Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK – KMK UGM menyelenggarakan Seri Diskusi Online dalam Forum Kebijakan Residen dan Forum Kebijakan JKN dengan tema “Harapan Untuk Pimpinan KKI yang Baru dalam Mengurangi Ketidakadilan Pelayanan Medik Spesialistik Di Era JKN Dan Kemungkinan Kekurangan Spesialis dalam Pandemi COVID-19”. Pemateri pertama adalah Insan Rekso Adiwibowo yang membahas tentang kekurangan spesialis paru. Indonesia memiliki kesenjangan geografis yang tinggi dan kebijakannya banyak yang Jawa-sentris. Kesenjangan ketersediaan SDM kesehatan antar daerah berdampak besar dalam mewujudkan jaminan kesehatan semesta, terutama masyarakat rawan (vulnerable). Ketidakmerataan ini tidak hanya terjadi secara nasional tetapi juga di tingkat provinsi, misal di Sumatera Utara, ketimpangan antara Medan (98 dokter paru) dan Tapanuli Selatan (1 dokter paru), dan persebaran dokter spesialis sangat berkaitan dengan persebaran RS. Pandemi COVID-19 akan membawa kesenjangan itu pada level yang fatal, karena akan membuat situasi pandemi ini tidak terkendali dan mengakibatkan lebih banyak korban.
Paparan kedua dibawakan oleh Faozi Kurniawan, tentang implikasi kekurangan spesialis jantung dan pembuluh darah dalam konteks JKN. Ketidakmerataan juga terjadi karena dokter banyak terpusat di pulau Jawa, sehingga utilisasi penyakit jantung (besaran klaim) juga terserap secara tidak merata. Besaran klaim jantung per segmen pun juga terdapat ketimpangan, paling banyak diserap oleh PBPU dan paling sedikit oleh PBI APBD. Portabilitas pasien pun juga paling banyak rujukan dengan tujuan pulau Jawa, dengan mayoritas segmen PPU, PBPU, dan BP. Dana BPJS untuk penyakit katastropik banyak terserap di kota besar dan portabilitas juga hanya bisa dinikmati oleh anggota BPJS yang mampu membeli tiket dan akomodasi.
Prof. Laksono Trisnantoro menyampaikan ada beberapa opsi kebijakan untuk mengatasi kekurangan tenaga kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah task shifting. Opsi task shifting ini dapat digunakan untuk mengatasi masalah pemerataan dan kemungkinan kekurangan spesialis dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19 saat ini. Di Indonesia, sudah ada beberapa regulasi penerapan task shifting, termasuk Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No.48/2010, yang menyatakan bahwa Kewenangan tambahan adalah kewenangan lain yang diberikan kepada dokter atau dokter gigi untuk melakukan praktik kedokteran tertentu secara mandiri setelah mengikuti pendidikan dan/atau pelatihan, dan merupakan tambahan terhadap kewenangan yang telah dimiliki berdasarkan kompetensi yang diperoleh dari pendidikan formal. Namun dampak Perkonsil ini sampai sekarang belum jelas.
Organisasi yang bisa menentukan task shifting adalah Kementerian Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dan kolegium. Proses task shifting tenaga kesehatan di Indonesia bisa dilihat pada gambar di bawah ini:
etua KKI, dr. Putu Moda Arsana, Sp.PD menanggapi dengan baik opsi yang diberikan oleh Prof. Laksono. Putu menyampaikan permasalahan (1) Terjadi kelangkaan tenaga kesehatan (terutama spesialis) terutama di luar pulau Jawa, (2) Bagaimana kita mau mengadakan spesialis ini? (3) Langkah apa yang harus dikerjakan, dan KKI harus mengkaji beberapa alternatifnya : apakah kita bisa mempercepat penambahan spesialis (langkah terbaik tapi butuh waktu padahal mendesak), apa kita memberlakukan task shifting kepada dokter umum untuk smentara bisa menangani masalah – masalah yang ada, dan opsi yang sedang dikaji oleh KKI yaitu bagaimana memanfaatkan sumber daya yang bisa ditugaskan di daerah -daerah yang membutuhkan terutama di luar pulau Jawa.
Diskusi ini ditutup dengan kesimpulan bahwa task shifting adalah salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan untuk mengatasi kekurangan tenaga kesehatan di Indonesia, termasuk dokter spesialis. (Reportase oleh: Rarasati)