Seminar online ”Hubungan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)” diadakan oleh Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Layanan Kesehatan Indonesia pada Kamis, 22 Oktober 2020 pada pukul 13.00 WIB.
Materi pertama oleh dr. Judilherry yang berjudul “Betulkah ada konflik kepentingan antara KKI dan IDI?”. Agenda Reformasi 1998 di bidang kesehatan yaitu Kewenangan Kemenkes masa Orde Baru yang “government heavy” sebagian dipisah/dikurangi dengan pembentukan Konsil Kedokteran Indonesia dan dengan pemberdayaan organisasi profesi. Pada 2003, IDI dipimpin secara kolektif oleh MPP yang terdiri dari Ketua Umum PB-IDI, Ketua MKKI, Ketua MKEK dan Ketua MPPK. Namun pada 2015, reduksi mekanisme check and balance MKEK, MKKI, dan MPPK menjadi subordinate IDI, sehingga sekarang kepimpinan IDI tingkat pusat adalah tunggal oleh ketua umum PB IDI.
UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dapat disimpulkan bahwa IDI memonopoli hampir semua urusan kedokteran. Dalam sidang MK, IDI menyebutkan bahwa organisasinya adalah self-regulating organization yang tidak bisa diawasi oleh siapapun, termasuk pemerintah. Hal ini tidak benar, karena organisasi yang tidak bisa diawasi memonopoli hampir semua urusan dari hulu hingga hilir. Contoh kerugian yang ditimbulkan karena kewenangan IDI begitu besar adalah IDI bisa menghambat program pemerintah untuk membentuk prodi dokter layanan primer (DLP). Pemberian kewenangan yang bersifat monopoli seharusnya hanya diberikan ke lembaga pemerintah yang jelas akuntabilitasnya, bukan diberikan kepada organisasi non pemerintah atau LSM, termasuk IDI.
Di dalam UU tersebut, juga disebutkan tentang Konsil kedokteran Indonesia dibentuk “untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi”. KKI harus menjadi regulator yang baik untuk mengawasi kinerja Organisasi Profesi (OP) seperti IDI, PDGI, MKKI, MKKGI, kolegium dan berbagai asosiasi seperti AIPKI dan ARSPI, sebagai pihak yang diregulasi. KKI harus dapat independen dari berbagai pihak yang diawasi dan tentunya harus juga independen dari pemerintah. KKI harus merupakan badan otonom, namun tetap berkoordinasi dengan lembaga pemerintah maupun non pemerintah dan bertanggung jawab pada Presiden melalui menteri kesehatan. Namun faktanya, anggota KKI didominasi oleh anggota IDI, sehingga terdapat kecenderungan konflik kepentingan
Selanjutnya materi dr. Erfen yang berjudul “Best Practice of Medical Councils around the Globe”. Otoritas regulasi medis seperti konsil kedokteran adalah organisasi yang diakui oleh pemerintah pusat, daerah, provinsi (top-down) yang bertanggung jawab terhadap registrasi dan lisensi dokter, dan standar praktik kedokteran sesuai yurisdiksinya. Regulasi medis meliputi menangani complain, dokter yang kurang performanya, atau perilaku profesional yang buruk. Sedangkan asosiasi medis adalah organisasi yang dibentuk oleh dokter (bottom up) yang mencakup mengatur kesejahteraan, proteksi legal, dan lain – lain untuk anggotanya, dan keanggotaannya bersifat sukarela. Bila melihat di literatur, terdapat International Association of Medical Regulatory Authority (IAMRA) yang merupakan perhimpunan konsil kedokteran di dunia. Tujuan IAMRA adalah agar otoritas regulas medis di dunia melakukan best practice untuk mencapai mandatnya, yaitu melindungi, mempromosikan, dan memelihara kesehatan dan keamanan pulik dengan menjamin standar profesi kedokteran. Tantangan yag dihadapi adalah perubahan lingkungan, perubahan IT, dan sistem layanan kesehatan yang berevolusi. Perlu dicatat juga bila asosiasi medis hanya terdaftar sebagai partner IAMRA, bukan sebagai anggota. Erfen juga memaparkan beberapa contoh status dan keanggotaan konsil kedokteran beberapa negara. Misalnya di Singapura, ada di bawah kementerian kesehatan dan anggotanya dipilih oleh Kemenkes serta dokter dari fakultas kedokteran yang terakreditasi. Di India, konsilnya diambil alih oleh pemerintah karena ada skandal di konsil kedokteran sebelumnya. Anggota utamanya adalah 33 dokter independen yang terbagi menjadi 4 autonomous board. Di Inggris, General Medical Council (GMC) mengurusi tentang etika dan standar profesional dokter. Terdapat juga British Medical Association (BMA) yang merupakan trade union untuk dokter dan mahasiswa kedokteran. New Zealand Medical Association memiliki 13 anggota yang ditunjuk oleh Kementrian Kesehatan, dengan mayoritas anggota dokter, namun ada orang awam juga.
Fokus utama dari konsil kedokteran di negara lain adalah untuk keamanan publik, bukan untuk melindungi profesi, sehingga beberapa negara banyak melibatkan orang awam dan tidak melibatkan organisasi profesi untuk menjaga independensi konsil.
Pembahasan oleh Prof. Budi Sampurna diawali dengan memberi highlight pada paparan dr. Judil dan dr. Erfen. Ada banyak variasi dari medical authority di negara lain, namun tujuannya sama yaitu melindungi masyarakat dan mengatur profesi kedokteran, termasuk standar praktiknya.
Pada sesi diskusi, dr. Judil memaparkan bahwa di IDI tidak ada dewan pengawas yang terpisah, karena fungsi pengawas masuk ke dalam Badan Pertimbangan yang ditunjuk oleh ketua IDI, berbeda dengan PDGI yang memiliki dewan pengawas yang dipilih dalam kongres, dengan posisi yang sejajar dengan pengurus.
Diskusi ini ditutup oleh moderator, dr. Sugito dengan kesimpulan fungsi, tugas, dan wewenang dari IDI dan KKI harus jelas agar tidak ada keluhan dari segi manapun.
Reporter: Srimurni Rarasati
UNDUH MATERI