Sesi Paralel
Pengembangan Private Health Insurance sebagai langkah strategis untuk memajukan UHC
Sesi ini merupakan diskusi kerjasama antara ADB dengan ANHSS sebagai hasil pertemuan di Hongkong pada awal bulan Mei 2025. Ada beberapa pembicara sebagai berikut:
Prof EK Yeoh, Director Center for Health Systems and Policy Research, The Chinese University of Hongkong (CUHK)
Membahas mengenai “Review of the Role and Challenges of Private Health Insurance (PHI) in the Global Context”. Dalam paparannya disebutkan mengenai mengapa banyak negara membutuhkan PHI dengan berbagai alasan. Bahkan di Belanda dan Swiss merupakan kewajiban untuk ikut. Ada 3 peran: supplementary, complementary atau substitusi di berbagai negara. Di Asia Pacific, PHI perlu diteliti lebih mendalam untuk menjadi kebijakan publik yang baik untuk meningkatkan ketahanan Social Health Insurance. Oleh karena itu di Chinese University of Hongkong bekerja sama dengan ANHSS mengembangkan pengetahuan baru mengenai PHI melalui scoping review dan penelitian bersama di berbagai negara. Silahkan klik papernya.
April Wu dari The Chinese University of Hongkong (CUHK)
Menggambarkan PHI di Hongkong. Kebijakan pemerintah HK mendorong pengembangan PHI agar ada tambahan akses, peningkatan mutu, dan lebih banyak dana untuk kesehatan. Saat ini belanja kesehatan dari total GDP adalah sebesar 8.5%. Belanja pemerintah dari Total Belanja Kesehatan adalah 56%. Out of Pocket sebesar 27.3% dan PHI sebesar 15.5%. 42% warga HK mempunyai Askes Swasta. Ada 1.34 juta polis dengan 53% pemegang di bawah 40 tahun dan 33% di bawah 30 tahun.
Prof. Laksono Trisnantoro dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di FK-KMK UGM
Menguraikan mengenai keadaan asuransi kesehatan swasta (PHI) di Indonesia. PHI dibutuhkan di Indonesia sebagai katup pengaman untuk SHI (Social Health Insurance, yang dikelola oleh BPJS) yang saat ini berada dalam tekanan. Akan tetapi kenyataanya sektor PHI di Indonesia masih buruk. Secara total di tahun 2023, perusahaan-perusahaan askes swasta mengalami kerugian. PHI memainkan peran yang sangat terbatas dalam sistem kesehatan Indonesia. Regulasi yang ada masih di dalam konteks asuransi jiwa, yang tidak sesuai untuk mengatasi risiko dan kebutuhan unik asuransi kesehatan. Infrastruktur juga tidak memadai untuk menangani tantangan seperti fraud. Banyak penyedia PHI beroperasi dengan kerugian, yang membuat perluasan menjadi sulit tanpa reformasi. Sebagai ringkasan PHI dapat melengkapi SHI jika dikembangkan dengan baik.
Prof. Siripen Supakankunti dari Chulalongkorn University Thailand
Memaparkan mengenai Pengalaman PHI di Thailand. Operasional PHI terutama di layanan kesehatan swasta yang melengkapi layanan publik. Layanan ini terutama di daerah perkotaan. Asuransi komersial swasta memasuki pasar Thailand hampir 100 tahun lalu. Penerimaan asuransi kesehatan swasta agak lambat. Asuransi kesehatan swasta diatur oleh Kantor Komisi Asuransi sejak 2007 (Departemen Asuransi, Kementerian Perdagangan hingga 2007).
Asuransi kesehatan swasta saat ini sebagian besar bersifat pelengkap. Ada berbagai pendorong penggunaan asuransi kesehatan swasta: Persepsi tentang kualitas dan ketepatan waktu layanan kesehatan yang dibiayai publik: Asuransi kesehatan swasta menawarkan pilihan rumah sakit swasta yang lebih luas. Masalah utama yang dihadapi adalah: penetrasi asuransi lebih rendah daripada rata-rata global, peningkatan kesadaran dan kepercayaan konsumen untuk mengurangi ketergantungan pada sistem publik (yang terlalu membebani), adanya tarif premi tinggi, penolakan perpanjangan, dan pembatasan cakupan khususnya untuk orang lanjut usia. Oleh karena itu Thailand sedang mengembangkan Balancing Act untuk menyeimbangkan pendanaan untuk UHC dan askes swasta.
Maria Elena Harrera, Professor (ret) Asian Institute of Management
Dari Filipina memaparkan mengenai PHI sebagai katalis untuk mencapai tujuan Sistem Kesehatan dan meningkatkan UHC. Disamping Philhealth yang mencakup 98% penduduk Filipina ada berbagai skema askes swasta. Perusahaan askes swasta beroperasi dengan 2 sasaran: (1) perusahaan dan SDMnya; (2) perorangan. Untuk perusahaan ada berbagai skema, antara lain HMO, comprehensif dengan credit line, dan berbagai mekanisme askes lainnya. Untuk individual model HMO, ada yang bersifat critical care, bersifat daily indemnity, guarantee cover dengan waktu tunggu. Ada berbagai isu yang dapat dipelajari: PHI yang bersifat supplemen dapat mengiris kekurangan dalam paket-paket UHC. Peranan sangat kontekstual dan spesifik untuk berbagai penyakit.
Selanjutnya ada pembahasan dari Thalia Georgiou, Managing Partner, Asiacare Group, konsultan manajemen asuransi kesehatan yang filenya dapat dicermati sebagai berikut:
Reporter:
Prof. Laksono Trisnantoro (FK-KMK UGM)
Building Diagnostic Readiness for Future Pandemics
Salah satu sesi paralel pembuka forum di hari kedua, menyoroti pentingnya kesiapsiagaan sistem diagnostik dalam menghadapi persiapan pandemi di masa depan. Sesi ini juga menekankan bahwa keberhasilan deteksi, respon, dan penanggulangan wabah sangat bergantung pada ketersediaan diagnostik yang cepat, akurat, dan merata.
Prof. Rosanna Pelling dari London School of Hygiene & Tropical Medicine mengulas peran krusial diagnostik selama pandemi COVID-19. Diagnostik yang adekuat berperan penting dalam memperjelas definisi kasus, mendukung penelitian, memperkuat surveilans, dan memungkinkan uji klinis obat serta vaksin. Namun, pihaknya menyoroti tantangan besar dalam jalur akses diagnostik yang panjang dan terfragmentasi, serta proses regulasi yang memakan waktu bertahun-tahun.
Ketimpangan akses antar wilayah menjadi perhatian utama, khususnya bagi laboratorium kesehatan masyarakat yang membutuhkan alat diagnostik untuk respon cepat dan pengambilan kebijakan berbasis data. Rosanna juga menekankan pentingnya konektivitas sistem data, ketahanan sistem kesehatan, langkah pengendalian lintas batas, serta komunikasi yang efektif berbasis kepercayaan dan tata kelola kolaboratif.
Dr. Sarbjit Chadha menyoroti kesenjangan mencolok antara negara berpenghasilan tinggi dan rendah dalam akses serta kapasitas diagnostik. Sarbjit menyerukan aksi nyata dari pemerintah, ilmuwan, dan komunitas untuk menjembatani kesenjangan ini dan memperkuat sistem diagnostik global secara inklusif.
Shin Young-Soo dari WHO membahas program Pre-Qualification (PQ) WHO yang bertujuan memastikan kualitas diagnostik secara global. Ia juga menyoroti perlunya penyederhanaan lanskap regulasi agar inovasi diagnostik dapat lebih cepat tersedia di lapangan, khususnya di negara berkembang.
Financing PHC and Community Health Workers (CHWs): Reaching the Unreached & Enhancing and Nurturing Resilient and Inclusive CHWs
Salah satu sesi paralel dalam forum ini, berjudul “Financing PHC and Community Health Workers (CHWs): Reaching the Unreached & Enhancing and Nurturing Resilient and Inclusive CHWs”, menyoroti peran krusial kader kesehatan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan primer di komunitas. Namun di banyak negara, kader masih menghadapi tantangan serupa, yaitu jumlah yang belum mencukupi, beban kerja berlebih, dan insentif yang rendah. Dalam sesi ini, perwakilan dari pemerintah dan NGO berbagai negara berbagi praktik baik dan pendekatan inovatif untuk memastikan para kader mendapat dukungan yang layak, baik secara finansial maupun non-finansial, agar mereka dapat bekerja secara berkelanjutan dan bermartabat.
Dr. Vannarom dari Kementerian Kesehatan Kamboja menjelaskan kebijakan nasional yang menempatkan keterlibatan komunitas sebagai prioritas, termasuk mendorong kepemimpinan lokal dan menjawab kebutuhan kelompok rentan melalui program berbasis masyarakat.
Dr. Mar Wynn Bello dari Biro Kesehatan Masyarakat Filipina mengangkat isu kekurangan jumlah Barangay Health Workers (BHW), kader kesehatan di layanan primer (Barangay). Saat ini, hanya 19% yang sesuai standar rasio 1:20 rumah tangga. Beban kerja tinggi dan keterbatasan insentif menjadi hambatan utama. Namun, kebijakan baru yang telah disahkan presiden untuk memperluas pembiayaan dari pemerintah pusat hingga DPR, disertai peningkatan kesejahteraan, pelatihan rutin, serta dukungan perlengkapan standar dan pemahaman pengobatan tradisional.
Dr. Thesda dari Bhutan menjelaskan peran 780 relawan di lebih dari 500 pusat layanan primer dalam promosi dan rujukan kesehatan, terutama di wilayah pegunungan. Salah satu contohnya untuk mendukung cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak-anak, terhalang tantangan geografis Bhutan yang mayoritas pegunungan, namun diatasi melalui program catch-up imunisasi dengan mengerahkan kader kesehatan ke wilayah tidak terjangkau untuk melakukan advokasi dan memastikan semua anak mendapatkan imunisasi yang diperlukan.
Afrika Muka Neto dari UNICEF Asia Selatan menegaskan bahwa setiap ibu dan anak harus memiliki akses layanan terintegrasi. UNICEF berkomitmen untuk mendukung pembiayaan berkelanjutan, advokasi kebijakan, dan pemantauan melalui kemitraan erat agar tak ada komunitas yang tertinggal.
Pada sesi diskusi panel, beberapa poin-poin penting juga disampaikan oleh panelis, diantaranya yaitu:
Neeraj Jain dari PATH menyebut tantangan umum berupa kekurangan tenaga, beban kerja tinggi, dan insentif rendah. Beberapa inovasi muncul, seperti pelatihan berkelanjutan dan pengakuan formal untuk kader-kader kesehatan di India, serta dukungan BRAC di Bangladesh.
Angela Chaudhuri dari Swasti menekankan bahwa kader bukan sekadar pelengkap, melainkan aktor kunci yang mampu menggerakkan komunitas. Investasi pada mereka harus dilihat dari dampak jangka panjang, bukan sekadar pengembalian biaya.
Manoj Jhalani dari WHO SEARO menutup dengan pesan bahwa kader kesehatan harus dilibatkan dalam perencanaan kebijakan, agar program dapat lebih dipercaya dan diimplementasikan secara efektif. Dukungan finansial maupun non-finansial, termasuk skema pensiun bagi para kader, juga perlu diintegrasikan dalam kebijakan kesehatan nasional.
Reporter: dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)
Sesi Plenary: Climate and Health Plenary
Sesi plenary ini membahas pentingnya isu global terkait dengan perubahan iklim dan kesehatan.
Terdapat Kerangka G20 untuk Iklim dan Kesehatan berfokus pada lima prinsip utama:
- Memprioritaskan pembangunan yang tangguh terhadap perubahan iklim.
- Mengembangkan sistem kesehatan yang rendah karbon dan berkelanjutan.
- Melakukan dekarbonisasi rantai pasok sektor kesehatan.
- Memobilisasi pembiayaan iklim.
- Mendorong kolaborasi lintas sektor termasuk kesehatan hewan dalam pendekatan One Health.
Asian Development Bank (ADB) meluncurkan program unggulan Climate Health Initiative (CHI) serta membangun portal informasi sebagai sumber daya untuk mendukung aksi iklim dan kesehatan.
Dr. Soumya Swaminathan
(Mantan Peneliti Senior WHO) menekankan pentingnya Isu Iklim dan Kesehatan melalui Kepemimpinan Multilateral dan Penyesuaian Kebijakan Regional. Soumya menyampaikan bahwa dampak perubahan iklim terhadap kesehatan sangat luas seperti:
- Gelombang panas ekstrem.
- Ketahanan pangan terganggu.
- Peningkatan penyakit tular vektor.
- Polusi udara.
- Kelangkaan air bersih.
- Disrupsi sistem pelayanan kesehatan.
Data terkini terkait perubahan iklim dan dampaknya terdokumentasi dalam Laporan Lancet Countdown dan di kawasan Asia Pasifik, isu utamanya mencakup: Penyakit tular vektor (VBD), tekanan panas (heat stress) dan polusi udara.
Untuk merespon hal tersebut, beberapa solusi yang didorong seperti:
- Menjadikan udara bersih sebagai aset.
- Mendanai transisi menuju sistem ramah iklim.
- Menetapkan target kualitas udara bersih sejalan dengan standar WHO dan memantau kemajuan bersama.
- Bekerja bersama untuk solusi yang menguntungkan semua pihak.
Untuk itu, diperlukan komitmen di semua level — nasional, regional, dan global — untuk memastikan kesehatan menjadi prioritas dalam kebijakan iklim.
Di kawasan Asia Pasifik prioritas diberikan untuk:
- Investasi dalam riset dan inovasi di bidang iklim dan kesehatan.
- Memperkuat dan melembagakan kepemimpinan regional di isu ini.
- Membangun institusi yang siap menghadapi tantangan masa depan iklim dan kesehatan.
Mr. Martin Edlund (CEO, Malaria No More)
Martin mempresentasikan terkait dengan inovasi untuk penyakit tular vektor. Beliau menyampaikan bahwa ada 4 miliar orang berada dalam risiko meningkatnya penyakit tular vektor dan hal ini diperparah oleh menurunnya dukungan donor dan ancaman pandemi. Perubahan iklim menambah kompleksitas tantangan ini. Solusi yang didorong adalah perlunya terobosan inovatif yang diperluas skalanya, tidak hanya terbatas pada tataran penelitian dan pengembangan saja.
Ada berbagai potensi solusi inovatif yang sudah dikembangkan dalam dan perlu diperluas skalanya untuk diimplementasikan secara luas di lapangan. Salah satu solusi inovatif adalah intervensi berbasis bakteri nyamuk yang diinfeksi wolbachia yang akan memblokir transmisi virus dengue. Setelah beberapa pilot proyek di Yogyakarta, Indonesia saat ini sedang memperluas cakupan intervensi ini dalam skala yang lebih luas ke daerah lainnya.
Sesi ini kemudian dilanjutkan dengan diskusi panel yang menghadirkan narasumber:
- Mr. Syed Hussein Mujtaba (Climate and Health Expert, Pakistan)
- Dr. Lucica Ditiu (Stop TB Partnership)
- Mr. Robert Matiru (DIrector, Programme Division, Unitaid)
- Dr. Ronald Law (Direktur Iklim dan Kesehatan, DOH Filipina)
- Dr. Ricardo Baptista Leite (CEO Health AI)
Mr. Syed Hussein Mujtaba
Menyampaikan bahwa Pakistan sangat rentan terhadap perubahan iklim. Banjir besar pada 2022 menyebabkan 3 juta orang mengungsi dan kerugian lebih dari 30 miliar USD. Hal ini mengakibatkan peningkatan kejadian penyakit dan kematian, serta prevalensi stunting anak mencapai 44%. Mr. Hussein menyampaikan bahwa istilah-istilah seperti climate finance, blended finance, tidak cukup, tapi harus ditindaklanjuti dengan langkah nyata di lapangan.
Lucica Ditiu
Sementara Lucica menyampaikan bahwa sektor kesehatan belum menjadi prioritas. Kita perlu bersama-sama mendukung Kementerian Kesehatan untuk menjadikannya prioritas utama. Beliau menyampaikan bahwa dalam penanggulangan TB, inovasi sangat penting — mulai dari Rapid Molecular Test, Palm Health Test dengan swab, hingga X-ray.
Robert Matiru
Sementara Mr. Robert Matiru menekankan perlunya akses yang setara terhadap pelayanan kesehatan, termasuk dalam konteks perubahan iklim. Dalam merespon perubahan iklim, inovasi lintas sektor diperlukan — yang climate smart, tangguh, dan adaptif terhadap perubahan. Robert menekankan pentingnya memperhatikan beberapa hal yaitu:
- Tidak hanya mengandalkan pembiayaan hibah.
- Perlu diskusi vertikal dan aksi nyata di lapangan.
- Teknologi yang tahan lama dan dekat dengan masyarakat sangat penting.
- Ini adalah proses multisektoral: perlu sinergi antara bank, pemerintah, komunitas, dan sektor lain.
Dr. Ronald Law (DOH, Filipina)
Ronald menyampaikan bahwa Filipina dengan 7.600 pulau sangat rentan terhadap bencana alam seperti topan, letusan gunung berapi, dan gempa bumi. Bulan Juli ditetapkan sebagai bulan ketangguhan bencana nasional. Beberapa tindakan strategis yang dilakukan adalah Filipina adalah: Manajemen darurat kesehatan menjadi prioritas, termasuk dalam Universal Health Care Law, berpartisipasi di COP20 Dubai — untuk pertama kalinya ada Health Day di COP, mengembangkan sistem kesehatan yang tangguh terhadap iklim dan netral karbon, DOH telah memiliki kantor khusus dan roadmap terkait iklim dan kesehatan.
Dr. Ricardo Baptista Leite
Dr. Ricardo menyampaikan mengenai pentingnya mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan melalui sains termasuk dengan kecerdasan buatan (AI). Saat ini hanya 70% target SDGs yang diperkirakan tercapai. Sehingga memerlukan aksi nyata dan inovasi. Kesepakatan tidak berguna tanpa implementasi nyata, terutama di tingkat lokal dan dengan dukungan sektor swasta. Meskipun ada “Paradoks AI dan Iklim” seperti AI berkontribusi terhadap beban iklim, misalnya AI membutuhkan konsumsi energi tinggi, termasuk pusat data (data center) yang menghabiskan jutaan galon air untuk mekanisme pendinginan (1,7 juta galon air per tahun untuk satu pusat data). Namun, AI juga membawa potensi positif:
- Dari R&D hingga manajemen, AI digunakan untuk predictive analytics.
- Dapat membantu mengidentifikasi potensi pandemi.
- Membantu memastikan investasi tepat sasaran dan teknologi digunakan secara bertanggung jawab tanpa meninggalkan siapa pun.
Reporter:
Dr Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)