Reportase Diskusi Harapan pada IDI untuk Pendidikan dan Pelayanan Dokter Masa Depan: Kajian Perundangan dan Organisatoris

Reportase Diskusi Harapan pada IDI untuk Pendidikan dan Pelayanan Dokter Masa Depan: Kajian Perundangan dan Organisatoris

Pada 15 Desember 2020, telah dilaksanakan diskusi yang dilaksanakan oleh Pemerhati Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan yang berjudul “Harapan Pada IDI Untuk Pendidikan dan Pelayanan Dokter Masa Depan: Kajian Perundangan dan Organisatoris”. Moderator sesi ini adalah Dr. dr. Herqutanto, MPH, M.A.R.S. dengan pembicara Prof. Dr. R. Syamsuhidayat SpB (K), Prof. Dr. M. Ahmad Djojosugito,dr. SpOT., MHA, MBA, DR. Dr. Judil Herry, dan Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc PhD. Ada 2 penanggap, yaitu Prof. Dr. dr. Pradana Soewondo, SpPD-KEMD dan Dr. Yoni Fuadah Syukriani, dr., M.Si., Sp.F., DFM.

Sesi pertama adalah pembentukan UU Praktek Kedokteran dan AD/ART IDI terkait antisipasi berlakunya UU tersebut. Ahmad menjelaskan pada AD/ART IDI 2003, PB IDI, MKKI, dan MPPK menjadi 1 dalam majelis permusyawaratan pimpinan, dengan kedudukan setara dan independent dan kepemimpinan kolektif kolegial. Namun, sejak 2006 berubah menjadi kepemimpinan subordinatif, dimana PB IDI menjadi pimpinan. Tidak ada kolegium dokter Indonesia karena Pendidikan dokter adalah tanggung jawab FK.

Sesi ini dilanjutkan oleh Syamsu tentang lahirnya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). KKI adalah tempat berkumpulnya seluruh kolegium untuk ikut merancang, mengembangkan, dan melaksanakan pendidikan kedokteran di Indonesia. Ada di sisi hulu untuk menghasilkan dokter, sampai dokter itu mendapatkan sertifikat kompetensi (Serkom) yang dikeluarkan oleh Perkonsil. Serkom ini adalah sertifikat yang menyatakan bahwa dokter ini sudah selesai dilatih menjadi spesialis, dan digunakan untuk mengurus izin praktek, yang merupakan urusan pemerintah (Kemenkes). dr. Merdias Almatsier, salah seorang audiens yang juga terlibat dalam penyusunan UU Pradok, menambahkan di setiap negara, memang hanya ada 1 organisasi profesi (OP) kedokteran yang harus menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas dari profesionalisme profesinya, dengan cara membuat standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, dan kode etik. Sementara ini, tugas utama IDI adalah menjaga profesionalisme kedokteran dan kesehatan anggota.

Sesi selanjutnya, dr. Judil menjelaskan tentang Kenyataan Organisasi Profesi IDI Pada saat ini. Pada UU PraDok tahun 2004 terdapat abuse of power dari OP. IDI dan PDUI juga menentang putusan judicial review UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Dokter Layanan Primer (DLP) dan UKMPPD oleh MK. Lalu, IDI menerbitkan RUU Dikdok, yang mereduksi peran negara/ pemerintah. Hal ini bertentangan, karena IDI seharusnya tidak mengurusi pendidikan kedokteran. Bila RUU DikDOk ini disahkan, maka OP menguasai dunia kedokteran Indonesia, dari hulu sampai ke hilir, berpotensi adanya monopoli dan liberalisme. Di RUU DikDok juga muncul Kolegium Dokter Indonesia, yang mengurus sertifikat kompetensi.

Sesi selanjutnya materi dari Laksono, tentang harapan untuk masa depan, yaitu dengan 2 jenis organisasi profesi. Sebaiknya ada 2 OP, yaitu IDI dan Kolegium yang terpisah secara tegas, untuk mencegah monopoli 1 ormas dari hulu (pendidikan kedokteran) ke hilir (praktek/pelayanan kedokteran). Dalam hal ini, Kolegium harus diakui oleh pemerintah (Kemendikbud).

Pradana sebagai penanggap menyatakan dengan kepemimpinan subordinat seperti sekarang itu kurang fleksibel, sehingga tata kelolanya harus diperbaiki. Perlu harmonisasi untuk meletakkan OP pada tempatnya agar bisa bermanfaat untuk seluruh anggotanya. Dilanjutkan dengan Yoni dengan penjelasan tentang American Medical Association, yang mengalami penurunan anggota karena keanggotaannya bersifat volunter. Di Malaysia, OP dan kolegium adalah 2 organisasi yang berbeda. Masyarakat akan lebih menerima bila ada monopoli regulasi oleh pemerintah, dibandingkan organisasi non pemerintah.

Sesi ini ditutup dengan kesimpulan Prof. Akmal Taher dari sisi pemerintah, yaitu acuan gerakan OP untuk bersinergi dengan usaha negara untuk mencapai kesehatan yang paling bagus, yaitu dengan memperkuat layanan primer untuk mencakup 40 – 60% penduduk paling miskin.

Reporter : Srimurni Rarasati


UNDUH MATERI

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*