Arsip:

SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera

Reportase Peningkatan Kapasitas SDM Kesehatan dalam Simulasi Nasional Kesiapsiagaan menghadapi Megathrust di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2025

Menindaklanjuti undangan Kemenkes no. KK.02.02/A.X/3386/2025  terkait Undangan Narasumber / Fasilitator Peningkatan Kapasitas SDM Kesehatan dalam Simulasi Nasional Kesiapsiagaan menghadapi Megathrust di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2025 tertanggal 22 Agustus 2025 kepada PKMK FK-KMK UGM. PKMK menugaskan apt.Gde Yulian Yogadhita, M.Epid sebagai narasumber untuk kegiatan tersebut, dimana tujuan dari simulasi nasional ini untuk  koordinasi lintas sektor, kesiapan fasilitas kesehatan serta respons cepat dalam penanganan korban bencana. read more

Reportase Hospital Management Asia 2025

Hari 1: 10 September 2025 Hari 2: 11 September 2025 Hari 1: 10 September 2025

Sesi Pembukaan Hospital Management Asia 2025

Ho Chi Minh City Vietnam

PKMK-Vietnam. Pertemuan tahunan HMA pada tahun 2025 diselenggarakan di Ho CHi Minh City Vietnam, 10 – 11 September 2025. Dihadiri 1200 peserta dengan 65% peserta adalah CEO RS di Asia. Saya diundang sebagai salah satu juri dalam Hospital Management Asia (HMA). Seperti diketahui HMA menyelenggarakan Award di berbagai kategori. Posisi sebagai juri ini sudah sekitar 10 tahun saya lakukan bersama HMA. Pengamatan saya memang partisipasi RS-RS Indonesia dalam Award masih kurang, walaupun saat ini sudah semakin membaik. read more

Reportase “The Guci Prescription: Healing Mind and Body Through Weekdays Medical Wellness”

Rabu, 3 September 2025

Kawasan Guci, Kabupaten Tegal sedang dikembangkan sebagai destinasi medical wellness, dengan potensi sumber air panas alami yang unggul dan kondisi alam yang masih asri dengan fasilitas resort dan hotel, restoran, serta akses transportasi yang semakin mendukung sehingga dapat menarik wisatawan.  Menggunakan konsep medical wellness yang menggabungkan ilmu kedokteran, nutrisi, olahraga, serta terapi holistik, berbagai produk telah dikembangkan dan harapannya kegiatan medical wellness juga dapat mengisi aktivitas sektor pariwisata di weekdays dan perekonomian rakyat ikut meningkat.  Menuju peluncuran Guci Medical Wellness Tourism, RS dr. Soeselo Slawi bekerja sama dengan PKMK FK KMK UGM menyelenggarakan Webinar “The Guci Prescription: Healing Mind and Body Through Weekdays Medical Wellness”.

Video

Webinar ini dibuka oleh dr. Joko Wantoro, M.M.R, Wakil Direktur Pelayanan Medik, RS dr. Soeselo, Slawi yang menyambut baik pengembangan produk-produk medical wellness dan upaya mempromosikan salah satu sumber daya alam di Kabupaten Tegal khususnya Guci dengan air panasnya.

Video

Selanjutnya, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. memberikan pengantar bahwa program pengembangan geothermal untuk wisata kesehatan ini tidak hanya menyehatkan fisik dan mental, namun juga akan dapat membantu menggerakkan perekonomian daerah dengan suatu pendekatan yang menggunakan konsep wisata kesehatan bertema weekdays wellness.  Untuk para pengguna seperti pensiunan, hal tersebut bukan masalah, namun bagi orang yang masih aktif bekerja dapat mengambil waktu cuti untuk healing menikmati wellness di Guci.

 Materi Video

Paparan mengenai Kekuatan Forest Bathing bagi Kesehatan Mental disampaikan oleh Futihat Nikmatul Millah, M.Psi., Psikolog  yang menjelaskan manfaat forest bathing.  Sebagai manusia, perlu sesekali untuk ke alam menetralisir ion negatif yang kita dapatkan setiap hari dengan ion positif yang kita dapatkan dari alam.  Forest bathing merupakan salah satu pendekatan terapi holistik dengan kesadaran penuh menggunakan kekuatan alam hutan untuk menjaga kesehatan mental dan fisik. Dalam forest bathing, kita akan berlatih terkait dengan kesadaran penuh atau mindfullness yang berarti seseorang secara sengaja memusatkan perhatian pada pengalaman yang terjadi saat ini, baik  terkait sensasi tubuh yang dirasakan, perasaan yang muncul pada pikiran atau lingkungan sekitar, tanpa terjebak dalam reaksi emosional atau penilaian baik atau buruk.

 Materi Video

Berikutnya dr. Indah Hastuti, M.Pharm.Sci memaparkan Akupunktur Medik dalam Paket Wisata Kesehatan yang mana manfaat akupuntur untuk meningkatkan sirkulasi peredaran darah, memperbaiki metabolisme sel tubuh sehingga mempercepat penyembuhan dan regenerasi sel, meningkatkan relaksasi mengurangi stres dan ketegangan, mengatasi gangguan tidur atau insomnia, maupun mengurangi kelelahan mata.  Pelayanan akupuntur dalam paket wisata kesehatan berupa akupuntur medis yang dilakukan bersama dengan kegiatan hidroterapi atau forest bathing.   Tujuannya jika akupuntur dilakukan di alam terbuka diharapkan dapat mengurangi ketegangan.  Dalam paket wisata kesehatan ini, akupuntur dilakukan sebelum atau sesudah pelaksanaan forest bathing dan untuk yang berkaitan dengan hidroterapi akupuntur dilakukan setelah kegiatan tersebut.

 Materi Video

Mempersiapkan Hydro Wellness Experience di Guci: Aquafitness untuk Vitalitas & Kesehatan disampaikan oleh Eko Prihati, S. Fis, Ftr, M.K.M.  Aqua fitness yang dibahas disini adalah terapi dengan menggunakan media air hangat yaitu aquarobic yang tipenya low impact dan menggunakan teknik ai chi.  Memadukan antara olahraga aerobik di dalam air yang dilakukan secara ringan dan bersinambungan.  Berbagai manfaat aquarobic seperti meningkatkan kekuatan otot dan fleksibilitas, keseimbangan dan koordinasi tubuh, mengurangi tekanan pada sendi, melatih fungsi jantung dan para secara aman, serta membantu proses pemulihan cedera atau pascaoperasi, mengurangi stres dan meningkatkan ketenangan mental.  Aquarobic ini sesuai untuk orang dengan gangguan tidur, kelelahan mental, nyeri dan spasme otot, gangguan neurologi ringan hingga sedang, kondisi postur tubuh buruk, lansia yang membutuhkan latihan berdampak rendah, dan lainnya.   Prosedur sebelum, saat pelaksanaan, maupun pasca aquarobic juga dijelaskan untuk mendapatkan gambaran kegiatan tersebut.

 Materi Video

Bagaimana ketiga layanan tersebut dikemas menjadi paket Guci Medical Wellness yang akan menghidupkan pariwisata di weekdays dipaparkan oleh dr. Krissanti Ekosari S, PIC Soeselo Medical Wellness Tourism.  Tahapan pembuatan program medical wellness tourism dimulai dari menyusun rencana bisnis medical wellness, membentuk tim medical wellness dan SDM pelaksana pelayanan, menyusun produk medical wellness dan paketnya, mencari partner kerjasama dan menyusun produk yang terintegrasi bersama, survei lapangan, menyusun alur pelayanan, menyiapkan sarana promosi dan sistem pemesanan produk (web, sosmed), uji coba produk, evaluasi dan perbaikan, peluncuran dan pemasaran produk.  Menjadi kunci disini adalah travel agent sebagai peramu paket-paket medical wellness dan ikut memasarkannya.

Mengembangkan produk medical wellness membutuhkan semangat kewirausahaan yang berani mengambil resiko untuk selalu berinovasi untuk membuka peluang baru sehingga menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan dan menggerakkan perekonomian daerah.   (Elisabeth Listyani)

Reportase INSPIRE Health Forum: Inclusive, Sustainable, Prosperous dan Resilient (INSPIRE) Health Systems in Asia and the Pacific – Day 4

Sesi Plenary

How can pandemic preparedness and response make health systems more resilient?

Sesi plenary kali ini membahas beberapa pembelajaran dari era pandemi mengenai beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk memastikan ketahanan sistem kesehatan. Perspektif yang disoroti adalah pengalaman kemampuan negara untuk mengidentifikasi apa kelemahan utama dalam sistem kesehatan mereka yang kemudian direformasi. Sesi ini dimoderatori oleh Dr Nima Asgari (APO Health Systems and Policies).

Prof Dr Md Sayedur Rahman, Staf Khusus Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga, Bangladesh, mengingatkan bahwa sistem kesehatan harus dibangun bukan sekedar sebagai “respon” terhadap  disrupsi, tetapi harus dibangun berakar dalam realita sosial and Masyarakat, menyasar berbagai determinan Kesehatan, karena hanya dengan cara itu system dapat resilient dan memiliki keberlanjutan.

Dr Gina Samaan, Direktur Regional Emergency, WHO WPRO menggarisbawahi apa yang bisa dilakukan sebagai suatu kawasan untuk menjaga health security. International health regulation (IHR) dan pandemic agreement adalah sebuah multilateral treaty yang menunjukkan bahwa pentingnya upaya multilateral untuk melengkapi kesiapan sistem kesehatan nasional menghadapi krisis Kesehatan. Sebagai contoh, upaya kawasan harus memperkuat sistem surveillance, forecasting dan modelling, R&D network, manufacture dan procurement, dan supply chain network.

Dr Battur Lkhagvaa, National Center for Public Health, Mongolia, merefleksi pengalaman pandemi yang menyingkapkan bahwa tata kelola sistem kesehatan untuk mendeteksi dan merespon krisis kesehatan seringkali terfragmentasi namun overlapped satu sama lain. Oleh karena itu, salah satu prioritas reformasi sistem kesehatan yang muncul dari pengalaman pandemi seharusnya adalah integrasi berbagai fungsi, institusi serta tata kelola yang membentuk ketahanan sistem kesehatan dalam konteks krisis kesehatan.

Berry Ropa, Health Security Program, PNG, menyampaikan bahwa kunci ketahanan sistem kesehatan adalah perencanaan yang bersifat proaktif, menggunakan pendekatan yang menyeluruh. Oleh karena itu, prioritas di PNG adalah pemanfaatan pendekatan OneHealth dalam pelatihan kepada SDM di berbagai sektor termasuk kader-kadernya, serta mendorong kolaborasi sipil-militer (konteks: kelompok militer biasanya adalah kelompok yang paling awal ditempatkan dalam situasi-situasi darurat dan krisis).

Prof Ren Minghui, Direktur Institute for Global Health, Peking University, mengingatkan tantangan yang harus segera diatasi untuk memperkuat kemampuan layanan primer sebagai garda terdepan ketahanan sistem kesehatan:

  • Defisiensi struktur gatekeeping, yang biasanya diperparah oleh (1) kelangkaan nakes khususnya dokter, (2) ketidaksiapan infrastruktur
  • Lemahnya integrasi di dalam sistem kesehatan versus fungsi kesmas yang biasanya diperburuk oleh (1) rendahnya remunerasi dan insentif untuk tenaga Kesehatan (nakes) dalam pelaksanaan fungsi kesmas dan (2) knowledge gap dalam menjalankan fungsi-fungsi kesehatan masyarakat (kesmas)
  • Kurang upaya keterlibatan dan pemberdayaan otoritas lokal dan tidak adanya mekanisme berbagi informasi
  • read more

    Reportase INSPIRE Health Forum: Inclusive, Sustainable, Prosperous dan Resilient (INSPIRE) Health Systems in Asia and the Pacific – Day 3

    Sesi Paralel

    Strategic Reforms on Health Financing: UHC Reforms on the Frontline

    Penguatan sistem kesehatan khususnya dalam hal penyediaan jaminan kesehatan semesta merupakan salah satu tujuan dari sistem kesehatan. Tantangan utama dalam cakupan kesehatan semesta adalah ketidakcukupan dana, dan ini berusaha diatasi melalui (1) meningkatkan komitmen  anggaran pemerintah dan mencari berbagai sumber pembiayaan publik untuk kesehatan, (2) meningkatkan pembayaran non publik, dan (3) efisiensi layanan. Sesi paralel kali ini membahas pengalaman dari 4 negara yang sangat berbeda konteks dan sumberdayanya, yaitu Indonesia, Mongolia, Vietnam dan Turki. Sesi ini dikhususkan untuk membahas bagaimana negara-negara ini melakukan upaya reformasi strategis untuk mencapai cakupan kesehatan semesta.

    Indonesia

    Dalam kesempatan ini, Prof. Ali Ghufron Mukti (Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan/ BPJS-K) membahas upaya untuk mengejar kepersertaan dari sektor informal yang mampu. Inovasi yang dilakukan termasuk pemanfaatan berbagai platform pembayaran yg umum digunakan (sekitar 1 juta channel untuk pembayaran), mekanisme penyisiran berbasis komunitas dengan pemanfaatan kader JKN untuk edukasi mengenai kepersertaan dan kepatuhan pembayaran, pemanfaatan donasi/zakat, program rehab (cicilan), dan telekoleksi serta WA blasting.

    Dalam hal strategic purchasing, BPJS-K menerapkan mekanisme Kerjasama (kontrak) dengan faskes public dan swasta, penjaminan mutu faskes (kredensialing) dan layanan (melalui kapitasi berbasis kinerja), pemanfaatan Health Technology Assessment (HTA) dalam penyusunan paket manfaat, dan sebagainya.

    Vietnam

    Sesi ini disampaikan oleh Dr. Vu Nu Anh, Deputy Director General Dari Health Insurance Department dari Kementerian Kesehatan Vietnam. Pada 2024, Vietnam menerbitkan UU Nomor 51 Tahun 2009 mengenai jaminan kesehatan, sebagai puncak dari upaya yang bermula dari berbagai mekanisme jaminan Kesehatan yang dimulai pada 1992. Saat ini, 12% dari revenue jaminan kesehatan Vietnam diharapkan berasal dari rumahtangga dan ini masih merupakan tantangan untuk pemenuhannya. Upaya yang dilakukan sejauh ini adalah meningkatkan subsidi pemerintah untuk kelompok miskin, penguatan primary care, serta efisiensi melalui pemanfaatan HTA, serta melakukan pilot sinergi antara cakupan jaminan kesehatan sosial dengan asuransi swasta.

    Mongolia

    Batbayar Ankhbayar, health financing specialist dari Kementerian Kesehatan Mongolia menyampaikan bahwa strategic purchasing menjadi strategi utama Mongolia untuk meningkatkan efisiensi dan mutu layanan di sektor kesehatan. Hal ini dilakukan dengan membuat system jaminan sosial single-pool pada 2021 (Health Insurance General Agency/HIGA sebagai purchaser utama) yang mencakup komponen selective contracting, pembayaran provider dengan prinsip outcome-based dan melakukan volume-based budgeting pada 2024.

     

    Turki

    Dalam kesempatan ini Ugursel Erol dari Lembaga Asuransi Sosial (Turki) membahas upaya penguatan tata kelola sebagai strategi utamanya. Salah satu contoh adalah (1) memastikan proses pengambilan keputusan yang melihatkan multi-stakeholder, misalnya keputusan mengenai reimbursement; (2) mekanisme alternatif untuk reimbursement yang transparan, dan juga direct supply yang berbasis pasien.

    Dalam sesi diskusi yang dimoderatori oleh Piya Hanvoravongchai, para pembicara menambahkan pentingnya (1) sistem anti-fraud yang kuat, (2) reformasi regulasi, (3) mengubah persepsi ‘kesehatan adalah spending’ menjadi ‘kesehatan adalah investasi’ (baik persepsi pemerintah (Kementerian Keuangan) mau pun individu, serta (4) memastikan adanya learning health system untuk merespon tantangan sesuai konteks dan belajar dari pengalaman.

    Reporter:
    Shita Dewi (PKMK UGM)

    Sustainable & Resilient Health Systems & Infrastructure: Thailand, Armenia & India

    Sesi ini membahas tantangan umum serta berbagi contoh inovatif dari India, Armenia, dan Thailand dalam mengembangkan sistem dan infrastruktur kesehatan yang tangguh terhadap perubahan iklim. Resiliensi iklim didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem untuk merespons dan mengantisipasi bencana terkait iklim, dengan tetap menjaga keberlangsungan layanan. Ditekankan pula pentingnya mengaitkan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan dengan respons yang menggunakan pendekatan health system building blocks, termasuk aspek Sumber Daya Manusia (SDM), Water, Sanitation and Hygiene (WASH), energi berkelanjutan, serta infrastruktur yang mendukung ketahanan terhadap iklim. Infrastruktur, teknologi, dan intervensi produk dibagi dalam tiga kategori utama:

    1. Adaptasi sistem dan infrastruktur, termasuk pengembangan kebijakan dan regulasi.
    2. Promosi teknologi baru yang mendukung ketangguhan terhadap iklim serta kelestarian lingkungan.
    3. Keberlanjutan operasional fasilitas pelayanan kesehatan.

    WHO juga telah menerbitkan Compendium of Health and Environment Interventions, yang menjadi repository global berisi sekitar 500 aksi/intervensi yang mendukung lingkungan yang lebih sehat dan sistem kesehatan yang lebih tangguh.

    Mr. Angad Karandhe, Advisor, Government of Maharashtra, India
    Mr. Karandhe memaparkan upaya penguatan pelayanan kesehatan tersier dan pendidikan kedokteran di Maharashtra dalam menghadapi perubahan iklim. Dengan dukungan dari ADB, Maharashtra melakukan reformasi kebijakan yang semula hanya berfokus pada aspek infrastruktur, kini mencakup komponen lunak (soft components), seperti, pertama, pembentukan center of excellence untuk pendidikan kesehatan. Kedua, pengembangan kurikulum yang memasukkan isu perubahan iklim dan resiliensi iklim bagi mahasiswa dan tenaga pengajar di institusi pendidikan kedokteran. Ketiga pengenalan digital medical education sebagai pendekatan inovatif yang sekaligus memperkenalkan solusi digital dalam bidang kesehatan yang relevan untuk mengatasi tantangan iklim. Keempat, pembangunan infrastruktur kesehatan yang tangguh terhadap iklim, termasuk inisiatif green campus dan efisiensi energi.

    Maria Hovakimyan, Deputy Director of the Health Project Implementation Unit, Ministry of Health, Armenia 
    Dengan latar belakang sebagai ahli kebijakan kesehatan, Hovakimyan menjelaskan proses yang dijalani Armenia dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh terhadap iklim. Kemudian, dukungan ADB mendorong Armenia mengambil sejumlah langkah diantaranya, pertama, melakukan pemetaan risiko kesehatan terkait perubahan iklim, seperti morbiditas dan mortalitas akibat gelombang panas (heat waves). Kedua, membangun infrastruktur dengan desain yang mendukung ketahanan iklim, seperti insulasi dinding yang memadai, sistem pencahayaan hemat energi, dan sistem daur ulang air. Ketiga, mengadopsi best practices yang sudah terbukti efektif untuk penguatan layanan primer (primary healthcare) yang tangguh terhadap iklim. Keepat, mengembangkan kurikulum pelayanan kesehatan primer yang menyertakan topik perubahan iklim. Kelima, membangun sistem peringatan dini (Early Warning System/EWS) untuk mengenali potensi masalah kesehatan, serta menyampaikan informasi secara proaktif kepada masyarakat agar mereka dapat lebih siap menghadapi dampaknya.

    Dr. Wiwat Chatwangwan, Wakil Direktur Rumah Sakit Maharat Nakhon Ratchasima, Thailand
    Dr. Wiwat menyampaikan bahwa Thailand memiliki national policy framework yang memasukkan aspek ketangguhan (resilience) sebagai bagian integral dari sistem kesehatan. Salah satu inisiatif utamanya adalah pengembangan green hospital dengan tujuan: menjadi rumah sakit netral karbon dan menetapkan tolok ukur keberlanjutan (sustainability benchmark).

    Beberapa langkah yang telah diambil termasuk pertama, inisiasi carbon footprint analysis untuk mengukur dan menurunkan emisi. Kedua, mendukung program “30 Baht Treatment Anywhere” yang memungkinkan akses layanan kesehatan di seluruh Thailand. Program ini didukung oleh aplikasi digital berbasis AI, yang mengurangi kebutuhan perjalanan pasien dan secara tidak langsung menurunkan emisi karbon. Ketiga, pemanfaatan teknologi seperti telemedicine, health wallet digital platform, serta health station (Care Kiosk) yang memperluas akses layanan kesehatan berbasis digital dan memperkuat sistem kesehatan yang adaptif terhadap perubahan iklim.

    Reporter:
    dr. Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)

     

    Tapping the Demographic Dividend: Strengthening Early Childhood Development

    Sesi ini menggarisbawahi bahwa investasi pada perkembangan anak usia dini (PAUD) merupakan strategi kunci untuk membentuk generasi sehat, produktif, dan tangguh sejak awal kehidupan. Dengan kerangka nurturing care yang mencakup kesehatan, gizi, stimulasi dini, dan perlindungan anak, pembicara dari berbagai lembaga menekankan perlunya pendekatan multisektor yang terintegrasi untuk menjangkau semua anak seawal mungkin.

    dari kiri Gi Soon Song, Dr. Dinesh Arora, Scott Morris, Uma Mahadevan, Sumitra Mishra, Roopa Srinivasan, Anil Swarup


    Gi Soon Song
    , Director of Human and Social Development, ADB membuka dengan data bahwa hanya 1 dari 5 anak di negara berpenghasilan rendah memiliki akses ke pendidikan prasekolah. Oleh karena itu, ADB kini mendorong transformasi dari pendekatan berbasis program menuju sistem terintegrasi yang menyatukan pelayanan gizi, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan anak.

    Paparan dilanjutkan oleh Dr. Dinesh Arora, Principal Health Specialist, ADB, yang menekankan konsep serve and return dalam stimulasi otak anak, dan menyebut bahwa investasi pada masa awal kehidupan memberi pengembalian tertinggi di masa depan.

    Wakil Presiden ADB, Scott Morris, mengingatkan bahwa anak usia kurang dari 5 tahun sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, sistem PAUD perlu dirancang agar adaptif dan tahan terhadap krisis iklim.

    Uma Mahadevan, perwakilan pemerintah daerah Karnataka, India, membagikan praktik baik dari Karnataka dalam menyediakan layanan penitipan anak bagi pekerja perempuan informal. Ia menekankan bahwa kurangnya layanan terstruktur menghambat partisipasi perempuan dalam pekerjaan berbayar.

    Salah satu contoh baik peran sektor swasta di India, disampaikan oleh Sumitra Mishra, CEO Mobile Creche, dalam menyediakan layanan pengasuhan melalui kebijakan dan regulasi ketenagakerjaan. Implementasi inovasi yang dikembangkan mengadopsi model Care Diamond dan Nurturing Care Framework WHO.

    Roopa Srinivasan menyampaikan bahwa keadilan sosial tak akan tercapai jika intervensi PAUD tidak ditingkatkan cakupannya, terutama bagi anak berkebutuhan khusus. Program Perkembangan Anak Usia Dini (ECD) dari Ummeed memberikan pelatihan dan pendampingan tentang cara mendukung tumbuh kembang anak usia 0–3 tahun melalui pendekatan berbasis bermain yang melibatkan pengasuh, menggunakan alat seperti Guide for Monitoring Child Development (GMCD), dengan metode lokakarya dan bimbingan berkelanjutan.

    Anil Swarup menekankan peran ADB dan institusi lain yang mengembangkan program terkait anak usia dini, dalam memahami konteks lokal sebelum mereplikasi model di negara lain, dan memastikan keberlanjutan serta adaptasi kebijakan.

    Foto dari kiri (2) Indu Bhushan; (3) Sofia Shakil; (4) Soumya; dan (5) Ana Maria Rodriguez


    Indu Bhushan
    , board member Pehel Foundation, yang banyak bergerak dalam advokasi risiko paparan timbal (lead) pada anak yang berdampak jangka panjang, mulai dari gangguan kognitif hingga peningkatan risiko kriminalitas, sebagaimana dibuktikan melalui studi di AS. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah meningkatkan awareness, edukasi remaja atau orang tua mengenai paparan timbal sebelum maupun saat hamil, adopsi dalam kurikulum sekolah, dan melibatkan lintas pemangku kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan yang berkaitan dengan perubahan iklim, termasuk paparan timbal dari lingkungan.

    Sofia Shakil menekankan pentingnya membangun kemitraan strategis untuk memperluas cakupan intervensi yang terbukti berhasil, serta menyoroti dampak perubahan iklim dan migrasi terhadap akses layanan anak.

    Soumya menyoroti perlunya integrasi intervensi sejak masa kehamilan dan penguatan kapasitas tenaga lapangan, disertai umpan balik data yang berguna dan tidak tersilo.

    Ana Maria Rodriguez dari UNICEF menyampaikan beberapa saran teknis yang perlu dilaksanakan untuk memastikan keberhasilan program pendukung perkembangan anak usia dini, diantaranya perlunya kemauan politik, kebijakan lintas sektor, dan dukungan terhadap pengasuhan serta inovasi-inovasi dalam program PAUD.

    Kirsten Hurley, Associate Professor dari Bloomberg School of Public Health, melengkapi perspektif pentingnya lingkungan yang mendukung perkembangan anak sejak dini melalui perspektif akademis dan peneliti. Beliau memaparkan hasil penelitiannya di India dengan penekanan bahwa intervensi harus dimulai sejak dini, fokus pada pengurangan risiko, dan memperkuat faktor protektif seperti gizi. Namun, tantangan selanjutnya adalah menerjemahkan hasil penelitian menjadi aksi di lapangan agar mencapai hasil yang diharapkan.

    Sesi ini mempertegas bahwa penguatan PAUD adalah investasi strategis untuk memanfaatkan bonus demografi secara maksimal. Dibutuhkan kolaborasi multisektor, kebijakan terpadu, serta kemauan politik untuk menciptakan sistem pengasuhan yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.

    Reporter:
    dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)

    Plenary: How Pandemic Response Drives UHC

    Peter Sands, direktur dari the Global Fund membuka sesi plenary. Pesan kunci Peter bahwa kesiapan menghadapi pandemi merupakan salah satu contoh bagaimana investasi untuk kesehatan merupakan investasi terpenting yang bisa dilakukan oleh pemerintah, dan investasi yang didukung penuh oleh stakeholder. Hal ini mencakup tanggung jawab dan peran yang dapat diambil oleh institusi internasional mau pun negara-negara dengan sumber daya yang lebih. Jepang, contohnya, berkomitmen untuk membantu negara-negara di Asia dan Afrika untuk penyediaan perbekalan Kesehatan, seperti disampaikan oleh dr Yosuke Kita dari Kementerian Luar Negeri Jepang.

    Sesi plenary menghadirkan pembicara dari Kementerian Kesehatan negara-negara di Pasifik, beberapa mitra pembangunan khususnya yg mendukung perbekalan kesehatan.

    Fiji, salah satu negara kepulauan kecil di Pasifik, menghadapi tantangan dalam penyediaan oksigen selama pandemi COVID-19. Menteri Kesehatan Fiji menyatakan bahwa dukungan dari negara lain dan lembaga multi-negara membantu sistem kesehatan Fiji belajar untuk membangun resiliensi, khususnya bagi kantong-kantong populasi yang memiliki keterbatasan akses. Inovasi dan penerapan teknologi yang kontekstual (misalnya pemanfaatan panel surya) telah membantu Fiji untuk memastikan layanan kesehatan yang berkelanjutan. Serupa dengan pengalaman tersebut, Cook Island, negara kepulauan lain di Pasifik juga menyampaikan pengalamannya. Menteri Kesehatan Cook Island menyampaikan bahwa pandemi telah mengajarkan bahwa sistem kesehatan sangat rentan, tetapi juga membuka kesempatan untuk menyadari pentingnya perencanaan dan perawatan infrastruktur kesehatan, sistem transportasi dan logistik, serta penguatan SDM. Berikutnya wakil Menteri Kesehatan Armenia menyampaikan bahwa pandemi juga mengajarkan prioritisasi bagi pelayanan primer yang kuat dan pengembangan kemandirian obat dan perbekalan. Tahun ini, misalnya, Armenia menganggarkan peningkatan 40% untuk investasi research and development (R&D).

    Dr Saima Wazed (Direktur Regional WHO SEARO) menggarisbawahi bahwa memiliki faskes saja tidak cukup. Sistem dan sumber daya harus dibangun. Selain itu, kolaborasi harus dibangun dengan mitra-mitra non pemerintah. Menyadari kerentanan saja tidak cukup, tetapi harus ada aksi mitigasi dan kemauan untuk menyingkirkan hambatan sistem.

    Robert Matiru (Direktur Divisi Program, Unitaid) juga menyoroti dua hal (1) harus tersedia kolaborasi multi-finance yang menghasilkan proposal pembiayaan yang rasional dan koheren berbasis kebutuhan, (2) kemampuan untuk negosiasi dan berkolaborasi dengan sektor swasta. Unitaid memfasilitasi berdirinya Global Oxygen Alliance untuk memastikan keberlanjutan dari kolaborasi masa pandemi untuk ketersediaan oksigen, dengan cara (1) Crowd-Financing, (2) memastikan Capital Expenditure (capex) untuk market assurance dan hal-hal lain yang sering diabaikan, dan (3) membangun accountability matrix untuk investasi yang dihimpun.

    Priya Basu, direktur Pandemic Fund dari Bank Dunia menyatakan dua prinsip utama untuk memperkuat kesiapan menghadapi pandemi: (1) itu harus menjadi inti dari membangun sistem kesehatan yang inklusif dan resilien: mampu menyediakan layanan di masa krisis mau pun tidak; (2) dukungan eksternal hanya bersifat komplemen terhadap komitmen dan sumberdaya domestic yang disediakan pemerintah.

    Amanda McClelland (dari “Prevent Epidemics, Resolve in Save Live”, sebuah organisasi yang bermitra dengan pemerintah untuk membangun health security systems) juga menambahkan bahwa kesiapan pandemi tidak mungkin tercapai tanpa kemitraan dengan komunitas.

    Reporter:
    Shita Dewi (PKMK UGM)

     

    Sesi Paralel

    Behind the Deal: What Makes Healthcare PPPs Work (or Fail)? read more

    Reportase Diskusi Publik Penguatan Isu Kesehatan Jiwa dalam RPJMD

    Reportase Diskusi Publik Penguatan Isu Kesehatan Jiwa dalam RPJMD
    PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Diskusi Publik bertajuk Penguatan Isu Kesehatan Jiwa dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) secara daring pada 2 Juli 2025. Kegiatan ini bertujuan untuk mendorong pengarusutamaan isu kesehatan jiwa dalam perencanaan pembangunan daerah melalui peningkatan pemahaman, dialog multisektor, dan penyusunan rekomendasi kebijakan berbasis bukti, agar isu kesehatan jiwa dapat terintegrasi secara strategis dalam dokumen RPJMD dan kebijakan daerah lainnya.

    Sebagai pengantar Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD menyampaikan bahwa saat ini pemerintah daerah tengah mempersiapkan RPJMD yang ditargetkan selesai pada Agustus 2025. Pada sesi webinar sebelumnya, diperoleh kesimpulan bahwa kesehatan jiwa merupakan isu yang penting. Namun sayangnya, di masa lalu komponen kesehatan di RPJMD hanya seperti formalitas, karena tidak adanya analisis kesehatan lintas sektoral yang dilakukan secara mendalam. Selanjutnya, transformasi layanan kesehatan sangat perlu karena masih lebih 80% orang dengan masalah kesehatan jiwa tidak mendapatkan pertolongan terutama di negara berpenghasilan menengah dan rendah, pembiayaan upaya keswa juga dinilai masih kurang. Selain itu, proses untuk penyembuhan memerlukan waktu yang relatif lama. Harapannya upaya pelayanan kesehatan jiwa bisa mencakup seluruh aspek transformasi kesehatan yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan. setelah sesi ini, harapannya isu kesehatan jiwa diharapkan bisa masuk ke dalam RPJMD atau dapat diperjuangkan untuk masuk pada renstra.

    Selanjutnya dr. Imran Pambudi, MPHM selaku Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa kesehatan jiwa sebagai isu strategis dengan 1,4% penduduk usia lebih dari 15 tahun mengalami depresi namun hampir 88% tidak mengakses pengobatan dengan berbagai alasan mulai dari akses hingga stigma. Spektrum kesehatan jiwa cukup lebar, prosesnya dapat dimulai dari kehamilan hingga sepanjangan usia manusia dengan berbagai determinannya yang membutuhkan upaya dari lintas stakeholder. Imran juga menyampaikan framework upaya kesehatan jiwa dimulai dari promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif. saat ini baru 47% Puskesmas yang memberikan layanan kesehatan jiwa (petugas terlatih dan ketersediaan obatnya ada) dengan gap antar wilayahnya yang sangat lebar. Baru 43,19% rumah sakit yang mampu rehabilitasi medis NAPZA. Imran juga menyampaikan perlunya kolaborasi dalam upaya pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Terlebih ada beberapa tantangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa di tingkat daerah.

    Ni Made Dwipanti Indrayanti S.T., M.T. selaku Kepala Bapperida DIY di awal menyampaikan mengenai gambaran umum kondisi pembangunan kesehatan jiwa di DIY. DIY merupakan provinsi dengan jumlah skizofrenia tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2024, cakupan pelayanan ODGJ berat mencapai 95,81%. Terdapat tren peningkatan kasus bunuh diri di DIY dari 2021 hingga 2024. Esensi dari kesehatan jiwa telah masuk pada misi RPJP DIY 2025-2045. Kesehatan jiwa belum tertuang secara eksplisit dalam RPJMD 2022-2027, namun termasuk dalam konteks inklusif bagi seluruh masyarakat. Harapannya melalui kegiatan diskusi dapat menjadi pemantik untuk memasukkan isu kesehatan jiwa sebagai bagian dari RPJMD 2027. Saat ini sudah ada upaya kolaborasi penanganan kesehatan jiwa mulai dari promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif.

    Turut hadir pula Dr. Indria Laksmi Gamayanti, M.Si., Psikolog selaku Ketua Kolegium Psikologi Klinis yang menyampaikan tanggapannya mengenai ketersediaan tenaga kesehatan yang bertanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan jiwa. Disampaikan juga mengenai upaya yang dilakukan untuk memastikan ketersediaan tenaga psikolog klinis di fasilitas kesehatan. Harapannya dari pemerintah daerah dapat memfasilitasi serta mendukung ketersediaan pelayanan upaya kesehatan jiwa di tingkat daerah.

    Untuk mewujudkan upaya pelayanan kesehatan jiwa yang menyeluruh, diperlukan upaya kolaborasi dari berbagai pihak serta leading sector yang dapat menyuarakan pentingnya isu kesehatan jiwa di tingkat daerah. Pada akhirnya, apakah pemerintah daerah tahu dan mau untuk mengatasi permasalah kesehatan jiwa di tingkat daerah?

    Materi dan Rekaman Kegiatan silahkan klik DISINI

    Reporter: Latifah Alifiana (Divisi Diklat PKMK UGM)

    Reportase Pelatihan Jarak Jauh Penyusunan Rencana Strategis Rumah Sakit Daerah Pertemuan 6 “Strategi Advokasi RSD Kepada Pemerintah Daerah”

    Selasa, 10 Juni 2025

    PKMK-Yogyakarta. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., dalam pengantarnya menyampaikan bahwa renstra merupakan dokumen yang berisi peta jalan suatu rumah sakit daerah untuk menuju suatu titik tujuan tertentu yang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak baik eksternal maupun internal sehingga diperlukan tahap selanjutnya berupa advokasi, yaitu suatu upaya untuk membela atau mendorong kepentingan. Untuk menyampaikan suatu advokasi yang baik dibutuhkan bahan bahan yang dapat meyakinkan pihak eksternal seperti susunan draft renstra yang matang, visi misi dan tujuan rumah sakit daerah, hingga proyeksi anggaran jangka panjang. Selain itu, isu kelembagaan BLUD juga penting untuk disampaikan dalam proses advokasi rumah sakit daerah kepada pemerintah daerah. Kemampuan komunikasi persuasif merupakan modal utama yang harus dimiliki para direktur rumah sakit untuk menunjang proses advokasi.

    Sesi talkshow, Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS. membuka dengan menyampaikan bahwa advokasi adalah suatu bentuk influencing communication, dimana di dalamnya terdapat teknik dalam mempengaruhi mitra untuk membawa rencana dan mimpi rumah sakit daerah kepada para stakeholders. Strategi lobbying yang tepat disertai pendekatan strategis kepada key of person akan sangat membantu keberhasilan suatu proses advokasi.

    dr. Gatot Sugiharto, Sp.B., MARS. menyampaikan beberapa framework strategi advokasi rumah sakit daerah terhadap pemda, bahwa advokasi harus dilakukan dengan berbasis data sebagai bekal bahan yang akan disampaikan kepada stakeholder yang meliputi data epidemiologi 10 penyakit terbanyak, data kinerja rumah sakit, serta data analisis biaya terhadap layanan yang akan dibuat. Selain itu kita juga harus menyelaraskan usulan rumah sakit daerah dengan visi misi pemda. Selanjutnya membangun aliansi strategis dengan DPRD, dengan melakukan audiensi proaktif dan menjadwalkan pertemuan khusus untuk membahas update kinerja dan tantangan RSD. Kemudian menyediakan amunisi konsep seperti policy brief yang berbentuk ringkasan eksekutif sebagai bahan tim DPRD dalam menyampaikan ke Tim Anggaran Pemerintah Daerah. Lalu untuk membangun kepercayaan dan meningkatkan citra rumah sakit, perlu untuk menjadwalkan Hospital Tour atau kunjungan pihak pemda ke rumah sakit daerah. Kemudian dapat mempertimbangkan untuk membawa suatu pandangan bahwa anggaran kesehatan ada sebagai suatu investasi, bukan sebagai biaya, dengan begitu output yang dihasilkan dipandang lebih bernilai positif dan mudah untuk disepakati. Di samping itu, satu hal penting yang cukup berpengaruh adalah perlunya Showcasing inovasi dan prestasi keberhasilan, untuk meyakinkan pemda bahwa anggaran yang diberikan telah digunakan dengan baik dan menghasilkan suatu layanan dan hasil yang nyata dan membanggakan. Terdapat pendekatan komunikasi personal yang menjadi strategi advokasi kepada pemda, yakni dengan mendekat kepada trio kunci yang meliputi Sekretaris Daerah, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset daerah (BPKAD). Pastikan usulan program rumah sakit daerah telah diusulkan sejak Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) tingkat OPD, dan mengawalnya ketika dibahas di tingkat kabupaten/kota. Lalu untuk memperkuat posisi, pentingnya untuk membangun koalisi terhadap pemangku kepentingan yang lain dan bekerja sama dengan jurnalis lokal sebagai media partner dalam hal publikasi.

    Drs. Syahrudin Hamzah, S.E., M.M menyampaikan bahwa pejabat pemda belum tentu memahami persoalan rumah sakit, terkait apa yang dihadapi, kesulitan anggaran, hingga kebutuhan kekuatan regulasi. Selain trio kunci yang disampaikan oleh dr. Gatot, pihak yang harus didekati adalah pimpinan DPRD untuk memberikan pemahaman terkait kondisi rumah sakit daerah yang diusulkan. Pentingnya menyampaikan visi dan misi RS kepada pemerintah daerah, kemudian poin poin persoalan yang disertai dengan tawaran alternatif beserta resikonya apabila tidak tercapai. Dalam konteks ini, jangan sampai kita membiarkan pihak lain berasumsi tentang rumah sakit kita, kita harus bisa menjelaskan dengan baik maksud, tujuan, dan cita cita kedepan dengan meyakinkan.

    Hambatan dalam advokasi, dr. Gatot Sugiharto, Sp.B., MARS memaparkan pentingnya memiliki citra yang dipandang baik oleh pemda untuk lebih meyakinkan gagasan yang diusulkan. Kolaborasi pentahelix, meliputi akademisi, pemda, swasta, media massa, dan kelompok masyarakat, membantu rumah sakit daerah dalam menyebarkan misi kesehatan secara menyeluruh.

    Syahrudin menegaskan kendala utama dalam proses advokasi adalah menjadwalkan pertemuan dengan para pejabat dan pimpinan, apalagi jika belum pernah ada pendekatan secara informal. Maka pertemuan secara informal dan personal memainkan peran penting dalam keberhasilan proses advokasi ini. Dalam konteks ini pendekatan personal berlaku sebagai proses memberikan pemahaman dan penyelarasan sudut pandang guna menanamkan sense of belongings kepada pihak pemda untuk RS yang sedang diusulkan.

    Sesi terakhir, Ni Luh Putu Eka Andayani, S.KM., M.Kes, memaparkan terkait penyusunan Rencana Tindak Lanjut (RTL) penyusunan rencana strategis rumah sakit daerah. Prinsip umum penyusunan RTL yaitu bersifat iteratif yaitu melibatkan proses berpikir dan menyusun strategi, bersifat kontekstual yang disesuaikan dengan kelompok RSD pendidikan, 3T, kompetitif tinggi, dan kompetisi menengah, lalu berorientasi komunikasi lintas sektor dengan pandangan bahwa nantinya renstra akan diajukan dan disetujui oleh pemda dan dinkes, dan juga RTL bersifat responsif terhadap kebijakan nasional seperti KRIS, KJSU. Secara umum, penyusunan RTL melalui 4 tahapan yang meliputi finalisasi bab 3 terkait isu strategis, review dan finalisasi bab 4 terkait keputusan strategis, simulasi dan validasi internal, dan strategi advokasi eksternal. Terakhir, Ni Luh Putu Eka Andayani, S.KM., M.Kes memberikan beberapa tips untuk menyusun RTL diantaranya Tips 1 adalah fokus pada penyusunan bab 3 secara penuh, yang merupakan tulang punggung logis untuk Bab 4. Tips 2 adalah menggunakan peta logika (mind mapping) sebagai alat bantu untuk memetakan masalah, isu strategis, respons RSUD, dan kebutuhan dukungan. Tips 3 yaitu membuat halaman “peta dampak strategis” untuk melihat kepentingan para stakeholders kunci terhadap renstra yang kita buat, bagaimana kita dapat memetakan kontribusi renstra terhadap target pemda dan dinkes. Tips 4 yaitu memastikan bahwa renstra menyebut respon RSUD terhadap kebijakan nasional utama, misal KJSU dan KRIS, walau hanya sebatas perencanaan awal. Ni Luh Putu Eka Andayani, S.KM., M.Kes menutup sesi dengan membagikan template bahan audiensi yang dapat digunakan masing masing rumah sakit daerah dalam melakukan advokasi ke pemerintah daerah atau stakeholder yang dituju.

    Reporter: Firda Alya (PKMK UGM)

    Reportase Webinar Wellness-Based Diabetes Management: Integrating Acupuncture, Nutrition, and Exercise

    Kamis, 26 Juni 2025

    Webinar dimulai dengan keynote speech yang membahas persiapan SDM Kesehatan berkompetensi Medical Wellness untuk menjawab tantangan DM oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D, dimana pengobatan non farmakologis untuk penderita DM Tipe 2 adalah akupunktur, yang termasuk dalam pengobatan tradisional. Dalam layanan ini, perlu disiapkan strategi integrasi antara pengobatan tradisional dan modern hingga bagaimana pendanaan termasuk SDM yang perlu disiapkan. Contoh penerapan wellness yang sudah ada yaitu sudah berkembangnya wellness spa, yang saat ini sudah ada regulasinya. Meninjau dari contoh tersebut, integrasi antara pelayanan kesehatan tradisional dengan pelayanan kesehatan konvensional saat ini mengacu pada regulasi PP No. 28 Tahun 2024 Pasal 482. Berdasarkan regulasi ini, telah disinggung penetapan kebijakan sdm, serta penetapan kebijakan produk pelayanan kesehatan tradisional, hingga promosi dan potensi pelayanan kesehatan tradisional. Selain itu, dalam regulasi tersebut juga disinggung terkait Evidence Based Medicine sebagai pelayanan medis personalisasi untuk tiap pasien, dimana setiap perawatan yang akan dilakukan kepada pasien harus diperhatikan risiko yang mungkin terjadi. Terkait sumber pendanaan, pasca pandemi COVID 19 BPJS saat ini mengalami deficit, meski saat pandemi terjadi surplus karena jarangnya pasien yang datang ke RS. Hal tersebut juga tidak bisa diprediksikan untuk masa depan apakah akan terus defisit atau bisa surplus. Masalah pendanaan tersebut tentunya berpengaruh terhadap pembiayaan dari pasien untuk wellness apakah pasien bisa membayar out of pocket atau menggunakan askes komersial, dimana pembiayaan tersebut nantinya akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana kualitas dari SDM untuk memberikan pelayanan wellness terbaik untuk pasien. Persiapan SDM tersebut perlu dipertimbangkan bagaimana kompetensi atau sertifikasi yang dimiliki, bagaimana persiapan kolegium untuk mewadahi SDM tersebut, hingga siapa SDM yang bertugas untuk mencari dana dan siapa yang bertugas sebagai promotor kesehatan.

    Paparan berikutnya disampaikan oleh dr. Aris Wibudi, Sp. PD-KEMD, Ph.D. terkait dengan pentingnya mengenali kapasitas metabolic, dimana kapasitas metabolic seseorang terbagi menjadi kapasitas normal, obesitas sentral, sindrom metabolic hingga Diabetes Tipe 2. Kapasitas metabolik ini didasari oleh kondisi metabolik, dimana kondisi tersebut bisa berbeda tiap individu, sehingga perawatan yang akan diberikan juga harus disesuaikan untuk masing-masing (personalisasi). Hal tersebut mengacu konsep dasar bahwa asupan kalori dapat dilihat berdasarkan berat badan ideal, indeks glikemik, serta komposisi makronutrien yang sebenarnya adalah untuk orang yang sehat, bukan pasien DM, sehingga untuk pasien DM Tipe 2 dapat dilihat dari respons glikemik yang didasari oleh kemampuan kemampuan individu dalam memproses makanan. Respons glikemik tersebut dapat digambarkan dalam rumus matematis, dimana respons glikemik didapatkan dari fungsi dari asupan dibagi dari kondisi metabolik, yang direfleksikan dari kapasitas metabolik. Pada individu yang normal, puncak gula darah tertinggi adalah 1 jam sesudah makan, dimana hal tersebut disebut dengan postprandial glucose spike yang menggambarkan respons glikemik seseorang.

    Akupunktur untuk Diabetes Melitus berikutnya disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Koosnadi Saputra, Sp.Rad (K), dimana akupunktur dapat digambarkan menjadi 5 elemen dalam interaksi organ, yaitu organ liver menggambarkan elemen kayu, lambung dan pancreas menggambarkan elemen bumi, usus menggambarkan elemen api, usus besar menggambarkan elemen logam, dan otak menggambarkan elemen air. Jika jarum akupunktur ditusuk pada jaringan tubuh, timbul reaksi lokal dimana dorsal root ganglion akan mengirimkan sinyal ke seluruh tubuh melalui meridian. Terkait efektivitas terapi akupunktur untuk DM, sebelumnya telah ada penelitian terkait pengukuran kelistrikan jaringan titik akupunktur yang berkorelasi dengan fungsi organ pancreas. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa akupunktur dapat menurunkan sekresi sitokin, merangsang anti inflamasi, serta membantu regulasi sistem imun. Namun, akupunktur ini bukan terapi utama DM, hanya sebagai terapi komplementer, tapi dapat digunakan untuk komplikasi DM yang harus dikombinasikan dengan terapi lainnya. Dalam hal ini, DM Tipe 2 tidak dapat disembuhkan, namun bisa dilakukan remisi dengan pengaturan pola makan sehat dan konsisten, olah raga rutin dan teratur, serta sering puasa.

    Tanjung Subrata, M.Repro., ABAARM selanjutnya menjelaskan resistance training for DM, dimana aktivitas fisik dapat mencegah DM Tipe 2 karena adanya kapasitas biogenesis mitokondira dan meningkatkan mitokondrial oxidative. Aktivitas fisik tersebut bisa dilakukan salah satunya dengan latihan cardio, aerobic, yoga, pilates. Peningkatan lean muscle mass juga dapat dilakukan karena muscle mass yang lebih besar berarti penyimpanan glukosa juga lebih besar, sehingga dapat digunakan sebagai reservoir dari gula darah. Selain itu, reprogamming metabolic juga memicu aktivasi AMPK dan sensor metabolic lainnya, yang dapat mengubah metabolic yang lebih baik dan menjadikan otot sebagai tempat menyimpan gula darah dan lemak yang efektif. Kontrol glikemik juga dapat memicu post-exercise energy expenditure yang dapat mendukung kesehatan metabolik. Namun, metabolism energi tersebut akan berbeda didasarkan pada durasi, intensitas dan tipe muscle fiber yang digunakan, dimana tipe II Muscle fibers mempunyai densitas kapiler dan lebih sensitif terhadap insulin. Dalam hal ini, training yang dilakukan bisa dengan intensitas sedang hingga tinggi, seperti lari 400 meter. Berdasarkan penelitian sebelumnya, dilakukan aerobic sebagai program prolanis dengan tambahan resistance training 15 menit sebelum gerakan aerobic.

    Webinar ditutup dengan paparan terkait dengan diet pada penderita DM yang disampaikan oleh Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Akp, Sp.GK. Manajemen penderita DM meliputi edukasi dan dukungan, Medical Nutrition Therapy, aktivitas fisik, serta terapi obat. Tujuan dari terapi nutrisi untuk pasien diabetes yaitu untuk meningkatkan A1C, tekanan darah dan level kolesterol yang harus dipelihara dan ditinjau secara terus menerus. Terapi nutrisi dapat dilakukan dengan pengukuran kebutuhan energi basal, teknik broca, atau menggunakan BMI. Detail nutrisi yang dibutuhkan antara lain karbohidrat 45-60% dengan asupan maksimal sucrose maksimal 5%, protein 10-20%, lemak 20-25%, cukup vitamin dan mineral, serta natrium <1500 mg/hari. Dalam perhitungan berat badan, dapat menggunakan BB Ideal atau BB normal yang diukur dengan BMI yaitu BB dibagi dengan kuadrat dari TB. Prinsip asupan karbohidrat berdasarkan medical care diabetes menunjukkan bahwa penggunaan glycemix index (GI) dan glycemic load (GL) mempunyai manfaat untuk maintain DM, dimana makin rendah GL maka gula yang terbentuk di darah juga akan semakin sedikit. Cut off GI dikatakan baik jika <56, sedangkan untuk GL yang dianggap rendah yaitu <10. Upaya yang baik untuk menurunkan GI bisa didapatkan dari diet local, yang dinilai lebih baik dari diet mediteranian. Selain itu, juga dapat dilakukan vegan diet, dimana vegan diet ini telah terbukti dapat menurunkan angka kematian. Intermittent fasting atau puasa Senin Kamis juga disarankan untuk upaya diet, namun harus didukung dengan monitoring dan pembatasan makan. (Bestian Ovilia Andini)