Reportase Seminar Online “Penguatan Layanan Primer dalam Penanganan COVID-19”

Reportase Seminar Online “Penguatan Layanan Primer dalam Penanganan COVID-19”

Seminar online Penguatan Layanan Primer dalam Penanganan COVID-19 yang dilaksanakan pada Kamis, 15 Oktober 2020 diselenggarakan oleh Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan Indonesia. Seminar online ini dipandu oleh Dr. dr. Dhanasari Vidiawati Sanyoto MSc.CM-FM, Sp.DLP, FISPH, FISCM. sebagai moderator.

Paparan pertama dibawakan oleh Dr. dr. Yoni F. Syukriani. MSi, SpF, DFM yang menjelaskan tentang pentingnya penguatan layanan primer dalam UU Pendidikan Kedokteran (Lesson learned from covid-19 pandemic). Di awal pandemi, organisasi kesehatan termasuk WHO lebih berkonsentrasi pada kesiapan di faskes sekunder dan tersier, misalnya ventilator di ICU RS. Semakin lama mulai disadari pentingnya pelauanan sektor primer karena harus menjadi benteng untuk pencegahan memburuknya penyakit, memerlukan dukungan fasilitas kesehatan yang ahli dan masih jarang. Bila ingin menuntaskan pandemi secara komprehensif, layanan tingkat primer yang harus lebih disiapkan. Model pelayanan di tingkat primer pun bergeser dari penyakit akut – kronis – pandemic – pasca pandemi.

Sebagian besar kasus COVID-19 adalah asimptomatik dan gejala ringan – sedang dimana kasus ini bisa dilayani di faskes primer. Namun dari segi pembiayaan, kasus berat hingga kematian adalah yang paling menyerap biaya. Jumlah dokter faskes primer sebenarnya sudah mencukupi, namun distribusi masih bermasalah, dan retensi dokter di daerah rendah. Sistem belum mendorong dokter ke faskes primer dan kapitasi makin turun. UU Pendok yang ada belum efektif dilaksanakan. Faskes tingkat primer masa depan membutuhkan kompetensi klinik, imsight terhadapa sistem kesehatan dan public health, manajerial, leadership (team leader, integrator) , komunikasi, dan etika.

Paparan selanjutnya adalah Penguatan Layanan Primer dalam Penanganan COVID-19 oleh Prof. Dr. dr. Akmal Taher, SpU(K). Dampak pandemi terhadap kesehatan menurut WHO ada 3 : morbiditas dan mortalitas akibat COVID-19, morbiditas dan mortalitas penyakit non COVID akibat ketidakmampuan sistem kesehatan untuk melakukan pelayanan, dan morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh resesi (kemiskinan, PHK, kekerasan).

Thailand adalah salah satu negara yang sistem kesehatannya yang kuat. Angka kasus COVID-19 sangat rendah. Di dalam buku “Lesson Learns from Thailand”, disebutkan ada 5 faktor yang mempengaruhi keberhasilan ini. Hal yang pertama adalah berinvestasi di fasilitas kesehatan adalah kunci suksesnya, yaitu sekitar 1000 RS publik dan 10.000 layanan kesehatan primer yang menjadi health promoting hospital, yang tersebar di seluruh negara. Kemudian kedua adalah Thailand sudah mencapai UHC sejak 2002. Seluruh pasien COVID-19 menerima terapi esensial tanpa barrier finansial. Ketiga, kontribusi >1 juta relawan kesehatan desa yang bekerja di layanan kesehatan primer pada level komunitas. Kelompok ini melakukan kunjungan rumah untuk edukasi, tracing kasus, surveilans, karantina, dan membagikan masker ke masyarakat. Keempat, Thailand mengambil aksi awal, sejak 3 hari Cina mengumumkan kasus pneumonia yang tidak lazim, mereka mulai melakukan skrining penumpang dari Wuhan dan dalam 5 hari ditemukan kasus pertama di luar Cina. Hal ini menyebabkan penggunaan masker dan hand hygiene diperketat sehingga membantu menurunkan gelombang pertama COVID-19. Terakhir, terdapat kooperasi public seluruh negara dan Thailand memantau perilaku masyarakat terkait COVID-19 tiap minggu dan mengambil kebijakan yang sesuai.

Sedangkan dari Singapura yang case mortality ratenya paling rendah, kita bisa melihat bahwa negara ini berhasil melakukan skema tracing kontak. Sistem tes yang agresif juga disebut sebagai gold standard of near perfect detection. Sehingga pasien banyak ditemukan pada gejala awal dengan tracing dan bisa diterapi dengan baik. Hal yang dikerjakan Singapura adalah diagnosis, tracing, dan menghentikan penyebaran lokal yang dilakukan oleh layanan kesehatan primer.

Paparan terakhir oleh dr. Ario Jatmiko SpB (Onk) dengan topik Perubahan perilaku dalam penanganan COVID-19. Dr. Ario menyampaikan bahwa bahwa satu-satunya cara untuk mengambil keputusan di era pengetahuan ini adalah berbasis data. Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007, bencana adalah tanggung jawab negara. Mengukur keparahan pandemi COVID-19 dilihat dari tinggi kurva (jumlah kasus), lebar kurva (lama wabah), dan kurva hitam (jumlah kematian). Strategi terbaik untuk mengatasi pandemic adalah berdasarkan data, terintegrasi, dan value for money. Kebijakan yang benar apabila dilaksanakan dengan benar maka hasilnya akan baik, dan begitu pula sebaliknya.

Dalam diskusi dibahas oleh Prof. Akmal tentang kebijakan dokter layanan primer yang sudah masuk ke dalam renstra. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana konkretnya universitas segera membentuk program studi dokter layanan primer.

Kesimpulan yang dapat diambil dari seminar ini adalah penguatan layanan primer adalah rencana jangka menengah dari Kementerian Kesehatan. Kita harus memulai inovasi di layanan primer, bukan hanya di Puskesmas, tapi juga klinik dan dokter praktek mandiri. Kita juga harus siap untuk menjadi dokter layanan primer yang diharapkan oleh masyarakat.

Reporter: Srimurni Rarasati


VIDEO REKAMAN

Tags: 2020 covid

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*