St. Vincent’s Hospital merupakan satu dari 100 rumah sakit terbaik dunia versi Newsweek. Rumah sakit ini memiliki sistem pembiayaan yang sangat baik dan sudah menerapkan filantropi sebagai sumber dana komplementernya. Webinar Filantropi di RS Swasta Keagamaan Australia (Studi Kasus: RS St.Vincent) ini membahas mengenai konsep penggalian dana filantropi, jaringan St. Vincent’s Hospital, serta sistem pajak terkait filantropi di Australia dan refleksinya di Indonesia. Menurut sebagian besar rumah sakit di Indonesia khususnya keagamaan merupakan lembaga campuran yang memiliki nilai kemanusiaan sekaligus berorientasi komersial. Namun, dewasa ini banyak rumah sakit yang cenderung ke arah komersial, dilihat dari berkurangnya dana kemanusiaan untuk rumah sakit. Sementara, di negara maju seperti Australia, dana kemanusiaan tetap dikembangkan.
Konsep pemasaran yang baik untuk mengembangkan donor kemanusiaan sangat dibutuhkan. Rumah sakit dapat menerapkan 3 kemungkinan tahap pemikiran dalam mempromosikan donasi kemanusiaan, diantaranya:
Tahap produk dengan “mentalitas pengemis”, dimana rumah sakit menunjukkan sikap “kita mempunyai hal yang bagus, orang – orang harus mendukung”.
Tahap penjualan dengan mentalitas pedagang asongan, dimana rumah sakit menunjukkan sikap “Ada banyak orang disana yang mungkin mau memberi uang dan kita harus mendapatkan mereka”.
Tahap pemasaran dengan mentalitas pemasar, dimana rumah sakit menunjukkan sikap “Kita harus menganalisa posisi RS kita dalam pasar donor. Kita harus berkonsentrasi pada sumber dana yang minatnya sama dengan kita. Program permohonan dana harus dirancang untuk memuaskan atau memenuhi kebutuhan tiap kelompok donor”.
Dalam konteks webinar ini, metode yang dipakai adalah konsep ketiga yaitu mentalitas pemasar. Oleh karena itu, rumah sakit harus memahami pasar donor yang dituju seperti individual atau perseorangan, yayasan, perusahaan, dan pemerintah.
Seperti yang tertulis dalam beberapa artikel sebelumnya, terdapat dua kelompok filantropis, sebagai berikut:
Kelompok A yang jumlah penyumbangnya banyak dengan jumlah rupiah yang disumbang kecil, contohnya tipe jemaah masjid/gereja.
Kelompok B yang jumlah penyumbangnya sedikit dengan jumlah rupiah yang disumbang besar, contohnya tipe konglomerat.
Untuk memobilisasi filantropis kelompok A, rumah sakit membutuhkan dukungan tokoh – tokoh yang dapat mempengaruhi calon donatur. Sedangkan, untuk menjaring kelompok B rumah sakit harus merubah cara pandangnya terhadap filantropi.
St. Vincent’s Hospital merupakan rumah sakit besar berteknologi tinggi yang memiliki 7 rumah sakit sebagai jaringan. Hingga saat ini St. Vincent’s Hospital sudah mencapai 125 tahun, dan sejak 1980 – an rumah sakit ini mendirikan unit penggalangan dana kemanusiaan. St. Vincent’s Hospital sangat concern dengan filantropi, dapat dilihat dari situs web rumah sakitnya dimana tertera “St. Vincent’s Foundation” yang tepat di tengah – tengah (menarik perhatian pengunjung situs web tersebut).
Selain itu, St. Vincent’s Hospital membuat unit khusus foundation yang terdiri atas 10 orang dengan seorang kepala yang memili keahlian dalam merencanakan proposal grant, melakukan penelitian ke donatur, mengembangkan event – event penggalian dana (fundraising), mengurus keluarga yang ingin memberikan warisan ke rumah sakit, mengelola data, dan melakukan pemasaran.
Berdasarkan hasil diskusi Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD. dengan Ms. Lyn Amy yang merupakan Chief Executive Officer St Vincent’s Health Australia Foundation, beberapa strategi agar penggalian dana kemanusiaan berhasil, maka harus ada pesan sosial yang kuat, urgency, influencer, dan konsistensi untuk melaksanakan kegiatan ini. St. Vincent’s Hospital menerapkan pelaporan tahunan terkait donasi yang berakhir di bulan Juni dimana ada 4 kali sirkulasi ke para donor. Pada Juli – Desember (saat natal) rumah sakit ini gencar memberikan pesan – pesan sosial kepada para calon donatur. Sedangkan, pada Februari – Juni tahun berikutnya rumah sakit ini melakukan penggalian dana.
Pajak dan filantropi sendiri mempunyai hubungan yang khusus dimana pajak dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi filantropis. Australia memiliki sistem perpajakan terkait donasi yang cukup komprehensif. Bagi donatur yang memberikan donasi senilai paling sedikit AUD $2 dapat mengajukan klaim untuk ”tax deduction”. Selain itu, kontribusi dalam bentuk lain atau bukan donasi yang diberikan secara langsung (non-finansial) juga dapat diajukan sebagai klaim “tax deduction”. Contoh kontribusi non finansial adalah saat seseorang membeli tiket konser amal, dimana orang tersebut tidak mengeluarkan donasi atau sumbangan secara langsung dalam bentuk uang, namun tetap bisa mengajukan klaim “tax deduction”. Cara mengajukan klaim “tax deduction” pun tidak rumit, karena dapat dilakukan secara online tanpa harus datang ke kantor pajak. Pengajuan klaim tetap bisa dilakukan meskipun tanpa disertai receipt atau bukti donasi, tetapi donatur harus menunjukkan bukti transaksi perbankan sebagai penggantinya. Namun, ada aturan sistem perpajakan Australia yang sangat memudahkan donatur dimana pemberi donasi dapat tetap mengajukan klaim tanpa adanya receipt atau bukti donasi jika ia menyumbang kurang dari $10, misalnya saat ia memberi uang tunai untuk donasi.
Selanjutnya, lembaga – lembaga yang menerima donasi dapat disebut sebagai deductible gift recipient. Pada umumnya lembaga – lembaga tersebut akan memberikan receipt atau bukti donasi yang berisi nilai deductible tax. Deductible gift recipient di Australia sangat aktif mempromosikan tax deduction sehingga meningkatkan kesadaran dan motivasi masyarakat untuk berdonasi. Pada sistem online perpajakan Australia terdapat kalkulator online untuk menghitung besar nilai pajak yang dapat dikurangi untuk setiap nilai donasi.
Sementara itu, Indonesia juga memiliki sistem perpajakan terkait sumbangan atau donasi yang diatur dalam Undang – Undang Perpajakan. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan pasal 4 ayat 3 poin a.1. Jika dianalisa lebih jauh, undang – undang perpajakan yang mengatur “tax deduction” di Indonesia dinilai kurang fleksibel. Hal ini dikarenakan donatur yang memberikan sumbangan tidak secara langsung (misalnya membeli tiket konser amal) atau menyumbang kepada pihak yang bukan merupakan badan/lembaga terdaftar di pemerintah, maka donasi tersebut tidak dapat dihitung sebagai pengurang nilai wajib pajak. Sedangkan, di Australia donatur tetap dapat mengajukan klaim“tax deduction” tanpa receipt atau bukti donasi dengan catatan sumbangan maksimal AUD $10.
Satu hal lagi yang harus disoroti mengenai sosialisasi “tax deduction” oleh deductible gift recipient. Di Australia, lembaga – lembaga yang dapat menerima donasi mempromosikan “tax deduction” secara aktif kepada para donatur. Sementara, di Indonesia masyarakat awam yang tidak paham benar mengenai dunia perpajakan, tidak akan mengetahui adanya aturan pengurangan nilai wajib pajak karena donasi. Seharusnya lembaga-lembaga yang dapat menerima donasi di Indonesia juga aktif mempromosikan ke masyarakat mengenai pengurangan nilai wajib pajak ini. Jadi, masyarakat akan termotivasi untuk menyumbang jika mereka tahu apa yang disumbangkan dapat menjadi pengurang penghasilan bruto dalam SPT PPh Wajib Pajak pribadi atau pajak badan (perusahaan). (Aisyah/PKMK)