Pada Sabtu, 5 Desember 2020, WAG Indonesia Sehat Sejahtera menyelenggarakan Zoom Meeting: Peran Pemerintah, Organisasi Profesi dan masyarakat dalam Pendidikan Kedokteran. Pertemuan ini bertujuan untuk mendiskusikan sejauh mana keterlibatan organisasi profesi seperti IDI dalam pendidikan kedokteran. Pembicara pada Zoom Meeting ini adalah dr. Rr. Titi Savitri Prihatiningsih M.Med.Ed.,Ph.D. dan Prof. dr. Gandes Retno Rahayu, M.Med.Ed., Ph.D dan ada 4 penanggap, yaitu dr. Muhammad Asroruddin, Sp.M, dr. Slamet Budiarto, SH, MH.Kes, Dr. dr. Judilherry Justam, MM., ME dan dr. Ganis Irawan, Sp.PD. Kemudian yang bertindak sebagai moderator adalah dr. Patrianef, Sp. B(K) V, FINACS, FICS.
Titi memaparkan bahwa peran pemerintah adalah mengeluarkan regulasi yang mengikat setiap orang, mengalokasikan APBN untuk kesehatan dan pendidikan, serta mencanangkan program kesehatan dan pendidikan untuk mewujudkan SDM Indonesia yang berkualitas. Peran organisasi profesi diantaranya menciptakan nilai tambah bagi para anggota, melayani kepentingan profesi melalui pemberlakuan regulasi, dan adanya professional-public partnership. Peran institusi Pendidikan ada 10, yaitu mengantisipasi kebutuhan kesehatan masyarakat, bekerja sama dengan sistem kesehatan dan stakeholder lain, mengadaptasi peran dokter dan profesional kesehatan lain yang berevolusi, dan seterusnya. Sedangkan peran masyarakat adalah dengan community involvement. Kata kunci dari reformasi pendidikan kedokteran adalah kolaborasi. Sedangkan dari Prof. Gandes menyampaikan berbagai perubahan yaitu pola dan penanganan penyakit secara global, laju teknologi kedokteran, laju teknologi informasi, perilaku pasien, pemahaman terhadap proses belajar, dan karakteristik mahasiswa. 6 milestones Pendidikan kedokteran di Indonesia, yaitu seleksi mahasiswa bergeser menjadi kognitif dan non kognitif, continuing education bagi pendidik, kurikulum dan pembelajaran yang terstruktur dan responsif serta individualisasi pengalaman belajar, penilaian mahasiswa bergeser dari angka menjadi umpan balik, kolaborasi melalui Academic Health System, dam sistem penjaminan mutu.
Tanggapan dari dr. Asrorudin (perwakilan FK), belum ada kesepakatan antara RS PTN dan Kemenkes tentang standar rumah sakit untuk usulan rotasi klinik di RS tipe D, puskesmas, atau rural. Input mahasiswa Fakultas Kedokteran 60% berasal dari kota besar, karena putra daerah menemui banyak kendala walaupun mampu secara akademik, termasuk biaya. Tanggapan dr. Judil dari pemerhati pendidikan kedokteran adalah di dalam RUU Pendidikan Kedokteran terdapat 24 pasal yang mewajibkan keterlibatan IDI dan 10 pasal mewajibkan keterlibatan AIPKI yang berakibat mereduksi kewenangan pemerintah. Hal ini bisa menjadikan monopoli organisasi profesi yang menguasai dunia kedokteran Indonesia dari hulu hingga hilir. Tanggapan dr. Slamet (perwakilan IDI) perbaikan proses masuk FK, apakah perlu di tes di luar subyek kedokteran (misal fisika). Harus ada perubahan yang dilakukan bersama – sama bila memang ada permasalahan yang terjadi di sistem pendidikan kedokteran, karena yang paling penting adalah output di dunia kedokteran. Tanggapan terakhir dari dr. Ganis, ada participatory spirit yang melibatkan obyek layanan publik dilibatkan dalam pembentukan sebuah regulasi, misalnya mahasiswa dilibatkan dalam MWA, supaya regulasi ini bisa membumi dan bisa menyerap aspirasi. Namun, bila FK berbicara tentang pemerataan dokter itu offside, karena Pendidikan kedokteran itu prinsipnya adalah pendidikannya itu sendiri dan bagaimana menciptakan pelayan kesehatan, bukan untuk pemerataan.
Diskusi membahas kolaborasi antar stakeholder dalam pendidikan kedokteran, mempunyai peran masing – masing yang seharusnya saling menguatkan, sehingga penyelenggara pendidikan, pemerintah, dan organisasi profesi harus introspeksi dan duduk Bersama untuk mencapai tujuan mencetak dokter yang berkualitas. Untuk pengajuan RUU yang mengarah monopoli PB IDI, dr. Slamet menjawab bahwa dalam pembuatan kebijakan harus memenuhi unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis, sehingga bila RUU tidak sesuai dengan 3 aspek itu, maka akan ditolak oleh DPR. Proses input dan pemerataan dan pembiayaan menurut Prof Gandes ada faktor non kognitif yang menyebabkan seorang dokter mau untuk bekerja di daerah rural misalnya jiwa altruism, selain juga faktor kognitif. Sedangkan dari dr. Titi menyampaikan ada FK di Thailand dan Filipina yang memiliki program rural, yaitu merekrut mahasiswa dari rural dan menjalani koas di rural, dan kembali bekerja di rural tempat asalnya.
Diskusi ini ditutup dengan kesimpulan harus ada diskusi antar stakeholder untuk kemajuan pelayanan kesehatan Indonesia, dengan saling percaya bahwa semua memiliki niat baik.
Reporter : Srimurni Rarasati.