Kursus the Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS) kembali diselenggarakan pada 7 Oktober 2020. Ini merupakan series ke – 9 dari 10 series pelatihan yang diadakan oleh Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK – KMK UGM. Narasumber utama pada kegiatan ini adalah Prof. Kenneth Y. Hartigan-Go. M.D. BSc. dari Asian Institute of Management dan Asst. Prof. Dr. Narjis Rizvi dari Universitas Aga Khan serta dimoderatori oleh Shita Listya Dewi dari PKMK FK – KMK UGM. Topik yang disampaikan adalah bagian terakhir dari framework yakni cara – cara untuk memastikan nilai uang, terutama dengan layanan kontrak dan infrastruktur PPP.
Pada sesi pengantar, Kenneth menyampaikan bahwa mayoritas negara mengalami keterbatasan sumber daya kesehatan. Dari tantangan tersebut, ingin diketahui sejauh mana sektor swasta terlibat, bagaimana sektor swasta mendefinisikan value for money dan bagaimana memperkuat sistem kesehatan. Untuk itu pada sesi kali ini Kenneth juga mengundang Esther Go, CEO dari perusahaan MediLink, yang merupakan bagian dari konsorsium perusahaan yang berperan penting dalam penyediaan layanan kesehatan dan berbagai inovasi. Esther memberikan paparan terkait data – data kesehatan di Filipina. Filipina memiliki tantangan yakni angka harapan hidup relatif rendah jika dibandingkan Negara – negara di ASEAN, rasio dokter per 1000 penduduk tergolong rendah dan jumlah rumah sakit sedikit. Di era pandemi seperti sekarang juga bermasalah terkait pembiayaan, karena asuransi tidak berlaku untuk semua penyakit.
Diketahui bahwa pada 2015, out of pocket di Filipina merupakan angka tertinggi di Asia yakni mencapai 53,5% dari total belanja kesehatan. Pada 2016 diketahui bahwa angka kematian di Filipina mayoritas disumbang dari faktor penyakit tidak menular yang disebabkan oleh gaya hidup dan lingkungan yang kurang baik. Penyakit tidak menular ini selain mempengaruhi beban pasien, juga menimbulkan beban untuk keluarganya jika penyakitnya tergolong kategori lanjut.
Layanan berbasis nilai atau yang disebut dengan (Value Based Healthcare/ VBH) yakni memberi layanan yang tepat, dilokasi dan waktu yang tepat dan dengan personil yang tepat. Sedangkan fee for service (FFS) adalah model konvensional dimana pasien membayar per episode/layanan, tidak ada kaitan langsung antara pembayaran dengan hasil yang diperoleh. Layanan berbasis nilai adalah dengan tarif tertentu (misal per tahun) pembayar dan juga provider memiliki insentif untuk menyelaraskan matriks dengan kebutuhan pasien, layanan hanya diberikan untuk pasien yang sakit serta tidak bergantung pada jumlah kunjungan.
Untuk dapat memberikan layanan kesehatan ini, tidak bisa hanya bergantung pada satu instansi. MediLink merupakan health enterprise platform dimana berfungsi untuk mengecek kapasitas untuk membayar, apakah preminya sudah dibayarkan dan apa saja cakupan yang di – cover asuransi tersebut. Selanjutnya ada juga yang dinamakan dengan Maxicare yakni untuk perencanaan asuransi yang memberikan perlindungan terhadap resiko finansial. Lalu ada juga Equitable Computer Services yang berfungsi untuk membayarkan copayment yang dikumpulkan di Maxicare ke dokter/penyedia layanan. Untuk koordinasi terkait perawatan dilakukan melalui teknologi infomasi kesehatan melalui digitalisasi perawatan kesehatan yang memungkinkan anggota untuk menerima pemantauan dan pengobatan pada tahap yang sangat awal, juga menghilangkan hambatan fisik dan psikologis untuk mencari perawatan kesehatan secara tepat waktu, terutama selama pandemi.
Prof Kenneth menutup sesi dengan kesimpulan bahwa manajemen kemitraan dan manajemen layanan merupakan hal yang sangat penting dalam melayani pasien. Perawatan kesehatan berbasis nilai adalah hal yang penting meskipun kita menghadapi banyak tantangan dalam hal sikap, nilai, dan tradisi. Ini memberi nilai lebih untuk uang bagi pelanggan karena sistemnya yang terintegrasi, serta sektor publik. Kebocoran dan pemborosan sumber daya dapat dikelola, melalui kemitraan dan koordinasi perawatan dengan sektor swasta.
Sesi kedua disampaikan oleh Narjis Rizvi terkait kegiatan pengelolaan dan pemantauan hasil/ luaran dari layanan kesehatan. Latar belakang kegiatan pemantauan dan monitoring adalah untuk memastikan kualitas layanan yang dibeli. Kerangka konsep yang digunakan adalah yang berpusat pada pengguna layanan, dimana semua pemangku kepentingan berkoordinasi untuk memberikan layanan yang berkualitas. Negara yang menyelenggarakan universal health coverage (UHC) adalah negara – negara yang menilai kesehatan merupakan hak dasar dari manusia. Bagian dari layanan terpadu ini maka pemberi layanan harus bisa diakses oleh setiap orang, kualitas layanan harus baik, memenuhi kebutuhan dan harapan dari pengguna layanan. Selain itu sistem kesehatan juga harus didasarkan pada ekuitas, komprehensif, juga mencakup pencegahan serta promosi kesehatan dan juga harus sensitif terhadap faktor penentu yang ada di sosial seperti faktor resiko yang mempengaruhi status kesehatan seseorang.
Manajemen yakni menetapkan strategi organisasi dan mengkoordinasikan upaya karyawan (atau relawan) untuk mencapai tujuannya melalui penerapan sumber daya yang tersedia, seperti keuangan, alam, teknologi, dan sumber daya manusia. lalu kegiatan pemantauan adalah pelacakan/ pelaporan rutin dari informasi prioritas tentang suatu proyek/program. Jadi untuk layanan kesehatan terpadu, bagaimana sebuah negara bergerak menuju layanan kesehatan terpadu dengan aspek monitoringnya adalah input, apa proses yang sudah diterapkan, output/ keluaran, outcome/hasil, serta apa dampaknya dari semua kegiatan yang dilakukan. Untuk bisa memonitor, harus ada 3 level yakni makro, meso dan mikro. Di tingkat makro fungsinya untuk lihat apakah ada lingkungan yang mendukung, tingkat meso untuk melihat apakah layanan berpusat pada manusia dan terintegrasi, dan tingkat mikro untuk melihat layanan apakah memang dikoordinasikan seputar kebutuhan dari masyarakat.
Pada pemantauan di tingkat makro/ input adalah stabilitas politik, akuntabilitas dari pemerintah, kualitas dari regulasi, penegakan tentang undang – undang, kontrol terkait korupsi, sumber pembiayaan untuk sektor keseharan, tindakan lintas sektor dalam penanganan determinan struktural dari kesehatan, perlu kolaborasi antara sektor kesehatan dengan sektor lainnya seperti (pendidikan dan sosial), kebijakan publik yang sehat yang berfokus pada UHC dan ekuitas, serta pembangunan sosial ekonomi. Untuk di tingkat meso/ tingkat proses, yang harus di pantau dan kelola adalah pemberdayaan masyarakat, memperkuat tata kelola dan akuntabilitas, orientasi ulang model layanan yang komprehensif (kuratif, promotif dan preventif), koordinasi tiap layanan antara publik dan swasta, koordinasi sektor kesehatan dan lainnya juga lingkungan yang mendukung. Untuk di tingkat mikro, pemantauan dilakukan menggunakan 6 komponen dari WHO yakni pembiayaan untuk sektor kesehatan, paket layanan yang diberikan oleh pemerintah, ketersediaan obat/ teknologi dan peralatan, sistem informasi kesehatan apakah relevan dan dikumpulkan tepat waktu, tenaga kesehatan harus memadai dan terampil.
Pelaksanakaan pemantauan dilakukan melalui mengukur perubahan dari karakteristik yang bisa dikuantifikasi atau biasa disebut dengan istilah indikator. Indikator yang digunakan adalah input, proses, output, outcome dan dampak. Indikator di tingkat makro contohnya strategi kesehatan nasional apakah dikaitkan dengan kebutuhan dan prioritas nasional, apakah ada kebijakan obat nasional, rencana strategi nasional untuk beberapa penyakit seperti TB, malaria, HIV dan kesehatan ibu anak, serta keberadaan dokumen penganggaran, tinjauan kinerja tahunan, mekanisme untuk bisa mendapatkan input dari pasien. Untuk indikator meso, antara lain inisiatif dari pemerintah untuk membuat kerangka kebijakan fleksibel, pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk berkomunikasi dengan pasien/ komunitas lainnya, formulasi kerangka dan mekanisme untuk penguatan pemerintahan dan akuntabilitas, penguatan anggaran untuk layanan pencegahan, inisiatif untuk penyelenggaraan bersama untuk berkolaborasi.
Selanjutnya untuk indikator di tingkat mikro adalah terkait penyediaan layanan kesehatan seperti layanan bisa diekspansi hingga ke daerah pedesaan/terpencil, apakah didasarkan pada kesetaraan terutama untuk komunitas yang rentan, lalui juga terkait ketersediaan obat – obat esensial, ketersediaan tenaga kesehatan, serta ketersediaan informasi. Untuk indikator outcome antara lain cakupan anak yang diimunisasi, kualitas dari penyedia layanan yang sesuai protokol, kesetaraan dari penerima layanan terutama untuk kelompok rentan, program yang komprehensif dan jumlah program yang berkolaborasi dengan pihak – pihak di luar sektor kesehatan. Selanjutnya untuk indikator dampak bisa dilihat dari penurunan angka kematian ibu dan anak, responsif terhadap kebutuhan dari masyarakat, perlindungan finansial bisa dicek melalui prosentase rumah tangga yang sudah memiliki asuransi, serta peningkatan efisiensi.
Kegitan monitoring membantu dalam pengambilan keputusan dari pemangku kepentingan melalui informasi yang telah dikumpulkan, untuk memecahkan masalah, melibatkan masyarakat dan civil society organization (CSO) contohnya adalah edukasi/ penyuluhan. Selain itu monitoring juga bisa untuk meninjau akuntabilitas dari petugas kesehatan terkait beban kerja, bisa juga untuk penentuan anggaran karena disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi pada wilayah tersebut, mendorong pembelajaran antar negara agar saling bisa mengambil pengalaman apa saja yang sudah diterapkan di masing – masing negara.
Langkah – langkah untuk mengembangkan kerangka kerja dari monitoring antara lain menetapkan tujuan programnya, contohnya yakni layanan kesehatan terpadu. Kedua adalah menetapkan pertanyaan monitoring, indikator dan kelayakan yang dipantau di tingkat makro, meso dan mikro. Ketiga adalah menetapkan metodologi peninjauan, sebagai contoh mengumpulkan infromasi dan data melalui data pemerintah, atau survey atau wawancara ke klien, atau data literatur/ laporan. Keempat adalah merancang mekanisme untuk bisa mengatasi jika ada pemasalahan dalam implementasi. Kelima adalah indentifikasi sumber daya internal maupun eksternal, keenam adalah mengembangkan matriks dan jadwal dari rencana kerja. Serta terakhir adalah mengembangkan diseminasi hasil dan pemanfaatan temuan dari kegiatan monitoring yang sudah dilakukan.
Sesi terakhir adalah sesi penutup dengan menyampaikan pertemuan selanjutnya akan ada presentasi dari peserta terkait pilot proyek peran sektor swasta. Selain itu pada series ke – 10 pada 14 Oktober 2020 juga akan ada presentasi dari World Bank terkait manajemen kontrak, ketrampilan yang harus dimiliki serta tantangan yang dihadapi dalam membentuk kemitraan dengan sektor swasta.
Reporter: Herma Setiyaningsih