Sesi Plenary
How can pandemic preparedness and response make health systems more resilient?
Sesi plenary kali ini membahas beberapa pembelajaran dari era pandemi mengenai beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk memastikan ketahanan sistem kesehatan. Perspektif yang disoroti adalah pengalaman kemampuan negara untuk mengidentifikasi apa kelemahan utama dalam sistem kesehatan mereka yang kemudian direformasi. Sesi ini dimoderatori oleh Dr Nima Asgari (APO Health Systems and Policies).
Prof Dr Md Sayedur Rahman, Staf Khusus Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga, Bangladesh, mengingatkan bahwa sistem kesehatan harus dibangun bukan sekedar sebagai “respon” terhadap disrupsi, tetapi harus dibangun berakar dalam realita sosial and Masyarakat, menyasar berbagai determinan Kesehatan, karena hanya dengan cara itu system dapat resilient dan memiliki keberlanjutan.
Dr Gina Samaan, Direktur Regional Emergency, WHO WPRO menggarisbawahi apa yang bisa dilakukan sebagai suatu kawasan untuk menjaga health security. International health regulation (IHR) dan pandemic agreement adalah sebuah multilateral treaty yang menunjukkan bahwa pentingnya upaya multilateral untuk melengkapi kesiapan sistem kesehatan nasional menghadapi krisis Kesehatan. Sebagai contoh, upaya kawasan harus memperkuat sistem surveillance, forecasting dan modelling, R&D network, manufacture dan procurement, dan supply chain network.
Dr Battur Lkhagvaa, National Center for Public Health, Mongolia, merefleksi pengalaman pandemi yang menyingkapkan bahwa tata kelola sistem kesehatan untuk mendeteksi dan merespon krisis kesehatan seringkali terfragmentasi namun overlapped satu sama lain. Oleh karena itu, salah satu prioritas reformasi sistem kesehatan yang muncul dari pengalaman pandemi seharusnya adalah integrasi berbagai fungsi, institusi serta tata kelola yang membentuk ketahanan sistem kesehatan dalam konteks krisis kesehatan.
Berry Ropa, Health Security Program, PNG, menyampaikan bahwa kunci ketahanan sistem kesehatan adalah perencanaan yang bersifat proaktif, menggunakan pendekatan yang menyeluruh. Oleh karena itu, prioritas di PNG adalah pemanfaatan pendekatan OneHealth dalam pelatihan kepada SDM di berbagai sektor termasuk kader-kadernya, serta mendorong kolaborasi sipil-militer (konteks: kelompok militer biasanya adalah kelompok yang paling awal ditempatkan dalam situasi-situasi darurat dan krisis).
Prof Ren Minghui, Direktur Institute for Global Health, Peking University, mengingatkan tantangan yang harus segera diatasi untuk memperkuat kemampuan layanan primer sebagai garda terdepan ketahanan sistem kesehatan:
- Defisiensi struktur gatekeeping, yang biasanya diperparah oleh (1) kelangkaan nakes khususnya dokter, (2) ketidaksiapan infrastruktur
- Lemahnya integrasi di dalam sistem kesehatan versus fungsi kesmas yang biasanya diperburuk oleh (1) rendahnya remunerasi dan insentif untuk tenaga Kesehatan (nakes) dalam pelaksanaan fungsi kesmas dan (2) knowledge gap dalam menjalankan fungsi-fungsi kesehatan masyarakat (kesmas)
- Kurang upaya keterlibatan dan pemberdayaan otoritas lokal dan tidak adanya mekanisme berbagi informasi
Dr Seung Sun Kim, Direktur Korea Disease Control Agency, menunjukkan bahwa digitalisasi merupakah kunci untuk mendeteksi dan merespon krisis secara real-time. Korea memanfaatkan big data yang dikumpulkan bukan hanya dari data faskes tetapi juga dari data jaminan sosial/asuransi, data sektor lain (non kesehatan), bahkan CCTV, dan menyusun OneHealth big data. Hal ini membuat mereka mampu membuat predictive analysis, AI untuk beberapa penyakit menular prioritas, misalnya AI untuk TB dan vector-borne diseases. Pesan kuncinya adalah memanfaatkan digitalisasi dan data lintas sektor.
Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)