Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (PKMK FK-KMK) UGM pada Jumat, 20 Desember 2019 menyelenggarakan kegiatan Diskusi (Webinar) Refleksi Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2019 dengan topik “Pembangunan Kesehatan dari Pinggir”. Diawali dengan sambutan oleh Direktur PKMK, Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH, M.Kes, MAS, yang menjelaskan bahwa selama tahun 2019 kemarin telah banyak isu yang dibahas oleh PKMK. Diantaranya seputar defisit dana JKN, disparitas JKN yang tidak hanya dibahas di dalam negeri namun mitra luar negeri, dan coverage imunisasi di slum area. Isu mutu pelayanan kesehatan juga masih menjadi fokus. Sementara dari sisi digital health dan inovasi teknologi 4.0 menurut Dr. Andreasta belum terlalu banyak disentuh oleh PKMK, padahal sebetulnya dapat menyelesaikan isu disparitas.
Masuk ke sesi pengantar, sambutan dari dekanat diwakili oleh dr. Yodi Mahendradhata, MSc, PhD (Wakil Dekan Bidang Penelitian dan Pengembangan) yang menyajikan presentasinya mengenai refleksi kesehatan global 2019. Dr. Yodi menjelaskan, berdasarkan rujukan dari website WHO, ada top 10 issue yang menjadi sorotan kesehatan global selama tahun 2019 yakni: air pollution and climate change, NCD’s, influenza, fragile and vulnerable setting, antimicrobial resistance, ebola and other pathogens, weak primary healthcare, vaccine hesistency, dengue, and HIV. Terkait digital health, menurut dr. Yodi PKMK tidak perlu berkecil hati jika belum terlalu menyentuh teknologi 4.0 karena WHO juga baru mengeluarkan dokumen terkait digital health pada tahun 2019 ini. Sehingga momentumnya dirasa cukup tepat jika saat ini PKMK akan masuk. Sementara itu terkait NCD’s, ada report yang cukup menarik terkait industri rokok. Pada tahun 2019 Indonesia menempati top 5 untuk besarnya campur tangan industri rokok pada negara. Bahkan dampak yang cukup memprihatinkan atas predikat ini, UGM tidak bisa lagi menerima aliran dana dari WHO karena WHO mendeteksi adanya aliran dana dari industri rokok yang masuk ke UGM. Kemudian tentang UHC, untuk pertama kalinya pada September 2019 lalu PBB menggelar high level meeting membahas UHC yang dihadiri oleh para kepala negara. dr. Yodi juga memberi masukan agar PKMK mulai menangkap peluang kerjasama dengan China, karena China saat ini menjadi negara yang cukup agresif menembus pasar Indonesia termasuk dalam isu kesehatan. China berkeinginan kuat menandingi negara-negara seperti Amerika dan Eropa sebagai leader dalam global health, diataranya melalui China’s Belt Road Initiative seperti Marshall Plan yang dibuat Amerika.
Sesi pengantar dilanjutkan oleh salah satu ketua board PKMK, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD yang menyoroti tentang isu kesenjangan akses layanan kesehatan antar daerah di Indonesia. Menurut Prof. Laksono, pengeluaran JKN menjadi bola liar yang sulit dikendalikan. Dana PBI yang dibayarkan oleh pemerintah masih sisa sehingga dipakai untuk menutup defisit PBPU karena beban dan iuran sangat timpang. Hal ini disebabkan kelompok PBPU yang sebetulnya punya kemampuan untuk membayar, namun tidak mau membayar (Riset Balitbang 2019) sehingga beban JKN mencapai 62 T. Mirisnya lagi, beban ini hanya terpusat di area kota-kota besar, terutama pulau Jawa, sedangkan daerah-daerah terpencil sangat kecil penyerapan dana JKN nya. Prof. Laksono menilai, big data dapat menjadi salah satu solusi bagi permasalahan ini agar pemerintah pusat dapat meningkatkan pemerataan akses kesehatan di seluruh daerah di Indonesia.
Dalam diskusi sesi pengantar, sejumlah pertanyaan dilontarkan oleh peserta diantaranya dari FK Unsyiah Aceh yang menanyakan apakah data ini akurat atau sinkron dengan data dari BPJS atau baru merupakan data peneliti di lapangan. Menjawab pertanyaan ini, Prof. Laksono menegaskan jika data tersebut sudah diverifikasi sehingga dijamin akurasinya. Hanya memang jumlahnya menggunakan sampling belum 100% populasi. Pertanyaan lain datang dari dr. Hendro yang mengkritisi mengapa persoalan BPJS yang disoroti selama ini hanya masalah pendanaan saja, sedangkan masalah teknis medisnya kurang mendapat perhatian. Menanggapi kritikan ini Prof. Laksono menjelaskan bahwa memang persoalan ini harus diselesaikan dengan big data. Bila semua pihak mau membuka mata terhadap fakta yang ada pada data, maka persoalan teknis medis pun akan dapat teratasi bukan hanya soal pendanaannya saja.
Masuk ke inti acara yakni Diskusi Refleksi Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2019 “Pembangunan Kesehatan dari Pinggir”, disajikan oleh masing-masing ketua divisi di PKMK FK-KMK UGM yang dimoderatori oleh Dr. Andreasta. Diawali oleh Shita Listyadewi selaku ketua divisi Public Health yang mengangkat topik Pembangunan Kesehatan yang Inklusif. Divisi Public Health memiliki beragam program kegiatan pada tahun 2019, mulai dari isu marjinalitas berkaitan dengan health equity, hingga masalah gizi kesehatan. Selama tahun 2019 pula divisi public health bekerjasama dengan sejumlah klien dan mitra, mulai dari mitra internal di lingkungan FK-KMK UGM, pemerintah daerah dan pusat, lintas pusat studi, hingga mitra internasional. Mayoritas kegiatan divisi adalah penelitian, diikuti dengan kerjasama dan pendampingan. Dan yang cukup membanggakan adalah mayoritas kegiatan-kegiatan tersebut adalah hasil bidding, sehingga melibatkan cukup banyak tenaga-tenaga muda yang potensial.
Dilanjutkan ke Divisi Manajemen Rumah Sakit, oleh ketua divisinya yakni Ni Luh Putu Eka Andayani yang memaparkan mengenai situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia. Menariknya, meski permasalahan klaim BPJS masih menjadi isu hangat namun tidak menyurutkan pertumbuhan rumah sakit swasta di Indonesia, karena tren nya bertumbuh dan naik secara kuantitas. Pelayanan rumah sakit pun semakin berkembang, tidak hanya memberikan pelayanan di rumah sakit namun juga menyediakan layanan medicine-homecare yang lebih efisien. Dan ternyata mendapat sambutan cukup baik di masyarakat. Kebutuhan ini tentunya harus didukung dengan inovasi teknologi atau smart hospital; karena medicine homecare bahkan sudah online dengan sistem yang ada di rumah sakit, melalui alat yang dipasang di tubuh pasien. Namun yang masih menjadi permasalahan di tengah perkembangan yang rumah sakit justru persoalan regulasi. Karena rumah sakit dibuat bingung dengan sejumlah regulasi. Misalnya pencabutan PMK no.56/2015 yang diganti dengan PMK NO.30/2019, namun masih ditunda pelaksanaannya. Regulasi PP No. 18/2016 tentang RSD sebagai UPT Dinkes juga sempat menimbulkan sedikit kegaduhan, karena banyak direktur RSD yang lepas tangan karena tidak memiliki jabatan struktural, sehingga sempat mengganggu pelayanan.
Masuk ke divisi Mutu Pelayanan Kesehatan, Dr. Hanevi Djasri tidak henti-hentinya menekankan pentingnya penetapan indikator mutu pelayanan kesehatan dalam cakupan UHC. Karena faktanya, akibat mutu pelayanan kesehatan yang jelek menyebabkan banyak pasien BPJS yang meninggal di rumah sakit, dan kasus terbanyak dengan penyakit jantung. Pemaparan dilanjutkan oleh ketua divisi baru di PKMK yakni divisi e-health, Anis Fuad yang mengatakan jika sebetulnya PKMK belum terlalu ketinggalan dalam digitalisasi kesehatan. Karena digitalisasi di dunia kesehatan saat ini belum betul-betul optimal, sehingga ini merupakan opportunity window bagi PKMK untuk masuk. Menurut Anis, beberapa studi menyebutkan bahwa digitalisasi kesehatan memang terbukti meningkatkan akses layanan namun belum terlalu berpengaruh terhadap penurunan kejadian kematian jika teknologinya belum diterapkan dalam jangka panjang. Sehingga ke depannya peluang yang dapat dilakukan diantaranya membuat kerangka terpadu arsitektur pertukaran informasi kesehatan terbuka, serta membuat kerangka monitoring dan evaluasi digitalisasi kesehatan.
Presentasi terakhir dari Divisi Manajemen Bencana Kesehatan, yang memaparkan mengenai kegiatan pelatihan dan pendampingan untuk penguatan peran dinas kesehatan dalam menghadapi krisis kesehatan. Hal tersebut dilatarbelakangi fakta di lapangan saat terjadi bencana, dinas kesehatan yang seharusnya menjadi komandan klaster kesehatan justru tidak siap dan cenderung lemah kondisinya. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya penguatan peran dinkes, dan hal ini akan tertuang dalam rencana kontijensi yang juga sedang proses pembuatan.
Menanggapi pemaparan dari masing-masing divisi, para anggota board PKMK memberikan apresiasi dan motivasi untuk persiapan 2020. Seperti disampaikan oleh Prof. Adi Utarini yang berharap competitiveness yang cukup tinggi di divisi public health dapat ditularkan ke divisi lain. Prof Adi Utarini juga berharap ke depannya kolaborasi antar divisi di PKMK dapat terjadi lebih erat, bukan hanya bekerja sendiri-sendiri di masing-masing divisinya. Apresiasi yang sama diberikan oleh Dr. Eti Nurwening, yang bahkan berharap semangat dan prestasi di PKMK dapat ditularkan pula ke pusat dan departemen lain di FK-KMK UGM. Sementara Dr. Ibrahim Rahmat memberi masukan untuk divisi bencana bila memungkinkan bisa dibentuk tim-tim khusus untuk jenis bencana yang berbeda, misal tim tsunami, tim erupsi, atau tim khusus bencana non alam. Dan pihaknya juga memberikan saran agar selalu dilakukan evaluasi pasca re-akreditasi PKMK, mengingat PKMK telah mengantongi predikat sebagai lembaga bersertifikasi ISO 9001. (Edna)