Pos oleh :

chsm

Reportase 48th IHF World Hospital Congress (WHC) 2025 International Hospital Federation (IHF)

oleh:
Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua, FIHQN

Anggota Scientific Committee IHF Geneva
Ketua Kompartemen Mutu dan Tatakelola Klinis PERSI
Ketua Minat MMR, Departemen Kebijakan dan Manejemen Kesehatan UGM
Konsultan dan Peneliti, Pusat Kebijakan dan Manjemen Kesehatan FK KMK UGM

ihf251 700

Sebagaimana tahun lalu di Brazil, tahun ini WHC-IHF kembali mengusung lima tema utama yang menjadi fokus baik pada sesi pleno, sesi paralel, dan lokakarya, yaitu:

Kepemimpinan (Leadership)

  • Membahas berbagai peran kepemimpinan dalam mendorong transformasi strategis skala besar, termasuk tata kelola, kemitraan publik-swasta, dan reformasi layanan kesehatan nasional.
  • Mengidentifikasi dan menangani tantangan terbesar bagi para pemimpin: antara lain menyusun strategi tenaga kerja yang efektif untuk mengatasi kekurangan, burnout, dan peningkatan kapasitas SDM.
  • Berbagai pemikiran kepemimpinan yang berpusat pada pasien, membangun sistem yang tangguh, dan termasuk kepemimpinan peran rumah sakit swasta dalam mencapai Cakupan Kesehatan Universal (UHC).
  • read more

    Reportase Webinar Tematik Sejarah Kebijakan Kesehatan Seri 4

    “Perkembangan Kebijakan Komponen-Komponen Sistem Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023”

    PKMK-Yogyakarta.  Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bekerjasama dengan Departemen Sejarah FIB UGM menyelenggarakan Webinar Seri Sejarah Kebijakan Kesehatan “Perkembangan Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023” pada Agustus hingga November 2025. Kali ini webinar mengangkat tema “Pelayanan Kesehatan” yang diselenggarakan pada Selasa (11/11/2025). Webinar ini menyoroti berbagai dinamika dan kebijakan dalam pelayanan kesehatan Indonesia sejak era reformasi hingga masa pasca-pandemi COVID-19. Melalui paparan para pembicara, kegiatan ini mengulas bagaimana desentralisasi, jaminan kesehatan nasional, dan transformasi sistem kesehatan berperan dalam membentuk arah pelayanan kesehatan yang lebih merata dan berkeadilan sosial.

    Dalam pengantar seri ini, Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., dalam pengantarnya, Prof. Laksono menekankan pentingnya meninjau perjalanan historis kebijakan pelayanan kesehatan Indonesia sejak era desentralisasi awal 2000-an hingga reformasi kebijakan terkini. Pihaknya menjelaskan bahwa desentralisasi membawa perubahan besar terhadap peran dan fungsi pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, menciptakan dinamika baru dalam tata kelola sektor ini. Prof. Laksono mengajak peserta untuk melihat proses historis transformasi tersebut sebagai catatan penting bagi pengembangan kebijakan masa depan. Prof Laksono menegaskan pentingnya dokumentasi dan kajian sejarah seperti webinar ini sebagai sumber pembelajaran publik. Mengutip sejarawan Stephen Ambrose, “melihat masa lalu adalah sumber pengetahuan, dan masa depan adalah sumber harapan,” menandakan bahwa studi sejarah kebijakan kesehatan bersifat reflektif dan prospektif. Sebagai penutup, pihaknya menyampaikan apresiasi kepada para narasumber, Iztihadun Nisa, SKM., MPH., dan Dr. Abdul Wahid, M.Hum., M.Phil yang mewakili kolaborasi lintas disiplin antara Departemen Sejarah FIB dan Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM, dalam upaya menelusuri dan menuliskan sejarah kebijakan kesehatan Indonesia.

    Dalam paparannya, Dr. Abdul Wahid, M.Hum., M.Phil. menjelaskan perjalanan kebijakan pelayanan kesehatan Indonesia selama dua dekade, dari masa desentralisasi (1999–2009) hingga lahirnya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN, 2009–2019). Pemaparannya merujuk pada hasil penelitian lintas disiplin yang terangkum dalam buku Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia: Dari Desentralisasi hingga Pasca COVID-19, kolaborasi antara FKKMK dan FIB UGM dengan dukungan Kementerian Kesehatan RI. Dr. Wahid menegaskan bahwa kebijakan kesehatan perlu dipahami secara luas, mencakup keputusan publik dan swasta yang mempengaruhi sistem kesehatan nasional. Dr Wahid menggunakan kerangka six building blocks WHO seperti pelayanan, tenaga, informasi, teknologi dan produk, pembiayaan, serta tata kelola sebagai dasar analisis keterpaduan sistem kesehatan. Pada periode pertama (1999–2009), desentralisasi menjadi titik balik penting dalam tata kelola kesehatan. Pemerintah pusat melimpahkan kewenangan kepada daerah untuk mempercepat pengambilan keputusan dan memperluas layanan. Namun, penelitian menunjukkan banyak daerah belum siap, sehingga muncul ketimpangan antar wilayah, lemahnya koordinasi, dan keterbatasan sumber daya manusia. Meski demikian, lahir sejumlah kebijakan kunci seperti Gerakan Nasional Kehamilan Aman, Program perbaikan gizi dan pencegahan stunting, Pekan Imunisasi Nasional, serta Paradigma Sehat dan Visi Indonesia Sehat 2010. Pembentukan BNPB (2008) juga menjadi tonggak kesiapsiagaan bencana di sektor kesehatan.

    Memasuki periode kedua (2009–2019), arah kebijakan bergeser pada penguatan sistem JKN dan perluasan akses layanan. Pemerintah mendorong kolaborasi fasilitas kesehatan dengan BPJS, membuka investasi swasta, serta memperkuat mutu dan keselamatan pasien melalui standar internasional seperti JCI. Layanan primer dan berbasis keluarga diperluas melalui Program Indonesia Sehat, disertai perhatian pada layanan paliatif, kesehatan jiwa (Program Indonesia Bebas Pasung 2012), serta pengembangan pengobatan tradisional dan wisata kesehatan. Kendati berbagai reformasi dilakukan, Dr. Wahid menilai sistem kesehatan Indonesia masih menghadapi tantangan struktural: ketimpangan distribusi tenaga kesehatan, tumpang tindih kewenangan pusat-daerah, dan kesiapan kelembagaan rumah sakit yang belum merata dimana kondisi yang kian tampak saat pandemi COVID-19. Beliau menutup dengan refleksi bahwa dua dekade reformasi kesehatan menunjukkan kemajuan penting, namun belum sepenuhnya menjawab persoalan dasar tata kelola dan pemerataan layanan. Karena itu, memahami dinamika 1999–2019 menjadi pijakan penting bagi transformasi kebijakan kesehatan yang lebih berkelanjutan ke depan.

    Paparan berikutnya dilanjutkan oleh Iztihadun Nisa, SKM., MPH. yang membahas  fase penting dalam sejarah kebijakan kesehatan Indonesia, yaitu masa pandemi COVID-19 dan transformasi sistem kesehatan pasca-pandemi. beliau menjelaskan bagaimana krisis global tersebut menjadi momentum penting untuk mereformasi tata kelola pelayanan kesehatan nasional secara menyeluruh. Sebagai dasar analisis, Atun menegaskan bahwa penulisan sejarah kebijakan ini berangkat dari amandemen UUD 1945 serta berbagai peraturan kesehatan di tingkat pusat dan daerah. beliau mengingatkan bahwa pandemi bukan peristiwa baru dalam sejarah, melainkan pola berulang yang pernah terjadi seperti pada wabah flu burung. Dari perspektif sejarah, pandemi menjadi cermin rapuhnya sistem kesehatan sekaligus pemicu perubahan struktural yang besar.

    Dalam konteks pandemi COVID-19, pemerintah Indonesia menetapkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang kedaruratan kesehatan masyarakat dan Keppres Nomor  12 Tahun 2020 yang menetapkan COVID-19 sebagai bencana nasional. Kebijakan ini disertai pembentukan Gugus Tugas COVID-19, yang melibatkan lintas sektor, bukan hanya bidang kesehatan, melainkan juga keamanan, pemerintahan, dan sosial yang menjadi model awal kolaborasi multisektor yang kuat. Masa pandemi menunjukkan kerentanan sarana dan prasarana kesehatan nasional, ditandai keterbatasan alat, ruang isolasi, dan sumber daya manusia. Pemerintah kemudian menerapkan strategi adaptif melalui kebijakan “3T” (Testing, Tracing, Treatment) berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Keputusan Menkes Nomor 107 Tahun 2020. Program ini dijalankan secara kolaboratif oleh berbagai instansi, termasuk TNI, Polri, dan pemerintah daerah.

    Memasuki fase transformasi sistem kesehatan pasca-pandemi, Kementerian Kesehatan meluncurkan enam pilar transformasi kesehatan, dengan fokus utama pada pelayanan primer dan rujukan. Pada pilar pertama, transformasi pelayanan primer diarahkan untuk memperkuat screening kesehatan di tingkat masyarakat melalui modernisasi alat di Puskesmas dan Posyandu, revitalisasi fasilitas, digitalisasi pencatatan, serta perluasan imunisasi (termasuk vaksin HPV, PCV, dan Rotavirus). Program ini sejalan dengan visi “Life long and life well,” yang menekankan peningkatan kesehatan fisik dan mental sepanjang siklus hidup. Pada pilar kedua, transformasi layanan rujukan dilakukan dengan membagi rumah sakit ke dalam tiga tingkat (madya, utama, dan paripurna), memperluas fasilitas seperti MRI, CAT Lab, dan PET Scan, serta meningkatkan layanan untuk penyakit prioritas seperti kanker, jantung, stroke, dan urologi. Pemerintah juga menegakkan standar mutu ruang rawat inap nasional (Perpres Nomor 59 Tahun 2024) dan memperkuat kolaborasi internasional rumah sakit. Kebijakan Hospital-Based Education diatur untuk menjadikan rumah sakit pendidikan sebagai pusat utama pelatihan tenaga medis, sementara UU Nomor 17 Tahun 2023 memberi dasar hukum baru bagi transplantasi organ dan kolaborasi rumah sakit pemerintah-swasta. Dalam era pasca-pandemi, kebijakan diperkuat melalui UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024 (Omnibus Law Kesehatan). Fokus utamanya meliputi: integrasi layanan primer berbasis siklus hidup, penguatan medical wellness dan kesehatan paliatif, serta penegakan mutu dan akreditasi. Layanan pengobatan tradisional juga dilembagakan dengan pengawasan ketat untuk menjamin keamanan dan manfaatnya.

    Sebagai penutup, Atun menegaskan bahwa pandemi COVID-19 menjadi titik balik yang mengungkap lemahnya fondasi dan koordinasi sistem kesehatan nasional. Dari krisis tersebut, Kementerian Kesehatan mengambil langkah besar melalui Transformasi Kesehatan 6 Pilar, sebagai bentuk perbaikan menyeluruh pasca stagnasi panjang sejak era desentralisasi. Menurutnya, terbitnya UU Kesehatan 2023 menandai era baru dalam reformasi sistem kesehatan Indonesia, dengan tujuan mengharmonisasi regulasi dan memperkuat peran pemerintah sebagai regulator utama untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang lebih tangguh, inklusif, dan berkeadilan.

    Informasi selengkapnya:

    https://sejarahkesehatan.net/seri-webinar-tematik-sejarah-kebijakan-kesehatan/

    Rekaman kegiatan:

    https://www.youtube.com/live/Fkq0d_zj9WU?si=9pdsV8LlwrZTzsOp

    Reporter:
    Galen Sousan Amory, S. Sej.

    SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera,
    SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan

    Reportase Webinar Memahami Permenkes Nomor 11 Tahun 2025: Konsolidasi Standar Risiko dalam Ekosistem Kesehatan Nasional

    Senin, 10 November 2025 

    Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM menyelenggarakan seminar daring bertajuk “Memahami Permenkes Nomor 11 Tahun 2025: Konsolidasi Standar Risiko dalam Ekosistem Kesehatan Nasional” pada Senin, 10 November 2025. Kegiatan ini membahas secara komprehensif Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2025 yang menjadi tonggak penting dalam implementasi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) di subsektor kesehatan. Regulasi ini tidak hanya menyatukan berbagai standar kegiatan usaha dan produk/jasa kesehatan, tetapi juga menjadi pedoman utama bagi pemerintah pusat, daerah, dan pelaku usaha mulai dari rumah sakit, klinik, laboratorium, apotek, hingga distribusi alat kesehatan untuk memastikan sistem kesehatan yang lebih transparan, aman, dan adaptif terhadap risiko.

    Materi Video

    Sebagai pembuka, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. menekankan bahwa Permenkes ini merupakan wujud komitmen pemerintah dalam melindungi masyarakat dari potensi risiko usaha di bidang kesehatan. Ia menilai regulasi ini mencerminkan sistem kesehatan Indonesia sebagai learning health system yang terus belajar dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat. Prof. Laksono menegaskan, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada tiga faktor utama: kepemimpinan dan budaya organisasi, desain sistem, serta ketersediaan sumber daya. Melalui kebijakan ini, diharapkan muncul pemahaman baru tentang klasifikasi risiko dalam pelayanan kesehatan dan penguatan fungsi perizinan, pengawasan, serta pembelajaran lintas organisasi.

    Materi Video

    Sementara itu, Erwin Hermanto menjelaskan bahwa Permenkes Nomor 11 Tahun 2025 bertujuan memastikan ekosistem kesehatan memiliki standar yang jelas bagi kegiatan usaha dan produk/jasa, serta memperkuat pengawasan melalui sanksi administratif yang tegas. Dengan pendekatan berbasis risiko rendah, menengah, dan tinggi, kebijakan ini mendorong efisiensi investasi, penyederhanaan perizinan, peningkatan kepatuhan, serta perbaikan kualitas dan keamanan produk. Namun, keberhasilan implementasinya membutuhkan kesiapan infrastruktur, SDM, koordinasi lintas lembaga, dan pembinaan berkelanjutan agar tidak terjadi over regulation yang justru menghambat inovasi dan efisiensi sektor kesehatan.

    Materi Video

    Selanjutnya, Dr. dr. Beni Satria, S.Ked., M.Kes., SH., M.H., CHPM., CPMed., CPArb., CPCLE., FISQua menyoroti dinamika perubahan regulasi perumahsakitan dari UU No. 44 Tahun 2009 hingga UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan UU Cipta Kerja. Ia menjelaskan bahwa sistem perizinan rumah sakit kini diarahkan menuju perizinan berbasis risiko yang lebih terintegrasi sesuai PP No. 28 Tahun 2025. Permenkes 11/2025 menjadi langkah lanjutan untuk menyatukan standar kegiatan usaha dan produk/jasa subsektor kesehatan melalui dua jenis izin utama: Perizinan Berusaha (PB) dan Perizinan Berusaha untuk Menunjang Kegiatan Usaha (PB-UMKU). Dr. Beni menekankan pentingnya sinkronisasi antara pusat dan daerah dalam implementasi OSS serta kepatuhan terhadap standar risiko tinggi agar kebijakan ini benar-benar efektif dan tidak menambah beban administratif bagi fasilitas kesehatan.

    Materi Video

    Pembicara terakhir, Rico Mardiansyah, S.H., M.H., menjelaskan bahwa Permenkes Nomor 11 Tahun 2025 merupakan turunan dari PP Nomor 28 Tahun 2025 yang menyederhanakan perizinan berbasis risiko melalui sistem Online Single Submission (OSS). Regulasi ini memisahkan klasifikasi rumah sakit berdasarkan kemampuan pelayanan Paripurna, Utama, Madya, dan Dasar serta mengubah sistem rujukan menjadi berbasis kompleksitas kasus, bukan jenjang kelas. Izin usaha kini berlaku tanpa batas waktu selama standar dipenuhi, dengan pengawasan difokuskan pada kepatuhan dan transparansi. Kebijakan ini diharapkan menciptakan tata kelola sektor kesehatan yang lebih efisien, akuntabel, dan mendorong investasi berkelanjutan.

    Sebagai penutup, Prof. Laksono Trisnantoro menekankan bahwa pembahasan mengenai implementasi Permenkes Nomor 11 Tahun 2025 masih perlu dilanjutkan melalui pertemuan lanjutan yang lebih fokus dan mendetail. Ia menyoroti pentingnya memperkuat fungsi pengawasan Dinas Kesehatan, memastikan kesiapan sumber daya manusia kesehatan, serta menyesuaikan mekanisme perizinan dan pengawasan agar selaras dengan regulasi baru. Prof. Laksono juga menekankan perlunya analisis mendalam terhadap masa transisi dan dampak pencabutan aturan lama agar kebijakan berjalan efektif tanpa menghambat pelaksanaan di lapangan.

    Untuk mempelajari lebih lanjut tentang Permenkes 11 Tahun 2025 dapat mengakses : https://bit.ly/MRS_Permenkes112025

    Reportase oleh: Iztihadun Nisa, S.K.M., M.P.H.

    Presentasi Policy Brief Fornas JKKI XV

    Pekan ini, Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) menggelar presentasi Policy Brief atau memasuki fase pasca Forum Nasional JKKI XV pada 11 hingga 13 November 2025. Sejumlah topik menarik dipaparkan oleh para presenter policy brief, mulai dari tuberkulosis, rencana induk bidang kesehatan (RIBK), diabetes melitus (DM), climate resilience, gizi kesehatan, integrasi layanan primer, bencana kesehatan, layanan rujukan, alat kesehatan, dokter spesialis, kebijakan obat, dan organisasi kesehatan. Rangkaian kegiatan ini dapat diakses secara gratis dan terbuka untuk umum. Webinar dapat disimak saat acara berlangsung dengan bergabung melalui link https://pkmkfk.net/policybriefjkki

    Webinar Memahami Permenkes Nomor 11 Tahun 2025: Konsolidasi Standar Risiko dalam Ekosistem Kesehatan Nasional

    Dalam upaya memperkuat tata kelola sektor kesehatan di Indonesia, pemerintah terus melakukan pembaruan kebijakan yang menyesuaikan dengan dinamika regulasi dan kebutuhan pelaku usaha. Salah satu kebijakan terbaru yang menjadi perhatian adalah penerbitan eraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2025, yang berfokus pada penerapan standar kegiatan usaha dan produk/jasa berbasis risiko di subsektor kesehatan. Webinar dilaksanakan pada 10 November 2025 dan dapat diikuti umum melalui https://pkmkfk.net/webinarPermenkes11 . Webinar ini harapannya dapat menginisiasi diskusi lintas pelaku agar kebijakan tidak berhenti di dokumen, tetapi mengubah behavioral logic operasional di lapangan. read more

    Reportase Topik #3 Kebijakan Climate-Resilient dan Low Carbon Health System

    Perubahan iklim kini menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat di Indonesia maupun dunia. Dampaknya tidak hanya meningkatkan risiko berbagai penyakit, melainkan juga menekan kapasitas sistem kesehatan nasional yang meliputi struktur pelayanan kesehatan, sumber daya manusia, hingga infrastruktur fasilitas kesehatan. Di sisi lain, sektor kesehatan juga berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca melalui konsumsi energi, limbah medis, serta rantai pasok farmasi dan alat kesehatan yang berjejak karbon tinggi. read more

    Reportase Fornas Topik #2 Kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis dalam UU Kesehatan 2023

    Part 1 Part 2 Part 1

    Forum Nasional XV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) 2025 hari kedua dibuka dengan penuh semangat di Common Room Gedung Penelitian dan Pengembangan FK-KMK UGM. Acara dipandu oleh Ubaid Hawari, S.IKom selaku Master of Ceremony (MC). Tema yang diusung pada hari kedua ini adalah “Kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis dalam UU Kesehatan 2023: Dari Agenda Setting Menuju Implementasi Kebijakan”. Tema ini diangkat untuk mengupas tuntas terkait pelaksanaan program pendidikan dokter spesialis (residen) di Indonesia berdasarkan UU Kesehatan 2023 sebagai upaya untuk mencari solusi implementatif untuk mencetak dokter spesialis yang berkualitas dan mengatasi tantangan pemerataan di Indonesia. read more

    Reportase Forum Nasional XV JKKI – Sesi Pleno 1

    Selasa, 28 Oktober 2025

    Forum Nasional XV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) tahun 2025 dibuka dengan suasana penuh semangat di Auditorium Tahir FK-KMK UGM. Kegiatan ini diselenggarakan oleh JKKI bekerja sama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM, dengan mengusung tema “Implementasi Kebijakan Transformasi Sektor Kesehatan dalam UU Kesehatan 2023”. Acara pembukaan dipandu oleh dr Maria Silvia Utomo selaku pembawa acara, yang membuka kegiatan dengan mengingatkan bahwa pembukaan Fornas kali ini bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda. Maria menyampaikan harapan agar Fornas XV menjadi wadah kolaborasi lintas sektor dalam memperkuat sistem kesehatan nasional.

    Sesi sambutan dimulai dengan Prof. Yodi Mahendradhata selaku Dekan FKKMK UGM. Dalam sambutannya, Prof Yodi menekankan pentingnya transformasi kesehatan sebagai bagian dari misi membangun ketangguhan sistem kesehatan nasional. Program kolaborasi global seperti 100 Days Mission mengangkat komitmen memperkuat kesiapsiagaan menghadapi pandemi di masa depan. Prof Yodi juga menegaskan bahwa JKKI dapat berperan sebagai mitra independen dan kolaboratif dalam menghasilkan kebijakan berbasis bukti. Sebagai akhir, Yodi mengapresiasi pelaksanaan Fornas yang diharapkan dapat melahirkan pemikiran kritis dan rekomendasi tajam bagi penguatan sistem kesehatan Indonesia.

    Sambutan berikutnya disampaikan oleh Dr. Lutfan Lazuardi selaku Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan. Lutfan menyoroti bahwa Fornas menjadi forum strategis yang selaras dengan tanggung jawab  departemen dalam mencetak pembelajar dan pemimpin yang adaptif terhadap dinamika kebijakan kesehatan. Harapannya, setelah 15 tahun penyelenggaraan, Fornas semakin berkembang menjadi ruang kolaborasi lintas disiplin, dimana topik-topik yang dimunculkan sangat cocok dengan building blocks yang disajikan di departemen.

    Selanjutnya, Dr. Andreasta Meliala, selaku Ketua PKMK FK-KMK UGM, menekankan pentingnya Fornas sebagai ruang berbagi kerangka berpikir dalam memahami dan mengevaluasi implementasi kebijakan. Dr Andreasta menyoroti bagaimana perubahan kecil dalam kebijakan di tingkat pusat dapat menimbulkan dampak besar di lapangan. Andreasta juga mengajak seluruh peserta untuk berpartisipasi aktif menyampaikan situasi di daerah masing-masing agar diskusi dalam Fornas benar-benar menggambarkan kondisi nyata. Di akhir sambutannya, beliau menyampaikan apresiasi kepada Prof. Laksono Trisnantoro sebagai motor penggerak utama JKKI yang telah menjaga keberlanjutan forum ini selama 15 tahun.

    Sebagai puncak sesi sambutan, Prof. Laksono, selaku Ketua JKKI, membuka secara resmi Forum Nasional XV. Dalam pengantarnya, Laksono menegaskan bahwa kegiatan ini mendapat perhatian besar dari Kementerian Kesehatan yang hari ini diwakili oleh Wakil Menteri Kesehatan, Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono. Prof. Laksono juga menyoroti perjalanan panjang JKKI

    sejak awal berdiri, dengan dinamika topik yang berkembang dari isu pembiayaan hingga transformasi sistem kesehatan pasca pandemi. Prof Laksono juga menekankan pentingnya kolaborasi riset dan pembiayaan mandiri, termasuk peran aktif mahasiswa dalam kegiatan Fornas.

    Keynote speech disampaikan oleh Prof Dante Saksono Harbuwono Wakil Menteri Kesehatan RI, untuk membuka sesi pleno I. Prof Dante menekankan pentingnya membangun sistem kesehatan yang tangguh dan terintegrasi sebagai pelajaran dari pandemi. UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menjadi payung hukum bagi visi jangka panjang untuk menciptakan sistem yang kuat, adil, dan berkelanjutan melalui enam pilar transformasi kesehatan. Dante menegaskan bahwa keberhasilan transformasi hanya dapat terwujud melalui keselarasan pemahaman seluruh pihak. Sebagai penutup, Prof. Dante mengapresiasi peran JKKI, PKMK, dan komunitas akademik sebagai mitra strategis pemerintah dalam mengawal implementasi kebijakan menuju Indonesia Emas 2045.

    Sesi pleno pertama mengangkat topik “Omnibus Law Kesehatan: Antara Simplifikasi Regulasi dan Potensi Masalah Hukum” dengan narasumber Dr. Rimawati dari Fakultas Hukum UGM, dimoderatori oleh Likke Prawidya Putri, Ph.D, dan dibahas oleh Prof. Laksono Trisnantoro.

    Dalam paparannya, Dr. Rimawati menjelaskan bahwa Omnibus Law Kesehatan bertujuan menyatukan berbagai regulasi sektoral guna menciptakan efisiensi dan keselarasan hukum di bidang kesehatan. Namun, di balik upaya simplifikasi tersebut, terdapat sejumlah potensi masalah hukum, antara lain konflik norma, tumpang tindih kewenangan antar lembaga, ketidakjelasan posisi organisasi profesi dan konsil, hingga pelemahan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dan pasien.

    Dr Rimawati juga menyoroti dinamika uji materiil dan formil UU Nomor 17 Tahun 2023 di Mahkamah Konstitusi, dimana sebagian besar permohonan dari organisasi profesi ditolak karena tidak memenuhi legal standing atau tidak menunjukkan pertentangan konstitusional yang jelas. Rimawati menekankan pentingnya penyusunan peraturan turunan yang adil dan transparan, serta pengawasan hukum yang konsisten agar pelaksanaan undang-undang ini tidak menimbulkan kesenjangan perlindungan hukum.

    Menanggapi paparan tersebut, Prof Laksono memberikan refleksi historis atas perjalanan reformasi

    kebijakan kesehatan di Indonesia. Prof Laksono  menegaskan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan merupakan bagian dari proses panjang reformasi untuk memperkuat akses, kualitas, dan kepastian hukum. Menurutnya, fase implementasi dan evaluasi perlu dipisahkan agar efektivitas kebijakan dapat diukur secara objektif, sementara riset implementasi kebijakan menjadi instrumen penting bagi akademisi untuk memastikan kebijakan publik benar-benar berdampak.

    Sesi diskusi diwarnai beragam pandangan dari peserta, baik terkait tantangan politik dalam pembentukan kebijakan, netralitas universitas dalam advokasi kebijakan publik, hingga masalah implementasi di lapangan. Dr Rimawati menegaskan pentingnya pemahaman lintas sektor terhadap regulasi agar kebijakan payung tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Dr Rimawati menekankan bahwa implementasi UU Kesehatan harus mempertimbangkan konteks lokal tanpa mengabaikan prinsip kesetaraan dan kepastian hukum. Diskusi juga menyinggung perlunya ruang kolaboratif berkelanjutan bagi para akademisi dan praktisi untuk berbagi temuan serta rekomendasi kebijakan. Prof Laksono menutup sesi dengan ajakan agar setelah Fornas kegiatan debat ilmiah yang produktif dapat difasilitasi dalam bentuk kelompok diskusi, bukan hanya forum seremonial. Acara pembukaan diakhiri dengan arahan dari dr Maria selaku MC, yang mengundang seluruh peserta untuk beristirahat sejenak dalam coffee break sebelum melanjutkan ke sesi paralel yang membahas empat topik utama hingga waktu ishoma.

    Reporter:
    Sensa Gudya Sauma Syahra (PKMK UGM)