Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD membuka webinar Implementasi Koordinasi Antar Penyelenggara Jaminan Dalam Kebijakan Kelas Standar Rawat Inap JKN. Topik ini sangat penting karena melihat 4 – 5 tahun terakhir Indonesia mengalami defisit yang cukup besar, bila melihat tahun ini bisa saja mengalami penurunan defisit karena penyakit – penyakit non COVID-19 menurun dan terdapat kenaikan PBI – Non PBI sehingga defisit yang tidak terlalu besar namun kita perlu melihat data Desember ini. Pengembangan sistem BPJS Kesehatan yang lebih baik, memang pembahasan standar menjadi isu kunci karena realitanya PBPU kelas I, II dan III yang menimbulkan banyak defisit di BPJS. Periode 2014 – 2018, kelompok PBPU menengah keatas defisit sekitar 60 Triliun dan ini harus ditutup oleh segmen lainnya dan juga dari pemerintah.
Narasumber pertama, Muttaqien, MPH, AAK dari DJSN menyatakan bahwa pembahasan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 perubahan dari Perpres Nomor 82 Tahun 2018, maka muncul di Perpres Nomor 64 Tahun 2020 pasal 54A dengan menyatakan bahwa peninjauan manfaat jaminan kesehatan sesuai dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar paling lambat Desember 2020. Selain itu, Perpres Nomor 64 Tahun 2020 pasal 54B juga menyatakan bahwa manfaat jaminan kesehatan tersebut diterapkan secara bertahap sampai dengan paling lambat 2022.
Jaminan kesehatan saat ini terdapat perbedaan kelas (kelas I, II dan III) dan proses menuju amanah UU SJSN pada tahap pertama berupa transisi KRI JKN, konsep kelas standar akan dibedakan antara kelas standar A yakni dibayar oleh pemerintah dan kelas standar B, selain dibayar oleh pemerintah. Pembagian kelompok PBI dan non PBI tidak disebutkan dalam kelas standar karena DJSN ingin membangun prinsip ekuitas. Setelah proses ini dievaluasi akan menuju kelas tunggal yakni KRI JKN.
Linimasa kebijakan KRI JKN yakni pada 2020 finalisasi kajian KRI JKN, kemudian 2021 perubahan ketiga Perpres Nomor 82 Tahun 2018 beserta pertauran pelaksanaannya termasuk konsultasi publik dan penyiapan infrastruktur beserta SDM, dan pada 2022 implementasi KRI JKN secara bertahap. Terdapat 4 opsi skenario pentahapan yakni skenario 1 pada RS vertikal, RS pemerintah lainnya, dan RS swasta; skenario 2 pada RS pemerintah dan RS swasta; skenario 3 pada Kabupaten/Kota dengan BOR dibawah 40%, 41 – 69% dan diatas 70%; dan skenario 4 pada kesiapan Pemda/supply side.
Narasumber kedua, dr. Medianti Ellya P. dari Deputi Direksi Bidang Pembiayaan Manfaat Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan menyatakan bahwa perlu memastikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan dapat dijangkau oleh seluruh peserta, sebenarnya BPJS sendiri tentunya menunggu ketetapan dari regulasi terkait KDK dan KRI tersebut termasuk penyesuaian tarif, penyesuaian iuran dan lain sebagainya. Saat ini penentuan klasifikasi kelas standar belum ada sehingga perlu untuk kita melakukan standarisasi. Kebutuhan dasar kesehatan leading sector yakni Kementerian Kesehatan sedangkan kelas standar yakni Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
BPJS Kesehatan secara prinsip mendukung penuh upaya pemerintah dalam peningkatan tata kelola jaminan kesehatan. Implementasi kelas standar pada skema JKN akan membuka peluang adanya kebutuhan kenaikan kelas untuk peserta yang mengharapkan adanya kenaikan benefit non medis (seperti kenaikan kelas perawatan). Hal ini membuka kesempatan bagi seluruh Asuransi Kesehatan Tambahan untuk membuka produk top up dan membuat variasi produk sebaik mungkin untuk menunjang pelayanan peserta JKN. Adapun ketentuan kenaikan kelas/perawatan di poli eksekutif saat ini mengacu pada Permenkes Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan.
Narasumber ketiga, dr. Tonang Dwi Ardyanto, Sp.PK, PhD dari PERSI menyatakan bahwa bagi RS, koordinasi manfaat sudah lama dibahas dan bagi sebagian RS, masih ada yang belum merasakan sekitar 50% yang pernah merasakan CoB dan kebanyakan yang merasakan RS besar seperti di kota sedangkan RS kecil masih belum merasakan itu sedangkan pada tahun depan sudah diganti lagi, itu adalah hal yang dirasakan sebagian anggota kami di PERSI.
Beberapa istilah dalam pembiayaan bahkan sampai saat ini masih terjadi seperti urun biaya, ada selisih biaya, bahkan tambahan biaya dan CoB karena masih ada diantara kami memiliki definisi yang berbeda – beda dalam pelayanan kesehatan. Perlu adanya redefinisi manfaat dan menjelaskan dengan benar dan sesuai kepada provider agar tidak terjadi kisruh atau tumpang-tindih dengan yang sudah ada saat ini. PERSI mengharapkan dalam memberikan pelayanan tanpa harus terlibat banyak dalam sisi – sisi pengelolaan non servis dalam koordinasi manfaat.
Peserta mempunyai hak untuk meningkatkan manfaatnya tanpa kehilangan hak peserta JKN seperti penggunaan obat-obat melebihi fornas atau saat penerapan kelas standar, peserta mau naik standar bisa naik sperti naik kelas (Kelas I, II dan III) dalam koordinasi manfaat. Selain itu, RS perlu income tambahan selain klaim JKN karena ada penurunan unit cost klaim pasien dan tahun inipun juga turun. Asuransi Kesehatan Tambahan (AKT) perlu mencari celah pasar seperti pasien/ peserta menghendaki metode yang lebih baru atau obat melebihi fornas atau lain sebagainya karena semua itu dalam pengaturan, adanya out of pocket maupun koordinasi manfaat itu tadi menjadi hak RS tanpa harus mengurangi CBGs, itu harapan kami. Untuk mekanisme koordinasinya, ada hak dasar yang menjadi bagian paket JKN sedangkan untuk peningkatan manfaat, tidak berlaku gugur hak JKN tapi hanya dapat dipenuhi dengan iuran biaya.
Terdapat pembahas yang hadir yakni Ery Setiawan, SKM., ME., AAAK dari USAID Health Financing Activity – National Social Security Council menyampaikan bahwa prinsip dasar koordinasi manfaat berkaitan dengan pada penanggulangan manfaat yang sama oleh dua penanggung. Pada konteks top up benefit, menggunakan mekanisme yang berbeda dengan CoB yang saat ini diatur lebih kepada manfaat medis. Perbedaan konsep urun biaya dan selisih biaya dengan merujuk pada definisi operasinal Permenkes Nomor 51 Tahun 2018 yakni urun biaya, ada isu penyalahgunaan utilisasinya sedangkan selisih biaya, lebih kepada tambahan biaya peserta pada saat memperoleh manfaat layanan yang lebih tinggi dari haknya misalnya naik kelas.
Terdapat identifikasi isu yang perlu diperhatikan yakni aspek regulasi, aspek tata kekola dan aspek pembiayaan pada pengaturan tata laksana dan kesiapan supply side. Penyelenggaraan koordinasi antar penyelenggara harus mengutamakan kualitas layanan dan keselamatan pasien. Indikasi adanya tren kenaikan kelas layanan dan pembayaran selisih biaya harus diantisipasi untuk menjaga out of pocket tidak semakin tinggi. Selain itu, instrumen peraturan perundangan dan penegakan aturan perlu ditetapkan pada tingkatan yang sesuai.
Di akhir sesi ada pertanyaan dari peserta, “Apakah ada opsi kelas standar tapi tidak boleh naik kelas, ini mendorong adanya akses sosial yang baik dalam konteks ketidakmerataan fasilitas kesehatan dan dokter?”. Muttaqien, MPH, AAK menjawab, “Ini opsi – opsi yang perlu kita pikirkan karena saat ini lebih kepada penyusunan kebijakan dan bila kembali pada amanah UU pasal 23 ada opsi untuk peserta naik kelas yang lebih tinggi karena secara kultural dan sosiologis kita melihat sulit melarang peserta yang ingin kenyamanan yang lebih baik, maka dia ingin mencari yang lebih baik lagi. Sampai sekarang opsi kita baru menyusun mekanismenya untuk dia bisa naik kelas dan menarik misal UGM ada kajian atau ada hal yang menarik untuk menjadi salah satu input opsi kebijakan, maka kami juga akan menjadi referensi dalam penyusunan kebijakan yang akan diambil”.