PKMK FKKMK UGM bersama Tanoto Foundation membuka kesempatan untuk kamu yang berdomisili di Dumai, Batanghari, atau Paser dan tertarik terlibat dalam penelitian bidang tumbuh kembang anak! 🌱
Kami mencari Koordinator Lapangan (Korlap) untuk bantu fasilitasi pengumpulan data dan aktivitas tim peneliti di lapangan dalam studi “Integrasi Stimulasi Dini Tumbuh Kembang di Layanan Kesehatan”.
🧠 Punya latar belakang kesehatan atau sosial?
🚗 Bisa naik motor dan siap kerja sebulan penuh?
📍 Tinggal di lokasi studi?
Kalau iya, yuk daftar sekarang juga!
📆 Deadline: 15 Juni 2025
🔗 Link: s.id/pendaftarankorlap
Catatan: Kuota terbatas, bisa ditutup lebih awal ya!

PKMK-Yogyakarta. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., dalam pengantarnya menyampaikan bahwa renstra merupakan dokumen yang berisi peta jalan suatu rumah sakit daerah untuk menuju suatu titik tujuan tertentu yang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak baik eksternal maupun internal sehingga diperlukan tahap selanjutnya berupa advokasi, yaitu suatu upaya untuk membela atau mendorong kepentingan. Untuk menyampaikan suatu advokasi yang baik dibutuhkan bahan bahan yang dapat meyakinkan pihak eksternal seperti susunan draft renstra yang matang, visi misi dan tujuan rumah sakit daerah, hingga proyeksi anggaran jangka panjang. Selain itu, isu kelembagaan BLUD juga penting untuk disampaikan dalam proses advokasi rumah sakit daerah kepada pemerintah daerah. Kemampuan komunikasi persuasif merupakan modal utama yang harus dimiliki para direktur rumah sakit untuk menunjang proses advokasi.
Sesi talkshow, Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS. membuka dengan menyampaikan bahwa advokasi adalah suatu bentuk influencing communication, dimana di dalamnya terdapat teknik dalam mempengaruhi mitra untuk membawa rencana dan mimpi rumah sakit daerah kepada para stakeholders. Strategi lobbying yang tepat disertai pendekatan strategis kepada key of person akan sangat membantu keberhasilan suatu proses advokasi.
dr. Gatot Sugiharto, Sp.B., MARS. menyampaikan beberapa framework strategi advokasi rumah sakit daerah terhadap pemda, bahwa advokasi harus dilakukan dengan berbasis data sebagai bekal bahan yang akan disampaikan kepada stakeholder yang meliputi data epidemiologi 10 penyakit terbanyak, data kinerja rumah sakit, serta data analisis biaya terhadap layanan yang akan dibuat. Selain itu kita juga harus menyelaraskan usulan rumah sakit daerah dengan visi misi pemda. Selanjutnya membangun aliansi strategis dengan DPRD, dengan melakukan audiensi proaktif dan menjadwalkan pertemuan khusus untuk membahas update kinerja dan tantangan RSD. Kemudian menyediakan amunisi konsep seperti policy brief yang berbentuk ringkasan eksekutif sebagai bahan tim DPRD dalam menyampaikan ke Tim Anggaran Pemerintah Daerah. Lalu untuk membangun kepercayaan dan meningkatkan citra rumah sakit, perlu untuk menjadwalkan Hospital Tour atau kunjungan pihak pemda ke rumah sakit daerah. Kemudian dapat mempertimbangkan untuk membawa suatu pandangan bahwa anggaran kesehatan ada sebagai suatu investasi, bukan sebagai biaya, dengan begitu output yang dihasilkan dipandang lebih bernilai positif dan mudah untuk disepakati. Di samping itu, satu hal penting yang cukup berpengaruh adalah perlunya Showcasing inovasi dan prestasi keberhasilan, untuk meyakinkan pemda bahwa anggaran yang diberikan telah digunakan dengan baik dan menghasilkan suatu layanan dan hasil yang nyata dan membanggakan. Terdapat pendekatan komunikasi personal yang menjadi strategi advokasi kepada pemda, yakni dengan mendekat kepada trio kunci yang meliputi Sekretaris Daerah, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset daerah (BPKAD). Pastikan usulan program rumah sakit daerah telah diusulkan sejak Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) tingkat OPD, dan mengawalnya ketika dibahas di tingkat kabupaten/kota. Lalu untuk memperkuat posisi, pentingnya untuk membangun koalisi terhadap pemangku kepentingan yang lain dan bekerja sama dengan jurnalis lokal sebagai media partner dalam hal publikasi.
Drs. Syahrudin Hamzah, S.E., M.M menyampaikan bahwa pejabat pemda belum tentu memahami persoalan rumah sakit, terkait apa yang dihadapi, kesulitan anggaran, hingga kebutuhan kekuatan regulasi. Selain trio kunci yang disampaikan oleh dr. Gatot, pihak yang harus didekati adalah pimpinan DPRD untuk memberikan pemahaman terkait kondisi rumah sakit daerah yang diusulkan. Pentingnya menyampaikan visi dan misi RS kepada pemerintah daerah, kemudian poin poin persoalan yang disertai dengan tawaran alternatif beserta resikonya apabila tidak tercapai. Dalam konteks ini, jangan sampai kita membiarkan pihak lain berasumsi tentang rumah sakit kita, kita harus bisa menjelaskan dengan baik maksud, tujuan, dan cita cita kedepan dengan meyakinkan.
Hambatan dalam advokasi, dr. Gatot Sugiharto, Sp.B., MARS memaparkan pentingnya memiliki citra yang dipandang baik oleh pemda untuk lebih meyakinkan gagasan yang diusulkan. Kolaborasi pentahelix, meliputi akademisi, pemda, swasta, media massa, dan kelompok masyarakat, membantu rumah sakit daerah dalam menyebarkan misi kesehatan secara menyeluruh.
Syahrudin menegaskan kendala utama dalam proses advokasi adalah menjadwalkan pertemuan dengan para pejabat dan pimpinan, apalagi jika belum pernah ada pendekatan secara informal. Maka pertemuan secara informal dan personal memainkan peran penting dalam keberhasilan proses advokasi ini. Dalam konteks ini pendekatan personal berlaku sebagai proses memberikan pemahaman dan penyelarasan sudut pandang guna menanamkan sense of belongings kepada pihak pemda untuk RS yang sedang diusulkan.
Sesi terakhir, Ni Luh Putu Eka Andayani, S.KM., M.Kes, memaparkan terkait penyusunan Rencana Tindak Lanjut (RTL) penyusunan rencana strategis rumah sakit daerah. Prinsip umum penyusunan RTL yaitu bersifat iteratif yaitu melibatkan proses berpikir dan menyusun strategi, bersifat kontekstual yang disesuaikan dengan kelompok RSD pendidikan, 3T, kompetitif tinggi, dan kompetisi menengah, lalu berorientasi komunikasi lintas sektor dengan pandangan bahwa nantinya renstra akan diajukan dan disetujui oleh pemda dan dinkes, dan juga RTL bersifat responsif terhadap kebijakan nasional seperti KRIS, KJSU. Secara umum, penyusunan RTL melalui 4 tahapan yang meliputi finalisasi bab 3 terkait isu strategis, review dan finalisasi bab 4 terkait keputusan strategis, simulasi dan validasi internal, dan strategi advokasi eksternal. Terakhir, Ni Luh Putu Eka Andayani, S.KM., M.Kes memberikan beberapa tips untuk menyusun RTL diantaranya Tips 1 adalah fokus pada penyusunan bab 3 secara penuh, yang merupakan tulang punggung logis untuk Bab 4. Tips 2 adalah menggunakan peta logika (mind mapping) sebagai alat bantu untuk memetakan masalah, isu strategis, respons RSUD, dan kebutuhan dukungan. Tips 3 yaitu membuat halaman “peta dampak strategis” untuk melihat kepentingan para stakeholders kunci terhadap renstra yang kita buat, bagaimana kita dapat memetakan kontribusi renstra terhadap target pemda dan dinkes. Tips 4 yaitu memastikan bahwa renstra menyebut respon RSUD terhadap kebijakan nasional utama, misal KJSU dan KRIS, walau hanya sebatas perencanaan awal. Ni Luh Putu Eka Andayani, S.KM., M.Kes menutup sesi dengan membagikan template bahan audiensi yang dapat digunakan masing masing rumah sakit daerah dalam melakukan advokasi ke pemerintah daerah atau stakeholder yang dituju.
Reporter: Firda Alya (PKMK UGM)
Dalam paparannya, Dr. Budiono membahas bagaimana komunikasi, negosiasi, dan mediasi memainkan peran krusial dalam menangani perbedaan kepentingan antarnegara dalam isu-isu kebijakan kesehatan. Salah satu contoh nyata adalah pengembangan Strategi Regional WHO untuk Meningkatkan Akses terhadap Obat Esensial di Kawasan Pasifik Barat periode 2005–2010. Proses penyusunan strategi ini melibatkan serangkaian konsultasi, diskusi, dan negosiasi antarnegara anggota WHO yang mencerminkan dinamika geopolitik dan kepentingan industri farmasi. Meskipun sempat ditolak dalam pertemuan regional pada 2003, dokumen ini kemudian direvisi dan disepakati dalam bentuk yang lebih inklusif, dengan beberapa catatan penting seperti keharusan mematuhi aturan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dan Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia (World Intellectual Property Organization/WIPO), serta pelibatan sektor industri dalam pelaksanaannya.
Topik kedua yang disampaikan adalah pengembangan sistem pertukaran informasi harga obat atau Price Information Exchange of Medicines, yang menjadi bagian dari upaya meningkatkan transparansi harga pengadaan obat antarnegara. Inisiatif ini muncul dari kebutuhan untuk menekan harga obat yang tinggi di negara-negara berkembang, namun karena mandat WHO bukan untuk mengendalikan harga secara langsung, maka platform ini hanya difokuskan pada pertukaran informasi harga dan identitas pemasok. Negara-negara anggota kemudian dapat memanfaatkan data tersebut untuk mengevaluasi sistem pengadaan obat mereka masing-masing.
Selanjutnya, dibahas pula inisiatif WHO dalam membangun sistem peringatan dini terhadap peredaran obat palsu dan substandar melalui Rapid Alert System serta promosi praktik etis dalam regulasi dan pengadaan obat. Sistem ini memungkinkan penyebaran informasi lintas negara dalam waktu singkat jika ditemukan indikasi obat berbahaya atau palsu. Program ini berkembang menjadi bagian dari program global WHO dalam tata kelola obat yang baik (Good Governance in Medicines) dan pengendalian produk medis yang substandar, salah label, atau palsu.
Paparan juga menyoroti kasus epidemi gagal ginjal akut yang terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia pada 2022, yang disebabkan oleh kontaminasi zat etilen glikol dan dietilen glikol dalam obat sirup anak-anak. Dr. Budiono menjelaskan bahwa kasus-kasus serupa telah terjadi sejak 1937 di Amerika Serikat dan berulang di berbagai negara akibat lemahnya pengawasan mutu bahan tambahan obat seperti gliserin. Ia menyoroti lambatnya respons pemerintah Indonesia meskipun peringatan sudah diberikan sejak awal 2022 oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia. Hingga November 2022, tercatat 325 kasus gagal ginjal akut dengan 178 kematian anak, tersebar di berbagai provinsi. Menurutnya, jika sistem pengawasan dan komunikasi antarinstansi berjalan lebih efektif, tragedi ini seharusnya bisa dicegah lebih awal, seperti yang dilakukan negara-negara anggota WHO Kawasan Pasifik Barat yang mampu menarik produk terkontaminasi dalam waktu 24 hingga 72 jam.
Sebagai penutup, Dr. Budiono menekankan pentingnya komunikasi yang tidak emosional serta kesabaran dan ketangguhan dalam menjalankan proses negosiasi dan mediasi di tingkat nasional maupun internasional. Pihaknya mengingatkan bahwa perbedaan kepentingan antarnegara merupakan hal yang wajar, namun harus dikelola dengan bijak agar tidak mengorbankan kepentingan masyarakat dan bangsa. Webinar ini memberikan wawasan berharga tentang tantangan dan strategi dalam menghadapi konflik kebijakan kesehatan lintas negara dan memperkuat kapasitas peserta dalam mengelola konflik makro di sektor kesehatan.
Reporter: dr. Ichlasul Amalia (Departemen KMK, FK-KMK UGM)
Pada pembukaan, Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS selaku Ketua PKMK FK-KMK UGM menyampaikan pelaksanaan kegiatan ini sebagai media untuk sharing dan memunculkan ide dan masukan untuk mengenali dan mencegah penyebaran antraks serta untuk meningkatkan kewaspadaan dan kolaborasi antara masyarakat dan tenaga kesehatan agar bisa bersatu dan bersama-sama mengelola penyakit antraks jika terjadi di lapangan.
Prof. Dr. Ririh Yudhastuti, drh., M.Sc menyampaikan paparan materi pertama mengenai zoonosis yang ditularkan oleh binatang. Penularan bisa terjadi dari hewan liar, hewan domestik, maupun hewan di kebun binatang dengan cara kontak langsung maupun kontak tidak langsung melalui media yang terkontaminasi. Terdapat peningkatan risiko penyakit Zoonosis pada saat Idul Adha, pasalnya banyak anggota masyarakat yang bersentuhan langsung dengan hewan kurban bila tanpa perlindungan yang memadai. Sejalan dengan hal tersebut, terdapat beberapa penyakit Zoonosis yang dapat ditemui selama Idul Adha seperti Antraks, Salmonellosis, Toxoplasmosis, serta Leptospirosis. Selain itu, terdapat pula Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang bukan merupakan zoonosis, namun dapat menimbulkan kerugian secara ekonomi.
Selanjutnya, Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono, Sp.D.V.E, Subsp.D.T menyampaikan bahwa mayoritas penyakit antraks menyerang kulit manusia. Transmisi antraks dapat melalui kulit, inhalasi menghirup spora, maupun gastrointestinal mengkonsumsi daging yang terkontaminasi. Secara epidemiologi, Indonesia merupakan wilayah endemik yang artinya akan selalu ada, namun jumlahnya tidak banyak. Hingga saat ini, penularan antraks belum ditemukan dari manusia ke manusia, karena termasuk Zoonosis. Kemudian, untuk prosedur pencegahannya dengan pelaporan dan respon cepat, tidak memerlukan perawatan isolasi karena tidak ada transmisi antar manusia, serta diperlukan vaksin bagi kelompok yang rentan.
drh. Hendra Wibawa, M.Si, Ph.D menyatakan bahwa di Indonesia status bebas antraks hanya ada di Provinsi Papua. Antraks menjadi urutan ketiga penyakit Zoonosis yang memerlukan perhatian dari pemerintah Indonesia. Karena penularannya melalui spora, sehingga perlu mewaspadai daerah-daerah endemik dengan kasus berulang. Faktor risiko penularannya yakni lalu lintas ternak, lalu lintas orang atau benda terkontaminasi, serta kurangnya pengetahuan yang berdampak pada terlambatnya penanganan. Strategi pengendaliannya dapat dilakukan melalui vaksinasi area endemik, kontrol, lalu lintas, dan tindakan disposal pada hewan terinfeksi. Pada daerah di area tertular antraks, dilarang dilakukan pembedahan pada hewan yang tertular serta bangkai harus dibakar habis dan dikubur pada kedalaman 2-3 meter. Selanjutnya dilakukan vaksinasi pada zona merah dengan cakupan 100%. Hendra juga menyampaikan terkait prinsip pengendalian Zoonosis serta pendekatan surveilans Zoonosis.
Diperlukan kesadaran dan upaya dari berbagai pihak untuk mewujudkan Idul Adha yang aman dan terbebas dari penyakit Zoonosis termasuk Antraks, salah satunya dengan memilih hewan ternak yang sehat serta memastikan daging kurban aman untuk dikonsumsi. Selain itu, masyarakat juga perlu untuk memperhatikan cara pengolahan daging yang aman.
Rekaman talkshow selengkapnya dapat disimak melalui: https://pkmk.site/TalkshowWaspadaAntraks2805
Reporter: Latifah A (Divisi Diklat, PKMK UGM)
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. memaparkan secara langsung dari Komune Living & Wellness, Kuala Lumpur tentang berbagai layanan yang disediakan di Komune Living & Wellness sebagai sebuah resort dan menyediakan layanan kesehatan, meliputi klinik pemeriksaan medik, klinik gigi, fisioterapi, traditional Chinese medicine, pijat tradisional, spa medik, postpartum care, serta baby and child care. Pelayanan untuk lansia juga disediakan, meliputi hunian bagi lansia independen maupun yang butuh pendampingan disertai program daycare. Berbagai aktivitas berkomunitas juga tersedia bagi umum, seperti latihan kebugaran, berkebun, klub buku, kelas memasak, terapi musik, belajar fotografi untuk lansia, mengunjungi museum, dan lainnya. Model bisnisnya adalah bekerja sama dengan berbagai tenant yang ahli di bidang kesehatan, seperti UMH Medical Clinic, DBC Asia Healthcare SDN BHD yang menyediakan layanan rehabilitasi medik.
Pembelajaran yang dapat diambil diantaranya konsep dan proses bisnis Komune Living & Wellness dapat diadopsi sebagai inovasi untuk pasar out of pocket dan inovasi ini akan membuka peluang kerjasama antar klinik, wellness center, fitness center, hotel, apartment, salon, restoran, mini market, penyedia layanan rekreasi, dan lainnya. Bagaimana di Indonesia?
Model bisnis yang dapat dikembangkan menggunakan struktur hotel dan resort dengan ijin pariwisata dan klinik dengan ijin klinik pratama atau utama. Menjadi pertanyaan pemantik, apakah ada resort dan hotel yang memang akan fokus pada wellness dan pelayanan kesehatan? Apakah ada klinik-klinik kesehatan yang berjiwa wirausaha untuk menyewa tempat di resort untuk berusaha? Disini, perlu mengacu pada konsep wirausaha di sektor kesehatan, yang motifnya ingin berprestasi tinggi, berani mengambil resiko, inovatif, kreatif, dan percaya diri. Salah satu hal penting lainnya adalah melihat dan merespon kebutuhan konsumen sebagai peluang pasar.
Sesi diskusi berlangsung menarik dengan pembahasan bahwa harus ada yang berani memulai dengan semangat wirausaha. Dukungan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk mengembangkan medical wellness di wilayahnya, seperti contoh di Kota Magelang yang sudah memulai berbagai kegiatan olahraga dan wellness dengan upaya promosi dan berani mengambil resiko. Mengembangkan medical wellness juga perlu melihat pangsa pasar dan bagaimana menarik masyarakat Indonesia khususnya kelas menengah atas untuk menikmati wellness. Jadi, selain dukungan pemda, edukasi ke masyarakat juga sangat dibutuhkan. Berbagai produk medical wellness dapat dikembangkan dari pengobatan konvensional namun tidak meninggalkan pengobatan tradisional Indonesia. Kesemuanya itu tentunya membutuhkan promosi yang berkelanjutan dengan semangat wirausaha untuk mengambil peluang pasar. (Elisabeth Listyani)
Hari pertama Workshop peserta mendapatkan materi dari Yos Hendra, SE., MM., Ak.,CA., M.Ec.Dev. tentang pentingnya Unit Cost dalam pengelolaan keuangan rumah sakit daerah, yang meliputi situasi terkini lingkungan rumah sakit daerah di Indonesia, memahami konsep dan definisi unit cost, manfaat unit cost dalam pengelolaan rumah sakit, serta tantangan umum dalam perhitungan unit cost. Yos juga menyampaikan terkait pengantar akuntansi manajemen dan Unit Cost rumah sakit.
Hari kedua materi disampaikan oleh Barkah Wahyu, SE., Ak mengenai Collecting Data menggunakan template Unit Cost. Kebutuhan data pada rumah sakit dibagi menjadi dua, yaitu data primer yang bisa didapatkan melalui wawancara langsung pada tiap unit di rumah sakit, dan data sekunder yang diperoleh melalui data yang dimiliki bagian atau unit.
Barkah memandu para peserta dalam menyusun data anggaran terkait bahan medis habis pakai (BMHP). Peserta menerima materi sebagai bekal untuk simulasi pengumpulan data yang juga meliputi penjelasan detail mengenai tahapan-tahapan yang harus diikuti. Kelengkapan dan ketersediaan data rumah sakit sangat menentukan keakuratan hasil serta efisiensi proses pengumpulan data.
Sesi berikutnya, Husniawan Prasetyo SE. menyampaikan materi tentang simulasi pengumpulan (collecting) data dan analisis unit cost. Kegiatan ini melibatkan penggunaan Microsoft Excel, di mana peserta secara aktif mengikuti setiap langkah yang diberikan. Sesi ini diawali dengan pengisian data ke dalam template yang telah diberikan, mencakup pengelompokan biaya berdasarkan jenis dan unitnya. Setelah data terkumpul, tahap berikutnya adalah menganalisis dan menghitung unit cost untuk setiap layanan di tiap unit. Selama sesi simulasi berlangsung, peserta menunjukkan antusiasme tinggi dengan mengajukan beberapa pertanyaan sembari menyelesaikan seluruh proses hingga memperoleh hasil perhitungan unit cost layanan.
Hari ketiga, Husniawan Prasetyo, SE. memandu simulasi terkait penyusunan tarif berdasarkan unit cost serta pemanfaatannya sebagai alat untuk efisiensi biaya. Husniawan menjelaskan bahwa setelah unit cost berhasil dihitung, data tersebut dapat menjadi acuan penting bagi manajemen rumah sakit dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, unit cost tidak hanya digunakan sebagai dasar penentuan tarif, tetapi juga dibandingkan dengan tarif INA-CBG’s berdasarkan hasil perhitungan roll-up unit cost. Dengan demikian, rumah sakit dapat melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tarif yang berlaku maupun biaya layanan bagi pasien JKN.
Reporter: Firda Alya (PKMK UGM)
Hari 1: 21 Mei
Pada hari pertama workshop (21/5/2025) narasumber pertama yaitu drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE menyampaikan materi Fenomena Fraud dan Korupsi di RS. Puti menegaskan dirinya sudah menyelami topik fraud sejak 2014. Dirinya juga mengambil serifikat CFE dari ACFE Amerika Serikat pada 2018. Puti tertarik pada isu fraud dan saat ini mengkhususkan diri salah satunya untuk memberikan fraud awareness pada faskes, stakeholders maupun masyarakat umum. Hal ini terbukti dari 5 upaya berikut: 1. Seminar (anti-fraud awareness) & pelatihan teknis, 2. Pendampingan proses deteksi & investigasi internal, 3. Penelitian, 4. Edukasi kepada mahasiswa fakultas/prodi rumpun kesehatan & mahasiswa magister rumah sakit dan 5. Advokasi.
Narasumber juga menyampaikan sejumlah topik menarik diantaranya: Konsep Fraud Dalam Fasilitas Layanan Kesehatan, Fenomena Fraud Dalam Sektor Kesehatan, Peran Fasilitas Pelayanan Kesehatan & Kerangka Kerja Mitigasi Fraud.
Berdasarkan definisi dari ACFE, Fraud adalah setiap perbuatan yang disengaja atau kelalaian yang dirancang untuk menipu orang lain, sehingga mengakibatkan korban menderita kerugian dan/atau pelaku memperoleh keuntungan. Tentunya perbuatan ini merugikan pihak lain dan perlu mendapat perhatian karena banyak terjadi di sektor kesehatan dan sering dilakukan oleh Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit.
Faktanya, jika fraud tidak dicegah, dapat berdampak pada mutu pelayanan kesehatan dan dapat mengundang tuntutan dari pasien. Bentuk penurunan mutu layanan kesehatan akibat fraud diantaranya adalah: resistensi Antimikroba, rujukan yang tidak dibutuhkan pasien, tingginya tindakan Sectio Caesarea (SC) yang tidak sesuai indikasi. Skenario terburuk, jika fraud dilakukan staf atau tenaga kesehatan di RS maka pelakunya dapat dikenai sanksi etik dari organisasi profesi berupa pencabutan ijin praktek. Sehingga RS berada di 2 sisi yaitu bisa menjadi pelaku atau korban fraud.
Narasumber kedua yaitu Dr. Rimawati, M.Hum yang menyampaikan materi Berbagai Jenis Regulasi Terkait Pencegahan dan Penanganan Fraud dan Korupsi di Rumah Sakit. Rima menegaskan, Fraud dan korupsi di RS merupakan masalah serius yang mengancam integritas pelayanan kesehatan. Regulasi diperlukan untuk mencegah, mendeteksi, serta menindak praktik fraud dan korupsi ini. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Permenkes Nomor 16 Tahun 2019, fraud dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan dapat dilakukan oleh: peserta, BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan atau pemberi pelayanan kesehatan, penyedia obat dan alat kesehatan serta pemangku kepentingan lainnya.
Rima menyatakan, fraud yaitu tindakan curang dengan sengaja untuk keuntungan pribadi/kelompok, seperti: pemalsuan klaim asuransi, penagihan fiktif (upcoding, unbundling) dan penyalahgunaan wewenang. Sementara korupsi ialah Penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, seperti:
- Gratifikasi dari vendor
- Mark-up pengadaan alat kesehatan
- Kolusi dalam tender
Sementara tujuan regulasi pencegahan fraud antara lain, transparansi -akuntabilitas penyelenggaraan layanan, good governance, pedoman bagi staf dan RS serta penegakan hukum dan pengenaan sanksi terhadap pelanggaran.
Jenis fraud yang diatur dalam regulasi RS antara lain,
- Fraud terhadap klaim JKN diantaranya: upcoding, phantom billing, unbundling, unnecessary services.
- Fraud pengadaan barang dan jasa, meliputi: mark-up, kickback, pengaturan tender
- Korupsi internal yaitu: penyalahgunaan wewenang, konflik kepentingan, gratifikasi.
Berdasarkan regulasi, RS memiliki kewajiban diantaranya: program anti-fraud (anti-fraud program), membentuk tim pencegahan dan penanganan fraud, melakukan pelatihan internal tentang integritas dan sistem pelaporan, menyediakan saluran pelaporan (whistleblowing system), melakukan audit internal dan evaluasi berkala, melaporkan secara rutin kepada Dinas Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan/atau instansi pengawas lainnya
Hari 2: 22 Mei
Pada hari kedua workshop (22/5), drg. Puti Aulia, MPH, CFE telah membekali peserta dengan Permenkes Nomor 16 Tahun 2019. Regulasi tersebut kemudian digunakan untuk membahas detil Instrumen Pencegahan Kecurangan (Fraud) Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh FKRTL. Dalam instrumen ini, kegiatan yang harus dilakukan oleh rumah sakit dalam rangka pencegahan fraud, antara lain:
Kegiatan yang tersertifikasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ini berlangsung selama tiga hari, bertempat di Hotel Grand Mercure Bandung, dan diikuti oleh 24 peserta dari berbagai institusi, termasuk rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, serta dinas kesehatan, dengan latar belakang profesi medis maupun non-medis. Workshop dibuka secara resmi oleh Shita Listyadewi, S.IP, MM, MPP, Sekretaris PKMK FK-KMK UGM. Dalam sambutannya, Shita menekankan urgensi komunikasi dua arah yang efektif antara tenaga kesehatan dan pasien atau keluarga pasien, sebagai fondasi dalam menciptakan pelayanan kesehatan yang aman, manusiawi, dan berorientasi pada pasien. Ia juga menyampaikan bahwa penanganan keluhan (complaint handling) secara profesional menjadi indikator penting dalam mewujudkan rumah sakit yang berkualitas dan dipercaya masyarakat.
Hari pertama dibuka dengan sesi Building Learning Commitment yang dipandu oleh MOT-Nenggih Wahyuni, SIP, MA. Melalui pendekatan interaktif dan permainan kolaboratif, peserta diajak saling mengenal dan menyampaikan harapan mereka terhadap workshop ini. Suasana yang terbuka dan komunikatif menjadi landasan bagi sesi-sesi pembelajaran berikutnya. Nenggih kemudian menyampaikan materi tentang strategi pelayanan holistik dalam konteks rumah sakit, menekankan bahwa rumah sakit merupakan organisasi dengan kompleksitas tinggi yang memerlukan keseimbangan antara manajemen sistem, teknologi, dan relasi interpersonal. Ia menekankan pentingnya pelayanan yang berorientasi pada patient safety, dengan menghadirkan pengalaman positif bagi pasien dan keluarganya di setiap titik layanan rumah sakit.
Kegiatan hari kedua diawali dengan sesi refleksi untuk mengingat materi hari sebelumnya, kembali dipandu oleh Nenggih Wahyuni. Suasana reflektif namun dinamis menjadi media yang efektif dalam memperkuat pemahaman peserta. Dilanjutkan paparan mengenai pentingnya komunikasi efektif dalam pelayanan rumah sakit, khususnya dalam membangun kerja tim yang solid dan profesional, sesuai standar akreditasi fasilitas kesehatan.
Sesi berikutnya diisi oleh Erik Hadi Saputra, S.Kom., M.Eng., yang membawakan materi manajemen konflik dalam organisasi kesehatan. Erik menekankan bahwa konflik adalah keniscayaan dalam organisasi, namun dengan pemahaman yang tepat serta penggunaan teknik komunikasi yang sesuai—baik informatif, persuasif, hingga humanis—konflik dapat menjadi sarana pertumbuhan dan peningkatan mutu layanan.
Sesi penutup hari kedua disampaikan oleh dr. Dominica Herlijana, SpM, MKes, FISQUA, yang mengulas standar komunikasi efektif dalam mutu pelayanan rumah sakit. Ia menjelaskan penerapan metode komunikasi seperti SBAR (Situation, Background, Assessment, Recommendation) dan Tbak (Tulis, Baca, dan Konfirmasi) sebagai pendekatan sistematis dalam menjamin keselamatan pasien.
Hari terakhir kembali dibuka dengan sesi refleksi yang dikemas secara menyenangkan namun bermakna, membekas dalam ingatan peserta. Pada sesi utama di hari ketiga, disampaikan materi mengenai teknik komunikasi interpersonal dalam budaya organisasi rumah sakit, menekankan pentingnya membangun budaya komunikasi yang sehat, didukung oleh regulasi internal yang kuat dan SDM yang kompeten. Sebagai penutup rangkaian kegiatan, peserta mengikuti praktik roleplay simulasi pelayanan dan penanganan keluhan pasien, dengan berbagai peran: mulai dari pimpinan rumah sakit, tenaga kesehatan, hingga pasien dan keluarganya. Simulasi ini memberikan gambaran konkret bagaimana teori dan strategi yang telah dipelajari dapat diterapkan dalam situasi nyata di lingkungan rumah sakit.
Workshop ini menjadi ruang pembelajaran yang bukan hanya bersifat teoritis, tetapi juga aplikatif. Melalui pendekatan interaktif, reflektif, dan simulatif, para peserta diajak untuk membangun kesadaran kolektif bahwa komunikasi efektif dan penanganan keluhan yang tepat bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian esensial dari pelayanan kesehatan yang profesional dan bermutu tinggi.
Dengan semangat kolaboratif dan komitmen perubahan, hasil dari workshop ini diharapkan dapat diimplementasikan di berbagai institusi peserta, sebagai langkah nyata dalam mewujudkan rumah sakit yang lebih humanis, aman, dan terpercaya bagi masyarakat.
Reporter : Ubaid Hawari (Divisi Diklat PKMK FK-KMK UGM)

Dalam upaya merespon meningkatnya kompleksitas dalam tata kelola sektor kesehatan, Program Studi Kebijakan dan Manajemen Kesehatan F-KKMK UGM bersama Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM menyelenggarakan webinar bertajuk “Komunikasi, Mediasi, dan Negosiasi dalam Pencegahan dan Penanganan Konflik di Sektor Kesehatan”, yang berlangsung secara hybrid di Ruang U25 Gedung Tahir, FK-KMK UGM pada Jumat (23/5/2025).
Acara dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD. Dalam pengantarnya, Prof. Laksono menyoroti eskalasi tantangan dalam sistem kesehatan, mulai dari implementasi Undang-Undang Kesehatan hingga dinamika dalam sistem JKN dan konflik antarpemimpin. Ia menekankan pentingnya kepemimpinan yang mampu menjembatani kepentingan berbagai aktor melalui komunikasi dan negosiasi yang strategis.
Menurut Laksono, konflik yang tidak ditangani dengan baik akan menghambat prinsip tata kelola dan kolaborasi. Pihaknya memperkenalkan konsep metaleadership sebagai pendekatan kepemimpinan lintas sektor yang integratif, mendorong peserta untuk merefleksikan apakah kemampuan memimpin lahir secara alamiah atau dibentuk oleh situasi.

Sesi dilanjutkan dengan paparan mendalam dari dr. Budiono Santoso, PhD, mantan Dosen FK-KMK UGM sekaligus Regional Advisor in Pharmaceuticals WHO untuk wilayah Pasifik Barat. Budiono menyoroti pentingnya struktur governance dalam meminimalisasi konflik antarpemangku kepentingan, baik di rumah sakit maupun dalam ranah kebijakan nasional. Ia mencontohkan konflik seputar distribusi dokter spesialis dan peran kolegium sebagai wujud konflik makro yang kerap tidak diselesaikan melalui dialog terbuka.
Budiono juga membagikan pengalamannya dalam memediasi konflik internal di WHO-WPRO, menekankan bahwa proses mediasi membutuhkan pemetaan posisi para pihak dan perumusan solusi win-win. Dalam konteks Indonesia, narasumber menggarisbawahi pentingnya penggunaan pendekatan non-litigasi dalam penyelesaian sengketa kesehatan sebagaimana diatur dalam pasal 310 UU Kesehatan.
Dalam diskusi yang berkembang, peserta menggarisbawahi pentingnya komunikasi yang empatik dan terbuka, penggunaan bahasa yang tidak konfrontatif, serta hadirnya mediator netral dalam konflik institusional. Mereka juga menyoroti bahwa banyak konflik profesional sesungguhnya bersumber dari perebutan kewenangan, sehingga diperlukan kehadiran negara untuk menciptakan distribusi kekuasaan yang adil.
Webinar ditutup dengan refleksi oleh dr. Likke Prawidya Putri, MPH, PhD selaku moderator. Likke mengingatkan bahwa kemampuan komunikasi dan negosiasi bukan semata bakat, tetapi bisa dibentuk melalui pembelajaran dan lingkungan yang saling menghargai. Para peserta sepakat bahwa penyelesaian konflik harus berbasis kolaborasi dan dialog, demi terciptanya kebijakan kesehatan yang inklusif dan berkeadilan.
Rekaman kegiatan selengkapnya: https://pkmk.site/WebinarLeadership23052025
Reporter: Iztihadun Nisa, MPH (HPM UGM)