan belanja kesehatan menjadi 5% dari PDB di tahun 2024 serta meningkatkan blended financing (pemerintah dan swasta). Pemerintah pusat dapat memfokuskan sasarannya pada masyarakat tidak mampu dan meningkatkan akses kesehatan di wilayah terpencil. Lalu pemerintah daerah harus aktif dalam menyeimbangkan fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia serta membayar defisit di daerahnya. Dari sektor swasta, dapat meningkatkan melalui dana komunitas dan asuransi komersial, serta menambah filantropi di bidang kesehatan.

Untuk masa yang akan datang, filantropi dibidang kesehatan mempunyai prospek yang cukup bagus dengan karakteriktik populasi besar seperti di Indonesia. Indonesia juga dikenal sebagai negara yang paling dermawan, buktinya data dari Filantropi Islam menyatakan potensi dana filantropi sebesar Rp 256 Triliun. Skema yang berjalan di Indonesia dinamakan crowdfunding yakni penggalangan dana dari sejumlah orang yang masing – masing memberikan kontribusi yang relatif kecil untuk membantu atau suatu kegiatan atau usaha dan umumnya dilakukan melalui media digital. Ada beberapa platform media digital terkait crowdfunding, contohnya Kitabisa.com, WeCare.id, ayopeduli.id dan lainnya.

Untuk pemetaan filantropi kesehatan, dibagi menjadi individu dan institusi. Individu bisa dari High-net-worth individual (HNWI) atau dari komunitas. Sedangkan institusi bisa dari perusahaan maupun non perusahaan (organisasi agama, organisasi berbasis kekeluargaan, dll). Tools yang dibutuhkan terkait kebijakan contohnya adalah kebijakan pajak yang ditinjau untuk mendukung filantropi, pajak pendapatan nasional memberikan potongan pembayar pajak untuk sumbangan amal lalu pajak perusahaan yang mendukung filantropi.

Selain sesi materi, sesi diskusi pun bisa diikuti secara aktif oleh peserta. Pada sesi penutup disampaikan bahwa webinar series 7 akan diadakan pada 23 September 2020, yang akan memberikan fokus pada beberapa bagian teknis dari implementasi PPP dan perawatan terintegrasi yang akan disampaikan oleh Prof. Siripen Supakankunti dan Asst. Prof . Dr. Narjis Rizvi.

Reporter: Herma Setiyaningsih

Tags: 2020 anhss PPP

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*