12 Oktober 2020
PKMK – Yogya. Hasil penelitian ini dipaparkan oleh Gde Yulian Yogadhita, M.Epid, Apt dengan 3 orang pembahas yaitu dr. Darwito dari PERSI, dr. Fitri dari Dinkes DIY dan dr. Sulung dari Dinkes DKI. Regulasi terkait dengan COVID-19 oleh pemerintah DKI dan DIY, maupun pemerintah pusat sudah ada dan cukup banyak diterbitkan terutama untuk mengatur pembatasan sosial baik itu pembatasan sosial skala besar (PSBB) maupun skala komunitas. Sebelum kebijakan PSBB diberlakukan, sudah ada kebijakan pembatasan sosial di beberapa daerah, dan setelah PSBB semakin banyak aturan yang diterbitkan. Persepsi masyarakat terhadap regulasi dan pedoman yang diterbitkan pemerintah cukup baik. Sebagian besar responden menyatakan ada informasi dari tokoh masyarakat, kelurahan/RT/RW kepada masyarakat mengenai pencegahan COVID-19.Dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pembatasan sosial yang diterbitkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah DIY dan Jabodetabek mampu menekan tingkat kunjungan pasien periode Maret hingga Juli, terlihat bahwa tidak terjadi lonjakan yang ekstrim yang melampaui kapasitas kesehatan setempat. Sehingga selama belum terjadi lonjakan kunjungan pasien dengan pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial, dapat memberikan waktu untuk pemerintah daerah dalam upaya menyiapkan kapasitas lonjakan (surge capacity) baik berupa memperbaiki maupun meningkatkan kapasitas layanan kesehatan.
Diskusi:
Sesi diskusi membahas 3 topik secara umum yaitu terkait gambaran PSBB di DKI, gambaran pembatasan di DIY dan terkait ketaatan terhadap kebijakan yang dibentuk. dr. Sulung menyatakan sepakat dengan hasil penelitian. Memang setelah 2 minggu pelaksanaan PSBB yang pertama di Jakarta, terjadi penurunan kasus. Dan selama PSBB berlangsung dilakukan pemetaan kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan sebagai kesiapan jumlah pasien semakin banyak. Masyarakat yang dihadapi bukan hanya pekerja lokal, melainkan juga banyak masyarakat yang melakukan perjalanan luar kota untuk urusan pekerjaan. Peran seluruh fasyankes perlu untuk ditingkatkan. Mungkin yang menjadi perhatian ke depannya terkait penelitian ini adalah mengenali karakteristik responden. Misalnya responden yang berusia di atas 60 tahun mungkin tidak mengetahui adanya informasi lewat media sosial atau responden yang tinggal di perumahan elit mungkin tidak mengetahui adanya informasi dari kepala RT/RW setempat. Selanjutnya terkait dengan PSBB yang disampaikan oleh dr. Fitri, DIY memang tidak menerapkan PSBB namun terdapat regulasi terkait dengan pembatasan. Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) COVID di DIY tidak hanya di tingkat provinsi namun sampai dengan tingkat kabupaten, kecamatan dan tingkat desa. Pembentukan satgas ini sangat efektif. Khususnya di desa dengan adanya satgas maka terbangun pemberdayaan masyarakat. Apabila ada kasus di desa maka terbentuk koordinasi di Satgas desa dengan puskesmas. Sehingga masyarakat bekerja sama dalam penanganan COVID-19 di desa.
dr. Darwito menunjukkan gambaran terkait kebijakan PSBB, poin penting keberhasilkan kebijakan ini adalah ketaatan. Masyarakat banyak yang tidak taat disebabkan oleh factor keterbatasan pengetahuan, merasa tidak peduli dan belum menjadi prioritas hidup. Masyarakat merasa tidak peduli karena belum tersentuh dan bagi masyarakat ekonomi masih menjadi prioritas yang utama. Pengetahuan terkait COVID ini juga selalu berubah sehingga mitigasi juga berubah. Artinya komunikasi yang utama, bagaimana perubahan ini dapat disosialisaikan dengan baik kepada masyarakat. Salah satu mitigasi yang sudah ada adalah dengan adanya peraturan dan pelaksanaan atas peraturan tersebut.
Narasumber menekankan kembali penelitian ini merupakan dokumentasi dari bagaimana PSBB bisa mempengaruhi masyarakat dan bagaimana masyarakat menyikapi kebijakan PSBB. Dinkes DIY sudah memanfaatkan waktu leg seperti yang disebutkan sebelumnya yaitu waktu selama belum terjadi lonjakan, pada saat PSBB dimanfaatkan untuk memperkuat kualitas pelayanan kesehatan. Dari awal pengembangan proposal sudah concern dengan juga pelayanan kesehatan untuk pasien non COVID-19. Ternyata sudah diakomodasi juga oleh Dinkes DKI, pasien non COVID-19 yang mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan. Penelitian tentang kebijakan bukan untuk membandingkan antara DKI dan DIY. Namun hanya mendokumentasikan bagaimana kebijakan pembatasan yang diterbitkan oleh pemenrintah lokal berdasarkan karakteristik daerahnya. Karakter masyarakat di DKI dan DIY berbeda, dari hasil penelitian ini terlihat bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah DKI bersifat top down, sementara DIY bersifat bottom up. Strategi kebijakan ini sangat tepat, misalnya di DIY tidak PSBB karena peran tokoh masyarakat di komunitas lebih banyak dan lebih kuat.
Hasil penelitian ini mendapatkan apresiasi dari pihak eksternal dan harapannya ada penelitian lanjutan melihat kasus COVID-19 terus berkembang begitu juga dengan kebijakan dan teori terkai COVID-19. Penelitian dengan menggunakan data yang lebih banyak dan lebih melibatkan sektor lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan. Penelitian ini menyarankan supaya ketaatan masyarakat dalam implementasi kebijakan pembatasan sosial lebih ditingkatkan dan informasi terkait pencegahan penyebaran COVID-19 sebaiknya lebih melibatkan masyarakat. Sehingga pemerintah daerah, petugas kesehatan dan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama dalam pencegahan penyebaran COVID-19. Fasilitas kesehatan juga aktif dalam meningkatkan layanan kesehatan sebagai kesiapan kemungkinan menghadapi lonjakan pasien.
Reporter : Happy R Pangaribuan (Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM)