Pos oleh :

hpm.fk

Memperingati Hari Pendidikan Nasional

Refleksi 10 Tahun Kanal Pengetahuan FK-KMK dan PKMK UGM & Peluncuran Kanal Pengetahuan Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan

FOCUS GROUP DISCUSSION KAJIAN DAMPAK PELONGGARAN KUOTA IMPOR, PERTEK DAN TKDN TERHADAP PERKEMBANGAN INDUSTRI ALAT KESEHATAN NASIONAL

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan bekerjasama dengan ASPAKI dan HIPELKI

Reportase Webinar Bedah Buku “MERAWAT KEHIDUPAN: 100 TAHUN RUMAH SAKIT HUSADA (JANG SENG IE)” Karya Dr. Ravando

Jumat, 11 April 2025, pukul 13.00 -15.00 WIB

PKMK-Yogyakarta.  Departemen Sejarah FIB UGM bekerjasama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM menyelenggarakan Webinar Bedah Buku pada Jumat (11/4/2025) dengan tema “MERAWAT KEHIDUPAN: 100 TAHUN RUMAH SAKIT HUSADA (JANG SENG IE)” karya Dr. Ravando. Acara ini membahas perjalanan 100 tahun Rumah Sakit Husada yang ada di Jakarta Pusat yang telah menjadi institusi kesehatan yang berperan penting dalam perkembangan pelayanan kesehatan di Indonesia, dengan semangat inklusivitas sejak didirikan oleh dr. Kwa Tjoan Sioe pada 1924 dengan nama Jang Seng Ie (JSI).

Sambutan pertama disampaikan oleh Dr. Abdul Wahid, M.Hum., M.Phil selaku Ketua Departemen Sejarah FIB UGM. Pihaknya menyampaikan kolaborasi dari dua disipliner berupa dialog antar disiplin-ilmu salah satunya melalui sejarah kebijakan kesehatan. Dalam hal ini, PKMK dan Departemen Sejarah FIB UGM telah banyak menerbitkan hasil kerjasama salah satunya baru saja mengembangkan penelitian sejarah kebijakan kesehatan bersama dengan Departemen Kesehatan. Berbicara mengenai sejarah rumah sakit, berdasarkan sudut pandang ilmu sejarah hal ini menjadi kajian penting yang berada dalam sub kajian dari Sejarah Kesehatan. Sejarah Rumah Sakit tidak hanya sebatas membahas mengenai sejarah kesehatan semata melainkan juga unsur-unsur lain yang mempengaruhi berdirinya dan lahirnya rumah sakit di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, tujuan dari kolaborasi yang dikembangkan oleh PKMK FK-KMK UGM bersama dengan Departemen Sejarah FIB UGM untuk mengembangkan kajian ini menjadi sesuatu yang penting, terutama dalam perkembangan  kesehatan di Indonesia. Karya Dr. Ravando mengenai Rumah Sakit Husada ini dapat menunjukkan adanya sejarah panjang dalam perkembangan rumah sakit ini ditengah-tengah pelayanan kesehatan di Indonesia sejak awal pendiriannya. Abdul juga menyampaikan tujuan dan keinginan yang besar dari kolaborasi antara PKMK FK-KMK UGM melalui Prof. Laksono dengan Departemen Sejarah FIB UGM untuk dapat mengembangkan kajian sejarah rumah sakit yang serupa kepada rumah sakit – rumah sakit lainnya di Indonesia.

Soegianto NagariaSelanjutnya, perwakilan dari Rumah Sakit Husada menyampaikan sambutannya melalui Soegianto Nagaria, selaku Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan Husada. Soegianto menyampaikan bahwa buku ini bukan hanya kumpulan kisah masa lalu saja tetapi merupakan potret dari dedikasi, ketulusan dan kerja keras yang diwariskan oleh dr. Kwa dan para pengurus lainnya sejak perkumpulan ini dibentuk dengan nama “Jang Seng Ie” pada 1924 lalu. Sebagai rumah sakit yang lahir dari komunitas dan dikembangkan oleh solidaritas masyarakat Tionghoa. RS Husada selalu berkomitmen memberikan pelayanan kesehatan kepada siapapun terutama bagi mereka yang kurang mampu, dan sudah menjadi nafas yang diwariskan oleh para pendiri RS Husada. Nagaria menyampaikan bahwa 100 tahun berdiri RS Husada tidaklah mudah, tetapi dengan semangat dan inovasi dari generasi penerus menjadi langkah serta nafas baru untuk terus mengembangkan RS Husada ini. Harapan Soegianto, semoga adanya diskusi ini, dapat lebih mengenang RS Husada bukan hanya dari sejarah panjang dari pendiriannya saja tetapi juga dari kualitas medis, komitmen sosial yang terus terjaga sampai saat ini.

Pada pengantar diskusi yang disampaikan oleh Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., sebagai seseorang yang bukan berasal dari “sejarah”, namun sosok yang memiliki keterkaitan dengan sejarah dan mencintai sejarah. Selain itu, Laksono dalam pengantarnya menyampaikan pesan yang dikutip dari Stephen Ambrose yaitu “The past is a source of knowledge, and the future is a source of hope”, Laksono menyampaikan bahwa masa lalu sebagai sumber pengetahuan, masa depan sebagai sumber harapan. Dalam pengantar ini, Laksono menyampaikan beberapa bagian yang menarik dalam buku ini seperti pada halaman  308. Pada halaman ini, menampilkan lukisan bangunan yang modern untuk tahun itu, dimana ini adalah gedung utama Husada. Laksono menambahkan, bahwa pihaknya tidak bisa membayangkan buku ini membahas bangunan yang sudah berdiri 100 tahun yang lalu saja, arsitekturnya seperti gedung kelas atas untuk orang-orang berduit di kalangan itu. Laksono juga menyampaikan harapan kepada penulis dan perkumpulan Husada, untuk membuat inovasi lain mengenai promosi buku dengan video pendek yang menggambarkan buku. Dengan tujuan untuk dapat menarik minat anak muda lebih tertarik membaca buku.

Memasuki, pemaparan bedah buku “Merawat Kehidupan: 100 Tahun Rumah Sakit Husada (Jang Seng Ie)”, yang disampaikan langsung oleh penulis. Ravando menceritakan bahwa dalam buku ini, dipaparkan mengenai motivasi dr. Kwa Tjoan Sioe sebagai tokoh pendiri untuk mendirikan sebuah instansi pelayanan kesehatan terutama bagi ibu dan anak dan masyarakat kurang mampu, terutama dari golongan Tionghoa. Adapun disampaikan juga makna dari “Jang Seng Ie” itu berdiri dimulai dari Motto saat didirikan, fokus pendirian rumah sakit ini yaitu untuk menyediakan poliklinik gratis untuk masyarakat tidak mampu, serta beberapa capaian dari Rumah Sakit Husada seperti penelitian yang dilakukan. Ravando berharap dengan adanya buku ini, Jang Seng Ie tidak hanya dikenal sebagai rumah sakit semata tetapi juga ada nilai perjuangan dalam pendirianya dan warisan-warisan baik yang diteruskan dari generasi ke generasi.

Baha’uddin

Sesi ini ditutup dengan pembahasan yang disampaikan oleh Baha’uddin yang menyampaikan bahwa berdirinya Rumah Sakit Husada atau Jang Seng Ie ini serupa dengan rumah sakit – rumah sakit swasta pada saat itu. Rumah sakit swasta pada masa kolonial memiliki kesamaan dalam nama dan misi sebagai lembaga penolong masyarakat, contohnya RS Petronella (RS Dokter Pitulungan), RS PKO Muhammadiyah (Penolong Kesengsaraan Umum), dan RS Jang Seng Ie (Rumah Penolong Kehidupan). Unsur filantropi, penggalangan dana, dan awal pendirian dari poliklinik menjadi ciri khas RS swasta masa kolonial. Buku “Merawat Kehidupan: 100 Tahun RS Husada” karya Dr. Ravando, `mengulas perjalanan RS ini secara komprehensif, menggunakan pendekatan kronologis-tematis untuk menganalisis dinamika pendirian, perkembangan, dan adaptasi selama empat periode penting: masa kolonial, pendudukan Jepang dan Revolusi, Orde Baru, serta Reformasi. Prinsip “challenge and response” menjadi kunci keberlanjutan RS Husada, yang tetap berorientasi non-profit di tengah komersialisasi sektor kesehatan. Nilai kemanusiaan, solidaritas, dan empati menjadi roh utama pelayanan RS Husada hingga kini.

link informasi selengkapnya bisa di klik pada laman berikut

https://sejarahkesehatan.net/webinar-bedah-buku-merawat-kehidupan-100-tahun-rumah-sakit-husada-jang-seng-ie-karya-dr-ravando/

Reporter:
Aulia Putri Hijriyah, S.Sej.,
Galen Sousan Amory, S. Sej.,

Reportase | Review Kebijakan Stunting Tahun 2024 Berbasis Transformasi Sistem Kesehatan dan Outlook 2025

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan webinar Review Kebijakan Stunting Tahun 2024 berbasis Transformasi Sistem Kesehatan dan Outlook 2025 pada Kamis (5/2/2025).

Acara diawali oleh pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD., Guru Besar FK-KMK UGM, yang menekankan pentingnya pemanfaatan Dashboard Digital untuk menghasilkan tinjauan kebijakan yang mendukung penyusunan kebijakan berbasis bukti bagi para pemangku kepentingan. Oleh karena itu, para peserta didorong untuk berperan sebagai mitra dalam kolaborasi data terkait stunting dari berbagai daerah.

Acara dilanjutkan dengan paparan terkait gambaran penggunaan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) oleh Digna Niken Purwaningrum, S.Gz., MPH, PhD selaku dosen Departemen Biostatistik, Epidemiologi & Kesehatan Populasi  serta peneliti PKMK FK-KMK UGM. Digna menjelaskan bahwa stunting di Indonesia masih menjadi tantangan kesehatan besar meskipun prevalensinya menurun secara bertahap. Pemerintah telah menetapkan target prevalensi stunting sebesar 14% pada 2024 melalui berbagai kebijakan, seperti RPJMN 2020-2024 dan Perpres Nomor 72 Tahun 2021. Kebijakan ini menekankan transformasi sistem kesehatan dengan pendekatan lintas sektor, penggunaan platform digital seperti DaSK, dan pendanaan yang terintegrasi. Tantangan meliputi disparitas antarprovinsi, pengelolaan anggaran, distribusi tenaga kesehatan, dan infrastruktur teknologi informasi. Upaya pemberdayaan masyarakat melalui Posyandu, LSM, dan tokoh lokal menjadi kunci dalam mendukung intervensi berbasis komunitas untuk mencegah stunting, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan.

Selanjutnya, paparan dari para pembahas yaitu yang pertama dari dr. Lovely Daisy, MKM selaku Direktur Direktorat Pelayanan Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan RI yang menambahkan informasi terkait perkembangan capaian intervensi percepatan penurunan stunting. Selain itu dijelaskan juga terkait faktor prenatal seperti pemeriksaan kehamilan (ANC), konsumsi tablet tambah darah (TTD), dan intervensi dini pada ibu hamil berisiko menjadi fokus utama pencegahan. Intervensi spesifik seperti pemberian makanan tambahan (PMT) lokal dan pemantauan pertumbuhan balita di Posyandu terbukti efektif menurunkan angka stunting. Pencegahan stunting yang berkelanjutan memerlukan pendekatan berbasis bukti, penguatan intervensi lintas siklus hidup, serta pemantauan rutin untuk meningkatkan cakupan dan kualitas layanan.

Pembahas yang kedua adalah Ir. Doddy Izwardy, B.Sc, MA, Ph.D. selaku Ketua Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) yang menyoroti topik transformasi sistem kesehatan yang dijelaskan oleh narasumber sangat relevan dengan diskusi-diskusi intensif para pakar gizi dan kesehatan di dunia. Penerapan prinsip transformasi kesehatan dalam kebijakan seperti pemanfaatan DaSK hingga tingkat kabupaten/kota bertujuan untuk memperkuat intervensi berbasis bukti. Selain itu, peran aktif Badan Gizi Nasional dan keterlibatan anggota PERSAGI di seluruh Indonesia menjadi kunci dalam memperkuat kapasitas kebijakan gizi dan kesehatan untuk mendukung keberhasilan strategi nasional.

Pembahas yang ketiga adalah Endang Pamungkasiwi, SKM, M.Kes selaku Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi DIY yang berharap DaSK ini dapat menjadi alat koordinasi dan pemersatu para pemerhati stunting.  Perlu adanya koordinasi multidisplin untuk mempercepat penurunan stunting.

Pembahas yang terakhir adalah Dr. dr. I Nyoman Gede Anom, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali yang menyoroti berbagai upaya pencegahan dan penurunan stunting, termasuk implementasi transformasi sistem kesehatan berbasis bukti melalui intervensi spesifik dan sensitif. Di Bali, inovasi lokal seperti program berbasis desa adat, pemberian PMT lokal, serta edukasi calon pengantin melalui upacara tradisional menjadi strategi unggulan. Dukungan lintas sektor dan penguatan peran masyarakat juga ditekankan untuk memastikan keberlanjutan program. Meski ada kendala seperti rendahnya kehadiran balita di Posyandu dan keterbatasan transportasi PMT, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci dalam mempercepat penurunan angka stunting.

Reporter: Monita Destiwi (Peneliti PKMK FK-KMK UGM)

 

Reportase Review Kebijakan Penyakit Katarak Berbasis Transformasi Sistem Kesehatan

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan webinar Pengembangan Kebijakan Strategis Pengendalian Katarak di level Pusat, Propinsi dan Kabupaten/ Kota berdasarkan Prinsip Transformasi Kesehatan dengan menggunakan DaSK, Selasa (04/02/2025). Acara ini dimoderatori oleh dr. Ika Septiana Eryani, M.Sc.

Acara dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro MSc. PhD selaku Guru Besar FK-KMK UGM yang menjelaskan tentang pentingnya penggunaan Dashboard Digital sebagai inovasi di bidang kesehatan untuk diolah menjadi pengetahuan dan menghasilkan kebijakan yang bermanfaat dalam penyusunan evidence based policy making bagi para pemangku kepentingan. Dashboard Digital ini ditujukan bagi lintas disiplin, oleh sebab itu peserta didorong untuk menjadi mitra kolaborator data-data terkait Katarak dari berbagai daerah.

Webinar dilanjutkan dengan paparan terkait gambaran penggunaan DASK oleh M Faozi Kurniawan SE., Akt, MPH selaku Peneliti PKMK FK-KMK UGM. Faozi menjelaskan dari hasil review, terdapat beban pelayanan penyakit katarak di Indonesia baik pada rawat jalan maupun rawat inap. Terdapat pula ketimpangan pelayanan penyakit Katarak antara regional 1 dan regional 5, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan fasilitas kesehatan antara kedua regional tersebut. Melalui Prinsip Transformasi Kesehatan, diharapkan kebijakan penanggulangan penyakit katarak dapat dilaksanakan dengan lebih komprehensif melalui kerjasama yang semakin kuat sebagai hasil pemantauan bersama data-data perkembangan penyakit Katarak di daerah.

Paparan pertama oleh Ns. Waryono, SIP, S.Kep, M.Kes selaku Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Waryono menjelaskan bahwa akses pelayanan katarak di Yogyakarta sudah baik, penanganan yang tepat akan membantu masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan Katarak yang sesuai kebutuhan. Penanggulangan katarak di Yogyakarta dilaksanakan oleh dokter spesialis baik di rumah sakit maupun klinik, dengan dinas kesehatan melakukan evaluasi. Pembiayaan Katarak juga tidak mengalami permasalahan karena secara umum jumlah PBI APBN di Yogyakarta menurun. Kendati demikian masih ditemui kendala yaitu keterbatasan bed di RS Sardjito sebagai rumah sakit rujukan di Yogyakarta.

Paparan kedua oleh dr. Gunadi Linoh selaku Direktur RSUD Melawi Provinsi Kalimantan Barat menjelaskan akses ke pelayanan mata di Kalimantan Barat cukup sulit, bahkan dokter spesialis mata juga belum ada. 6 tahun yang lalu ada kerjasama dengan dinas kesehatan propinsi terkait penganggaran di kabupaten dan rumah sakit, sehingga terjadi cost sharing untuk bakti sosial operasi katarak di rumah sakit. Namun pasca COVID-19 belum ada kelanjutan dari kerjasama cost sharing tersebut.

Acara dilanjutkan dengan tanggapan oleh Prof Laksono yang menjelaskan adanya perbedaan akses yang signifikan antara Yogyakarta dengan Melawi, bagaimanakah kebijakan di kedua daerah ini? Apakah kebijakan yang dilakukan sama saja, atau perlu ada perbedaan kebijakan di daerah susah akses dan mudah akses?

Paparan ketiga oleh Prof. dr. Muhammad Bayu Sasongko, M.Epi., Ph.D., Sp.M selaku ketua Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK-KMK UGM menjelaskan kasus katarak merupakan kasus yang multi dimensi, misalnya di Malawi sudah disediakan dokter spesialis, tetapi apakah sudah dipastikan fasilitas kesehatannya telah mendukung dokter tersebut untuk berpraktik. Dimensi lainnya adalah akses pasien karena pembiayaan BPJS terbatas pada klaim tindakan medis, tidak termasuk biaya untuk mengusahakan “akses” bagi masyarakat.

Narasumber selanjutnya oleh dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid selaku Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Permasalahan Backlog perlu dilakukan analisa tren dengan beberapa skenario, jika dengan klaim yang terus meningkat, maka upaya kontrol beban pembiayaan juga akan lebih berat. Jika pengupayaan cakupan dengan akselerasi 20-30% maka bagaimana  beban pembiayaannya, hal hal inilah yang perlu dipertimbangakan sehingga penyusunan kebijakan harus secara komprehensif. Review kebijakan nasional terkait katarak perlu dilakukan, oleh sebab itu adanya DASK akan sangat membantu para pemangku kepentingan dan diharapkan dapat memberi informasi terkait teknis implementasi perbaikan pelayanan Katarak.

Acara ini ditutup dengan upaya komitmen bersama antar pada pemanku kepentingan dalam berkontribusi terhadap pengumpulan data terkait penyakit katarak agar ke depannya pengembangan pelayanan katarak akan lebih meningkat tidak hanya akses tetapi juga mutu pelayanan.

Reporter: Ester Febe, MPH (Peneliti PKMK UGM)

Reportase | Review Kebijakan Diabetes Melitus Tahun 2024 berbasis Transformasi Sistem Kesehatan dan Outlook 2025

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan webinar Review Kebijakan Diabetes Melitus Tahun 2024 berbasis Transformasi Sistem Kesehatan dan Outlook 2025 pada Kamis (30/01/2025).

Acara dibuka oleh Prof Laksono Trisnantoro MSc. PhD selaku Guru Besar FK-KMK UGM yang menjelaskan tentang pentingnya penggunaan Dashboard Digital dalam menghasilkan review-review kebijakan yang bermanfaat dalam penyusunan evidence based policy making bagi para pemangku kepentingan. Oleh sebab itu, peserta didorong untuk menjadi mitra kolaborator data-data terkait Diabetes Mellitus dari berbagai daerah.

Acara dilanjutkan dengan paparan terkait gambaran penggunaan DASK oleh Candra, SKM., MPH selaku peneliti PKMK FK-KMK UGM. Candra menjelaskan dari hasil review, terdapat ketidakmerataan pelayanan kesehatan Diabetes Mellitus di Indonesia antara wilayah timur dan barat. Melalui Prinsip Transformasi Kesehatan, diharapkan kebijakan pencegahan dan penanggulangan Diabetes Mellitus dapat dilaksanakan dengan lebih komprehensif melalui kerjasama yang semakin kuat sebagai hasil pemantauan bersama data-data perkembangan penyakit  Diabetes Mellitus di daerah.

Selanjutnya, paparan narasumber pertama oleh dr. Esti Widiastuti M, MScPH selaku Ketua Tim Kerja Diabetes Melitus dan Gangguan Metabolik, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). Esti menjelaskan bahwa pencegahan dan penanggulangan Diabetes Mellitus perlu bekerja sama dengan sektor lain. Harapannya platform yang dapat memberikan gambaran penyakit Diabetes Mellitus akan sangat membantu Pemangku kepentingan, khususnya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam melakukan evaluasi dan pemantauan layanan Diabetes Mellitus yang berlangsung selama ini.

Paparan kedua oleh dr Donni Hendrawan, M.P.H, CGP, CHIP, CGRCP Deputi Direksi Bidang Riset dan Inovasi BPJS Kesehatan menjelaskan perlunya literasi data, bagaimana data dikumpulkan, diolah dan dimanfaatkan perlu dipahami oleh para pemangku kepentingan sehingga kualitas data terjaga dan hasil analisis data dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu koordinasi penanganan kasus juga diperlukan agar data yang masuk pada sistem yang ada tersusun sistematis.

Paparan ketiga oleh dr. Lana Unwanah selaku Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta menjelaskan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan Diabetes Melitus di wilayah Yogyakarta yang telah dilakukan berdasarkan prinsip transformasi kesehatan, kendati demikian, tidak hanya usaha dari para pemangku kepentingan saja, tetapi juga diperlukan kesadaran masyarakat tentang penatalaksanaan Diabetes Melitus.

Paparan keempat disampaikan oleh Hasnah Haerani, Apt selaku Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Balikpapan. Haznah menjelaskan penatalaksanaan Diabetes Melitus di wilayah Kota Balikpapan telah dilakukan berdasarkan prinsip transformasi kesehatan dengan fokus pada penurunan komplikasi akibat Diabetes Mellitus. Kerjasama lintas sektor, OPD, Akademisi dan profesi juga diterapkan hingga saat ini untuk menanggulangi Diabetes Mellitus sehingga pencapaian SPM telah melebihi target. Masyarakat juga meningkat kesadarannya untuk melakukan skrining Diabetes Mellitus. Inovasi Balikpapan Hidup Manis Tanpa Gula (Bahimat) telah berjalan selama 3 tahun dari puskesmas hingga tingkat kota. Inovasi ini juga didukung dengan regulasi-regulasi tingkat daerah sehingga dampak inovasi ini dapat lebih dirasakan manfaatnya di Kota Balikpapan.

Reporter: Ester Febe, MPH (Peneliti PKMK UGM)

SDG 3 – Good Health and Well-being (Kehidupan Sehat dan Sejahtera)
SDG 9 – Industry, Innovation and Infrastructure (Industri, Inovasi dan Infrastruktur)
SDG 17 – Partnerships for the Goals (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan)

Reportase Community Visit “Prioritizing Humanized Health Care” Ratchaphruek Hospital, Khon Kaen The 9th Equity Initiative 2025 Annual Forum

Sumber: Ratchaphruek Hospital, dokumen pribadi, 2025.

“Seperti apa rumah sakit impian Anda?”.  Pertanyaan tersebut yang menginspirasi sebuah rumah sakit di Provinsi Khon Kaen untuk mengembangkan “HOuSePITAL”.  Ratchaphruek Hospital didirikan pada 1994 yang menyediakan 50 TT (9,600 m2) dan seiring dengan kebutuhan pelayanan, rumah sakit ini direlokasi dan dikembangkan menjadi 200 TT (16,000 m2) pada 2018 dengan konsep “Healing Environment Hospital”.  Pada 27 Februari 2017, Ratchaphruek Hospital terdaftar di Bursa Efek Thailand untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan pendanaan untuk rumah sakit baru berkapasitas 200 TT tersebut. Saat ini, Ratchaphruek Hospital memegang pangsa pasar terbesar antar rumah sakit swasta yang ada di Provinsi Khon Kaen, meskipun pendapatannya bukanlah yang tertinggi. 

Ratchaphruek Hospital memberikan layanan berbagai spesialisasi yang dikelompokkan ke dalam departemen penyakit dalam, departemen bedah, departemen pediatri, departemen ortopedi, departemen THT, departemen kandungan dan kebidanan, departemen check-up, departemen kesehatan gigi, dan lainnya, serta menyediakan layanan medical travel package untuk para turis.  Pendiri Ratchaphruek Hospital, Dr. Teerawat Shinakarin dan timnya sejak 30 tahun lalu memprioritaskan “perawatan yang manusiawi” dan kesejahteraan pasien.  Ratchaphruek Hospital dibangun dengan konsep ruang terbuka yang mengoptimalkan healing environment untuk pasien dan keluarganya, serta personel rumah sakit.  Healing is crucial as curing menjadikan keunikan layanan dari rumah sakit ini. Ratchaphruek Hospital mempunyai setidaknya 3 konsep utama yaitu (1) Pasien bukan hanya sekedar pasien; pasien adalah manusia; (2) Penyembuhan (healing) sama pentingnya dengan pengobatan; (3) Personel dan staf bukan hanya sekedar modal SDM, mereka adalah manusia.

Model bisnis Ratchaphruek Hospital dibuat dengan konsep bisnis inklusif yang menguntungkan sekaligus memungkinkan staf medis melayani pasien dengan sepenuh hati.  Tarif yang diterapkan lebih rendah dibanding rumah sakit swasta di wilayah sekitar Khon Kaen dengan biaya dokter yang tidak terlalu tinggi. Para dokter memiliki pola pikir bahwa mereka melayani pasien sebagai manusia dan membangun interpersonal healing relationship.  Hal tersebut memberikan tantangan tersendiri dari sisi kepemimpinan bagi manajemen Ratchaphruek Hospital saat merekrut. Mereka melibatkan para kepala departemen dan timnya, serta bagaimana membawa tiap personel memahami dan sejalan dengan nilai rumah sakit.  Empati, mendengarkan kebutuhan pasien dan keluarga, ekspektasi dari pengalaman pasien,  serta waktu tunggu pendek merupakan upaya Ratchaphruek Hospital untuk memberikan layanan terbaik bagi pasien.

Sebagai rumah sakit swasta for profit, Ratchaphruek Hospital menyeimbangkan antara memanusiakan pasien dan profit.  Dari sisi equity, sesuai dengan misinya yang memberikan akses kesehatan bagi masyarakat, Ratchaphruek Hospital menerima kasus-kasus rawat darurat bagi pasien yang memiliki asuransi kesehatan dari pemerintah.  Disini, Pemerintah Thailand menyediakan asuransi kesehatan bagi masyarakat kurang mampu. Bagi masyarakat mampu yang memiliki asuransi swasta atau membayar dengan out of pocket dapat mengakses layanan rumah sakit swasta sesuai dengan kebutuhan, seperti di Ratchaphruek Hospital.

Konsep bangunan Ratchaphruek Hospital mengoptimalkan lingkungan yang menyembuhkan untuk  semua orang, karena setiap orang memiliki kapasitas untuk menyembuhkan dirinya sendiri, yaitu hospital like home dan yang memahami kultur lokal.  Selain itu, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk penyembuhan psikologis dan tidak hanya fisik, terapi natural, area hijau yang luas, roof garden area, ventilasi udara yang lancar di setiap lantai, kolam dan area hijau di beberapa lantai, serta area berinteraksi untuk pasien dan personel rumah sakit.  Seperti contoh, di ruang rawat anak didesain dengan interior yang menarik sesuai dengan usia mereka.  Tempat tidur yang dapat menampung 2 orang yaitu pasien anak beserta salah satu orang tuanya, sehingga anak tetap merasa nyaman.  Demikian pula, di ruang ICU yang dirancang agar pasien tetap dapat menikmati pemandangan hijau di sekitar.  Melalui pola pikir yang mengedepankan ketiga konsep utama di atas  menjadikan Ratchaphruek Hospital memberikan pelayanan optimal bagi pasiennya sebagaimana healing is crucial as curing dan dapat dijadikan sebagai ide untuk diterapkan di Indonesia.  (Elisabeth Listyani)