Reportase Course Webinar Keterlibatan Sektor Swasta dalam Layanan Kesehatan Kesepuluh

Reportase Course Webinar Keterlibatan Sektor Swasta dalam Layanan Kesehatan Kesepuluh

14 Oktober 2020

Series ke – 10 kursus the Asia Pacific Network for Capacity Building in Health System Strengthening (ANHSS) diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK – KMK UGM pada 14 Oktober 2020. Ini merupakan series paparan materi terakhir di rangkaian kursus ANHSS dengan peserta yang berasal dari berbagai negara sejumlah 66 peserta. Webinar kali ini agak berbeda dengan series – series sebelumnya, karena selain ada narasumber utama yakni Prof. Dr A.Venkat Raman dari Fakultas Studi Manajemen, University of Delhi, ada juga presentasi dari 3 peserta kursus tentang pengalaman terkait Public Private Partnership (PPP) atau Private Sector Engagement (PSE), serta dimoderatori oleh Shita Dewi, peneiliti di PKMK FK – KMK UGM.

Pada sesi pertama, Venkat Raman memberikan materi terkait kontrak dan manajemen kontrak. Di awal presentasinya, Venkat memberikan latarbelakang perlunya melibatkan sektor swasta. Pertama adalah jumlah infrastruktur kesehatan yang belum sesuai standar (misalnya jumlah tenaga kerja kesehatan dan tempat tidur per 1000 penduduk), kedua adalah perlu mengoptimalkan fasilitas publik di level desa (misal terjadi utilisasi yang rendah karena kekurangan personil dan belum ada layanan kesehatan spesialistik), lalu yang alasan ketiga adalah bertujuan melindungi golongan miskin dari out of pocket/ OOP (misalnya melalui skema asuransi atau bisa juga melalui strategic purchasing). Jadi dengan melibatkan sektor swasta diharapkan bisa melengkapi hal – hal yang belum bisa dioptimalkan oleh pemerintah.

Diambil dari publikasi Venkat Raman (2012), berdasarkan tujuannya ada 3 model PSE/PPP yakni dalam infrastuktur, penyedia layanan, dan proteksi finansial. Untuk model infrastruktur, istilah spesifik untuk kontrak adalah persetujuan konsesi (concession agreement). Untuk di model penyedia layanan, kontrak yang digunakan adalah kontrak manajemen, co-location, atau bisa juga berbentuk waralaba. Untuk model proteksi finansial bisa berbentuk asuransi kesehatan, hibah, atau sosial proteksi berbentuk lainnya. Kemudian ada juga keterlibatan swasta di bidang lainnya, seperti teknologi kesehatan digital, pemasaran sosial, penelitian mengenai obat. Lingkup dari PSE/PPP antara lain layanan non klinis, layanan primer, layanan klinis pendukung, layanan klinis spesialistik, dan operasional rumah sakit.

Contoh kontrak non klinis adalah kontrak mengenai pengelolaan kebersihan rumah sakit, penilaian berbasis kinerja dan tingkat kebersihannya. Area rumah sakit diatur menjadi 4 kategori yakni area dengan risiko paling tinggi (ICU, neonatal, ruang operasi), area dengan risiko tinggi, area risiko sedang dan area dengan risiko rendah (ruang administrasi, ruang teknisi). Jadwal kebersihannya disesuaikan tingkat risiko, daerah paling tinggi risiko dibersihkan tiap 3 jam, sedangkan area dengan risiko paling rendah dibersihkan cukup satu kali dalam sehari.

Kemudian dilakukan penilaian setiap 2 hari dengan memasukkan nilai/skor di sistem. Output maksimal nilai yang dihasilkan dari sistem adalah 80, sedangkan 20 poin sisanya adalah penilaian feedback dari pasien. Kemudian pembayaran ke kontraktor berdasarkan total nilai. Jika total nilai melebihi 80 maka tidak ada pengurangan pembiayaan, jika total nilai 61 – 80 maka uang yang dibayarkan hanya 80%, untuk total nilai 41 – 60 maka yang dibayarkan hanya 60%, dengan asumsi terburuk adalah kontraktor tidak akan menerima uang apabila total nilai hanya 0 – 10.

Contoh kedua adalah kontrak terkait layanan kesehatan untuk persalinan dan neonatal. Di salah satu provinsi di India, diketaui tiap 100 persalinan, 85% adalah persalinan normal dan sisanya 15% adalah persalinan dengan komplikasi (terdiri dari 3% eklamsia, septicemia 2%, tranfusi darah 3%, dan SC sebesar 7%). Skema pembiayaan untuk persalinan tersebut berupa lump sum dengan dibedakan berdasarkan tingkat kesulitan persalinan. Sebagai contoh, untuk persalinan normal sebesar 1.800 Rupee, sedangkan untuk operasi Caesar sebesar 7.000 Rupee.

Selain terkait persalinan, juga ada pembiayaan untuk kunjungan pra persalinan, perawatan antenatal, USG, NICU, makanan dan transportasi. Kemudian ada skema tambahan untuk melengkapi skema pembiayaan sebelumnya yaitu untuk perawatan darurat untuk bayi baru lahir dengan risiko tinggi, terutama untuk jasa dari dokter obsgyn dan untuk biaya medis darurat. Prinsip dalam kontrak ini antara lain pembelian dilakukan dalam jumlah besar, menggunakan kualifikasi entri yang sederhana, konsultasi yang ekstensif dengan para praktisi, melaksanakan uji coba terlebih dahulu sebelum di ekspansi, layanan perawatan berkelanjutan dan pembayaran/ insentif di muka. Venkat juga menceritakan bahwa skema yang digunakan ini mendapat penghargaan dari PBB karena penilaiannya sangat baik.

Selanjutnya untuk contoh ketiga berfokus pada pelayanan primer yakni terkait bagaimana mengontrak/melibatkan swasta untuk memberikan layanan Tuberculosis (TB). Mekanisme kontrak tidak hanya dibatasi melalui melalui hibah tapi juga PPM (public private mix). Untuk melibatkan sektor swasta, kami mengutamakan layanan berkesinambungan yang berbentuk paket per diagnosis. Kemudian ada lembaga yang bertugas menjadi perantara antara pemerintah dengan sektor swasta, lembaga ini dinamakan Patient to Provider Service Agency (PPSA). Tugas dari PPSA adalah mencatat angka notifikasi kasus TB dari masing – masing provider swasta kemudian melaporkannya ke pemerintah.

Selanjutnya pemerintah akan membayarkan biaya tersebut ke provider swasta melalui PPSA juga. Untuk tolak ukur kinerja, ada beberapa indikator yang harus dipenuhi oleh provider swasta, contohnya indikator notifikasi kasus harus terpenuhi 90% dari target. Kemudian masing – masing indikator (notifikasi kasus, konfirmasi bakteriologis, validasi akun, Drug Sensitivity Test/DST, tes HIV dan Diabetes Militus, angka keberhasilan kasus) memiliki bobot yang akan menjadi penentu besaran pembayaran dari pemerintah. Prinisip yang digunakan dalam kontrak ini adalah menggunakan database yang terpusat untuk mengurangi intervensi dari manusia (pejabat provinsi) serta pembayaran juga didasarkan pada kinerja swasta. Skema model ini sudah dilaksanakan di 4 provinsi kemudian akan dilanjutkan di 18 provinsi lagi.

Contoh terakhir adalah kontrak untuk manajemen rumah sakit. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit super spesialis yang berada di daerah terpencil namun tidak berjalan dengan baik karena susah mendapatkan dokter spesialis yang mau ditempatkan di rumah sakit ini sehingga RS hanya digunakan untuk rawat jalan yang berakibat sebagian besar kapasitas RS tidak terisi. Oleh karena itu pemerintah memutuskan untuk mengontrak pihak swasta untuk meningkatkan manajemen RS. Dari penelitian Venkatraman dan La Forgia (2014), setidaknya ada 16 parameter yang harus ada di kontrak manajemen rumah sakit, antara lain definisi dari pembayar dan penyedia layanan, lingkup layanan, struktur tarif, ketentuan administratif, insentif dan denda, dan lainnya.

Di akhir sesinya, Venkat merangkum tantangan kunci dalam manajemen kontrak antara lain tekanan politik yang menyebabkan kurang memadainya persiapan kontrak, lingkup proyek yang kurang realistik, database berbasis sistem, mitigasi risiko, payung hukum yang jelas, unit organisasi khusus untuk mengelola kontrak, IT, perlu anggaran/ dana khusus yang sudah disiapkan untuk PPP, ada rencana transisi untuk setiap kontrak agar tidak ada penurunan layanan ketika kontrak berakhir. Jika diringkas, ada 4 elemen utama yang harus ada di dalam kontrak yakni pengelolaan hubungan dengan mitra swasta, bagaimana kita memastikan bahwa parameter untuk layanan terpenuhi, bagaimana memastikan fungsi harian berjalan baik dan memastikan pembayaran bisa lancar. Kemudian ada tim manajemen kontrak yang mengatur semuanya.

Sesi dilanjutkan dengan presentasi dari 3 delegasi Indonesia. Peserta pertama adalah Fahriah yang mempresentasikan PSE untuk pengendalian Antimicrobial Resistance (AMR) di Indonesia. AMR adalah kondisi dimana mikro organisme sudah resisten terhadap antibiotik yang menyebabkan pengobatan standar menjadi tidak efektif sehingga menyebabkan infeksi bisa menyebar ke orang lain, diprediksikan pada tahun 2050 sekitar 10 juta kematian di dunia disebabkan oleh AMR. Langkah yang diambil oleh Indonesia adalah membuat Renstra Antibiotik yang digagas oleh Kemenko PMK, Kemenkes, Kementan dan Kemenkeu pada 2017 – 2019.

Tujuan stratedi tersebut antara lain meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang antibiotik, mengurangi insidensi kejadian infeksi, mengoptimalkan penggunaan antibiotik dan mengembangkan kasus ekonomi untuk investasi berkelanjutan. Sektor swasta berperan dalam memberikan sistem edukasi AMR melalui kegiatan pelatihan dan sertifikasi, diseminasi di media, kampanye dan advokasi ke pemangku kebijakan. Mengoptimalkan sektor swasta dengan melatih swasta sebagai agen perubahan (terutama apoteker) untuk memberikan penyuluhan dan kesadaran penggunaan antibiotik hanya berdasarkan resep.

Presentasi kedua adalah Nurul dari Subdirektorat TB Kementerian Kesehatan terkait PPP Program Tuberculosis. Pada 2019, kasus TB di Indonesia yang dilaporkan sebanyak 67%, sisanya diperkirakan sebesar 33% belum terdeteksi dan belum terlaporkan. Untuk mengatasi hal tersebut, terkait kasus yang belum terdeteksi, Subdit TB melakukan kontak investigasi/ kontak tracing yang dilakukan oleh petugas puskesmas/ kader/ CSO (Civil Society Organization). Untuk kasus yang belum terlaporkan, intervensi yang digunakan adalah melalui District Publik Private Mix (DPPM), mandatori notifikasi, penguatan surveilans sistem, kolaborasi dengan program TB HIV& TB anak, meningkatkan sistem informasi. Dari literatur yang ada diketahui pada tahun 2017 lebih dari 70% pasien TB berobat di sektor swasta, oleh karenanya sektor swasta akan terus dilibatkan dalam pengendalian TB di Indoesia.

Tantangan yang dihadapi saat ini adalah minimnya kegiatan kolaborasi multi sektoral, masih terdapat under-reporting yang disebabkan oleh belum ada sistem reward & punishment, lalu masih ada kesenjangan komitmen dari pemerintah daerah, belum memaksimalkan sumber-sumber pendanaan yang potensial seperti JKN, dana desa, dana cukai rokok, CSR. Kemudian diketahui pula dukungan dari Global Fund diketahui akan perlahan-lahan dikurangi sehingga menyebabkan kurangnya anggaran untuk mengoptimalkan CSO. Oleh karena itu kedepannya Kementerian kesehatan akan terus melibatkan penyedia layanan kesehatan dari swasta, memberikan reward berdasarkan kinerja, TB masuk dalam indikator utama untuk akreditasi layanan kesehatan, integrasi sistem TB dan BPJS.

Pada series kali ada beberapa pembahas, pembahas pertama adalah dr. Kalsum Komaryani, MPPM dari PPJK Kementerian Kesehatan. Data di Indonesia pada 2018 menunjukkan belanja kesehatan dari pemerintah 53,6% dan belanja kesehatan dari pihak swasta adalah sebesar 46,4%. Untuk saat ini jumlah fasilitas kesehatan swasta yang terlibat dalam program JKN (baik faskes primer maupun rumah sakit) lebih banyak dari sektor swasta dibandingkan dari pemerintah. PSE sudah ada diinisiasi sejak lama namun untuk ke depannya perlu memperbaiki terkait pengaturannya, serta perlu mengatur pula untuk pembiayaan di public private mix. Pada 2018 sudah terbit peraturan Menteri Kesehatan No 40 tentang kemitraan pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastuktur kesehatan, dan saat ini juga sedang dalam proses penyusunan untuk mengatur kerja sama yang non-infrastruktur.

Pembahas kedua adalah dr. Nadia (Direktur P2PML Kemkes), yakni dengan menekankan pada belanja kesehatan strategis untuk penanganan TB yang melibatkan sektor swasta sebagai bagian dari tambahan manfaat serta menyusun regulasi yang kuat, sehingga diharapkan TB bisa dieliminasi pada tahun 2050. Pembahas ketiga adalah Tara dari WHO, yang menekankan pada kolaborasi multi sektoral, serta memastikan ada pengelolaan konflik kepentingan sehingga kolaborasi dapat bekerja sama. Lalu bisa juga melalui rekayasa sistem, contohnya melalui akreditasi fasilitas kesehatan. Pembahas keempat adalah Prof. Laksono Trisnantoro, beliau menyebutkan selama ini pendekatan untuk kasus AMR dan TB hanya sebatas persuasif, bukan sebagai kewajiban. Perlu strategi yang bisa memaksakan sehingga bisa memperbaiki surveilans serta terkait pembiayaan perlu meningkatkan komunikasi antara BPJS dan pemerintah. Pembahas terakhir adalah Prof Kenneth yang memberikan perspektif yang berwawasan pemasaran sosial, bahwa ada elemen organisasi dan manusia yang harus ada dipertimbangkan saat merancang program.

Sesi terakhir pada kegiatan ini mengingatkan bahwa pekan depan yakni 21 Oktober 2020 merupakan webinar penutup, perspektif dari sektor swasta yakni tantangan untuk bekerjasama dengan pemerintah. Pembicara adalah Dale Huntington, Sc.D dari Johnson and Johnson. Lalu pembicara kedua adalah Atikah Adyas yang akan memberikan perspektif dari Asuransi Swasta. Dilanjutkan dari Prof EK. Yeoh yang akan merangkum seluruh pembelajaran pada rangkaian series webinar ini.

Reporter: Herma Setiyaningsih

Tags: 2020 anhss PPP

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*