SESI I: DIM untuk usulan Revisi UU SJSN dan UU BPJS
JKKI – Yogyakarta. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD membuka sesi hari ini, forum nasional kali ini mengangkat tema Daftar Isian Masalah (DIM). UU SJSN Tahun 2004 dan UU BPJS Tahun 2011 tidak sempurna, perlu untuk dimonitor dan evaluasi bersama sehingga kami dari UGM bersama dengan mitra perguruan tinggi perlu untuk melihat JKN berhasil atau tidak karena pada UUD 1945 pasal 34 ayat 1 “fakir miskin dan anak – anak terlantar dipelihara oleh negara” dan ayat 2 “negara mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.
Sementara itu, UU SJSN menetapkan asuransi sosial dan ekuitas sebagai prinsip penyelenggaraan JKN dan UU SJSN juga menyatakan bahwa subsidi iuran JKN harus untuk orang miskin dan orang tidak mampu. Melihat selama 6 tahun ini, banyak tingkat kebijakan baik PP, Perpres, Permenkeu, Permenkes dan Peraturan BPJS hasilnya belum maksimal. Pada 2020 ini harapannya mulai masuk ke tingkat UU dengan tujuan untuk melakukan revisi UU SJSN dan UU BPJS untuk perbaikan kebijakan JKN. Proses advokasinya akan ditujukan kepada DPR, DPD dan Pemerintah.
Narasumber pertama, Tri Aktariyani, MH dari UGM menyatakan bahwa masalah utama dalam tata kelola program JKN yakni pemerintah daerah belum ikut bertanggung jawab terhadap program JKN itu sendiri, sistem jaminan sosial dalam UU BPJS tidak memiliki konsep yang jelas dalam hal kepesertaan, proses berbagi data dan informasi belum berjalan secara interoperabilitas dalam ekosistem JKN, ada ketidakjelasan tanggung jawab antara BPJS Kesehatan dan kementerian/ lembaga dalam program JKN, dan pengawasan dan akuntabilitas program masih buruk. Terdapat opsi perbaikan tata kelola JKN yakni revisi UU SJSN dan UU BPJS dengan menambahkan pasal tentang peran dan tanggung jawab pemerintah daerah, dan revisi Perpres 46 tahun 2014.
Narasumber kedua, M. Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH dari UGM menyatakan bahwa isu dalam pelaksanaan JKN yakni defisit penyelenggaraan JKN, ekuitas pelayanan kesehatan era JKN dan kebijakan kompensasi. Masalah utama selama 6 tahun ini, JKN mengalami defisit termasuk sistem single pool dan single payer selama penyelenggaraan JKN. Iuran JKN masih di bawah perhitungan aktuaria terutama untuk peserta mandiri (PBPU). Selain itu, terdapat tunggakan iuran terjadi tiap tahunnya dan paling besar pada kelompok PBPU (Mandiri) diperkirakan sekitar 40%. Paket manfaat tidak terbatas tanpa ada cost sharing untuk penyakit tertentu dan berbiaya mahal bagi peserta non PBI.
Narasumber ketiga, drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE dari UGM menyatakan bahwa regulasi anti fraud layanan kesehatan belum berjalan sehingga komponen dalam regulasi yang umumnya sudah dijalankan ada pembentukan TPK JKN. Tim ini umumnya baru sekedar dibentuk di tingkat dinas kesehatan maupun di fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas dan klinik), namun belum menjalankan program anti fraud yang diamanatkan regulasi. Hal yang mempengaruhi yakni rendahnya komitmen komitmen pengendalian fraud baik komitmen anti fraud maupun struktur di atasnya seperti kepala dinas kesehatan, Kepala FKTP dan Direktur RS, dan juga minimnya pengetahuan dan keterampilan terkait pengendalian fraud masih rendah. Perkiraan bila masalah tidak diselesaikan akan berdampak pada finansial, mutu layanan kesehatan, dan citra dan nama baik.
Narasumber keempat, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD dari UGM menyatakan bahwa advokasi kebijakan JKN sebuah proses panjang dan politis sehingga untuk melihat kebijakan JKN lebih baik tidak cukup mengubah dilingkup PP dan Perpres namun ada kemungkinan kita merivisi undang – undang termasuk resiko penggunaan dana daerah, hal yang menarik untuk di – review dalam UU. Bukti advokasi itu tidak masuk dengan sendirinya namun perlu didukung dengan bukti ilmiah sehingga bagaimana cara agar pengetahuan dari bukti ilmiah dapat masuk ke proses pengambilan keputusan karena advokasi memiliki aspek politik yang kental dalam mempengaruhi atau mendukung sesuatu atau seseorang, termasuk JKN di masa depan proses politiknya tidaklah mudah untuk masuk dalam tahapan ke Prolegnas.
Terdapat pembahas yang telah hadir pada Fornas JKKI kali ini dengan tema daftar isian masalah (DIM) yakni pembahas pertama, Emanuel Melkiades Laka Lena selaku Pimpinan Komisi IX DPR RI dan P-F Gerindra menyampaikan bahwa perlu ada pembenahan dan menyeluruh dari BPJS dalam optimalisasi kerja BPJS termasuk revisi UU SJSN dan UU BPJS. Lena menyatakan pihaknya membutuhkan kolaborasi dengan PKMK dan JKKI dalam bentuk audensi di Komisi IX.
BPJS kesehatan juga memberikan pertanggunga jawaban ke Presiden setiap tahunnya namun perlu ada sebuah ruang berupa otoritas presiden dalam mengontrol BPJS Kesehatan secara continue karena presiden tidak setiap hari bisa mengontrol BPJS sehingga perlu keterlibatan pihak – pihak lain dalam mengontrol BPJS di lapangan. Selain itu, isu yang perlu dibenahi yakni kepersertaan, kelembagaan, keterlibatan pejabat daerah yang masih menggunakan kebijakan sendiri seperti malaka melalui Program Jamkesda, dan regulasi yang tidak harmonis antara UU BPJS dan UU lainnya.
Pembahas kedua, dr. Asih Eka Putri, MPPM selaku Anggota DJSN menyampaikan bahwa sekarang siapa yang kita dorong untuk merevisi UU BPJS ini dan perlu kita ingat bahwa revisi ini secara keseluruhan program termasuk didalamnya keinginan untuk mengakomodir keinginan perubahan masyarakat, UU SJSN masih kurang dalam harmonisasi antar lembaga, adanya ego sektoral karena tidak dipayungi secara konkret dan diatur secara resmi sehingga perlu direvisi dalam penguatan program bisa ditransfer ke sistem kesehatan nasional. Adanya isu ini bisa selaras dan dimasukkan kedalam naskah akademis sehingga masukan konstruktifnya bukan hanya fraud melainkan error dan corruption perlu untuk dimasukkan.
Pembahas ketiga, Atmi Roseva selaku Direksi Bidang Riset dan Inovasi BPJS Kesehatan menyampaikan bahwa kami setuju dari tata kelola JKN perlu untuk ditingkatkan lagi baik dari DJSN termasuk pemerintah daerah. Peran pemerintah daerah bukan kepada defisit melainkan pada gap yang ada seperti terdapat daerah yang pendapatan daerahnya rendah atau pemerintah daerah bisa melihat fasilitas kesehatan yang lebih banyak dalam suatu daerah malah defisitnya lebih tinggi. Selain itu inoperatif data BPJS, saat ini BPJS masih menyusun data sampel dan mengenai aksesbilitas data sudah disiapkan. Data tersebut sudah diidentifikasi dan bisa diakses oleh pihak luar.
Pembahas keempat, drg. Oscar Primadi, MPH selaku Sekretaris Jendral Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa kebijakan JKN yang diusulkan dimana pembagian jaminan sosial dalam beberapa pool tidak bisa kita sesuaikan namun mencari cara terbaiik dengan skema dan ada beberapa asas gotong royong dalam melakukan perubahan yang perlu dicermati tentunya tanpa meninggalkan tujuan dalam bermasyarakat. Terkait PBI, pemerintah masih pembenahan data PBI termasuk iuran dan kelas jaminan masih dalam perhitungan aktuaria. Selain itu, perlu dibentuk tim untuk melihat kecurangan pusat hingga daerah, bagaimana daerah menanggapi dan berkomitmen dalam bentuk political will sehingga bisa juga terbentuk didaerah, tanpa ada penguatan dan kesungguhan akan menjadi penguatan saja.
Di akhir sesi terdapat pertanyaan dari peserta, “Sebetulnya yang harus melatih tim anti fraud itu siapa?”. drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE dari UGM menjawab “Tim anti fraud yang melatih adalah pihak yang mampu, baik perorangan dan tim dalam lembaga yang mampu. Mereka biasanya melihat pola – pola yang bermasalah, saat ini belum ada lembaga yang wajib diikuti dan internal faskes baik dinas kesehatan sebenarnya sudah dilatih oleh Irjen. Catatannya yang mampu dan terpercaya, ada pernah melihat lembaga fraud tapi materinya malah mencurangi fraud”.
Reporter: Agus Salim (PKMK UGM)
SESI II: Daftar Isian Masalah (DIM) Kebijakan Kendali Mutu dan Kendali Biaya (KMKB) dan Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK)
PKMK UGM- Rangkaian Fornas JKKI masih berlangsung pada Rabu, 18 November 2020 diselenggarakan secara virtual. Dengan topik bahasan sesi II: Daftar Isian Masalah (DIM) Kebijakan Kendali Mutu dan Kendali Biaya (KMKB) dan Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK). Moderator pada sesi ini ialah peneliti PKMK FK – KMK UGM dr. Tiara Marthias. Adapun narasumber pada sesi ini ialah Peneliti JKN PKMK FK – KMK UGM Candra dan Eva Tirtabayu Hasri. Adapun pembahas pada sesi ini ialah Anggota DJSN Asih Eka Putri, perwakilan BPJS Kesehatan Atmi Roseva, dan Ketua Board PKMK FK – KMK UGM Laksono Trisnantoro.
Narasumber pertama yang memberikan paparan adalah Peneliti PKMK FKKMK Candra yang membahas Kebijakan Kapitasi Berbasis Kinerja. Candra menyoroti beberapa kasus terait rujukan. “Masalah yang ditemukan, dengan adanya KBK mampu menahan kasus rujukan Non spesialistik. Namun nyatanya kasus rujukan masih tinggi,” ujar Candra.
Beberapa hal yang ditemukan PKMK UGM ialah masalah di kemampuan FKTP. “Di 13 wilayah regional BPJS, hanya 6,12% yang mampu melaksanakan 144 diagnosa,“ ujar Candra. Hasil riset Faskes 2019 menunjukkan dari 8035 Puskesmas 74,6% mencapai RRNS dengan rata – rata kemampuan 125 diagnosa. Kemampuan diagnosa puskesmas perkotaan dan pedesaan menunjukkan rata – rata 128 Diagnosa. Terkait akreditasi, kemampuan diagnosa puskesmas berdasarkan status akreditasi adalah akreditasi dasar sebanyak 125, akreditasi madya sebanyak 128, akreditasi utama 130, dan akreditasi paripurna
Candra juga memaparkan hasil penelitian PKMK UGM pada 2018 – 2019 di 13 provinsi. Pertama, terbatasnya kompetensi dokter di tingkat layanan primer. Kedua, sarana prasarana yang ada di FKTP belum terstandar. Ketiga, kekosongan obat BMH. Keempat rujukan yang atas permintaan pasien sendiri.
Adapun usulan Opsi dan Candra ialah Revisi peraturan BPJS Kesehatan Nomor 7 Tahun 2019. Candra menjelaskan perlu menambahkan pasal tentang menerapkan KBK sesuai karakteristik geografis dan status Akreditasi FKTP. Pada lampiran, indikator RRNS diterapkan sesuai level akreditasi FKTP. Pada FKTP dengan akreditasi level dan madya tetap melakukan komitmen pelayanan dan TACC. Sedangkan FKTP dengan akreditasi utama, dan paripurna tidak diperbolehkan.
Narasumber kedua ialah Eva Tirtabayu Hasri peneliti PKMK FKKMK UGM. Eva menjelaskan mengenai Kebijakan Kendali Mutu dan Kendali Biaya. Eva menjelaskan masalah, penyebab, konsekuensi dan opsi yang bisa diambil. Eva mengatakan tim PKMK UGM telah melakukan penelitian ini sejak 2018 dengan pendekatan realis evaluasi. Terkait masalah utama, Eva menemukan tiga masalah utama. Pertama kerja Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB) belum optimal, evaluasi mutu pelayanan kesehatan fokus pada layanan medis, dan ada tumpang tindih tanggungjawab pelaksanaan tugas sosialisasi kewenangan tenaga klinis dan pembinaan etika dan disiplin profesi.
Eva juga memaparkan beberapa penyebab dari masalah ini. Pertama ialah TKMKB merasa tidak memiliki akses data ke database BPJS Kesehatan. Kedua Adanya keterbatasan kompetensi KMKB mengolah data. “Anggota TKMKB rata – rata berusia di atas 40 tahun dengan kemamapuan olah data kurang” ujar Eva.
Penyebab ketiga adalah ketimpangan pengetahuan TKMKB tentang KMKB di faskes. Keempat, TKMKB beranggotakan orang – orang senior yang minim kemampuan mengolah data. Kelima, audit medis hanya mengevaluasi mutu pelayanan yang diberikan oleh dokter. Keenam, Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 8 Tahun 2016 bertentangan dengan PMK izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik kedokteran Nomor 2052 Tahun 2011. Dalam PMK menyebutkan bahwa tugas pembinaan etika profesi dan sosialisasi kewenangan tenaga klinis merupakan tugas KKI dan organisasi profesi. Ini bukan tugas TKMKB walaupun anggota TKMKB berasal dari organisasi profesi.
Jika masalah – masalah tersebut diabaikan, akan ada beberapa konsekuensi. Pertama mengurangi upaya peningkatan akuntabilitas dan independensi pelaksanaan JKN. Kedua tidak adanya akses data ke dashbord BPJS Kesehatan berdampak pada Utility Review (UR) yang tidak mandiri. Ketiga, pengetahuan tentang KMKB yang timpang membuat TKMKB tidak mampu melakukan KMKB di Faskes sehingga tidak dapat menghasilkan pelayanan yang efektif dan efisien. Keempat, evaluasi mutu hanya pada aspek layanan medis, sehingga tidak mampu memberikan pelayanan yang bermutu pada semua jenis pelayanan.
Terkait masalah ini, Eva memaparkan ada empat opsi yang dapat dikaji. Pertama Revisi Pasal 7 Peraturan BPJS Kesehatan nomor 8 tahun 2016 tentang kompetensi yang harus dimiliki TKMKB, baik TKMKB teknis maupun TKMKB koordinasi. Kedua, revisi pasal 8 poin f Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 8 Tahun 2016 tentang usia paling rendah 40 tahun diganti denga paling rendah 30 tahun. Ketiga revisi pasal 11 poin e Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 8 Tahun 2016 yaitu data milik anggota tim kendali mutu dan kendali biaya menjadi data di fasilitas pelayanan kesehatan. Keempat, menghilangkan pasal 11 ayat 3 pada peraturan BPJS Kesehatan Nomor 8 Tahun 2016 tetang tugas dan tanggung jawab tim koordinasi poin d melakukan pembinaan etika dan disiplin profesi tenaga kesehatan.
Terkait masalah yang dipaparkan oleh kedua peneliti, Perwakilan BPJS Kesehatan Atmi Roseva turut memberikan komentar. Atmi mengatakan BPJS senang jika TKMKB punya kemampuan olah data. Terkait usia anggota TKMKB, Atmi Roseva punya alasan kenapa usia yang diambil ialah senior.”Yang diambil untuk TKMKB adalah mereka yang didengarkan rekan teman sejawat sehingga diambil yang lebih senior. Usulan untuk umur 30 sangat baik untuk dipertimbangkan,” ujar Atmi. Atmi membenarkan tim TKMKB merupakan orang sibuk dan tidak punya petugas kusus yang membantu pengolahan data. Secara umum ia setuju untuk pelatihan dan pengadaan sertifikasi.
Anggota DJSN Asih Eka Putri turut memberikan komentar terkait KBK. “Yang dianalisis baru puskesmas, klinik belum ada. 2014 – 2018 lanjut 2019-2020 sudah ada statistik JKN. KBK menunjukkan kompetensi yang cukup sedih, informasi berharga bagi kita semua, ada apa faskes kita di level bawah?,” ujar Asih.
Asih memberikan tiga sorotan. Pertama merupakan pertanyaan penelitian, apakah puskesmas cocok dikapitasi karena di dalamnya sudah ada multi pendanaan. Asih mengatakan saat model kapitasi untuk puskesmas peru kita kaji ulang. Puskesmas di banding klinik, perlu diliihat angka rujukannya siapa yang lebih tinggi.Kedua ialah apakah saatnya reformsi puskesmas? Entitas Puskesmas dipecah dua, UMKM atau klinik, sehingga insentif lebih bermain. Ketiga, model pembayaran apa yang paling cocok untuk puskesmas jika kondisinya masih seperti sekarang yakni multi pendanaan. “Ironisnya mereka punya uang, tapi tidak bisa belanja dokter karena dokternya tidak ada,”ujar Asih.
Terkait KMKB Asih memaparkan baik BPJS Kesehatan dan faskes belajar di kurva pembelajaran yang sama. “Faskes juga berupaya keras, BPJS kerja keras, di learning curve enam tahun saya lihat progres positif,” ujar Asih.
Asih mengatakan untuk meningkatkan yang sudah dicapai, semua di – review di akhir (post review). “Kita mulai dengan kasus biaya tinggi. BPJS Kesehatan bisa membuat gradasi manajemen risiko. Sehingga kendali mutu dan kendali biaya naik.
Terkait faskes, mereka harus belajar cepat. “Di lapangan kita temukan kebiasaan klaim rendah. Berapa persen klaim yang berhasil dibayarkan? Ada RS yang bisnisnya rapi klaim bisa 90 – 95 persen terbayar. Nah nanti juga terkait dengan proses akreditasi. Jika tingkat bisnis rapi dan masuk transformasi digital bisa dikaitkan cost mutu laba dalam satu garis, ujar Asih.
Laksono Trisnantoro turut memberikan komentar terkait masalah utama yaitu UU. “Ketika bicara operasional ada satu hal, sangat terkait dengan UU. Apa yang ada di UU SJSN dan BPJS hanya kendali mutu dan kendali biaya, tidak jelas. Dibanding di negara lain di Amerika banyak UU tentang fraud,” ujar Laksono.
Laksono Trisnantoro memiliki keresahan. “Apakah kedepannya hal – hal yang dianggap teknis kecil apakah menjadi hal gak penting? Mungkin tidak sampai ke pengadilan atau mungkin investigasinya belum ada. Di Australia serius menangani fraud dalam klaim,” ujar Laksono.
Perwakilan Kemenkes, Siswanto sependapat dengan Laksono Trisnantoro. “Saya sepakat dengan Prof Laksono, perlu ada investigator yang terlembagakan,” ujar Siswanto.
Reporter: Kurnia Putri Utomo