Sebagai pengantar Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD menyampaikan bahwa saat ini pemerintah daerah tengah mempersiapkan RPJMD yang ditargetkan selesai pada Agustus 2025. Pada sesi webinar sebelumnya, diperoleh kesimpulan bahwa kesehatan jiwa merupakan isu yang penting. Namun sayangnya, di masa lalu komponen kesehatan di RPJMD hanya seperti formalitas, karena tidak adanya analisis kesehatan lintas sektoral yang dilakukan secara mendalam. Selanjutnya, transformasi layanan kesehatan sangat perlu karena masih lebih 80% orang dengan masalah kesehatan jiwa tidak mendapatkan pertolongan terutama di negara berpenghasilan menengah dan rendah, pembiayaan upaya keswa juga dinilai masih kurang. Selain itu, proses untuk penyembuhan memerlukan waktu yang relatif lama. Harapannya upaya pelayanan kesehatan jiwa bisa mencakup seluruh aspek transformasi kesehatan yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan. setelah sesi ini, harapannya isu kesehatan jiwa diharapkan bisa masuk ke dalam RPJMD atau dapat diperjuangkan untuk masuk pada renstra.
Selanjutnya dr. Imran Pambudi, MPHM selaku Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa kesehatan jiwa sebagai isu strategis dengan 1,4% penduduk usia lebih dari 15 tahun mengalami depresi namun hampir 88% tidak mengakses pengobatan dengan berbagai alasan mulai dari akses hingga stigma. Spektrum kesehatan jiwa cukup lebar, prosesnya dapat dimulai dari kehamilan hingga sepanjangan usia manusia dengan berbagai determinannya yang membutuhkan upaya dari lintas stakeholder. Imran juga menyampaikan framework upaya kesehatan jiwa dimulai dari promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif. saat ini baru 47% Puskesmas yang memberikan layanan kesehatan jiwa (petugas terlatih dan ketersediaan obatnya ada) dengan gap antar wilayahnya yang sangat lebar. Baru 43,19% rumah sakit yang mampu rehabilitasi medis NAPZA. Imran juga menyampaikan perlunya kolaborasi dalam upaya pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Terlebih ada beberapa tantangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa di tingkat daerah.
Ni Made Dwipanti Indrayanti S.T., M.T. selaku Kepala Bapperida DIY di awal menyampaikan mengenai gambaran umum kondisi pembangunan kesehatan jiwa di DIY. DIY merupakan provinsi dengan jumlah skizofrenia tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2024, cakupan pelayanan ODGJ berat mencapai 95,81%. Terdapat tren peningkatan kasus bunuh diri di DIY dari 2021 hingga 2024. Esensi dari kesehatan jiwa telah masuk pada misi RPJP DIY 2025-2045. Kesehatan jiwa belum tertuang secara eksplisit dalam RPJMD 2022-2027, namun termasuk dalam konteks inklusif bagi seluruh masyarakat. Harapannya melalui kegiatan diskusi dapat menjadi pemantik untuk memasukkan isu kesehatan jiwa sebagai bagian dari RPJMD 2027. Saat ini sudah ada upaya kolaborasi penanganan kesehatan jiwa mulai dari promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif.
Turut hadir pula Dr. Indria Laksmi Gamayanti, M.Si., Psikolog selaku Ketua Kolegium Psikologi Klinis yang menyampaikan tanggapannya mengenai ketersediaan tenaga kesehatan yang bertanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan jiwa. Disampaikan juga mengenai upaya yang dilakukan untuk memastikan ketersediaan tenaga psikolog klinis di fasilitas kesehatan. Harapannya dari pemerintah daerah dapat memfasilitasi serta mendukung ketersediaan pelayanan upaya kesehatan jiwa di tingkat daerah.
Untuk mewujudkan upaya pelayanan kesehatan jiwa yang menyeluruh, diperlukan upaya kolaborasi dari berbagai pihak serta leading sector yang dapat menyuarakan pentingnya isu kesehatan jiwa di tingkat daerah. Pada akhirnya, apakah pemerintah daerah tahu dan mau untuk mengatasi permasalah kesehatan jiwa di tingkat daerah?
Materi dan Rekaman Kegiatan silahkan klik DISINI
Reporter: Latifah Alifiana (Divisi Diklat PKMK UGM)

Yogyakarta-UGM. On this occasion, the History Team from PKMK FK-KMK UGM and the History Department of FIB UGM were represented by Prof. Laksono Trisnantoro, Bahauddin, and Abdul Wahid. The event was held at Soegondo Building, 7 Floor, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada (UGM), located in the Special Region of Yogyakarta, Indonesia. The Opening Ceremony was held on Tuesday (24/6/2025). HOMSEA (History of Medicine in Southeast Asia) was founded by Prof Laurence Monnais (University of Montreal) and Dr. Rethy Chhem (former Executive Director of the Cambodia Development Resource Institute (CDRI)) in 2005, with the aim of promoting research in all aspects of the history of health and medicine in Southeast Asia. HOMSEA focuses on this region for several reasons: it has had a very diverse colonial history (the British, American, French and Dutch colonial empires all played a part); both in the past and in the present, its constituent parts faced (and continue to face) similar health challenges while the responses to these are highly variable.
HOMSEA aims to reach this goal by fostering closer contact among medical historians originating from the global North and those from the region. It also aims to foster greater cooperation among scholars, students, and physicians, especially those practicing in the region, by providing a forum for the international exchange of ideas and research. HOMSEA’s main activity is organising a conference on the history of health and medicine in Southeast Asia every two years, usually in cooperation with other societies.
The 10th HOMSEA International Conference has the main theme of “Health and Medicine in The Colonial, Post Colonial and Global Worlds” with the following sub-themes: 1) Health, Medicine and Decolonization, 2) Community Health VC Medical Specialization, 3) Connections and Differences Within Southeast Asia, 4)The Anthropocene from Southeast Asia Perspective, 5) Medicine, Ethis, Politics and The Sustainable Development Goals, and 6) Climate Change and Environmental Degradation.
At the opening ceremony of the 10th HOMSEA at FIB UGM this morning, several speeches were delivered by figures involved in making this event a success. In her speech, Prof. Dra. Yayi Suryo Prabandari, MSi, PhD, Head of the HOMSEA Local Arrangement Committee, said It is both an honor and a pleasure to welcome all participant to the 10th International Conference on the History of Medicine in Southeast Asia (HOMSEA), here in Yogyakarta, Indonesia. As Chair of this year’s conference, “I am humbled by your presence and excited for the rich exchanges we are about to embark on over the coming days. This 10th edition of HOMSEA marks an important milestone—a decade of scholarly gatherings that have brought to light the diverse and complex histories of medicine across Southeast Asia. From colonial encounters to indigenous healing, from the evolution of public health policies to the role of gender, religion, and traditional knowledge— this forum has continually deepened our understanding of medicine as a cultural, political, and scientific phenomenon. This year, we gather in Yogyakarta, a city long associated with intellectual vigor, cultural richness, and historical depth. It is also home to Gadjah Mada University (UGM)—a university deeply rooted in the post-independence aspirations of Indonesia. The Faculty of Medicine, Public Health, and Nursing (FK-KMK UGM), established in 1949, stands as a testament to Indonesia’s early commitment to develop a health system grounded in national resilience and scientific progress. The history of medicine in Indonesia reflects the intersections of colonial legacies, nationalist movements, transnational exchanges, and local knowledge systems. From the early days of STOVIA in Batavia to the community-based health reforms of the 20th century, medical practice in this archipelago has always been more than a clinical pursuit—it is a mirror of societal change and cultural adaptation. At HOMSEA 2025, we hope to build on these rich narratives. We invite you to engage critically with historical sources, revisit forgotten voices, and push the boundaries of interdisciplinary research. This conference is not only about preserving the past, but also about understanding how historical perspectives can inform ethical, educational, and policy decisions in our current and future healthcare systems. I would like to extend my sincere gratitude to our academic partners, institutional supporters, and the organizing team whose dedication made this event possible. I also thank you for bringing your scholarship, curiosity, and commitment to the field.”
Prof. Hans Pols, Ph.D., FAHA, FASSA, RSN, as President of HOMSEA, said that HOMSEA event was first held in Indonesia, specifically in Solo (2012). Then it was held at the National Library in Jakarta (2018). And this year the committee held it again in Indonesia, specifically in Yogyakarta. Yogyakarta occupies a special place with respect to the history of medicine in Indonesia. One of the first missionary hospitals on Java – the Bethesda hospital, was founded in 1901 and was the first hospital to provide health care to Indonesians. The Dr. Yap Eye Hospital was founded as a charitable initiative by the local Chinese-Indonesian community in 1919. Across the road is the Panti Rapih Catholic hospital. In 1924, the Muslim organisation Muhammadyah established a hospital too, which opened clinics and hospitals all over Eastern Java. For Indonesians, the Soeradji Tirtonegoro hospital in nearby Klaten occupies a special place. When the Dutch made Jakarta unsafe in 1946, medical education moved to this hospital, where it resumed under the guidance of Dr. Sardjito, in 1949 the founding president of Gadjah Mada University. I hope that we will have a wonderful conference in a city that has been so important in the history of medicine in Indonesia.
Prof. Dr. Setiadi, S.Sos., M.Si as Dean, Faculty of Cultural Sciences, UGM explained exploring the historical medicine dimension in SouthEast Asia. Historical medicine is not only clinical but also culturally involved social structure, culture, Politics, Science and any other aspects. use this opportunity not only to present the paper but also to build connections and collaborations between the knowledge. He expressed his gratitude for the collaborative spirit that characterizes this conference. Through such interdisciplinary and transnational dialogue, we can continue to uncover our shared history, confront controversial narratives, and build a richer and more inclusive understanding of Southeast Asia’s medical past. In closing, Prof. Setiadi urged participants to take advantage of this opportunity not only to share research but also to build relationships that transcend national borders and academic disciplines. May this conference provide intellectual benefits and strengthen our collective commitment to preserving and interpreting the diverse medical heritage of our region.
Prof. dr. Yodi Mahendradhata, MSc, PhD, FRSPH as Dean Faculty of Medicine, Public Health, and Nursing, UGM said the timeless message which was quoted from Soekarno “never forget the History” not to look back to the past but to look up to the future. Our institution was born in the early days of Indonesia’s independence day. This conference honored our history. It is not only clinical aspects but also social political aspects. In his closing, he would like to thank the committee, speakers, and participants for their dedication to advancing the field of medical history. May this conference inspire new research, strengthen ongoing academic networks, and highlight the important role of historical inquiry in public health, medical ethics, and medical education.
Prof. dr. Ova Emilia, MMedED, SpOG(K), PhD. as chancellors UGM explained reflecting the historical foundation in South East Asia, scholarly innovation among the participants. How medical knowledge has an impact in South East Asia. Ensuring the contribution of SouthEast Asia in the History of Medicine. She emphasized that understanding the history of medicine is not merely an academic endeavor. It is a necessary lens for interpreting the social, cultural, and political dimensions of health. Amidst public health crises and global transformations, a historical perspective provides the wisdom to contextualize current challenges and guide future policies rooted in empathy, justice, and cultural awareness. This conference is designed as a platform to encourage critical reflection, academic innovation, and collaborative exploration among participants from various disciplines. Through papers, panels, and discussions, we hope to deepen our collective understanding of how medical knowledge is produced, debated, and practiced in the context of Southeast Asia.
Furthermore, as global health becomes increasingly interconnected, there is an urgent need to ground our responses in perspectives rooted in culture and history. HOMSEA’s commitment to highlighting local narratives and regional connections is crucial in ensuring that Southeast Asian experiences contribute meaningfully to global conversations about health and medicine. As a closing remark, Prof. Ova urged participants to begin this conference with curiosity, humility, and a shared commitment to developing knowledge that respects our past and our responsibility toward the future. She hopes that the discussions held over the coming days will spark new questions, foster ongoing collaboration, and deepen appreciation for the complexity and richness of medical history in our region. Thank you, and may this conference be productive and inspiring for all. After speeches by several dignitaries, the opening ceremony of the HOMSEA International Conference continued with the striking of a gong (Gamelan Jawa) as a symbolic sign of the opening of the event.
Readmore :
https://sejarahkesehatan.net/history-of-medicine-in-southeast-asia-homsea-conference/
Reporter:
Aulia Putri Hijriyah, S.Sej.,
Daranindra A. Prameswari, S.Sej.,
Webinar dimulai dengan keynote speech yang membahas persiapan SDM Kesehatan berkompetensi Medical Wellness untuk menjawab tantangan DM oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D, dimana pengobatan non farmakologis untuk penderita DM Tipe 2 adalah akupunktur, yang termasuk dalam pengobatan tradisional. Dalam layanan ini, perlu disiapkan strategi integrasi antara pengobatan tradisional dan modern hingga bagaimana pendanaan termasuk SDM yang perlu disiapkan. Contoh penerapan wellness yang sudah ada yaitu sudah berkembangnya wellness spa, yang saat ini sudah ada regulasinya. Meninjau dari contoh tersebut, integrasi antara pelayanan kesehatan tradisional dengan pelayanan kesehatan konvensional saat ini mengacu pada regulasi PP No. 28 Tahun 2024 Pasal 482. Berdasarkan regulasi ini, telah disinggung penetapan kebijakan sdm, serta penetapan kebijakan produk pelayanan kesehatan tradisional, hingga promosi dan potensi pelayanan kesehatan tradisional. Selain itu, dalam regulasi tersebut juga disinggung terkait Evidence Based Medicine sebagai pelayanan medis personalisasi untuk tiap pasien, dimana setiap perawatan yang akan dilakukan kepada pasien harus diperhatikan risiko yang mungkin terjadi. Terkait sumber pendanaan, pasca pandemi COVID 19 BPJS saat ini mengalami deficit, meski saat pandemi terjadi surplus karena jarangnya pasien yang datang ke RS. Hal tersebut juga tidak bisa diprediksikan untuk masa depan apakah akan terus defisit atau bisa surplus. Masalah pendanaan tersebut tentunya berpengaruh terhadap pembiayaan dari pasien untuk wellness apakah pasien bisa membayar out of pocket atau menggunakan askes komersial, dimana pembiayaan tersebut nantinya akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana kualitas dari SDM untuk memberikan pelayanan wellness terbaik untuk pasien. Persiapan SDM tersebut perlu dipertimbangkan bagaimana kompetensi atau sertifikasi yang dimiliki, bagaimana persiapan kolegium untuk mewadahi SDM tersebut, hingga siapa SDM yang bertugas untuk mencari dana dan siapa yang bertugas sebagai promotor kesehatan.
Paparan berikutnya disampaikan oleh dr. Aris Wibudi, Sp. PD-KEMD, Ph.D. terkait dengan pentingnya mengenali kapasitas metabolic, dimana kapasitas metabolic seseorang terbagi menjadi kapasitas normal, obesitas sentral, sindrom metabolic hingga Diabetes Tipe 2. Kapasitas metabolik ini didasari oleh kondisi metabolik, dimana kondisi tersebut bisa berbeda tiap individu, sehingga perawatan yang akan diberikan juga harus disesuaikan untuk masing-masing (personalisasi). Hal tersebut mengacu konsep dasar bahwa asupan kalori dapat dilihat berdasarkan berat badan ideal, indeks glikemik, serta komposisi makronutrien yang sebenarnya adalah untuk orang yang sehat, bukan pasien DM, sehingga untuk pasien DM Tipe 2 dapat dilihat dari respons glikemik yang didasari oleh kemampuan kemampuan individu dalam memproses makanan. Respons glikemik tersebut dapat digambarkan dalam rumus matematis, dimana respons glikemik didapatkan dari fungsi dari asupan dibagi dari kondisi metabolik, yang direfleksikan dari kapasitas metabolik. Pada individu yang normal, puncak gula darah tertinggi adalah 1 jam sesudah makan, dimana hal tersebut disebut dengan postprandial glucose spike yang menggambarkan respons glikemik seseorang.
Akupunktur untuk Diabetes Melitus berikutnya disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Koosnadi Saputra, Sp.Rad (K), dimana akupunktur dapat digambarkan menjadi 5 elemen dalam interaksi organ, yaitu organ liver menggambarkan elemen kayu, lambung dan pancreas menggambarkan elemen bumi, usus menggambarkan elemen api, usus besar menggambarkan elemen logam, dan otak menggambarkan elemen air. Jika jarum akupunktur ditusuk pada jaringan tubuh, timbul reaksi lokal dimana dorsal root ganglion akan mengirimkan sinyal ke seluruh tubuh melalui meridian. Terkait efektivitas terapi akupunktur untuk DM, sebelumnya telah ada penelitian terkait pengukuran kelistrikan jaringan titik akupunktur yang berkorelasi dengan fungsi organ pancreas. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa akupunktur dapat menurunkan sekresi sitokin, merangsang anti inflamasi, serta membantu regulasi sistem imun. Namun, akupunktur ini bukan terapi utama DM, hanya sebagai terapi komplementer, tapi dapat digunakan untuk komplikasi DM yang harus dikombinasikan dengan terapi lainnya. Dalam hal ini, DM Tipe 2 tidak dapat disembuhkan, namun bisa dilakukan remisi dengan pengaturan pola makan sehat dan konsisten, olah raga rutin dan teratur, serta sering puasa.
Tanjung Subrata, M.Repro., ABAARM selanjutnya menjelaskan resistance training for DM, dimana aktivitas fisik dapat mencegah DM Tipe 2 karena adanya kapasitas biogenesis mitokondira dan meningkatkan mitokondrial oxidative. Aktivitas fisik tersebut bisa dilakukan salah satunya dengan latihan cardio, aerobic, yoga, pilates. Peningkatan lean muscle mass juga dapat dilakukan karena muscle mass yang lebih besar berarti penyimpanan glukosa juga lebih besar, sehingga dapat digunakan sebagai reservoir dari gula darah. Selain itu, reprogamming metabolic juga memicu aktivasi AMPK dan sensor metabolic lainnya, yang dapat mengubah metabolic yang lebih baik dan menjadikan otot sebagai tempat menyimpan gula darah dan lemak yang efektif. Kontrol glikemik juga dapat memicu post-exercise energy expenditure yang dapat mendukung kesehatan metabolik. Namun, metabolism energi tersebut akan berbeda didasarkan pada durasi, intensitas dan tipe muscle fiber yang digunakan, dimana tipe II Muscle fibers mempunyai densitas kapiler dan lebih sensitif terhadap insulin. Dalam hal ini, training yang dilakukan bisa dengan intensitas sedang hingga tinggi, seperti lari 400 meter. Berdasarkan penelitian sebelumnya, dilakukan aerobic sebagai program prolanis dengan tambahan resistance training 15 menit sebelum gerakan aerobic.
Webinar ditutup dengan paparan terkait dengan diet pada penderita DM yang disampaikan oleh Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Akp, Sp.GK. Manajemen penderita DM meliputi edukasi dan dukungan, Medical Nutrition Therapy, aktivitas fisik, serta terapi obat. Tujuan dari terapi nutrisi untuk pasien diabetes yaitu untuk meningkatkan A1C, tekanan darah dan level kolesterol yang harus dipelihara dan ditinjau secara terus menerus. Terapi nutrisi dapat dilakukan dengan pengukuran kebutuhan energi basal, teknik broca, atau menggunakan BMI. Detail nutrisi yang dibutuhkan antara lain karbohidrat 45-60% dengan asupan maksimal sucrose maksimal 5%, protein 10-20%, lemak 20-25%, cukup vitamin dan mineral, serta natrium <1500 mg/hari. Dalam perhitungan berat badan, dapat menggunakan BB Ideal atau BB normal yang diukur dengan BMI yaitu BB dibagi dengan kuadrat dari TB. Prinsip asupan karbohidrat berdasarkan medical care diabetes menunjukkan bahwa penggunaan glycemix index (GI) dan glycemic load (GL) mempunyai manfaat untuk maintain DM, dimana makin rendah GL maka gula yang terbentuk di darah juga akan semakin sedikit. Cut off GI dikatakan baik jika <56, sedangkan untuk GL yang dianggap rendah yaitu <10. Upaya yang baik untuk menurunkan GI bisa didapatkan dari diet local, yang dinilai lebih baik dari diet mediteranian. Selain itu, juga dapat dilakukan vegan diet, dimana vegan diet ini telah terbukti dapat menurunkan angka kematian. Intermittent fasting atau puasa Senin Kamis juga disarankan untuk upaya diet, namun harus didukung dengan monitoring dan pembatasan makan. (Bestian Ovilia Andini)
Pengantar Dikusi oleh Prof. Laksono Trisnantoro
Diskusi dibuka dengan pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM, yang melihat adanya perbedaan pendapat mengenai perluasan Cath-Lab. Di satu sisi ada pihak yang menilainya sebagai proyek kuratif mercusuar dan di sisi lain ada yang mendukung pelaksanaannya. Perbedaan ini perlu dibahas dengan evidence yang ada, risiko perluasan, dan dibahas dalam perspektif keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Paparan Pertama dari Boston.
dr. Farizal Rizky Muharram, mahasiswa S2 Harvard Medical School memaparkan data distribusi Cath-Lab di Indonesia antara tahun 2017-2022. Dalam paparannya, ia menjelaskan terjadi tren peningkatan jumlah Cath-Lab, terutama di wilayah perkotaan besar. Namun yang terjadi adalah adanya ketimpangan distribusi Cath-Lab antara daerah maju dan daerah tertinggal dan dampak ketidakmerataan akses terhadap pemerataan pelayanan kesehatan jantung. Analisis ini menggunakan metode geospatial, dan ukuran-ukuran inequity menggunakan Rasio Gini.
Paparan Kedua (Yogyakarta)
M. Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH, peneliti di PKMK FK-KMK UGM melanjutkan dengan analisis perkembangan klaim BPJS untuk tindakan medis menggunakan Cath-Lab pada periode 2015-2023. Poin-poin utama dari paparannya meliputi peningkatan jumlah klaim tindakan Cath-Lab setiap tahun terutama di Regional 1 (Jawa). Peningkatan di Regional 1 sangat tajam, sementara di Regional 5 (Papua dan Maluku) mendatar. Terjadi disparitas yang melebar. mencerminkan ketidak adilan pelayanan CathLab di antara anggota BPJS. Faozi juga menekankan perlunya pengaturan pembiayaan dan kebijakan strategis agar layanan Cath-Lab dapat diakses lebih luas tanpa membebani sistem pembiayaan kesehatan.
Pembahasan oleh Prof. Laksono Trisnantoro
Laksono menegaskan, hingga saat ini Cath Lab merupakan salah satu teknologi yang belum merata karena berdasarkan data yang disampaikan dr Farizal, jika di satu lokasi sudah tersedia layanan Cath Lab, maka terjadi kecenderungan jumlah layanan Cath Lab akan bertambah. Sementara, jika di lokasi lain tidak tersedia Cath Lab cenderung akan selalu terjadi kekosongan. Pada masa JKN, perkembangan Cath Lab masih berdasar mekanisme pasar. Hal ini disayangkan, karena BPJS harapannya mengurangi tekanan pasar yang murni melalui intervensi pemerintah. Fakta lainnya, disparitas rendah dalam klaim saat BPJS, namun semakin meningkat antar regional. Berdasarkan data, pelayanan Cath Lab tidak merata dalam 10 tahun terakhir, bahkan disparitasnya semakin buruk. Sehingga, perluasan layanan Cath Lab harus merata agar prinsip pemerataan akses kesehatan tercapai. Hal ini sejalan dengan sila kelima Pancasila yaitu Keadilan Sosial untuk Seluruh Rakyat Indonesia.
Diskusi dan Kesimpulan
Sesi diskusi berlangsung interaktif dengan penanggap ahli-ahli jantung (kardiologist), neurologist, sampai ke peneliti implementasi. Penanggap mengangkat berbagai isu, termasuk kendala infrastruktur di daerah terpencil, pelatihan tenaga medis untuk penggunaan Cath-Lab, dan peran pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung layanan kesehatan berbasis teknologi tinggi. Tidak ada yang menyatakan sebagai proyek mercusuar. Banyak penanggap menyatakan perlu persiapan matang, termasuk sampai ke pentahapan program untuk mencapai seluruh Indonesia.
Dalam kesimpulannya, Laksono menegaskan bahwa kebijakan perluasan Cath-Lab diperlukan untuk meningkatkan akses layanan di daerah-daerah sulit dengan pertimbangan geospatial yang baik. Risiko kegagalan sistem perlu dimonitor dengan penelitian implementasi. Pendanaan pelayanan kesehatan perlu dilakukan secara baik. Diharapkan ada pemahaman bahwa perluasan pelayanan Cathlab ke daerah sulit bukan sebagai proyek mercusuar, namun menjalankan perintah UUD 1945 dengan berbagai keterbatasan teknis dan anggaran.
Reportase: RM. Reksonegoro
Talkshow : Bridging Policy, Science, and Community Action for Sustainable Healthcare
Sesi talkshow dimulai dengan pembahasan terkait dengan bagaimana kaitan antara policy dan science serta peran masing-masing untuk keberlanjutan sistem kesehatan di negara berkembang, terutama di Indonesia, Thailand, dan Malaysia.
Professor Emeritus Dato’ Dr Syed Mohamed Aljunid menjelaskan bahwa keterlibatan penelitian saat ini sangat penting bagi keberlanjutan sistem kesehatan, dimana peran dari penelitian tersebut berupa rekomendasi solusi bagi masalah kesehatan di suatu negara.
Berikutnya, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D memaparkan bahwa saat ini tantangan yang dialami berupa menerjemahkan penelitian itu sendiri, utamanya terkait dengan sistem kesehatan. Hal tersebut dikemukakan berbasis fakta dimana Indonesia saat ini sedang dalam masa transformasi yang memungkinkan banyak kendala, terutama terkait dengan advokasi kepada stakeholders kunci. Peran science dalam bidang kebijakan kesehatan dapat menggunakan kerangka konsep benchmark. Harapannya, benchmark ini dapat digunakan sebagai pembelajaran bagi negara-negara berkembang terhadap implementasi program dari negara-negara maju. Selain itu, monitoring dan evaluasi dari implementasi suatu program kesehatan juga penting untuk keberlanjutan sistem kesehatan, dimana di Indonesia sendiri masih susah untuk memastikan keberlangsungan tindakan tersebut.
Prof. Virasakdi Chongsuvivatwong menceritakan pengalamannya dalam melakukan observasi terhadap pelaku sistem kesehatan, bahwa konsep dan mindset sebagai dasar untuk menciptakan suatu keputusan itu adalah hal mutlak yang sulit untuk diubah. Namun, sebagai pengamat sistem kebijakan, yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut yaitu melakukan adaptasi, strategi, dan tindakan terhadap keputusan yang telah diambil. Selain itu, sebagai pelaku dalam sistem kebijakan, kita juga harus menyadari bahwa suatu kebijakan masih memiliki batasan-batasan.
Pembahasan berikutnya terkait langkah nyata dalam menjaga keberangsungan sistem kesehatan dijelaskan oleh Laksono, bahwa saat ini Fakultas Kedokteran (FK-KMK) telah berkolaborasi dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) serta Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) untuk mendalami lebih lanjut pengetahuan terkait kebijakan dan manajemen kesehatan. Hal tersebut dilakukan dengan dasar bahwa pengetahuan terkait medis dan kesehatan saja tidak cukup untuk menunjang ilmu terkait dengan manajemen dan politik yang nantinya akan sangat berpengaruh dalam keseluruhan sistem kesehatan. Kolaborasi untuk peningkatan skill tersebut juga disetujui oleh Aljunid, dimana peningkatan skill tersebut memang tidak bisa didapatkan secara murni dari satu bidang, namun harus disertai dengan dukungan dari lintas sektor atau dari bidang yang lain. Virasakdi menambahkan bahwa tidak hanya peningkatan skill, namun konsep mendasar berupa cara berpikir, terutama untuk mengatasi isu kesehatan, juga pasti berbeda-beda dari setiap negara, terutama negara maju seperti Amerika, sehingga mungkin tidak semua program yang negara-negara tersebut miliki dapat diadaptasi kedalam negara-negara berkembang. Masalah kesehatan dapat digambarkan dengan konsep iceberg, dimana masalah yang sering dianggap kompleks adalah yang terlihat di superfisial, seperti masalah terkait pembiayaan. Namun, sebenarnya sistem kesehatan itu masih memiliki masalah yang lebih kompleks dan lebih berdampak terhadap sistem kesehatan secara keseluruhan. Selain itu, budaya yang berkembang di suatu negara juga dapat mempengaruhi image negara tersebut bagi negara lain. Contoh nyata yang terjadi yaitu terkait budaya kebebasan di Thailand, akibatnya beberapa negara enggan melakukan pengiriman tenaga medis/tenaga kesehatan ke Thailand karena adanya budaya tersebut.
Sesi diskusi dibuka dengan pertanyaan bagaimana kebijakan yang berlandaskan evidence dan science itu dapat berubah akibat pengaruh dari minat dan perspektif stakeholders kunci, dimana hal tersebut akan berdampak nyata bagi sistem kesehatan. Emeritus menjelaskan bahwa saat ini kita harus bisa berkolaborasi dan berdiskusi dengan para politisi terutama untuk mewujudkan implementasi kebijakan kesehatan, dimana kolaborasi tersebut harus dapat menghasilkan rekomendasi dalam mengatasi isu kesehatan. Laksono berikutnya menambahkan kemampuan influencing juga merupakan kemampuan yang penting dalam proses implementasi kebijakan. Influencing ini harus didasari dengan kemampuan komunukasi, sehingga kesuksesan dalam advokasi kebijakan, utamanya kepada stakeholders kunci di bidang kesehatan, dapat dicapai. Sebagai penutup, Virasakdi juga mengemukakan bahwa minat untuk meningkatkan kemampuan diri untuk mempelajari kebijakan kesehatan sangat penting, seperti training, riset, serta metode pengembangan diri lainnya.
Talkshow diakhiri dengan bahasan barrier dalam kebijakan sistem kesehatan yang masih dialami oleh negara berkembang saat ini. Laksono menjelaskan bahwa tantangan terbesar saat ini memang masih terkait dengan pembiayaan kesehatan, namun sebenarnya masih banyak masalah kesehatan lainnya yang juga cukup kompleks, seperti dalam bidang clinical sciences, diantaranya masalah kardiovaskuler dan stunting. Harapannya forum seperti PGF ini juga dapat dikembangkan tidak hanya untuk kebijakan terkait pembiayaan kesehatan, namun juga untuk masalah-masalah kesehatan seperti clinical sciences tersebut. Terkait masalah pembiayaan kesehatan di Malaysia yang dipaparkan oleh Aljunid, bahwa ke depannya diharapkan implementasi kebijakan yang lebih komprehensif di bidang tersebut, karena saat ini sistem pembiayaan itu dinilai masih tertinggal dibandingkan negara lainnya. Berbeda dengan sistem pembiayaan negara Thailand yang dijelaskan oleh Virasakdi, bahwa pembiayaan kesehatan tersebut masih dipengaruhi oleh alokasi sumber daya dan regulasi yang berlaku. Alokasi sumber daya tersebut nantinya akan sangat berpengaruh terhadap pengembangan teknologi, seperti penggunaan Internet of Things (IoT) yang saat ini digunakan dalam sistem kesehatan, sehingga harapannya pengembangan tersebut dapat disertai dengan dukungan, baik riset maupun kebijakan yang berlaku.
Rangkaian kegiatan PGF 2025 ini ditutup dengan closing remarks yang disampaikan oleh dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph.D. Ucapan terimakasih disampaikan kepada seluruh peserta yang telah berpartisipasi, para pembicara, pihak sponsor, panitia kegiatan, serta Universiti Kebangsaan Malaysia dan Prince of Songkla University, Thailand yang telah turut mendukung terselenggaranya rangkaian kegiatan PGF 2025. Harapannya, rangkaian kegiatan PGF ini dapat memberikan dampak positif bagi sistem kesehatan serta dapat menjadi sebuah landasan inovasi dalam mengembangkan riset terkait kebijakan kesehatan. PGF berikutnya terjadwal akan dilaksanakan di Prince of Songkla University pada Juli 2026.
Reporter :
Bestian Ovilia Andini (PKMK UGM)
Health System Resilience & Global Governance
Sesi ini dipandu oleh Shita Listyadewi, S.IP., MM, MPP, peneliti di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK UGM). Shita membuka sesi dengan menjelaskan sistem kesehatan menghadapi berbagai tekanan, mulai dari tekanan jangka pendek (seperti penyakit musiman), hingga tekanan jangka panjang (seperti perubahan iklim). Dengan demikian, berbagai pilar sistem kesehatan perlu diperkuat untuk membangun sistem yang resilien.
Pembicara pertama pada sesi plenary ketiga ini adalah Dr. Somil Nagpal yang merupakan Senior (Lead) Health Specialist di The World Bank. Paparan Somil mengambil tajuk “Financing Resilient Health Systems in the Face of Global Crises”. Dalam paparannya, Somil, melalui studi kasus kawasan Asia Pasifik Timur (East Asia Pacific/ EAP), menggarisbawahi bahwa tantangan keberlanjutan pendanaan sistem kesehatan dapat mempengaruhi pencapaian sistem kesehatan dalam kerangka Universal Health Coverage (UHC). Kondisi finansial berbagai negara pasca pandemi COVID-19 beragam. Sebagian negara, seperti Vietnam, Indonesia, Kamboja, dan Filipina, mampu mencapai kondisi keuangan yang melampaui kondisi pra pandemi, namun beberapa negara lain, misalnya Palau dan Vanuatu, mengalami penurunan Gross Domestic Product (GDP) per kapita, bahkan mencapai dibawah kondisi pra pandemi 2019. Somil juga menggambarkan capaian indikator cakupan pelayanan kesehatan UHC, di mana kawasan Pasifik menempati peringkat kedua terendah dibandingkan kawasan lain dalam tahun-tahun terakhir. Dengan demikian, jalan menuju UHC masih terlihat panjang sekaligus berliku dengan adanya kesulitan-kesulitan finansial yang dialami berbagai negara. Somil menutup presentasinya dengan menekankan bahwa repriotisasi adalah kunci untuk mendukung keberlanjutan pendanaan kesehatan di tengah berbagai krisis.
Sesi dilanjutkan dengan paparan dari Associate Professor Dr. Aznida Firzah Abdul Aziz dari Department of Family Medicine, Faculty of Medicine Universiti Kebangsaan Malaysia, dengan judul “Measuring UHC Progress: What Indicators Matter Most for the Malaysian Healthcare System?” Aznida memaparkan kondisi pencapaian indikator-indikator terkait UHC di Malaysia dalam tahun-tahun terakhir. Pada 2023, 64% indikator sustainable development goals (SDG) Malaysia berstatus on track. Cakupan populasi yang menerima pelayanan kesehatan di Malaysia meningkat dari 70% pada 2018 menjadi 73% pada 2020, namun persentase masyarakat yang memiliki pengeluaran out-of-pocket (OOP) mencapai 38.3% pada 2023, yang diakui sebagai salah satu persentase tertinggi di kawasan. Walaupun Malaysia telah mengalami perubahan-perubahan signifikan dalam hal pelayanan kesehatan primer sejak 1960, beberapa isu kesehatan kontemporer, seperti populasi yang menua dan peningkatan prevalensi penyakit tidak menular menjadi tantangan bagi sistem kesehatan di Malaysia. Aznida juga menjelaskan bahwa indikator-indikator UHC yang saat ini berlaku di Malaysia, perlu dikaji ulang dengan indikator tambahan. Sebagai contoh, aspek penyakit tidak menular yang diukur dengan diabetes screening rates, perlu ditambahkan dengan indikator terkait demensia atau stroke.
Pembicara ketiga adalah Profesor Maria Nilsson, Chair of Lancet Countdown in Europe, Umeå University dengan judul “Driving University Collaboration for Global Health through the Sustainable Health Partnership (SHIP)”. Maria menjelaskan bahwa SHIP dibentuk sebagai wadah kolaborasi transdisipliner untuk mengusung tantangan-tantangan global yang kompleks dan berimplikasi pada kesehatan. SHIP dibentuk karena kesadaran bahwa tantangan-tantangan seperti perubahan iklim atau deforestasi, bukan lagi tantangan sektor lingkungan semata, melainkan juga sektor kesehatan. SHIP bertujuan untuk mendukung pertukaran dan produksi pengetahuan secara kolektif, serta menciptakan perspektif baru untuk memfasilitasi translasi pengetahuan menjadi aksi. Melalui SHIP, peserta akan mendapatkan akses ke collaborative space, berbagai instrumen dan metode, serta beragam ekspertis. SHIP tidak hanya beranggotakan universitas di Swedia, namun juga beragam universitas lain di seluruh belahan dunia.
Pembicara selanjutnya adalah dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph.D, Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM dengan judul “Harnessing Digital Transformation for Sustainable Health”. Lutfan menekankan pentingnya transformasi digital dalam sektor kesehatan sebagai strategi mitigasi perubahan iklim dan penguatan sistem kesehatan yang berkelanjutan. Indonesia sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia memiliki peluang besar untuk menurunkan jejak karbon melalui pemanfaatan teknologi kesehatan digital, seperti telemedicine, yang terbukti mampu mengurangi emisi karbon hingga 40–70 kali dibandingkan kunjungan fisik. Transformasi digital tidak hanya tentang efisiensi, tetapi juga merupakan langkah strategis menuju model pelayanan kesehatan rendah emisi. Universitas Gadjah Mada melalui proyek Climate Change Mitigation and Adaptation Policies (CCMAP) dan sistem peringatan dini demam berdarah memanfaatkan teknologi telemedicine sebagai strategi mitigasi perubahan iklim. CCMAP merupakan kolaborasi lintas sektor yang berfokus pada eHealth untuk adaptasi iklim di wilayah seperti Gunungkidul, sementara sistem peringatan dini demam berdarah dikembangkan sebagai alat bantu pengambilan keputusan yang mengintegrasikan data kesehatan, cuaca, dan pendidikan, serta didukung oleh kerjasama antar lembaga lokal dan internasional. Untuk menjamin keberhasilan transformasi digital ini, strategi digital harus mendukung agenda prioritas nasional, memperkuat jaminan kesehatan nasional, terintegrasi dengan sistem yang ada, bersifat inklusif, dan mampu diperluas secara berkelanjutan.
Pembicara terakhir dalam sesi plenary ini adalah Profesor Ming Xu. MD, PhD selaku dekan Department of Global Health, School of Public Health, Peking University dengan judul “Global Public Goods for Health in the Fight Against Infectious Diseases”. Prof. Ming menyoroti pentingnya menjadikan produk kesehatan sebagai barang publik global (global public goods) yang non-rivalrous dan non-excludable, tujuannya untuk menjamin akses setara terhadap obat dan alat kesehatan, terutama dalam penanganan penyakit menular. Prof. Ming juga menjelaskan bagaimana pengadaan publik global harus transparan dan berbasis regulasi ketat, serta bagaimana strategi market shaping seperti medicines patent pool (MPP), penetapan harga, dan kemitraan pengembangan produk dapat memperkuat inovasi, keterjangkauan, dan keberlanjutan. Contoh sukses seperti Medicines for Malaria Venture (MMV) dan inisiatif global seperti ACT-A dan AVMA memperlihatkan peran kolaborasi internasional dalam mempercepat akses terhadap vaksin dan terapi di negara berkembang. Pendekatan ini menegaskan bahwa produk kesehatan perlu dikelola sebagai barang publik global untuk memastikan keadilan dan efisiensi dalam respons kesehatan dunia.
Sesi kemudian dilanjutkan dengan diskusi tanya jawab yang dipandu oleh moderator. Dalam sesi ini, terdapat empat topik bahasan utama, yakni tentang pengukuran penurunan emisi karbon yang dihasilkan dari penerapan telemedicine, penyedia layanan bantuan kesehatan mental di Malaysia, inovasi yang telah dilakukan negara dalam rangka meningkatkan ketahanan layanan kesehatan (health service resilience), serta penerapan pendekatan riset transdisipliner dan transformasi hasil pengetahuan dari riset tersebut menjadi aksi nyata.
Reporter:
Monita Destiwi & Mentari Widiastuti (Divisi Public Health, PKMK)
Strengthening Community and Preventive Health Approaches
Sesi plenary 2 dimoderatori oleh dr. Likke Prawidya Putri, MPH., PhD dari Departemen Manajemen dan Kebijakan Kesehatan di Universitas Gadjah Mada.
Pembicara pertama adalah Dr. Maarten Kok yang membahas tentang “Can AI Help Us Decide? Are More Expensive Medicines Worth It”. Dalam presentasi ini, Dr Maarten menceritakan beberapa studinya di Indonesia. Salah satunya menjelaskan tentang sejarah dari pelaksanaan universal health coverage di Indonesia yang menghasilkan jaminan kesehatan nasional sebagai aset politik presiden. Kemudian, studi keduanya menunjukkan capaian dari UHC yang diharapkan untuk dapat memeratakan akses pelayanan kesehatan, khususnya obat. Namun, terdapat tantangan untuk memperluas pelayanan kesehatan yang berkualitas dan memastikan sistem yang terjangkau. Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa biaya dari obat tidak memiliki pengaruh terhadap kualitas dari pelayanan. Studi Dr Maarteen juga menunjukkan bahwa di Indonesia masih memberikan obat dengan harga yang murah khususnya di publik sektor tetapi memiliki kualitas bagus. Kemudian, keberadaan AI menurutnya dapat menghasilkan publikasi yang tidak relevan dengan tujuan penelitian. Dari 10 AI yang diinvestigasi menunjukkan pula bahwa terdapat banyak studi yang terlewatkan dalam proses tinjauan sistematik.