Sesi Pembukaan Hospital Management Asia 2025
Ho Chi Minh City Vietnam
PKMK-Vietnam. Pertemuan tahunan HMA pada tahun 2025 diselenggarakan di Ho CHi Minh City Vietnam, 10 – 11 September 2025. Dihadiri 1200 peserta dengan 65% peserta adalah CEO RS di Asia. Saya diundang sebagai salah satu juri dalam Hospital Management Asia (HMA). Seperti diketahui HMA menyelenggarakan Award di berbagai kategori. Posisi sebagai juri ini sudah sekitar 10 tahun saya lakukan bersama HMA. Pengamatan saya memang partisipasi RS-RS Indonesia dalam Award masih kurang, walaupun saat ini sudah semakin membaik.
Sebagai latar belakang pertemuan, dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi kesehatan telah menjadi fokus perhatian di HMA. Hal ini mencerminkan transformasi digital yang pesat di berbagai rumah sakit di Asia. HMA 2025, tetap fokus ke prinsip-prinsip inti manajemen rumah sakit: kualitas dan keselamatan dan pengalaman pasien, serta kepemimpinan yang efektif. Ini adalah tema HMA 2025
Pidato Pembukaan oleh Wakil Menteri Kesehatan Vietnam:
Selamat datang untuk 1200 peserta. Pemerintah Vietnam bekerja bersama dengan RS-RS di Asia harus menjawab tantangan pelayanan seperti semakin tuanya warga, berkembangnya penyakit-penyakit tidak menular dan menular, climate change, sampai adanya kekurangan SDM. RS harus menjadi pusat inovasi pelayanan kesehatan, AI, pengembangan teknologi tapi harus tetap menjaga keberlangsungan sistem kesehatan.
Partai komunis Vietnam berusaha mengembangkan sistem kesehatan. Ada berbagai Resolusi dari Polit Biro untuk pengembangan riset, teknologi kedokteran dan juga private sector. Terdapat pula resolusi untuk pengembangan quality standard framework sesuai dengan benchmark internasional. Digital transformation dikembangkan termasuk e-MR telehealth, pengembangan SDM agar masuk lebih dalam ke daerah remote. Seluruh bagian SDM kesehatan harus mengikuti petuah Bapak Negara HoChiMinh, dan tetap menghargai perkembangan teknologi.
Kami mengakui bahwa sistem kesehatan Vietnam belum maksimal, ,masih banyak kekurangan. Daerah-daerah terpencil masih kekurangan SDM Kesehatan. Askes pemerintah dan swasta masih belum terkoordinasi, dan masih ada kekurangan koordinasi.
Oleh karena itu tema seminar saat ini sangat penting. Kami harus belajar dari kasus-kasus yang dibahas di seminar ini, agar terjadi transformasi yang lebih cepat. Saya percaya dengan adanya pembicara-pembicara ahli termasuk dari lnternasional dapat mengembangkan mutu pelayanan di Vietnam. Dengan ini saya buka secara resmi pertemuan ini. Sukses selalu.
Dirjen Pelayanan Medis Kemenkes Vietnam membahas mengenai Digital Transformation. Beberapa slidenya dapat dilihat sebagai berikut:
Penulis Laporan: Laksono Trisnantoro (UGM)
Talkshow: Yesterday’s lessons, today practice and tomorrow innovation for hospital leadership
Talkshow dibuka oleh moderator:
Apa pelajaran dari pengalaman hidup anda?
Jawaban:
Dr. Lisa menjawab bahwa dia sudah bekerja sebagai ahli bedah dan manajer RS mulai 2010-an di Florida di RS untuk anak-anak. Pada waktu itu, terjadi pengalaman buruk mengenai hasil operasi terutama pediatric cardiology outcome. Kami menemukan beberapa ahli bedah jantung yang tidak bagus proformance. Kemudian kita lakukan perbaikan dengan detil. dimana semua RS dan ambulatory-nya harus mempunyai koneksi yang baik. Kami perbaiki pillar by pillar. Budaya mutu yang masih jelek kami perbaiki.
M: Apa peran leadership?
J: Penting sekali leadership. Kepemimpinan terkait dengan orang. Para staf harus diberi tool dan insight untuk bekerja on behaltf patient. Struktur dan proses diperbaiki.Semua SDM harus melihat apakah ada masalah dan memberi tahu untuk perbaikan.
M: Apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu?
J: Kita harus menemukan gap yang ada dan dari front line SDM untuk memperbaiki sistem. Kita perbaiki budaya kerja untuk melayani pasien ke seluruh SDM.
M: Wah ini merupakan pengalaman yang membutuhkan kerja keras, anda harus mengawasi tempat-tempat yang jauh banyak pegawai. Bagaimana anda bekerja sehari-hari dalam seminggu?
J: Setiap hari memang saya harus mengawasi seluruh fungsi korporasi Ini juga mencakup pelayanan dan pendidikan serta riset. Harus mengurangi friksi antar unit. Di level korporat harus mengatur semua sistem manajemen dengan baik, secara sentralisasi. Ada tanggung jawab berat. Setiap minggu saya mengunjungi berbagai titik distribusi, supply chain untuk 5 RS, kemudian juga harus melihat ke seluruh praktek. Untung saya masih sebagai dokter bedah. Ini menyangkut kepemimpinan klinik. Clinician leaders harus ada untuk melihat berbagai kekurangan. Sebagai dokter bedah saya mempunyai pengalaman operasional termasuk mendeteksi kesulitan komunikasi antar unit dan memperbaiknya.
M: Bagaimana mengembangkan SDM? Apakah sebuah perjuangan keras?
J: Ya, banyak waktu untuk mengelola SDM agar mencegah burnt out dan ada 40 ribu SDM, banyak sekali dan kita masih kekurangan banyak SDM. Kami terus senantiasa melakukan survei SDM. Para manajer harus tahu detil mengenai stafnya. Ada check list untuk melihat SDM. Juga untuk mellihat lisensi agar task-nya dapat tepat. Pendidikan staf juga harus ada proses pengembangan banyak sekali pilihan pendidikan. Ada jalur untuk pengembangan ke depan. 5 tahun ke depan harus menjadi apa, per;u direncanakan.
M: Bagaimana dengan burnt out medical staff. Juga pasien yang datang dengan Google ada paper work yang harus diselesaikan. Apa strategi untuk meringankan beban mereka?
J: Bagaimana kita bisa mengembangkan dengan sebaik-baiknya untuk mencegah burnt out. Kami ada alat bantu berupa ambience listening system. Ada 4 ribu dokter yang mempunyai akses pada sistem ini. Alat ini untuk mengurangi beban menulis laporan dan melihat layar komputer.
M: Bagaimana dengan digital AI.
J: Saat ini memang AI menjadi top-buzz para eksekutif. AI adalah obyek yang harus kita bahas sekarang dan di masa mendatang dalam konteks digital transformation. Pasien mempunyai segala pengetahuan dengan pakai Google termasuk AI. Bagaimana mereka dapat dimudahkan untuk mengatur jadwal, akses pelayanan, seluruh MR dapat diakses pasien melalui telpon.. bagaimana mereka bisa terlibat ke penanganan medik. Kita harus menyiapkan telemnedicine untuk pasien. Outside of hospital, at home. Bagaimana mendapatkan acut-care tetapi tetap di luar RS (homecare). AI selalu ada dan menjadi alat operasional untuk berbagai aspek manajemen. termasuk antara lain supply-chain management, services dan scheduling. Powerfull tool for us. AI banyak membantu untuk predicted analysis tentang overload. More patient less hospitals, bagaimana situasi over loaded ini dapat ditangani. Bagaimana schedule dapat diperbaiki. AI berguna.
M: Tentang robotic surgery bagaimana?
J: Teknologi ini bagus tapi ada beberapa kelemahan. Sebuah tambahan teknologi itu Tapi untuk jangka panjangnya ada kecenderungan mengarah ke medioker untuk para ahli bedahnya. Jadi harus hati-hati menggunakan teknologi robotik untuk bedah.
M: Apa pedoman untuk menggunakan teknologi?
J: Kami menggunakan sistem tata kelola ketat untuk pemilihan teknologi. Tidak bisa untuk 40 ribu karyawan kemudian ada 40 software. Ada semacam proses uji-coba juga dalam pelaksanaannya.
M: Untuk ke depan, apa konsep-konsep dasar untuk leadership?
J: Sistem kesehatan sangat kompleks. Konsep-konsep dasar yang harus diikuti antar lain: Mindfull…Mempunyai Visi, dapat mengartikulasikan dan mewujudkan visi, mempunyai strategi, mempunyai ketrampilan membangun hubungan baik dan kolaborasi, mempunyai komunikasi yang baik. dan mampu mengelola orang. Saya memimpin banyak orang dan hasilnya bukan hanya kinerja saya. Tapi hasil bersama sebagai tim, juga pemimpin kesehatan yang baik harus mempunyai pengaruh di masyaakat umum. Kita juga harus aktif dalam memperbaiki indikator Social Determinants untuk kesehatan. Kita sebagai pemimpin di RS harus bisa bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin di masyarakat dan juga mengembangkan kerjasama pemerintah dengan swasta.
Terimakasih
Penulis Laporan:Laksono Trisnantoro (UGM)
Keynote Presentation: Accelerating the journey to cancer survivorship
Sasa Mutic adalah President dari Radiation Oncology Solutions, Varian, sebuah unit bisnis dari Siemens Healthineers, yang bertugas untuk mengawasi research and development (R&D), manufaktur, pemasaran, dan operasional komersial untuk radioterapi eksternal, brakiterapi, dan produk perangkat lunak terkait pelayanan radioterapi.
Sesi ini banyak membahas tentang bagaimana kemajuan dalam radioterapi dapat mempercepat pengobatan, antara lain melalui perbaikan alur kerja yang dioptimalkan dengan AI untuk mempercepat perencanaan pengobatan, dan memastikan terapi yang sangat personal untuk setiap pasien.
Berdasarkan berbagai penelitian, pasien kanker sering kali menghadapi penundaan berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan untuk memulai pengobatan radioterapi. Penundaan ini tentu berdampak signifikan pada efektivitas pengobatan, kesejahteraan pasien, dan biaya perawatan hingga ke kelangsungan hidup pasien (menurunkan angka survivor rate). Sasa Mutic menegaskan bahwa setiap penundaan empat minggu dalam pengobatan kanker dapat meningkatkan risiko kematian hingga 10%.
Tantangan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti sistem kesehatan yang overload, kekurangan staf medis, ketersediaan teknologi radioterapi yang terbatas, dan proses manual yang rumit dalam perencanaan pengobatan. Pembicara menyampaikan inovasi dalam perbaikan alur radioterapi sebagai solusi untuk meningkatkan kelangsungan hidup pasien. Inovasi dalam bentuk kombinasi perancangan ulang alur kerja dan penggunaan teknologi inovatif terutama dalam penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk pra-perencanaan pengobatan yang dimulai sejak diagnosis.
Reporter:
Hanevi Djasri (UGM)
Sesi Paralel LEADERSHIP SUMMIT: Value-Based Care
Track Leadership pada hari pertama siang (10/9/2025) di konferensi HMA 2025 masuk ke banyak area clinical outcomes. Dr. Jamie Mervyn Liem, CEO Ren CI Hospital Singapura membawakan makalah dengan judul: Good outcomes at sustainable cost: How is that possible.
Value-based Care telah lama dibahas di sektor rumah sakit melalui 4 pendekatan stakeholders: (1) pasien dan keluarganya; (2) staf; (3) sistem dan organisasi; serta (4) donor, tenaga sukarela dan masyarakat umum.
Sebagai gambaran pendekatan pasien dan keluarganya harus memperhatikan mutu perawatan klinis dan pelayanan dan pelayanan yang terjangkau secara keuangan. Keluarga sangat membutuhkan patient-safety dan hasil klinis yang baik. Sementara jika dipandang dari sistem dan organisasi, terdapat berbagai ukuran seperti optimalisasi pelayanan dan proses, serta dana yang terpakai. Pada akhirnya dari pandangan organisasi pelayanan ada isu penting yaitu biaya memberikan pelayanan. RS Ren mengembangkan sebuah dashboard dengan berbagai kategori untuk menggambarkan indikator-indikator pencapaian value-based care. Ada berbagai alat untuk meningkatkan indikator antara lain Clinical Process Improvement Programme, Design Thinking, PDCA cycle, Production and Process Preparation, LEAN, Value Stream Mapping, Time-driven Activity Based Costing, hingga tool dari International Consortium for Health Outcome Measurement.
Pembicara berikutnya Dr. Piyaporn Thipayarat, Hospital Director and Chief Medical Officer Bangkok Hospital Pattaya Thailand membahas mengenai Taking Value-based care beyod one-size-fits-all.
Bangkok Hospital Pattaya mengembangkan sebuah praktek manajemen dengan metafora seperti NASA: Mission to the Moon. Targetnya adalah meningkatkan usia harapan hidup dan kesehatan yang lebih baik di atas 85 tahun. Program ini dilakukan dengan berbagai pendekatan pelayanan khusus, misalnya untuk jantung, otak, sampai tulang. Untuk jantung misalnya ada kegiatan yang bersifat end-to-end dari prevention & detection, manajemen medik, pre-operative, intervensi, post operative care, rehabilitasi sampai surveillance untuk survival. Dalam hal ini, ada hierarki outcome, mulai dari status klinis sampai ke fungsional. Di akhir ada gambaran futuristik mengenai masa depan dunia yang mengarah ke Value Based.
Pembicara ketiga Bastion Rackow. Global Health of Value Partnerships, Enterprise Services, Siemens Healthineers Germany tentang Comprehensive Cancer Care to improve outcomes and enhance the patient experience.
Penyakit kanker merupakan tsunami yang silent. Secara perlahan meningkat terus dengan penderita yang semakin banyak. Penanganan pasien kanker ternyata sangat rumit, mulai dari dokter umum, dokter spesialis kanker, radiologist, ahli kanker menggunakan radiasi, medical oncologist, dokter bedah, sampai radiologis intervention. Penyebab kanker juga sangat bervariasi di setiap bangsa. Misal untuk kanker hati, penyebab berbeda-beda antara negera. Hal yang menarik di negara maju terjadi perbedaan, misal angka survival dalam bulan untuk pasien-pasien kanker hati antara Amerika Serikat dan Jepang.
Perawatan kanker membutuhkan pendekatan komprehensif, termasuk mengatasi beban psikologis pasien dan keluarga. Pembicara menekankan bahwa jawaban untuk tantangan perawatan kanker melalui pendekatan komprehensif yang dilakukan dengan 2 jalur: (1) pendekatan multi disiplin yang melibatkan berbagai profesi, antara lain: oncologist, pathologist, ahli bedah, nuclear physician, radiologist, palliative care expert, nutritionis, perawat, sampai ahli psikologi; dan (2) melakukan pelayanan terintegrasi yang kontinum mulai dari prevention, early detection, diagnosis. treatment, survivorship & palliative care.
Reporter: Laksono Trisnantoro (UGM)
Sesi Pararel LEADERSHIP SUMMIT: Succession Planning & Emerging Leaders
- Technological Platforms in Change Management
- Thomson Medical Group Transformation Journey
- Dr. Melvin Heng
- Group CEO Thomson Medical Group
Thomson Medical Group mempunyai 3 RS yang menekankan pentingnya perubahan karena meningkatnya demand for better care dan meningkatnya harapan pasien yang semakin besar. Situasi di RS selama ini masih terjadi inefisiensi operasional, sistem lama yang buruk, fragmented worklines, burnt out di kalangan dokter dan kekurangan SDM. Oleh karena itu perlu ada manajemen perubahan yang terstruktur (misalnya menggunakan ADKAR, Kotter Model).
8 Langkah Kotter adalah model manajemen perubahan yang memandu organisasi melalui transformasi dengan menguraikan delapan tahap berurutan: 1. menciptakan rasa urgensi, 2. membentuk koalisi pemandu, 3.menciptakan visi untuk perubahan, 4. mengkomunikasikan visi, 5. memberdayakan tindakan, 6. menghasilkan kemenangan jangka pendek, 7. mengkonsolidasikan keuntungan, dan 8. membuat jangkar agar terus terjadi perubahan dalam budaya. Pendekatan terstruktur ini membantu para pemimpin mengelola proses secara efektif dan memastikan bahwa perubahan berkelanjutan dan menjadi bagian dari praktik yang ditetapkan organisasi.
Sementara model ADKAR, merupakan singkatan dari Awareness, Desire, Knowledge, Ability, dan Reinforcement. Model perubahan ini kemudian dikelola melalui platform sistem informasi manajemen yang dapat digunakan oleh rumah sakit lain. Dengan demikian sistem yang digunakan merupkan sebuah produk RS. Jadi Departemen Informatika di RS ini bukan cost-centre saja. Pengembangan Hospital Management System dilakukan dengan pendekatan integrasi peralatan medik, diagnotik, manajemen data klinis secara real time, kepatuhan pada aturan, dan kesiapan untuk AI.
Dalam pengembangan ini, Clinical leaders harus aktif karena menyangkut sumber daya yang berasal dari sistem mikro.
Bridging Vision and Reality:”Where Prince of Wales Hospital Development needs Leadership for the future”
Dr. Ada Yu. CEO Prince of Wales Hospital, Shatin, Hongkong
Pada 2016 muncul kebijakan untuk membangun ulang RS Prince Williams di Hongkong. Proyek ini sangat besar dan dapat dikatakan megaproyek yang membutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk pengembangan visi, perencanaan sampai konstruksi dan penggunaan. Program ini menekankan bahwa pengembangan RS harus berdasarkan perencanaan pelayanan klinis yang baik dan pengembangan arsitektur fisik sebagai cara untuk meningkatkan kinerja klinis.
Oleh karena itu dibentuk berbagai kelompok pelayanan klinis, antara lain: Cardiothoracis. Maternity and Child Health, Kidney, Gastro intestinal, Neuroscience, Muskuloskeletal. Para clinical Leaders mengkaji pelayanan dan merencanakan dengan arahan tata kelola (governance RS) yang tepat. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain:
Step 1, Bring the Vision dengan memadukan para spesialis. Misal dalam perencanaan bagian kardiologi, ada Cardiologist Programme Floor mulai dari diagnostic imaging, interventional treatment, in-patient services, day services, sampai rehabilitation services.
Step 2: Forming Users Groups, sejak 2015 dilakukan pemetaan clinical leaders dan stakeholders mapping. Pada tahun itu juga para pemimpin klinis diminta untuk melibatkan klinisi-klinis yang lebih muda di 2-3 generasi.
Step 3 adalah Clinical Serviucie Plan, berbagai tim klinis mulai bekerja dan melakukan perubahan sejak itu dengan cara melibatkan manajer menengah.
Step 4, melibatkan para pengguna dalam perencanaan dengan cara menyelenggarakan pertemuan-pertemuan stakeholders. Dalam upaya tersebut, digunakan alat bantu yaitu Mendelows power-interest grid. Jadi bukan hanya mengelola stakeholder, melainkan juga sampai melibatkan mereka.
Step 5. Communication. Communication for the Project dilakukan dengan intensif agar terjadi pemahaman akan perencanaan yang baik selama 10 tahun. Terjadi 400-an pertemuan yang terdokumentasi dengan rapih.
Step 6, menyiapkan penyerahan operasional yang dilakukan dengan tata kelola RS (governnance) yang disiapkan secara detail. Sebagai catatan, para pemimpin RS banyak yang berganti karena proses perubahan mencapai 10 tahun. Pada 2027, program tersebut direncanakan akan selesai. Program ini memang melibatkan para pemimpin klinik dan manajemen yang muda-muda. Mereka yang antusias, penuh energi, dan selalu siap keluar dari comfort zone menjadi pelaku penting dalam proses 10 tahun ini.
Reporter: Laksono Trisnantoro (UGM)
Patient Experience: dari Pasien menjadi Partner dalam Meningkatkan Pengalaman Pasien di RS
Tahun 2025 ini, acara Hospital Management Asia (HMA) kembali fokus pada prinsip-prinsip inti manajemen rumah sakit, yaitu: Kualitas dan keselamatan layanan; Pengalaman pasien; dan Kepemimpinan yang efektif. Teknologi digital telah menjadi sorotan utama di HMA 2024 di Bali, dan pada HMA Vietnam 2025 ini memperdalam konteks bagaimana teknologi dapat meningkatkan area-area inti tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka sesi pararel HMA 2025 dibagai menjadi 3 bagian dan beberapa sub-bagian sebagai berikut:
A. Quality and Safety
- Early Detection & Clinical Decision-Making
- Transforming Care Delivery
- Preventing Hospital-Acquired Infection (HAI)
- Addressing Safety Risks & Concerns
- Turning Data into Operations
B. Patient and Staff Experience
- Efficiency, Advocacy & Partnership (patient)
- Putting Patients First (patient)
- PREMS, PROMS, Solutions & Results (patient)
- Engagement & Collaboration (staff)
- Staff Safety & Wellbeing (staf)
- Streamlining Workflow with Connected Patient Care
C. Leadership Summit
- Healthcare Cost VS Quality
- Value-Based Care
- Succession Planning & Emerging Leaders
- Hospital @ Home
- Medical Tourism
- Risk Management & ESG
Reportase ini akan berfokus kepada sesi Patient Experience and Staf Experience dengan mengambil intisari konsep dan penerapan dari para pembicara multi nasional.
Sesi Pararel 1: Implementing patient experience programmes centred around People, Process and Design oleh Dr Maria Glenda T. Montaña, Patient Experience Division Head, Davao Doctors Hospital, Philippines
Maria membagikan perjalanan transformasi rumah sakit dalam meningkatkan pengalaman pasien. Fokus utama adalah mempercepat proses perpindahan pasien dari IGD ke ruang rawat (ER-to-admission turnaround). Sebelum 2023, pasien rata-rata menunggu 6–8 jam akibat proses manual, komunikasi antar-departemen yang terputus, serta kurangnya sistem pemantauan. Hal ini mendorong munculnya keluhan pasien yang merasa cemas, bingung, dan tidak mendapat kepastian.
Rumah sakit kemudian mengadopsi kerangka People–Process–Design:
- People: membangun akuntabilitas, kolaborasi, dan mengatasi resistensi staf melalui playbook standar, turnaround champions, serta real-time dashboard.
- Process: memperbaiki alur penempatan tempat tidur dengan sistem manajemen terintegrasi, mempercepat respon dokter, dan mengganti proses berlapis dengan sistem one-call admission.
- Design: digitalisasi antrian, pemantauan pergerakan pasien secara real-time, serta dashboard otomatis untuk memastikan integritas data.
Hasilnya, waktu tunggu berkurang signifikan menjadi rata-rata 3 jam. Lebih penting lagi, perubahan ini menciptakan pengalaman pasien yang lebih positif: komunikasi lebih jelas, perawatan lebih cepat, serta staf yang merasa lebih berdaya.
Maria menekankan bahwa tujuan utamanya bukan sekadar kecepatan, melainkan juga menciptakan sistem yang efisien sekaligus penuh empati. “Pasien harus merasa didengar, dibantu, dan dihargai sebagai manusia,” tutupnya.
Sesi Pararel 2: From Patients to Partners: A shared patient advocacy journey at SGH oleh Serena Chua, Deputy Director, Patient Experience, Singapore General Hospital, Singapore dan Ellil Mathiyan Lakshmanan, Patient Expert and Mentor, SingHealth Patient Advocacy Network, Singapore General Hospital, Singapore
(catatan editor: Sesi ini merupakan salah satu dari dua sesi yang paling menarik pada hari I HMA 2025. Dibawakan secara tandem oleh Serena yang mewakili staf RS dan Ellil yang mewakili pasien).
Elliot, seorang patient partner sekaligus mentor di SingHealth Patient Advocacy Network (SPAN), Singapore General Hospital (SGH), menekankan pentingnya melibatkan pasien secara bermakna dalam pengambilan keputusan dan kebijakan kesehatan. SPAN lahir pada 2022 sebagai adaptasi dari inisiatif SingHealth (2017). Tantangan awal adalah bagaimana merekrut pasien dan keluarga yang tepat untuk menjadi partners. Solusinya adalah melalui jalur umpan balik pasien, poster rekrutmen, serta proses onboarding workshop yang memastikan mereka memahami peran, komunikasi, dan ekspektasi.
SPAN dibangun di atas empat strategi: 1) Partnership in Care – meningkatkan komunikasi pasien–tenaga kesehatan agar lebih jelas dan terpercaya. 2) Patient Safety – keterlibatan dalam Root Cause Analysis (RCA), kampanye keselamatan, dan kolaborasi dengan pusat kualitas. 3) Value-Based Care – memberi masukan agar layanan berfokus pada hal yang penting bagi pasien dan mengurangi prosedur yang tidak perlu. 4) Patient Journey – terlibat dalam setiap titik perjalanan pasien, mulai dari penamaan kampus baru hingga desain layanan.
Lebih dari sekadar memberi masukan, pasien di SPAN juga menjadi co-creators dalam kebijakan. Elliot menekankan pentingnya psychological safety: menciptakan ruang aman bagi pasien maupun staf untuk berbicara terbuka. Maskot Sora (boneka orang utan) hadir sebagai simbol bahwa suara pasien dihargai dalam setiap pertemuan.
SGH kini melihat pasien bukan hanya sebagai penerima layanan, tetapi sebagai “experiential experts” yang memperkaya perspektif rumah sakit. “Kita tidak kehilangan kendali dengan melibatkan pasien, justru kita mendapatkan kejelasan dan kebijaksanaan baru,” ujar Elliot.
Sesi Pararel 3: Centralised Intelligence, Decentralised Impact – Harnessing Command Center Technology to Drive Efficiency and Improve Patient Outcomes oleh Esther Ocrah, Senior Director, Command Center International, GE Healthcare, UK
(catatan editor: ini merupakan salah satu dari beberapa sesi yang disponsori oleh perusahaan besar teknologi kesehatan, seperti GE Healhtcare, Siemmens Healthcare, Abbot, dan sebagainya. Meski disponsori namun pembicaraan tidak terlalu terkait dengan penjualan produk, namun lebih ke arah pemaparan berbagai penelitian yang telah mereka lakukan, konsep implementasi yang mereka telah kembangkan, hingga evaluasinya)
Pada sesi ini, Esther Ocrah membahas bagaimana teknologi command center dapat menjadi jawaban atas tantangan operasional rumah sakit yang semakin kompleks. Dengan mengusung konsep Centralised Intelligence, Local Action, pihaknya menekankan bahwa integrasi data, penggunaan AI, dan desain alur kerja baru mampu meningkatkan efisiensi dan hasil perawatan pasien.
Esther menguraikan beberapa kendala utama yang sering ditemui, antara lain: Breakdown in Care Coordination: data yang terisolasi dan alur kerja manual menyebabkan keterlambatan, misalnya pada proses discharge; Lack of Systemness and Visibility: tidak adanya bahasa operasional bersama membuat rumah sakit sulit memanfaatkan sumber daya secara optimal; Staffing and Workflow Misalignment: jadwal kerja yang reaktif tanpa terhubung pada proyeksi kebutuhan pasien; Data Overload and Decision Paralysis: banyaknya dashboard yang terfragmentasi tanpa menghasilkan wawasan yang dapat langsung ditindaklanjuti.
Dalam mengatasi kendala tersebut, Esther menawarkan kerangka solusi melalui tiga pilar utama: Centralised Intelligence – integrasi data real-time lintas sistem, penggunaan AI, visualisasi, dan dashboard untuk memberikan situational awareness menyeluruh; Decentralised Impact – tim garda depan menerima alert dan wawasan langsung di tempat kerja mereka, sehingga keputusan dapat diambil cepat sesuai kebutuhan lapangan; dan Scalable System Wide – dapat diterapkan di berbagai tipe rumah sakit, baik publik maupun swasta, dengan memanfaatkan data yang sudah ada dan tanpa harus mengganti infrastruktur teknologi secara menyeluruh.
Lebih lanjut Esther menjelaskan bahwa keberhasilan command center ditopang oleh empat aspek: People: pembentukan tim, kolokasi, dan ekspeditor fokus; Process: re-engineering, manajemen perubahan, dan pekerjaan standar; Technology: transparansi real-time, prediksi, dan preskriptif; Strategy: visi strategis yang besar namun dapat dioperasionalkan. (catatan editor: diskusi saat coffee break dengan CEO dan Chief Information Officer (CIO) dari RS swasta besar di Indonesia menyatakan bahwa untuk teknologi tidak masalah, untuk strategi juga tidak masalah, yang berat adalah kompetensi dan motivasi SDM dan re-design serta kepatuhan terhadap proses).
Menurut Esther, GE Healthcare telah mengimplementasikan command center di lebih dari 300 rumah sakit, dengan capaian: Penghematan hingga USD 40 juta dari efisiensi; pengurangan 1 hari rata-rata lama rawat inap; peningkatan kapasitas untuk 500 pasien baru per tahun; penurunan 87% pembatalan operasi; dan pengurangan 50% kebutuhan tenaga kerja sementara.
Sesi Pararel 4: How AI can empower patient care in ER oleh Umar Ansari, Global Head of AI Clinical Solutions, Abbott, UAE
(catatan editor: sesi ini penuh dengan cerita pengalaman pribadi yang kemudian dimasukan ke dalam konteks pembicaraan dengan sangat tepat. Salah satu kalimat pembicara yang menurut editor sangat tajam adalah “AI tidak akan menggantikan dokter. Tapi dokter yang menggunakan AI akan menggantikan dokter yang tidak,”).
Umar memulai dengan analogi sederhana: perubahan generasi dalam cara mengemudi. Jika dulu mobil manual adalah standar, kini anak muda bahkan menganggap mobil yang dihidupkan dengan kunci (bukan dengan tombol “start”) adalah sebagai mobil “manual”. Begitu pula dengan kesehatan—generasi mendatang akan menghadapi sistem kesehatan yang sangat berbeda karena percepatan inovasi.
Perkembangan AI, ujarnya, melaju pesat. Hanya dalam hitungan bulan, kemampuan model seperti GPT-3.5 hingga GPT-5 melonjak signifikan, hingga mampu menembus skor ujian medis di atas 90 persentil. Namun, narasumber mengingatkan bahwa 97% data kesehatan dunia masih belum terpakai. Padahal, volume data mencapai 50 petabyte per hari, dengan 70% berasal dari diagnostik. “Tantangan kita adalah bagaimana menyaring data agar yang relevan bisa sampai ke tangan dokter, bukan membanjiri mereka,” jelasnya.
Sejumlah studi membuktikan dampak nyata AI. Di Amerika Serikat, algoritma sederhana berbasis biomarker berhasil menurunkan tingkat rawat ulang pasien gagal jantung dari 26% menjadi hanya 4%, sekaligus menghemat ratusan ribu dolar. Di Spanyol, pemanfaatan AI untuk pasien sepsis memangkas waktu pemberian antibiotik hingga tiga jam—selisih yang bisa menyelamatkan nyawa.
Meski potensinya besar, AI masih menghadapi tantangan: keakuratan, bias data, hingga fenomena hallucination atau jawaban keliru. Narasumber menegaskan kuncinya adalah penggunaan bijak. “AI bisa menghitung, menafsirkan, dan memberi saran. Tapi hanya manusia yang bisa merasakan emosi, empati, dan penderitaan pasien,” ujarnya.
Umar menutup sesi dengan penegasan bahwa masa depan kesehatan harus memadukan dua hal: bisnis dan kemanusiaan. “Tidak salah melihat kesehatan sebagai bisnis. Tapi jangan lupakan bahwa inti dari layanan kesehatan adalah kemanusiaan. AI harus membantu kita menjalankan keduanya.”
Sesi pararel 5: Biomarkers in the emergency department: Rapid diagnosis in the management of mild traumatic brain injury oleh Dr Maria Fuentes, ER Physician, Andaluz Health Services, Spain
(catatan editor: sesi ini sangat klinis, namun mengingatkan kepada para praktisi RS, bahwa salah satu cara meningkatkan pengalaman pasien dengan melakukan inovasi dalam teknis medis/klinis termasuk dengan mengembangkan metode/teknologi terbaru dalam diagnosa dan tatalaksana penyakit, tidak hanya perbaikan dari aspek manajerial. Disinilah peran penting dari Clincal Research Unit yang mulai banyak dikembangkan di Indonesia)
Sesi ini menghadirkan Dr. Mariola Fuentes, dokter spesialis emergensi di Rumah Sakit Granada, Spanyol, yang berbagi pengalaman klinis mengenai penggunaan biomarker dalam penilaian cedera otak traumatik ringan (mild traumatic brain injury atau TBI). Menurutnya, penggunaan biomarker telah mengubah praktik sehari-hari di unit gawat darurat dengan memberikan data objektif yang mendukung diagnosis cepat, efisiensi pelayanan, dan peningkatan keselamatan pasien.
Fuentes menekankan bahwa setiap menit sangat berarti di instalasi gawat darurat (IGD). Dokter seringkali harus mengambil keputusan cepat dengan informasi klinis yang terbatas. Kondisi overcrowding menambah tekanan, baik bagi tenaga medis maupun pasien yang harus menunggu lama. Selama ini, pemeriksaan fisik dan keterampilan klinis memiliki keterbatasan subjektivitas, sementara pemeriksaan pencitraan (CT scan) berisiko memberikan paparan radiasi yang tidak selalu diperlukan.
Seperti halnya biomarker troponin yang telah merevolusi penanganan nyeri dada dan infark miokard, kini muncul biomarker untuk TBI yang membantu mengurangi ketidakpastian diagnostik. Dua biomarker utama yang digunakan adalah Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) dan Ubiquitin Carboxy-terminal Hydrolase-L1 (UCH-L1). Keduanya dilepaskan segera setelah trauma kepala, spesifik pada jaringan otak, dan memberikan bukti biokimia objektif adanya cedera. Kombinasi GFAP dan UCH-L1 terbukti memiliki nilai prediktif negatif mendekati 99%. Artinya, bila hasil biomarker negatif, dokter dapat dengan aman menyatakan bahwa pasien tidak mengalami lesi intrakranial signifikan, sehingga CT scan tidak perlu dilakukan.
Fuentes memaparkan hasil implementasi biomarker di rumah sakitnya yang kini menjadi pionir di Spanyol, dengan menghasilkan dampak: Pengurangan CT scan yang tidak perlu, sehingga pasien terhindar dari radiasi berlebihan; Waktu tunggu lebih singkat, rata-rata menghemat 111 menit per pasien di IGD; Efisiensi biaya signifikan, dengan potensi penghematan sekitar 700 ribu Euro per tahun atau setara 200 Euro per pasien; Optimalisasi sumber daya, baik di IGD maupun departemen radiologi; dan Peningkatan kepuasan pasien, karena keputusan diagnosis lebih cepat dan lebih pasti.
Narasumber menutup paparannya dengan menekankan bahwa biomarker membawa pergeseran besar: dari ketidakpastian menuju keyakinan diagnostik. Inovasi ini bukan hanya meningkatkan hasil klinis pasien, tetapi juga mendukung keberlanjutan sistem kesehatan melalui efisiensi biaya dan pemanfaatan sumber daya.
Reporter:
Hanevi Djasri
Magister Manajemen Rumah Sakit UGM
dalam Proses Penulisan