Reportase Webinar Strategic Health Purchasing: Konsep dan Implementasi di Indonesia

Reportase Webinar Strategic Health Purchasing: Konsep dan Implementasi di Indonesia

16 Oktober 2020

USAID melalui Health Financing Activity dan Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (PPJK) Kementerian Kesehatan RI mengadakan serial webinar Young Health Economics ke-3 dengan tema Strategic Health Purchasing: Konsep dan Implementasi di Indonesia. Webinar ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan komitmen dengan membuat akses dan tempat berbagi melalui forum Young Health Economics.

Pertemuan kali ini membahas konsep Strategic Health Purchasing/Belanja Kesehatan Strategis (BKS), implementasi BKS dalam JKN (mekanisme pembayaran layanan/provider, konsep mutu, BKS dalam tatanan regulasi JKN), dan BKS dalam Program Prioritas (TB, KIA dan HIV).

Yulita Hendrartini, guru besar UGM, menjelaskan bahwa Strategic Health Purchasing adalah sebuah instrumen yang telah dilakukan banyak institusi untuk menjaga sustainabilitas keefektifan biaya. Strategic Health Purchasing tidak hanya digunakan dalam program JKN saja tetapi juga digunakan dalam program prioritas banyak institusi. Selanjutnya dijelaskan bahwa Belanja Kesehatan Strategis (BKS) dapat dibagi menjadi dua jenis, aktif dan pasif. Konsep utama BKS terdiri dari paket manfaat sebagai apa yang akan dibeli, cara pembelian dengan kontrak, monitoring darimana membeli, dan pembayaran yang digunakan. Kedepannya BKS diharapkan dapat meningkatkan cakupan layanan; akses, kualitas, efisiensi, dan akuntabilitas layanan sehingga terjadi peningkatan kepuasaan dan kesehatan pasien, proteksi finansial, dan ekuitas.

Alat yang digunakan dalam BKS terdiri dari paket manfaat (kriteria inklusi dan eksklusi, teknologi kesehatan), kontrak penyedia layanan (kriteria fasilitas yang digunakan, seleksi, kontrak), pembayaran (mekanisme pembayaran, costing dan pricing, proses klaim), monitoring kualitas (akreditasi, protokol dan audit klinis, analisis data M&E, pengendalian fraud).

Desain Paket manfaat harus mencakup mengenai hal yang perlu dimasukkan, hal yang perlu dikeluarkan dan bagaimana perencanaan kedepannya. Adapun proses kegiatan desain paket manfaat meliputi analisis data (bukti atas beban penyakit, efektivitas intervensi, proteksi finansial, dan equity), proses dialog (antara provider, pemerintah, pembayar atau peserta), pengambilan kebijakan dan implementasi (regulasi penunjang, cukup tidaknya anggaran, dan pilot model sebelum diterapkan dalam wilayah luas).

Indikator justifikasi/feasibilitas pilihan kebijakan antara lain yaitu: secara teknis dilakukan dengan benar, dapat mencapai tujuan, beban administrasi harus efisien sehingga tidak menyusahkan provider, peserta maupun beban anggaran, dapat diterima secara politik sehingga regulasi dapat berjalan.

Implementasi BKS dalam program JKN/program prioritas mengenai cara pembelian dan pembayaran merupakan cara purchaser (BPJS) untuk membayar ke provider (dokter, puskesmas, RS). Mekanisme pembayaran yang dipilih oleh purchaser dapat menentukan respon provider terhadap pelayanan yang diberikan.

Metode pembayaran merupakan cara dan besarnya harga yang harus dibayar ke penyedia layanan. Metode pembayaran meliputi desain, implementasi, dan modifikasi mekanisme pembayaran. Jenis metode pembayaran terbagi menjadi retrospektif (FFS) dan prospektif (kapitasi, DRGS, global budget). Berbagai jenis mekanisme pembayaran dapat memiliki insentif negatif. Hal ini dapat menjadi indikator dalam performa. Oleh sebab itu, perlu diketahui dampak positif dan negatif jenis metode pembayaran dalam menentukan desain model pembayaran yang tepat dan jika dibutuhkan akan dilakukan kombinasi metode pembayaran ke provider sehingga tujuan dapat terlaksana.

Saat ini mekanisme pembayaran di era JKN yang digunakan pada FKTP adalah kapitasi, sedangkan DRGs atau INACBGs digunakan untuk membayar rumah sakit di sektor spesialis maupun sub-spesialis. Adapun tantangan terkait implementasi dan mekanisme pembayaran adalah belum meratanya fasilitas kesehatan yang baik, belum optimalnya mekanisme rujukan berjenjang dan program rujuk balik, terjadinya utilisasi dan fenomena unnescesary revisit akibat pelaku supplier induced demand, belum optimalnya pemenuhan dan distribusi program obat misalnya TB di FKTP, lebih dari 80% spending JKN untuk FKRTL, belum optimal rujukan vertikal ke rujukan non spesialistik.

Mekanisme kontrak yang dilakukan memuat Hak dan Kewajiban antara fasilitas kesehatan dengan BPJS kesehatan. Adapun hak dan kewajiban diatur oleh PERMENKES 71 tahun 2013 dan PERMENKES 5 tahun 2018. Mekanisme tersebut berlaku wajib untuk faskes pemerintah dan sukarela untuk faskes swasta. Namun hingga saat ini, peran BPJS kesehatan dalam akreditasi serta negosiasi manajemen kontrak seperti penentuan harga masih sangat minim. Kapasitas dan kewenangan BPJS untuk melakukan monitoring kualitas pelayanan kesehatan juga masih terbatas.

Studi kasus dampak penerapan kapitasi berbasis kinerja (KBK) meningkatkan peforma puskesmas dibandingkan yang belum menerapkan KBK. Angka rujukan umum dari puskesmas yang mengimplementasikan KBK juga menurun walau belum menurunkan angka rujukan untuk spesialistik. FKTP dengan KBK memiliki angka kontak dan angka kunjungan peserta yang lebih tinggi. Sedangkan penerapan INACBGs untuk mengurangi terjadinya insentif negatif, dilakukan melalui percobaan metode pembayaran dengan global budget. Hal tersebut akan lebih meringankan karena terjadi sharing antara provider dan purchaser. Berdasarkan data yang didapat di lapangan, penggunaan global budget pada tahun ketiga menunjukkan bahwa anggaran yang dibutuhkan menurun.

Purchaser perlu melakukan monitoring jalannya BKS untuk meminimalisir terjadinya moral hazard dan menghindari terjadinya fraud. Beberapa cara monitoring adalah dengan utilization review, terbagi menjadi prospective review, concurent review, dan retrospective review.

Monitoring juga dibutuhkan untuk menghindari adanya fraud. Berdasarkan survei fraud di Indonesia tahun 2019, industri kesehatan menempati posisi ke-4 yang paling dirugikan karena adanya fraud. Temuan adanya fraud terbanyak didapatkan oleh karyawan atau orang yang terlibat didalamnya berdasarkan laporan survei fraud oleh ACFE tahun 2019. Berdasarkan laporan ACFE, kerugian defisit JKN hingga 18 triliun maka potensi fraud yang dapat terjadi adalah dapat mencapai 3 triliun. Pelaku yang dapat melakukan fraud antara lain, penyedia obat/alkes, peserta, pemberi kerja, nakes, karyawan bpjs, faskes, maupun pemerintah.

Dukungan tata kelola BKS yang efektif dilakukan oleh para pemangku kepentingan melalui tata kelola purchasing untuk sistem kesehatan secara menyeluruh (fungsi stewardship oleh pemerintah sehingga kebijakannya dapat bersifat strategis), dan tata kelola organisasi purchaser maupun provider dengan interaksi berbagai pihak yang terlibat.

Banyaknya pihak yang terlibat dalam BKS berdampak pada perlu diperjelasnya bagaimana struktur institusional pembelian. Hal tersebut akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan kejelasan harmonisasi antar lembaga dan sistem operasional pembelanjaan. BPJS Kesehatan sebagai purchaser tidak memiliki power untuk menentukan manfaat, kendali mutu, maupun kapasitas teknis strategis lainnya yang saat ini dipegang oleh Kemenkes RI. Para pihak yang menjalankan fungsi sebagai purchaser, regulator, dan provider memerlukan kepastian kapasitas teknis dalam melakukan setiap fungsi BKS.

Implementasi BKS dalam program prioritas TB di Indonesia didukung oleh pendanaan multisumber. Peranan BKS menjadi sangat penting sebagai pengendali untuk meningkatkan akuntabilitas dan kualitas layanan. Sebagai contoh paket layanan BKS TB terbagi menjadi tahap diagnosis (transportasi sputum, cartridge, mikroskopis, pemeriksaan x-ray, tes pendukung), pengobatan (obat anti TB, tes follow up termasuk dalam komponen pembiayaan selama pengobatan), rujukan, dan monitoring pengobatan untuk mengetahui kualitas dan kesinambungan layanan (pelaporan pengobatan, manajer kasus). Sedangkan mengenai mekanisme pembayaran pada program prioritas TB saat ini masih perlu evaluasi skema apa yang cocok.

Maya sebagai perwakilan dari BPJS Kesehatan menanggapi memang dibutuhkan dukungan regulasi dan kejelasan positioning serta penguatan peran BPJS Kesehatan sebagai active purchaser khususnya dalam penentuan tarif. Selain itu, dibutuhkan juga penguatan peran dari pemda untuk meningkatkan sarana dan prasarana sehingga faskes di wilayah tersebut akan kuat selain dukungan SDM. (SI)

Tags: 2020 HFA YHE

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*