JKKI – Yogyakarta. Fornas kali ini mengangkat tema kebijakan kanker. Cancer menjadi salah masalah prioritas di indonesia sehingga untuk mengatasinya perlu ada proses setting kebijakan dari segi klinis dan penggunaan data rutin. Hal ini bertujuan untuk memahami proses pembuatan kebijakan dan kebijakan berbasis bukti pada Cancer, manfaat dan penggunaan data rutin pada Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) dan penerapan berbagai penelitian kebijakan tentang cancer dengan menggunakan data rutin.
Narasumber pertama, Dr. dr. Ibnu Purwanto, Sp.PD-KHOM dari UGM menyatakan bahwa data RS Sardjito rentang 2008 – 2017 terdapat 20.503 kasus yang tercatat dengan kasus kanker tertinggi yakni kanker payudara dan datanya bisa diakses. Masalah kanker di Indonesia sebagian besar terdiagnosis pada stadium lanjut seperti contoh kasus nasofaring. Kasus nasofaring di Indonesia 70% lebih tinggi dibanding dengan taiwan sekitar 38%. Penyebab kemungkinan pasien datang pada stasium lanjut dan rendahnya tingkat kesintasan yakni pasien mencari pertolongan alternatif dan sistem rujukan kadang kurang cepat, deteksi dan pengenalan dini yang kurang oleh tenaga kesehatan ataupun pasien, dan kurangnya jumlah dan integritas cancer multi disiplinary team. Selain itu, penyebaran layanan kanker yang tidak merata disebabkan oleh penyebaran sumber daya manusia, penyebaran layanan diagnostik, dan penyebaran layanan terapeutik terutama mesin radioterapi. Harapan kedepan dalam mengatasi pemerataan pelayanan kanker di Indonesia, untuk jangka pendek bisa menggunakan tenaga kesehatan dari rumah sakit lain pada RSUD milik Provinsi sedangkan untuk jangka panjang, tugas belajar untuk SDM potensial dengan ikatan hukum yang kuat. Di sisi lain, pembuatan kebijakan deteksi dini (pelatihan tenaga kesehatan dan diseminasi informasi untuk awam) perlu ditingkatkan, mengizinkan cost sharing JKN dan biaya mandiri pada terapi yang tidak dijamin JKN, dan peningkatan bertahap fasilitas pendukung terapi kanker (radioterapi, imunohistokimia PA).
Narasumber kedua, Dr. dr. Yout Savithri, MARS dari Kasubdit Pengelolaan Rujukan dan Pemantauan RS, Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa masalah kesehatan di Indonesia saat ini yakni penyakit menular, penyakit tidak menular, penyakit emerging dan re-emerging, dan pandemi COVID-19. Data registrasi kanker nasional 2008 – 2012, penyakit kanker yang banyak dialami oleh perempuan yakni kanker payudara sedangkan untuk laki – laki yakni trakea, bronkus dan paru – paru. Pada era COVID-19 menjadi tantangan bagi pelayanan kanker disebabkan pasien kanker dengan COVID-19, kondisinya bisa lebih buruk dan diagnosis tertunda akibat skrining dan layanan diagnostik yang dikurangi akibat pembatasan sosial. Selain itu, terdapat perubahan treatment pathways dan perawatan kurang optimal/tertunda. Penanggulangan kanker perlu dilakukan untuk menurunkan angka kematian akibat kanker, dan meningkatkan kualitas hidup penderita kanker, dan meningkatkan deteksi dini, penemuan, dan tindak lanjut dari kanker. Strategi yang perlu dilakukan RS dalam memberikan pelayanan kanker di masa pandemi COVID-19 yakni bekerja dengan data, menyederhanakan proses bisnis, inovasi pelayanan kanker (peralatan dan metode terapi), redisain sarpras dan alur pelayanan, dan digitalisasi pelayanan.
Narasumber ketiga, Dr. dr. Darwito, S.H., Sp.B(K)Onk dari UGM menyatakan bahwa penyakit kanker penyebab kematian terbanyak nomor dua setelah jantung koroner dan ketiga diabetes melituss dengan komplikasi, tuberculosis dan PPOK dan ini akan menjadi beban negara dalam hal ini adalah BPJS Kesehatan. Dana yang dikelaurkan oleh BPJS Kesehatan sebesar 1.037 Triliun rupiah, untuk pembiayaan kanker sebesar 26,644 Milyar rupiah (2,57%). Dana tersebut justru migrasi ke DKI atau daerah yang mempunyai fasilitas pelayanan kanker yang dibutuhkan sesuai standar oleh pasien kanker.
Penyakit kanker penyebab kematian kedua dan insidensinya meningkat, namun berbanding lurus dengan pelayanan kesehatan yang juga meningkat, dan juga aksesabilitas masyarakat terhadap pelayanan juga meningkat. Peningkatan ini sangat kontras dengan data klaim BPJS di DaSK sebesar 2,57% dari total klaim kanker Rp. 26.644.817.772 berdasarkan data sampel BPJS Kesehatan 2015-2016. Mengatasi kesenjangan pelayanan pasien kanker, kemenkes perlu memberikan akses pada pelayanan kanker untuk dilengkapi minimal disetiap provinsi bisa dengan mendirikan pusat pelayanan kanker dengan meningkatkan pemenuhan baik SDM dan sarana lainnya. Selain itu, pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten/kota menyediakan regulasi dan sistem yang memungkinkan untuk penyediaan fasilitas/SDM.
Pembahas pada Fornas JKKI kali ini dengan tema kebijakan kanker yakni pembahas pertama, Dr. dr. Samuel Johny Haryono, Sp.B (K)Onk dari MRCCC Siloam Hospitals Semanggi dan juga selaku Editorial Board Member of Indonesian Journal of Cancer menyampaikan bahwa hubungan klinikal dan stakeholder pada kanker yakni faktor tumor, pasien, dan dokter dan fasilitasnya. Penggunaan data rutin dengan realtime perlu untuk kasus tumor dipelajari baik secara klinis maupun secara penelitian dengan basic epidemiologi dalam mengambil suatu keputusan baik evidence based dan public based. Selain itu, faktor pasien yang perlu dilihat mengenai aspek sosial ekonomi jarak rumah ke RS perlu untuk diperhatikan karena mempengaruhi awareness dan kesenjangan ditambah dengan kondisi spesifik tiap daerah berbeda – beda. Masalah fasilitas dan distribusi dokter masih menumpuk di kota-kota besar sehingga perlu ada distribusi dan disiplin dalam memenuhi rasio yang masih kurang.
Pembahas kedua, Dr. Gampo Dorji dari World Health Organization menyampaikan bahwa pemerataan layanan kanker sangat penting karena ada kesenjangan layanan kanker. Indonesia memiliki sistem yang baik, infrastruktur yang cukup kuat di seluruh nusantara dengan geografis kepulauan dan kita ingin lebih baik lagi. Tantangan Indonesia bagaimana kesetaraan dan kesenjangan layanan lebih baik ke depannya. Tata kelola penting dalam membahas layanan kanker, direktorat kanker perlu diperkuat tidak cukup 1 atau 2 orang yang mengatur di pusat namun perlu didukung juga dengan lokal sehingga kesetaraan paket layanan kanker bisa tercapai dan penguatan fasilitas kesehatan bukan untuk RS saja melainkan puskesmas juga perlu diperkuat.
Pembahas ketiga, dr. Andi Ashar, AAK – Asisten Deputi Bidang Utilisasi dan Anti Fraud Rujukan, Direktorat Pelayanan, BPJS Kesehatan menyampaikan bahwa distrbusi pelayanan kesehatan akan berpengaruh pada layanan cancer yang diberikan. Tantangan pelayanan medis, sistem jadwal untuk pasien cancer ada tangangan tersendiri yakni sebaran belum merata misal dalam suatu daerah hanya ada satu fasilitas kesehatan yang mampu menyediakan dan akan menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, tantangan dari aspek pembiayaan, pembiayaan cancer untuk pelayanan cancer menempati posisi kedua dari total katastropik dan pembiayaan cancer 65% tersentralisir di RS rujukan kelas A, ini menjadi tantangan tersendiri untuk BPJS Kesehtan termasuk sistem rujukan jangan sampai perbedaan persepsi. Tantangan adminstrasi klaim dokter atau RS akan berdampak dalam pengajuan klaim, ini penting oleh BPJS Kesehatan untuk melihat sesuai dengan informasi klaim yang diberikan ke BPJS Kesehatan.
Pembahas keempat, Prof. DR. Dr. Aru Wisaksono Sudoyo, Sp.PD, KHOM, FINASM, FACP dari Ketua Umum Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) dan juga selaku Ketua Yayasan Kanker Indonesia menyampaikan bahwa NCD menempati perhatian pertama di dunia, khususnya penyakit kanker di tahun 2030 harus berkurang 30% dan 2050 harus hilang dari muka bumi pada saat pertemuan di Genewa. Sistem UHC banyak menolong orang dan masalah cost sharing ini penting untuk dibahas apa memungkinkan pasien untuk membayar sisa pembayaran dari layanan yang digunakan. Inequity dengan mengurangi kebutuhan di hulu dan perlu bergerak bersama dengan memperbaiki sistem untuk mencapai pemerataan.
Terdapat beberapa pertanyaan dari peserta, “Bagaimana minat peserta didik PPDS untuk mengambil spesialis Onkologi?”. Dr. dr. Ibnu Purwanto, Sp.PD-KHOM dari UGM menjawab “masih sangat terbatas dan orang yang mau mengambil spesialis onkologi adalah berani mengambi keputusan dan ketertarikan yang luar biasa, itu tidak cukup seperti yang kami sampaikan dibanding dengan amerika sudah di level 12 ribu. Peran pengampu dan pemerintah menjadi tanggungjawab Kemenkes, bagaimana mengenai equity dan pemerataan itu bisa tercapai. Tempat kami tidak lebih dari 10 peserta”. Selain itu, terdapat pertanyaandari peserta lain yaitu, “Paliatif care menghubungkan fungsi FKTP dan FKTRL, apakah juga akan ada sharing dari BPJS dengan konsep hospital without walls, dimana FKTRL menjalankan home care, apakah tidak akan tumpang tindih dengan FKTP?”. dr. Youth Savithri, MARS dari Kasubdit Pengelolaan Rujukan dan Pemantauan RS, Kementerian Kesehatan RI menjawab “belum masuk ke tarif JKN, dari tingkat paliatif dapat dibuat stratifikasi layanan juga sehingga tidak tumpang tindih.”
Di akhir sesi, terdapat penyampaian policy brief yang disampaikan oleh dr. Sani Rachman Soleman M.Sc tentang “Regulasi Pengendalian Logam Berat di Tempat Kerja: Upaya Mitigasi Morbiditas dan Mortalitas Kejadian Kanker pada Pekerja” menyampaikan bahwa penyakit akibat kerja cukup tinggi di perusahaan apalagi cancer sehingga data tersebut bisa open dan data temuan bukan untuk menjelek-jelekan melainkan memperbaiki. Tahap awal pendekatan dalam proses melakukan advokasi dengan sounding ke publik melalui media sosial dan cetak elektronik atau secara akademisi melalui publikasi riset.
Reporter: Agus Salim