Reportase INSPIRE Health Forum: Inclusive, Sustainable, Prosperous dan Resilient (INSPIRE) Health Systems in Asia and the Pacific – Day 3

Sesi Paralel

Strategic Reforms on Health Financing: UHC Reforms on the Frontline

Penguatan sistem kesehatan khususnya dalam hal penyediaan jaminan kesehatan semesta merupakan salah satu tujuan dari sistem kesehatan. Tantangan utama dalam cakupan kesehatan semesta adalah ketidakcukupan dana, dan ini berusaha diatasi melalui (1) meningkatkan komitmen  anggaran pemerintah dan mencari berbagai sumber pembiayaan publik untuk kesehatan, (2) meningkatkan pembayaran non publik, dan (3) efisiensi layanan. Sesi paralel kali ini membahas pengalaman dari 4 negara yang sangat berbeda konteks dan sumberdayanya, yaitu Indonesia, Mongolia, Vietnam dan Turki. Sesi ini dikhususkan untuk membahas bagaimana negara-negara ini melakukan upaya reformasi strategis untuk mencapai cakupan kesehatan semesta.

Indonesia

Dalam kesempatan ini, Prof. Ali Ghufron Mukti (Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan/ BPJS-K) membahas upaya untuk mengejar kepersertaan dari sektor informal yang mampu. Inovasi yang dilakukan termasuk pemanfaatan berbagai platform pembayaran yg umum digunakan (sekitar 1 juta channel untuk pembayaran), mekanisme penyisiran berbasis komunitas dengan pemanfaatan kader JKN untuk edukasi mengenai kepersertaan dan kepatuhan pembayaran, pemanfaatan donasi/zakat, program rehab (cicilan), dan telekoleksi serta WA blasting.

Dalam hal strategic purchasing, BPJS-K menerapkan mekanisme Kerjasama (kontrak) dengan faskes public dan swasta, penjaminan mutu faskes (kredensialing) dan layanan (melalui kapitasi berbasis kinerja), pemanfaatan Health Technology Assessment (HTA) dalam penyusunan paket manfaat, dan sebagainya.

Vietnam

Sesi ini disampaikan oleh Dr. Vu Nu Anh, Deputy Director General Dari Health Insurance Department dari Kementerian Kesehatan Vietnam. Pada 2024, Vietnam menerbitkan UU Nomor 51 Tahun 2009 mengenai jaminan kesehatan, sebagai puncak dari upaya yang bermula dari berbagai mekanisme jaminan Kesehatan yang dimulai pada 1992. Saat ini, 12% dari revenue jaminan kesehatan Vietnam diharapkan berasal dari rumahtangga dan ini masih merupakan tantangan untuk pemenuhannya. Upaya yang dilakukan sejauh ini adalah meningkatkan subsidi pemerintah untuk kelompok miskin, penguatan primary care, serta efisiensi melalui pemanfaatan HTA, serta melakukan pilot sinergi antara cakupan jaminan kesehatan sosial dengan asuransi swasta.

Mongolia

Batbayar Ankhbayar, health financing specialist dari Kementerian Kesehatan Mongolia menyampaikan bahwa strategic purchasing menjadi strategi utama Mongolia untuk meningkatkan efisiensi dan mutu layanan di sektor kesehatan. Hal ini dilakukan dengan membuat system jaminan sosial single-pool pada 2021 (Health Insurance General Agency/HIGA sebagai purchaser utama) yang mencakup komponen selective contracting, pembayaran provider dengan prinsip outcome-based dan melakukan volume-based budgeting pada 2024.

 

Turki

Dalam kesempatan ini Ugursel Erol dari Lembaga Asuransi Sosial (Turki) membahas upaya penguatan tata kelola sebagai strategi utamanya. Salah satu contoh adalah (1) memastikan proses pengambilan keputusan yang melihatkan multi-stakeholder, misalnya keputusan mengenai reimbursement; (2) mekanisme alternatif untuk reimbursement yang transparan, dan juga direct supply yang berbasis pasien.

Dalam sesi diskusi yang dimoderatori oleh Piya Hanvoravongchai, para pembicara menambahkan pentingnya (1) sistem anti-fraud yang kuat, (2) reformasi regulasi, (3) mengubah persepsi ‘kesehatan adalah spending’ menjadi ‘kesehatan adalah investasi’ (baik persepsi pemerintah (Kementerian Keuangan) mau pun individu, serta (4) memastikan adanya learning health system untuk merespon tantangan sesuai konteks dan belajar dari pengalaman.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)


Sustainable & Resilient Health Systems & Infrastructure: Thailand, Armenia & India

Sesi ini membahas tantangan umum serta berbagi contoh inovatif dari India, Armenia, dan Thailand dalam mengembangkan sistem dan infrastruktur kesehatan yang tangguh terhadap perubahan iklim. Resiliensi iklim didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem untuk merespons dan mengantisipasi bencana terkait iklim, dengan tetap menjaga keberlangsungan layanan. Ditekankan pula pentingnya mengaitkan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan dengan respons yang menggunakan pendekatan health system building blocks, termasuk aspek Sumber Daya Manusia (SDM), Water, Sanitation and Hygiene (WASH), energi berkelanjutan, serta infrastruktur yang mendukung ketahanan terhadap iklim. Infrastruktur, teknologi, dan intervensi produk dibagi dalam tiga kategori utama:

  1. Adaptasi sistem dan infrastruktur, termasuk pengembangan kebijakan dan regulasi.
  2. Promosi teknologi baru yang mendukung ketangguhan terhadap iklim serta kelestarian lingkungan.
  3. Keberlanjutan operasional fasilitas pelayanan kesehatan.

WHO juga telah menerbitkan Compendium of Health and Environment Interventions, yang menjadi repository global berisi sekitar 500 aksi/intervensi yang mendukung lingkungan yang lebih sehat dan sistem kesehatan yang lebih tangguh.

Mr. Angad Karandhe, Advisor, Government of Maharashtra, India
Mr. Karandhe memaparkan upaya penguatan pelayanan kesehatan tersier dan pendidikan kedokteran di Maharashtra dalam menghadapi perubahan iklim. Dengan dukungan dari ADB, Maharashtra melakukan reformasi kebijakan yang semula hanya berfokus pada aspek infrastruktur, kini mencakup komponen lunak (soft components), seperti, pertama, pembentukan center of excellence untuk pendidikan kesehatan. Kedua, pengembangan kurikulum yang memasukkan isu perubahan iklim dan resiliensi iklim bagi mahasiswa dan tenaga pengajar di institusi pendidikan kedokteran. Ketiga pengenalan digital medical education sebagai pendekatan inovatif yang sekaligus memperkenalkan solusi digital dalam bidang kesehatan yang relevan untuk mengatasi tantangan iklim. Keempat, pembangunan infrastruktur kesehatan yang tangguh terhadap iklim, termasuk inisiatif green campus dan efisiensi energi.

Maria Hovakimyan, Deputy Director of the Health Project Implementation Unit, Ministry of Health, Armenia 
Dengan latar belakang sebagai ahli kebijakan kesehatan, Hovakimyan menjelaskan proses yang dijalani Armenia dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh terhadap iklim. Kemudian, dukungan ADB mendorong Armenia mengambil sejumlah langkah diantaranya, pertama, melakukan pemetaan risiko kesehatan terkait perubahan iklim, seperti morbiditas dan mortalitas akibat gelombang panas (heat waves). Kedua, membangun infrastruktur dengan desain yang mendukung ketahanan iklim, seperti insulasi dinding yang memadai, sistem pencahayaan hemat energi, dan sistem daur ulang air. Ketiga, mengadopsi best practices yang sudah terbukti efektif untuk penguatan layanan primer (primary healthcare) yang tangguh terhadap iklim. Keepat, mengembangkan kurikulum pelayanan kesehatan primer yang menyertakan topik perubahan iklim. Kelima, membangun sistem peringatan dini (Early Warning System/EWS) untuk mengenali potensi masalah kesehatan, serta menyampaikan informasi secara proaktif kepada masyarakat agar mereka dapat lebih siap menghadapi dampaknya.

Dr. Wiwat Chatwangwan, Wakil Direktur Rumah Sakit Maharat Nakhon Ratchasima, Thailand
Dr. Wiwat menyampaikan bahwa Thailand memiliki national policy framework yang memasukkan aspek ketangguhan (resilience) sebagai bagian integral dari sistem kesehatan. Salah satu inisiatif utamanya adalah pengembangan green hospital dengan tujuan: menjadi rumah sakit netral karbon dan menetapkan tolok ukur keberlanjutan (sustainability benchmark).

Beberapa langkah yang telah diambil termasuk pertama, inisiasi carbon footprint analysis untuk mengukur dan menurunkan emisi. Kedua, mendukung program “30 Baht Treatment Anywhere” yang memungkinkan akses layanan kesehatan di seluruh Thailand. Program ini didukung oleh aplikasi digital berbasis AI, yang mengurangi kebutuhan perjalanan pasien dan secara tidak langsung menurunkan emisi karbon. Ketiga, pemanfaatan teknologi seperti telemedicine, health wallet digital platform, serta health station (Care Kiosk) yang memperluas akses layanan kesehatan berbasis digital dan memperkuat sistem kesehatan yang adaptif terhadap perubahan iklim.

Reporter:
dr. Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)


 

Tapping the Demographic Dividend: Strengthening Early Childhood Development

Sesi ini menggarisbawahi bahwa investasi pada perkembangan anak usia dini (PAUD) merupakan strategi kunci untuk membentuk generasi sehat, produktif, dan tangguh sejak awal kehidupan. Dengan kerangka nurturing care yang mencakup kesehatan, gizi, stimulasi dini, dan perlindungan anak, pembicara dari berbagai lembaga menekankan perlunya pendekatan multisektor yang terintegrasi untuk menjangkau semua anak seawal mungkin.

dari kiri Gi Soon Song, Dr. Dinesh Arora, Scott Morris, Uma Mahadevan, Sumitra Mishra, Roopa Srinivasan, Anil Swarup


Gi Soon Song
, Director of Human and Social Development, ADB membuka dengan data bahwa hanya 1 dari 5 anak di negara berpenghasilan rendah memiliki akses ke pendidikan prasekolah. Oleh karena itu, ADB kini mendorong transformasi dari pendekatan berbasis program menuju sistem terintegrasi yang menyatukan pelayanan gizi, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan anak.

Paparan dilanjutkan oleh Dr. Dinesh Arora, Principal Health Specialist, ADB, yang menekankan konsep serve and return dalam stimulasi otak anak, dan menyebut bahwa investasi pada masa awal kehidupan memberi pengembalian tertinggi di masa depan.

Wakil Presiden ADB, Scott Morris, mengingatkan bahwa anak usia kurang dari 5 tahun sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, sistem PAUD perlu dirancang agar adaptif dan tahan terhadap krisis iklim.

Uma Mahadevan, perwakilan pemerintah daerah Karnataka, India, membagikan praktik baik dari Karnataka dalam menyediakan layanan penitipan anak bagi pekerja perempuan informal. Ia menekankan bahwa kurangnya layanan terstruktur menghambat partisipasi perempuan dalam pekerjaan berbayar.

Salah satu contoh baik peran sektor swasta di India, disampaikan oleh Sumitra Mishra, CEO Mobile Creche, dalam menyediakan layanan pengasuhan melalui kebijakan dan regulasi ketenagakerjaan. Implementasi inovasi yang dikembangkan mengadopsi model Care Diamond dan Nurturing Care Framework WHO.

Roopa Srinivasan menyampaikan bahwa keadilan sosial tak akan tercapai jika intervensi PAUD tidak ditingkatkan cakupannya, terutama bagi anak berkebutuhan khusus. Program Perkembangan Anak Usia Dini (ECD) dari Ummeed memberikan pelatihan dan pendampingan tentang cara mendukung tumbuh kembang anak usia 0–3 tahun melalui pendekatan berbasis bermain yang melibatkan pengasuh, menggunakan alat seperti Guide for Monitoring Child Development (GMCD), dengan metode lokakarya dan bimbingan berkelanjutan.

Anil Swarup menekankan peran ADB dan institusi lain yang mengembangkan program terkait anak usia dini, dalam memahami konteks lokal sebelum mereplikasi model di negara lain, dan memastikan keberlanjutan serta adaptasi kebijakan.

Foto dari kiri (2) Indu Bhushan; (3) Sofia Shakil; (4) Soumya; dan (5) Ana Maria Rodriguez


Indu Bhushan
, board member Pehel Foundation, yang banyak bergerak dalam advokasi risiko paparan timbal (lead) pada anak yang berdampak jangka panjang, mulai dari gangguan kognitif hingga peningkatan risiko kriminalitas, sebagaimana dibuktikan melalui studi di AS. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah meningkatkan awareness, edukasi remaja atau orang tua mengenai paparan timbal sebelum maupun saat hamil, adopsi dalam kurikulum sekolah, dan melibatkan lintas pemangku kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan yang berkaitan dengan perubahan iklim, termasuk paparan timbal dari lingkungan.

Sofia Shakil menekankan pentingnya membangun kemitraan strategis untuk memperluas cakupan intervensi yang terbukti berhasil, serta menyoroti dampak perubahan iklim dan migrasi terhadap akses layanan anak.

Soumya menyoroti perlunya integrasi intervensi sejak masa kehamilan dan penguatan kapasitas tenaga lapangan, disertai umpan balik data yang berguna dan tidak tersilo.

Ana Maria Rodriguez dari UNICEF menyampaikan beberapa saran teknis yang perlu dilaksanakan untuk memastikan keberhasilan program pendukung perkembangan anak usia dini, diantaranya perlunya kemauan politik, kebijakan lintas sektor, dan dukungan terhadap pengasuhan serta inovasi-inovasi dalam program PAUD.

Kirsten Hurley, Associate Professor dari Bloomberg School of Public Health, melengkapi perspektif pentingnya lingkungan yang mendukung perkembangan anak sejak dini melalui perspektif akademis dan peneliti. Beliau memaparkan hasil penelitiannya di India dengan penekanan bahwa intervensi harus dimulai sejak dini, fokus pada pengurangan risiko, dan memperkuat faktor protektif seperti gizi. Namun, tantangan selanjutnya adalah menerjemahkan hasil penelitian menjadi aksi di lapangan agar mencapai hasil yang diharapkan.

Sesi ini mempertegas bahwa penguatan PAUD adalah investasi strategis untuk memanfaatkan bonus demografi secara maksimal. Dibutuhkan kolaborasi multisektor, kebijakan terpadu, serta kemauan politik untuk menciptakan sistem pengasuhan yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.

Reporter:
dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)


Plenary: How Pandemic Response Drives UHC

Peter Sands, direktur dari the Global Fund membuka sesi plenary. Pesan kunci Peter bahwa kesiapan menghadapi pandemi merupakan salah satu contoh bagaimana investasi untuk kesehatan merupakan investasi terpenting yang bisa dilakukan oleh pemerintah, dan investasi yang didukung penuh oleh stakeholder. Hal ini mencakup tanggung jawab dan peran yang dapat diambil oleh institusi internasional mau pun negara-negara dengan sumber daya yang lebih. Jepang, contohnya, berkomitmen untuk membantu negara-negara di Asia dan Afrika untuk penyediaan perbekalan Kesehatan, seperti disampaikan oleh dr Yosuke Kita dari Kementerian Luar Negeri Jepang.

Sesi plenary menghadirkan pembicara dari Kementerian Kesehatan negara-negara di Pasifik, beberapa mitra pembangunan khususnya yg mendukung perbekalan kesehatan.

Fiji, salah satu negara kepulauan kecil di Pasifik, menghadapi tantangan dalam penyediaan oksigen selama pandemi COVID-19. Menteri Kesehatan Fiji menyatakan bahwa dukungan dari negara lain dan lembaga multi-negara membantu sistem kesehatan Fiji belajar untuk membangun resiliensi, khususnya bagi kantong-kantong populasi yang memiliki keterbatasan akses. Inovasi dan penerapan teknologi yang kontekstual (misalnya pemanfaatan panel surya) telah membantu Fiji untuk memastikan layanan kesehatan yang berkelanjutan. Serupa dengan pengalaman tersebut, Cook Island, negara kepulauan lain di Pasifik juga menyampaikan pengalamannya. Menteri Kesehatan Cook Island menyampaikan bahwa pandemi telah mengajarkan bahwa sistem kesehatan sangat rentan, tetapi juga membuka kesempatan untuk menyadari pentingnya perencanaan dan perawatan infrastruktur kesehatan, sistem transportasi dan logistik, serta penguatan SDM. Berikutnya wakil Menteri Kesehatan Armenia menyampaikan bahwa pandemi juga mengajarkan prioritisasi bagi pelayanan primer yang kuat dan pengembangan kemandirian obat dan perbekalan. Tahun ini, misalnya, Armenia menganggarkan peningkatan 40% untuk investasi research and development (R&D).

Dr Saima Wazed (Direktur Regional WHO SEARO) menggarisbawahi bahwa memiliki faskes saja tidak cukup. Sistem dan sumber daya harus dibangun. Selain itu, kolaborasi harus dibangun dengan mitra-mitra non pemerintah. Menyadari kerentanan saja tidak cukup, tetapi harus ada aksi mitigasi dan kemauan untuk menyingkirkan hambatan sistem.

Robert Matiru (Direktur Divisi Program, Unitaid) juga menyoroti dua hal (1) harus tersedia kolaborasi multi-finance yang menghasilkan proposal pembiayaan yang rasional dan koheren berbasis kebutuhan, (2) kemampuan untuk negosiasi dan berkolaborasi dengan sektor swasta. Unitaid memfasilitasi berdirinya Global Oxygen Alliance untuk memastikan keberlanjutan dari kolaborasi masa pandemi untuk ketersediaan oksigen, dengan cara (1) Crowd-Financing, (2) memastikan Capital Expenditure (capex) untuk market assurance dan hal-hal lain yang sering diabaikan, dan (3) membangun accountability matrix untuk investasi yang dihimpun.

Priya Basu, direktur Pandemic Fund dari Bank Dunia menyatakan dua prinsip utama untuk memperkuat kesiapan menghadapi pandemi: (1) itu harus menjadi inti dari membangun sistem kesehatan yang inklusif dan resilien: mampu menyediakan layanan di masa krisis mau pun tidak; (2) dukungan eksternal hanya bersifat komplemen terhadap komitmen dan sumberdaya domestic yang disediakan pemerintah.

Amanda McClelland (dari “Prevent Epidemics, Resolve in Save Live”, sebuah organisasi yang bermitra dengan pemerintah untuk membangun health security systems) juga menambahkan bahwa kesiapan pandemi tidak mungkin tercapai tanpa kemitraan dengan komunitas.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)


 

Sesi Paralel

Behind the Deal: What Makes Healthcare PPPs Work (or Fail)?

Pada 1990-an, mayoritas RS di Inggris dibangun melalui skema Public Finance Initiative (PFI), dan banyak negara setelahnya mengadopsi model PFI ini, dimana sektor swasta membiayai, membangun dan merawat bangunan, fasilitas, teknologi dan infrastrukturnya; sementara layanan klinis disediakan oleh pihak pemerintah. Menariknya, di Asia Pasifik keberhasilan PPP sangat rendah (1%) sementara di regional lain lebih tinggi (misal: Amerika 20%, dan di Eropa rata-rata 18%).

Sesi ini berupa diskusi antara beberapa praktisi public private partnership (PPP) dan tantangannya. Pembicara termasuk Menteri Kesehatan Filipina, Wakil Menteri Uzbekistan, serta sektor swasta.

Persepsi umum pertama adalah bahwa PPP merupakan privatisasi dan bertentangan dengan prinsip penyediaan public goods oleh pemerintah, apalagi sektor swasta dianggap hanya beroerientasi pada profit sehingga akan membuat layanan kesehatan disediakan melalui kerangka PPP menjadi mahal.

Menteri Kesehatan Filipina menceritakan bahwa di Filipina, banyak infrastruktur (air, jalan, dan sebagainya) telah dibangun dengan kerangka PPP (difasilitasi oleh regulasi tentang BOT) dan berjalan baik, namun ketika dilakukan untuk sektor kesehatan, PPP dilabeli “privatisasi” dan muncul banyak tantangan. Proses PPP sejak inisiasi sampai terlaksana membutuhkan proses, waktu yang sangat Panjang, dinamika dukungan dan tantangan politik sangat turbulent, ditambah dengan ketika terjadi disrupsi perubahan dipemerintah.  Lesson learned dari pengalaman Filipina menunjukkan bahwa selama proyek PPP masih dalam skala yang kecil (misalnya hanya unit pelayanan tertentu di RS e.g. robotic)  atau terbatas (misalnya hanya faskes tingkat kota atau regional e.g. Makati Life Medical Center milik kota Makati), proses ini hanya membutuhkan persetujuan Kementerian Kesehatan di Filipina sehingga dapat diproses oleh unit PPP di Kementerian Kesehatan dan biasanya berakhir sukses. Menkes Filipina mengakui bahwa kekurangannya adalah proses PPP ini biasanya berlangsung tanpa adanya social marketing yang mengedukasi pemahaman lebih luas kepada masyarakat mengenai PPPs.

Persepsi umum lain adalah bahwa PPP dianggap ‘taktik’ pemerintah untuk by pass kebutuhan pendanaan besar. PPP dianggap mahal atau berbiaya tinggi.  Oleh karena itu, bagi pemerintah, perlu penegasan tujuan dari pemerintah dalam keterlibatan swasta tersebut. Motivasi apa yang mendorong, masalah apa yang sebenarnya ingin dipecahkan melalui PPPs. Refleksi transparan mengenai hal ini akan membantu membentuk strategi dan model PPP yang tepat dan trustworthy. Sebagai contoh, PFI muncul di Inggris karena secara historis terlihat bahwa pembangunan infrastruktur di Inggis selama ini tidak efisien dan sering tidak tepat waktu. Sementara di Portugal, PPPs muncul karena tidak adanya tenaga kesehatan yang memadai di sektor publik untuk menyediakan layanan, sehingga PPP di Portugal mencakup kontrak untuk pembangunan infrastruktur dan dikombinasikan dengan kontrak untuk penyediaan layanan.

Dari perspektif pendanaan/investor/swasta, capital expenditure (capex per capex), memang investasi PPP berbiaya tinggi, namun bila dilihat dari lifecycle-nya maka sesungguhnya invetasi PPP cukup memberi value for money. Selain itu, disampaikan bahwa motivasi swasta tidak semata-mata tentang profit. Di Pakistan, misalnya, jejaring RS swasta yang bermitra dengan pemerintah melakukannya dalam kerangka layanan dan filantropi, nirlaba, dan berorientasi pada dampaknya bagi masyarakat. Kontrak dengan pemerintah diatur melalui serangkaian indikator(KPI) yang dipantau oleh pihak ketiga. KPI yang dipilih juga mencerminkan bagaimana prinsip kualitas layanan sangat dijunjung tinggi sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari masyarakat dan juga dari pemerintah.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*