Pos oleh :

chsm

Traveling Seminar Bangkok – Kuala Lumpur #hari 4

Buying Experience dan Observasi Pelayanan di Komune Living & Wellness, Kuala Lumpur dan Beacon Hospital, Selangor, Malaysia

Hari 4: Senin, 13 Oktober 2025

Kegiatan diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK–KMK UGM dan IAMARSI DIY

Traveling seminar Bangkok – Kuala Lumpur ditutup dengan kunjungan langsung untuk observasi pelayanan kesehatan yang diselenggarakan di Komune Living & Wellness, Kuala Lumpur dan Beacon Hospital, Selangor, Malaysia. Komune Living & Wellness merupakan integrasi antara pusat layanan kesehatan preventif wellness dan penginapan untuk masyarakat pada umumnya, dan khususnya untuk lansia. Layanan wellness tourism yang tersedia meliputi layanan kesehatan umum, kesehatan tradisional, massage dan spa, layanan kesehatan gigi, layanan ibu pasca melahirkan, serta layanan bayi dan anak-anak, serta fisioterapi. Sekitar lokasi penginapan juga terdapat taman yang dimanfaatkan selain untuk fungsi rekreasi, namun juga dimanfaatkan dalam terapi kesehatan.

Beacon Hospital merupakan RS Swasta dengan layanan unggulan perawatan kanker, didukung dengan dokter spesialis onkologi sebanyak 42 orang, serta jumlah tempat tidur kira-kira mencapai 100 unit. Saat ini Beacon Hospital sedang dalam pembangunan gedung baru yang akan dimanfaatkan untuk poliklinik spesialis serta dapat menambah jumlah TT. Waktu operasional pelayanan rawat jalan yaitu pada hari Senin-Sabtu, menyesuaikan dengan ketersediaan dokter. Dalam penyelenggaraan layanan rujukan pasien saat ini menggunakan sistem MoU dengan fasilitas pelayanan kesehatan terkait atau bisa langsung mengirimkan rujukan dalam keadaan darurat atau jika dibutuhkan.

Layanan untuk perawatan kanker di Beacon Hospital dimulai dari layanan preventif hingga rehabilitatif. Layanan preventif untuk kanker dilakukan dengan pelaksanaan skrining terhadap kanker menggunakan PET Scan, kemudian dilanjutkan dengan tindakan biopsi. Selanjutnya, perawatan kuratif dilakukan dengan kemoterapi atau radioterapi. Untuk layanan radioterapi, Beacon Hospital memiliki banyak perancang sendiri sehingga sangat memungkinkan untuk efisiensi pelayanan. Selain itu, perawatan ini juga banyak didanai oleh asuransi kesehatan. Jenis radioterapi yang digunakan diantaranya menggunakan radiosurgery (True Beam) dan radioterapi menggunakan alat Halcyon. Penggunaan alat True Beam dilakukan untuk lesi kanker yang dekat dengan organ – organ vital, dengan paparan terhadap lesi kanker secara presisi sehingga dapat terdeteksi gambaran bentuk lesinya.

Halcyon untuk radioterapi memiliki waktu penyinaran yang sangat singkat, sekitar 1,5 menit dengan total waktu yang dibutuhkan mulai dari persiapan pasien hingga selesai sekitar 8 menit. Terapi ini memang membutuhkan waktu yang sangat singkat, namun risiko yang mungkin ditimbulkan juga cukup tinggi karena alat ini memiliki jumlah exposure yang besar kepada pasien serta berisiko terkena bagian lain jika pasien bergerak selama perawatan berlangsung. Selain layanan Kanker, Beacon Hospital juga mempunyai layanan unggulan dalam bidang ortopedi, serta telah memiliki layanan untuk transplantasi organ.

Dalam pengembangan bisnis RS, Beacon Hospital sudah berdiriksejak 20 tahun yang lalu, serta terus mengembangkan layanan khususnya dalam perawatan kanker. Saat ini, jumlah kasus terhitung mencapai 200 kasus per bulan dengan capaian per Oncologist bisa mencapai 20 kasus baru. Pada 2024, Beacon Hospital telah bergabung dengan Asia OneHealthCare. Beberapa inovasi layanan untuk pasien juga dikembangkam, seperti layanan antar jemput bandara gratis, kerjasama dengan hotel untuk memberikan diskon penginapan kepada pasien dan keluarga, serta memberikan gratis penginapan di Apartemen milik Beacon Hospital pada pasien kanker yang menjalani radioterapi selama sebulan penuh. Selain memberikan diskon dan membebaskan biaya akomodasi pasien, Beacon Hospital juga menerapkan strategi pemasaran dengan fokus pada mengenali target pasarnya, sehingga tren pasar yang ada dapat dimanfaatkan untuk pengembangan inovasi produk berikutnya, khususnya untuk segmen pasar dari Indonesia. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, Beacon Hospital saat ini telah bekerja sama dengan RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten dalam bentuk knowledge sharing berupa webinar atau diskusi untuk internal RS serta dapat dibuka untuk masyarakat umum (Bestian).

Traveling Seminar Bangkok – Kuala Lumpur #hari 3

Buying Experience dan Observasi Pelayanan Gleneagles Hospital, Kuala Lumpur, Malaysia Serta Sharing Session Bersama Prof. Dr. Sharifa Ezat Wan Puteh

Hari 3: Minggu, 12 Oktober 2025

Kegiatan diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK–KMK UGM dan IAMARSI DIY

Kunjungan di Kuala Lumpur, Malaysia dimulai dengan observasi di Gleneagles Hospital, yaitu RS swasta yang menarget segmen pasar lokal dan internasional. RS ini didukung dengan 2 gedung utama. Gedung A terdiri dari IGD (Accident and Emergency), Farmasi, X-Ray, Diabetes Care, Rehabilitation Center, serta MOB Specialist Clinic. Sedangkan di Gedung B, terdiri dari 8 lantai dengan lantai Ground terdiri dari eye shop, ruang tunggu dan toko-toko retail. Lantai 1 terdiri dari toko 7 Eleven, Hand and Microsurgery, Rehabilitation, Farmasi, Breast Care, Neuro, serta Ruang IT, gas medis, listrik, telepon dan PTS Riser. Lantai 5 Gedung A terdiri dari Othopedica, Health Check Up, dan Heart Clinic; sedangkan lantai 8 terdiri dari poliklinik spesialis. Alur pelayanan dari Gleaneagles ini tidak dapat diamati karena kunjungan pada hari Minggu hampir tidak ada kunjungan di semua poliklinik, kecuali IGD.

Setelah kunjungan dari Gleneagles Hospital, kegiatan berikutnya yaitu dinner dan sharing session bersama Prof. Dr. Sharifa Ezat Wan Puteh dari Public Health Medicine Specialist, Faculty of Medicine, Universiti Kebangsaan Malaysia terkait dengan Malaysia’s Health System dan Medical Tourism. Dalam sistem pendanaan kesehatan di Malaysia, di samping berkembangnya private healthcare, masih banyak juga subsidi dari pemerintah. Sehingga meskipun sudah ada Universal Health Coverage, namun jumlah out of pocket juga semakin banyak. Saat ini presentase RS Pemerintah yang disubsidi sebesar 74,7% dengan masalah kesehatan terbesar yaitu diabetes mellitus, obesitas dan penyakit jantung, dengan penyebab kematian tertinggi yaitu Ischemic Heart Disease sebesar 16,1%. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan masalah kesehatan tersebut meliputi pola hidup yang kurang sehat, stres, gangguan kecemasan, hingga kebiasaan merokok. Hal ini diperparah dengan kondisi pasca pandemi COVID-19, dimana isu kesehatan mental mulai meningkat terutama pada remaja dan dewasa.

Pemanfaatan pelayanan kesehatan saat ini untuk layanan rawat jalan mencapai 12 juta RM untuk 1 keluarga dengan tingkat pendapatan rendah serta dengan jumlah anggota keluarga sebanyak 5 orang. Penggunaan asuransi kesehatan swasta mencapai angka 22% dari keseluruhan populasi pada tahun 2019 karena seluruhnya sudah disubsidi oleh pemerintah.

Dalam hal pengembangan sumber daya manusia, pendidikan dokter mulai dari kompetensi klinis hingga menjadi dokter masih terpusat dari Kementerian Kesehatan Malaysia dengan sistem Hospital Based, sehingga dokter-dokter tersebut mempunyai kewajiban untuk mengabdi di institusi tempat dia mendaftar. Namun, sistem pendidikan ini masih menemui tantangan, diantaranya banyak dokter yang resign karena wahana atau institusi fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah kurang, serta karena isu kesehatan mental seperti stres, depresi, dan isu bullying. Untuk pemberian honor dan insentif di RS Pemerintah, jasa dokter yang diberikan hampir semua merupakan gaji tetap, namun dapat ditambahkan dengan jasa pelayanan jika bertugas on call. Berbeda di RS swasta, saat ini terdapat regulasi baru terkait jasa dokter yang dapat diberikan secara fee for service untuk dokter-dokter senior. Selain itu, jika dokter tersebut bertugas di RS pemerintah, maka terdapat kewajiban untuk hanya melayani pasien private wings setelah jam kerja pelayanan selesai. Berbeda dengan RS swasta, dimana dokter senior dapat bebas hanya praktik di private wings saja. Terkait pembiayaan, bagian yang bertugas untuk menangani universal coverage adalah bagian medical development dari Kementerian Kesehatan; berbeda dengan di Indonesia yang UHC diatur oleh BPJS Kesehatan. UHC tersebut juga hanya diterapkan hanya di RS pemerintah saja, namun perhitungan biaya dalam UHC tersebut tidak didasarkan pada clinical pathway. Regulasi klinik swasta juga diatur sangat ketat untuk tidak boleh profit meskipun tidak melayani pasien-pasien UHC.

Aturan pemerintah saat ini terkait dengan loyalitas praktik, bahwa banyaknya tempat praktik yang diperbolehkan untuk masing-masing dokter dinilai oleh para supervisor di institusinya (berdasarkan workload dan faktor lainnya). Namun, untuk dokter yang bekerja di RS pemerintah ditetapkan regulasi bahwa gaji dokter di RS lain (RS Swasta) tidak boleh lebih dari 40% dari gaji RS asalnya. Saat ini rasio dokter dibanding pasien masih terpusat di Central Malaysia, namun di daerah pinggiran rasio tersebut masih buruk. Selain itu, gaji dokter di daerah tersebut juga dianggap kurang worthy sehingga dokter-dokter tersebut enggan untuk pergi ke daerah pinggiran. Kisaran angka gaji untuk dokter umum sekitar 3000-4000 RM, untuk dokter spesialis junior sebesar 12.000 RM, untuk dokter spesialis konsultan sebesar 30.000 RM, sedangkan untuk dokter-dokter di RS Swasta bisa mencapai 50.000-100.000 RM. Aturan lain terkait dokter asing juga diatur secara ketat dimana dokter-dokter asing tersebut boleh melakukan praktik di Malaysia dengan penyelesaian masa training selama 2 tahun.

Pengembangan medical & wellness tourism di Malaysia mulai dimanfaatkan sebagai cost savings karena dapat menghasilkan revenue di RS. Data kunjungan menunjukkan presentase 60% dengan dominasi asal kunjungan dari Indonesia, dengan kunjungan medical tourism lebih tinggi dibandingkan dengan wellness tourism. Berdasarkan tren kunjungan wellness di Malaysia, pelayanannya masih terpusat di primary care. Hal ini sesuai dengan konsep rujukan berjenjang dimana pelayanan dilakukan mulai dari primary care kemudian baru dirujuk ke RS jika membutuhkan penanganan lebih lanjut. Namun, beberapa RS Swasta saat ini juga mulai memiliki layanan wellness. Saat ini, group holding di Malaysia yang paling besar yang bergerak di bidang layanan kesehatan dan shopping complex serta layanan kesehatan yaitu Sunway Medical Center. Health tourism sendiri di Malaysia sudah memiliki lembaga yang menaungi dibawah naungan pemerintah kerajaan (Bestian).

Traveling Seminar Bangkok – Kuala Lumpur #hari 2

Buying Experience dan Observasi Pelayanan Bumrungrad International Hospital, Siriraj Piyamaharajkarun Hospital, Siriraj H. Solutions, Bangkok Thailand

Hari 2: Sabtu, 11 Oktober 2025

Setelah memperoleh pembahasan skema pendanaan kesehatan dari Prof. Siripen, hari kedua ini dimanfaatkan peserta untuk observasi langsung pada pelayanan yang dilakukan pada beberapa RS di Bangkok, Thailand. Kunjungan pertama yaitu pada Siriraj Hospital dan Siriraj Piyamaharajkarun Hospital, yang merupakan RS Pemerintah Afiliasi Pendidikan. Kedua RS ini merupakan satu kesatuan dari Siriraj Hospital namun berbeda segmen. Siriraj Hospital melayani pasien dengan UHC, sedangkan Siriraj Piyamaharajkarun Hospital merupakan private wings yang melayani pasien out of pocket dan asuransi kesehatan lainnya. Meskipun begitu, Siriraj Piyamaharajkarun Hospital lebih berfokus untuk melayani segmen pasar local Thailand, oleh karena itu, sebagian besar petugas di RS tersebut kurang mahir dalam bahasa Inggris.

Kegiatan diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK–KMK UGM dan IAMARSI DIY

Lokasi dari kedua RS tersebut juga sangat jelas berbeda. Siriraj Piyamaharajkarun Hospital terletak di samping Fakultas Kedokteran Universitas Mahidol, dengam kompleks yang lebih kondusif dan privat, di tepi Sungai Chao Praya dan juga terdapat kuil, taman dan museum di belakang gedung RS. Pintu masuk ke RS tersebut juga cukup luas dan tidak ramai. Siriraj Hospital terletak di pinggir jalan raya yang sangat ramai dan karena lalu lintas di jalan sudah sangat ramai sehingga cukup susah untuk masuk ke dalam RS tersebut.

Proses pelayanan yang diberikan staf juga sangat berbeda. Pasien Siriraj Hospital sangat padat sehingga ketika pasien akan dilakukan penilaian klinis vital sign, pasien harus menunggu dengan antrian yang panjang. Berbeda dengan Siriraj Hospital, Siriraj Piyamaharajkarun Hospital memiliki SDM yang cukup banyak dan pelayanan lebih cepat dengan fokus patient centered care. Saat pasien akan mendaftar, pasien mendatangi bagian admisi, kemudian pasien akan dipersilakan duduk kemudian alurnya ialah  bagian admisi serta perawat yang akan mendatangi pasien jika diperlukan konfirmasi lebih lanjut atau melakukan pemeriksaan awal pada pasien. Selain itu, di RS ini situasinya lebih tenang. Panggilan kepada pasien hanya dilakukan di loket farmasi yang menampilkan nomor antrian di layar monitor (dalam bahasa Thailand). Lalu untuk antrian di poliklinik, waktu tunggu juga cepat sehingga pasien tidak perlu menunggu lama didepan poli.

Budaya kerja yang diterapkan di Siriraj Piyamaharajkarun Hospital lebih berfokus pada hospitality dan patient centered care. Di depan pintu masuk masing-masing ruang Poliklinik, terdapat satu staf yang stand by dan satu security, dan di dalam ruangan terdapat nurse station dan bagian admisi. Selain itu, terdapat bagian relation officer di ruang tunggu bagian admisi RS yang membantu pasien jika membutuhkan informasi terkait letak ruangan atau proses pelayanan. Implementasi sistem informasi dalam proses pelayanan telah diterapkan dengan pemanfaatan IT selama proses pendaftaran melalui website serta penggunaan teknologi robotik untuk mengantar obat dari unit farmasi ke masing-masing poliklinik. Terkait fasilitas, di ruang tunggu utama RS terdapat stand edukasi kesehatan, air minum kemasan untuk pasien, serta hiburan musik piano. Tata letak ruang Siriraj Piyamaharajkarun Hospital terdiri dari 6 lantai dengan lantai 1 meliputi X-ray center. Lantai 2 terdiri dari surgery center, woman center, orthopedic center, farmasi, bagian pendaftaran, ruang pengambilan spesimen, Poli Penyakit Dalam, Health Education Gallery, dan Cafe. Tata letak lantai 3 terdiri dari children’s center, skin center, ear nose and throat center, allergy center, rehab center, dental center, chest center, skin and plastic surgery, unit farmasi, toko retail Mom n Me, Café. Lantai 4 meliputi diabetes thyroid and endocrine clinic, GI endoscopy center, gastrointestinal and liver center, The Sight RoLek Pro Lasik, health check up center, cardiac rehabilitation center, kasir pasien rawat inap, urology center, non invasive, heart center dan Lora Vision. Lantai 5 terdiri dari ruang operasi dan ICU, serta lantai 6 terdiri dari kidney center, laboratorium, CSSD, dan ruang manajemen.

Selain private wings berupa Siriraj Piyamaharajkarun Hospital, Siriraj Hospital juga mendirikan klinik Siriraj H. Solutions yang terletak terpisah cukup jauh sekitar 7 kilometer dari RS induknya, yaitu berlokasi di Wellness Center Lantai 5, ICS Lifestyle Complex, ICONSIAM, dimana gedung tersebut merupakan pusat perkantoran, kuliner dan pusat perbelanjaan yang ramai pengunjung. Antara ICONSIAM dan ICS Lifestyle Complex juga terdapat jalur kereta sehingga memudahkan akses pengunjung. Selain Siriraj H. Solutions, di ICS Lifestyle Complex juga banyak terdapat klinik kesehatan, utamanya klinik – klinik estetika.

Alur pelayanan yang diterapkan oleh Siriraj H. Solutions tidak jauh berbeda dari Siriraj Piyamaharajkarun Hospital, dimana petugas pendaftaran mendatangi pasien untuk konfirmasi penjelasan pasien setelah mendaftar. Siriraj H. Solutions bukan hanya menyediakan pelayanan klinis, melainkan juga menyediakan produk-produk untuk perawatan estetika dan Thailand Traditional Medicine. Tata letak ruang Siriraj H. Solutions Lantai 1 terdiri dari Thanyarak Breast Center, Ruang Pengambilan Darah/Spesimen, Health Check Up, Registrasi, Informasi, Bag. Asuransi Kesehatan, Kasir, Farmasi, dan Sport Performance Center; sedangkan Lantai 2 terdiri dari Klinik Spesialis. Waktu operasional Siriraj H. Solutions buka setiap hari, namun untuk Sabtu Minggu diprioritaskan untuk pasien yang sudah melakukan janji temu (appointment).

Sejarah Siriraj Hospital sebelum terbagi menjadi Siriraj Piyamaharajkarun Hospital dan Klinik Siriraj H. Solutions dulunya merupakan fasilitas pelayanan kesehatan serta sekolah kedokteran pertama di Thailand, yang diririkan atas kerjasama antara Kerajaan Thailand dengan Rockefeller Foundation. Saat itu, Raja Thailand mengirimkan Prince Thailand untuk bersekolah kedokteran di Filipina dan Amerika Serikat. Saat para pangeran kaembali, mereka membangun Fakultas Kedokteran dan mengembangkan Siriraj Hospital. Selama proses tersebut, terjadi beberapa kali krisis dan perang. Perang pertama diinisiasi oleh Perancis yang mulai masuk di Sungai Chao Praya, yang saat itu juga terdapat jalur kereta api di tepi sungai. Namun, perang itu diakhiri dengan pemberian “Red Purse Money” peninggalan Raja Rama V kepada Perancis. Berikutnya, tahun 1941 – 1945 Thailand kembali diinvasi oleh Jepang. Hal itu juga menyebabkan krisis di sistem kesehatan Thailand, termasuk kerusakan gedung RS Siriraj yang cukup parah. Namun, seiring waktu Thailand merdeka, Siriraj Hospital kembali dibangun lalu eksis hingga saat ini, serta mengembangkan private wings, yaitu Siriraj Piyamaharajkarun Hospital dengan pelayanan yang jauh berbeda dengan RS Siriraj dengan Universal Coverage.

Kunjungan berikutnya yaitu Bumrungrad International Hospital, merupakan RS Swasta dengan target pasar masyarakat internasional, berbeda dengan Siriraj Hospital yang lebih fokus untuk menyasar segmen lokal Thailand. Selain itu, di Bumrungrad International Hospital juga menyediakan staf pemasaran dari masing-masing negara, seperti Indonesia, Vietnam, Myanmar, China, dan masih banyak lagi. Meskipun kunjungan dilakukan di akhir pekan, namun petugas international officer membantu mengupayakan dan mendampingi pasien untuk melakukan penjadwalan dengan dokter on call. Bumrungrad International Hospital terletak cukup kondusif dengan akses ke RS yang cukup lebar, ini memudahkan untuk akses keluar masuk kendaraan, serta menyediakan trotoar untuk pejalan kaki. Tata letak terdiri dari 4 Gedung, dengan Gedung A terdapat 10 lantai. Pada Ruang Tunggu Gedung A, terdapat monitor yang menampilkan denah RS, hak dan kewajiban pasien, serta proses pelayanan yang akan dijalani pasien selama di RS. Khusus untuk pasien internasional, Kantor Internasional (International Operations) terletak pada Lantai 10, disertai juga dengan kantor pengurusan visa dan business center. Selain Gedung A, terdapat Gedung B yang merupakan Gedung Utama, Bagian Tower C, serta Gedung D yang merupakan Vitalife Center (Bestian).

Traveling Seminar Bangkok – Kuala Lumpur #hari 1

Dinner dan Sharing Session bersama Prof. Siripen

Hari 1: Jumat, 10 Oktober 2025

Kegiatan diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK–KMK UGM dan IAMARSI DIY

Traveling seminar dilaksanakan dengan diawali oleh rangkaian seminar dilanjutkan dengan kegiatan kunjungan ke RS dan resort yang ada di Bangkok, Thailand dan Kuala Lumpur, Malaysia untuk meninjau lebih dalam bagaimana proses pelayanan, strategi, serta produk apa saja yang ditawarkan kepada pelanggan, khususnya dalam pelayanan medical & wellness tourism. Kunjungan dilaksanakan pada 10-13 Oktober, diawali dengan kunjungan di Bangkok pada 10 Oktober, dilanjutkan ke Kuala Lumpur pada 12 Oktober.

Kunjungan di Bangkok dibuka dengan dinner dan sharing session bersama Professor Dr. Siripen Supakankunti dari Center of Excellence for Health Economics, Faculty of Economics, Chulalongkorn University dengan topik bahasan National Health Insurance System in Thailand and Current Situation of Thailand’s UHC, serta bahasan terkait dengan Medical Tourism di Thailand.

Topik pertama terkait dengan sistem asuransi kesehatan nasional di Thailand dibuka dengan penjelasan terkait dengan kondisi demografi di Thailand, dimana diantara 71,7 juta penduduk Thailand (2022), didominasi oleh perempuan dibandingkan dengan laki-laki, selain itu, usia harapan hidup perempuan juga lebih tinggi dibandingkan laki-laki karena tingginya kecelakaan yang terjadi di Thailand yang biasanya didominasi oleh korban laki-laki. Saat ini, GDP Thailand lebih rendah dibandingkan GDP di Indonesia. Meskipun begitu, target UHC yang ingin dicapai Thailand terkait dengan pengeluaran untuk penyakit katastropik diharapkan dapat mencapai <2%. Cakupan Universal Coverage di Thailand telah mencapai 71% (47.46 juta jiwa), dengan penghasilan didapatkan dari pajak. Paket manfaat yang bisa didapatkan oleh masyarakat diantaranya promosi kesehatan, pencegahan penyakit, tindakan kuratif, serta tindakan rehabilitatif. Pengeluaran saat ini untuk Universal Coverage telah mencapai 4074 THB per kapita, dengan utilisasi pasien rawat jalan yaitu 3.5 kunjungan per orang per tahun, dengan total kunjungan rawat jalan yaitu 161. 373 juta kunjungan; serta admisi pasien rawat inap mencapai 6.201,940 admisi dengan Length of Stay (LOS) rata – rata mencapai 5.07 hari, dan utilization rate mencapai 0.13 admisi per orang per tahun.

Selama 5 tahun, NHSO menerapkan perencanaan strategis dengan fokus perencanaan pada 2023-2027 yaitu melanjutkan rencana 5 tahun sebelumnya, meliputi marginal group, manajemen efisiensi pendanaan termasuk audit, HPO (kecepatan dan resiliensi), serta utilisasi data.

Terkait dengan proporsi populasi masyarakat Thailand berdasarkan usia, dominasi lebih banyak pada usia completed aged society yang mencapai 20% pada 2021, dan diprediksi akan mencapai 30% (20,9 juta jiwa) pada 2035 dengan dominasi super – aged society. Hal ini ditunjukkan dengan data dari populasi dunia bahwa Thailand menduduki peringkat ke – 10 untuk masyarakat dengan proporsi usia 60+ dengan presentase mencapai 15,6% pada tahun 2015, dan diprediksi akan menduduki peringkat ke – 6 dengan presentase mencapai 30,2% pada 2035.

Dalam mencapai Universal Coverage, terdapat beberapa enabling factors, meliputi dukungan politik yang kuat dari stakeholders untuk mendukung efisiensi RS, mengetahui kapasitas sistem kesehatan, serta integrasi antara para reformers, researchers, dan politisi untuk berkolaborasi dalam sistem kesehatan. Diantara kunci sukses tersebut, masih ditemukan beberapa tantangan yang terjadi, diantaranya distribusi infrastruktur dan SDM, harmonisasi skema asuransi kesehatan, stabilitas finansial jangka panjang (pengaruh dari rapid aging population), mutu pelayanan, serta layanan primer di daerah urban yang belum meningkat.

Pembahasan topik kedua terkait dengan medical tourism yang diterapkan di Thailand membahas bagaimana industri kesehatan di Thailand dapat berkembang dan terjadi perubahan dalam komponen kunci dalam sistem kesehatan, meliputi perkembangan sosio ekonomi dan politik, demografi dan migrasi, kecanggihan teknologi biomedis, serta health seeking behavior dan perubahan gaya hidup masyarakat selama 10 tahun terakhir. Tren saat ini menunjukkan peningkatan baik di sektor public atau swasta, dimana medical tourism telah masuk dan menjadi kebutuhan global dalam pelayanan kesehatan, serta dapat menarik pelanggan dari seluruh dunia.

Terkait dengan multilateral trade negotiations, The General Agreements of Thailand Services (The GATS) mengelompokkan kategori pelayanan kesehatan, dimana pelayanan kesehatan umum dan gigi dapat dilakukan oleh perawat, bidan, fisioterapis, dan paramedis lainnya yang dikategorikan terpisah sebagai “Professional Services”. Dan hingga saat ini, komitmen untuk meningkatkan pergerakan dan investasi lintas negara, terutama dalam bidang kesehatan telah dilakukan termasuk di Thailand.

Pada 2010, penghasilan yang dicapai dari wisatawan asing mencapai 6% dari pendapatan nasional. Meskpun jumlah tersebut hanya mencapai 10% dari nilai ekspor barang, namun penghasilan tersebut masih dinilai penting karena industri wisata  membutuhkan sumber daya didalam negeri dan akan dikembalikan kepada masyarakat Thailand. Pada tahun 2019 sebelum pandemi, Thailand mencapai puncak kunjungan wisatawan internasional hingga mencapai 39.8 juta jiwa; serta mencapai 32,40 juta jiwa pada 2024. Penghasilan yang didapatkan juga terus meningkat seiring waktu, yaitu mencapai 1.2 triliun Baht pada  2023, dan pada tahun 2024, wisatawan internasional dapat menghabiskan biaya sebesar 42,7 milyar USD di Thailand. Jenis perawatan yang dapat diperoleh di Thailand diantaranya perawatan kanker, hip replacements, transplantasi organ, pemeriksaan jantung, bedah plastil, bedah jantung, laser eye surgeries, balloon dilatation, serta kelahiran section caesaria  (Bestian).

Reportase Webinar UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, PP Nomor 28 Tahun 2024, dan Pasal – Pasal Terkait Pendidikan Residen

Reportase Webinar UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, PP Nomor 28 Tahun 2024,  dan Pasal – Pasal Terkait Pendidikan Residen

Webinar ini merupakan lanjutan dari webinar sebelumnya dengan topik yang sama yaitu Undang Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, dan Pasal-pasal terkait Pendidikan Residen. Pertemuan ini bertujuan untuk memperdalam lebih lanjut mengenai setiap pasal dalam UU Kesehatan Tahun 2023, dan juga menghubungkan dengan situasi yang sebenarnya di lapangan yang disampaikan oleh salah satu Rumah Sakit Penyelenggara Pendidikan Utama (RSPPU) yaitu Direktur Rumah Sakit Ortopedi Surakarta dan universitas yaitu Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (FK UNS). Moderator dalam webinar ini ialah dr Haryo Bismantara, MPH dari MMR UGM.

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D dalam pengantarnya menyampaikan bahwa sebelum UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 terbit, pendidikan spesialis masih menjadi tantangan karena jumlah FK yang menyediakan pendidikan spesialis masih terbatas, dan juga status mereka yang bukan sebagai pekerja menyebabkan permasalahan yang kompleks terkait pemenuhan hak dan kewajibannya. Melalui metode benchmarking, proses pada jalur 1 (residen masuk pendidikan melalui Universitas) perlu ditinjau lebih lanjut dengan melihat apa yang terjadi di Johns Hopkins University, terkait perkembangan karir para residen hingga profesor. Menariknya, proses pada jalur 2 (Residen masuk pendidikan melalui RSPPU) malah dapat memicu peluang perkembangan Departemen preklinik dan ilmu manajemen kebijakan dikarenakan RSPPU yang tidak mempunyai Departemen Biomedik dasar, kebijakan, dan manajemen, sama halnya dengan yang terjadi di Harvard Medical School.

Lebih jauh lagi, menyoroti pasal 219 pada UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 terkait kewajiban yang seharusnya diberikan pihak pelayanan kesehatan kepada residen adalah adanya kontrak tertulis secara perorangan antara Rumah Sakit (RS) dengan residen. Dimana hal tersebut sesuai dengan praktik global yang berlaku sama baik pada jalur 1 dan jalur 2. Diperkuat lagi dengan PP Nomor 28 Tahun 2024 yang menyebutkan bahwa residen diposisikan sebagai pegawai, yang selanjutnya mengacu pada UU Kesehatan dan UU Ketenagakerjaan.

Direktur Utama Rumah Sakit Ortopedi Dr. Soeharso Surakarta, Dr. dr. Romaniyanto, Sp.OT(K). Spine., MARS., membahas lebih lanjut mengenai pengalaman praktik yang telah terjadi di lapangan bahwa sejauh ini RS Ortopedi selaku RSPPU telah melaksanakan apa yang tertulis pada UU Kesehatan, dan dalam pelaksanaannya juga telah bermitra dengan universitas yaitu FK UNS. Namun pemenuhan hak dan kewajiban sebagai pekerja (pemberian gaji) pada residen belum bisa dilakukan karena bentuk kerja samanya bersifat tripartit (RS Orthopedi, RS Dr. Moewardi, dan FK UNS). Ditinjau dari mekanisme penerimaannya, bersifat terpusat melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Manusia Kesehatan (Dirjen SDMK) yang akan diuji oleh Kolegium, Kemenkes, universitas, dan staf RS. Penjaminan mutu residen juga telah dilakukan atas pendampingan dari universitas.

Memvalidasi, Prof. Dr. Reviono, dr. Sp. P(K) selaku Dekan FK UNS menyatakan bahwa kerja sama berlangsung dengan baik antara FK UNS dan RS Ortopedi selaku RSPPU. Menambahkan, sistem seleksi yang telah terlaksana sejauh ini cukup kompleks dan transparan. Setiap kebijakan baru yang disampaikan oleh pimpinan harus segera ditelaah dan diakomodir dengan baik. Menyoroti kembali terkait hak berupa gaji, telah dijelaskan dalam PP Nomor 93 tahun 2015 bahwa RS wajib memberikan insentif kepada residen, namun pada prakteknya hak tersebut kini tidak bisa diterapkan karena kebijakan pada peraturan baru yang berkata berlawanan dengan PP Nomor 93 Tahun 2015. Sehingga pihak RS hanya diperbolehkan untuk memberikan hak berupa uang transportasi, meskipun insentif residen telah dianggarkan sejak lama oleh rumah sakit.

Penelitian dan kajian lebih lanjut terkait pendidikan residen ini diharapkan menjadi peluang terbukanya kebijakan yang lebih mengakomodir hak dan kewajiban residen dan pihak-pihak terkait. Lebih lanjut, riset Implementasi yang membahas khusus tentang pendidikan residen dapat mendorong adanya inovasi kebijakan sesuai dengan benchmarking yang telah terjadi pada situasi global.

Reporter: Firda Alya dan dr Arvianto Nugroho (PKMK FK-KMK UGM)

Reportase Seri Webinar UU Kesehatan Tahun 2023, PP Nomor 28 Tahun 2024, dan Pasal-Pasal Terkait Pendidikan

PKMK-Yogyakarta, Kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis atau Residensi masih menjadi tantangan di Indonesia hingga saat ini. Residen diposisikan sebagai peserta didik yang seharusnya juga mendapatkan hak-hak sebagai karyawan, seperti mendapatkan honorarium sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan dan hak lainnya sesuai dengan peraturan yang sebelumnya diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran Nomor 20 Tahun 2013 dan saat ini tertuang dalam  Undang-Undang Kesehatan Tahun 2023.

Pada webinar kali ini, Guru Besar FK-KMK UGM, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D, menyampaikan pandangannya terkait kebijakan dokter spesialis melalui perspektif kajian UU Kesehatan 2023. Diketahui terdapat 2 jalur masuk residen, yaitu melalui universitas dan Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU) yang harus tetap ada keterlibatan dengan universitas di dalamnya. Pada UU Kesehatan 2023 tidak ada perbedaan hak dan kewajiban  terhadap residen yang masuk dari dua jalur tersebut. Terbukanya dua jalur masuk ini sejalan dengan praktik global pendidikan residen di beberapa negara lain.

Laksono, menekankan pentingnya riset implementasi kebijakan untuk memonitor dan mengevaluasi apakah ketentuan undang-undang—terutama yang menyelaraskan standar residensi Indonesia dengan praktik global—dapat diterapkan secara efektif. Diskusi tersebut juga menyoroti perlunya kolaborasi antara perguruan tinggi, rumah sakit, dan kolegium untuk menjamin mutu dan mengatasi tantangan historis seperti isu penggajian residen.

Guru Besar Pendidikan Kedokteran dan Bioetika FK-KMK UGM, Prof. dr. Rr. Titi Savitri Prihatiningsih MA., M. Med.,Ed., Ph.D., menanggapi bahwa di Indonesia masih terdapat pro dan kontra terkait penyelenggaraan pendidikan residen dikarenakan adanya perbedaan regulasi, jalur University based mengacu pada Undang-Undang Pendidikan Tinggi, sedangkan jalur Hospital based (RSPPU) mengacu pada Undang-Undang Kesehatan 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024. Terlebih, terdapat Peraturan Presiden terbaru tentang tata kelola penyelenggaraan tentang di Kementerian Pendidikan Tinggi, yang menyebutkan bahwa pengelolaan hanya sebatas pendidikan tinggi jenis akademik dan vokasi, tidak menyebutkan adanya pendidikan profesi. Hal ini dapat menjadi poin kunci bahwa penyelenggaraan pendidikan profesi dapat dilakukan oleh badan atau lembaga di luar Universitas.

Menurut Pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia, dr. Mohammad Syahril, Sp.P., MPH, harus ada pengawalan yang terstruktur dari seluruh stakeholders, baik Universitas, Rumah Sakit Penyelenggara Pendidikan Utama (RSPPU), Kolegium, serta Konsil Kesehatan Indonesia, mulai dari awal masuk hingga selesai. Sehingga diskusi bersama para stakeholders terkait perlu dilakukan untuk menyelaraskan regulasi yang telah berjalan dan rekomendasi yang akan diusulkan.

Webinar Tematik Sejarah Kebijakan Kesehatan Seri 1

“Perkembangan Kebijakan Komponen-Komponen Sistem Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023”

Senin, 22 September 2025  | 13.00 – 15.00 WIB

PKMK-Yogyakarta.  Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bekerjasama dengan Departemen Sejarah FIB UGM menyelenggarakan Webinar Seri Sejarah Kebijakan Kesehatan “Perkembangan Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023” pada April hingga Juni mendatang. Kali ini webinar mengangkat tema “Pembiayaan Kesehatan” yang diselenggarakan pada Senin (22/9/2025). Webinar ini menyoroti perkembangan pembiayaan kesehatan di Indonesia lintas periode, dengan fokus pada peran APBN dan JKN sebagai instrumen utama pendanaan. Selain itu juga memaparkan bagaimana alokasi anggaran kesehatan berkembang sejak era desentralisasi, berlanjut ke implementasi JKN, hingga tantangan saat pandemi COVID-19 dan kebutuhan adaptasi pada periode pasca-COVID.

Dalam pengantar Seri Pertama Webinar Tematik Sejarah Kebijakan Kesehatan, Baha’Uddin, S.S., M.Hum. menekankan pentingnya membaca kebijakan pembiayaan kesehatan melalui perspektif historis. Pak Baha’Uddin menguraikan perjalanan panjang sejak masa kolonial, ketika akses kesehatan terbatas bagi pegawai pemerintah dan tentara, hingga awal kemerdekaan yang masih mengandalkan APBN dengan fokus pada program massal seperti imunisasi dan pemberantasan penyakit menular. Tonggak penting muncul pada 1968 dengan lahirnya BPDPK untuk PNS dan ABRI, yang kemudian berubah menjadi Perum Husada Bhakti (1984), PT Askes (1992), dan akhirnya BPJS Kesehatan (2014) sebagai pelaksana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Setiap fase lahir dari dinamika sosial-ekonomi, termasuk krisis 1997/1998 yang memunculkan JPS-BK bagi masyarakat miskin.

Dalam pengantar ini, narasumber menekankan bahwa sejarah pembiayaan kesehatan di Indonesia merefleksikan evolusi dari sistem yang terfragmentasi menjadi sistem yang lebih inklusif dan terintegrasi. Dari hanya berfokus pada pegawai negeri di awal kemerdekaan, kini sistem pembiayaan kesehatan telah berupaya merangkul seluruh lapisan masyarakat. Meski jalan menuju cakupan kesehatan semesta masih penuh tantangan, proses historis ini menunjukkan komitmen negara dalam menegakkan amanat konstitusi: kesehatan sebagai hak dasar seluruh warga negara. Pak Baha menutup pengantarnya dengan mengingatkan peserta bahwa pembahasan detail lintas periode akan diperdalam oleh narasumber utama. Namun, memahami garis besar perjalanan historis ini menjadi kunci agar setiap analisis kebijakan pembiayaan kesehatan tidak dilepaskan dari konteks sejarah panjang yang melatarbelakanginya.

Dalam paparannya, M. Faozi Kurniawan, S.E., MPH  menjelaskan perkembangan kebijakan pembiayaan kesehatan Indonesia dari masa reformasi hingga periode pasca-COVID-19. Pak Faozi memulai dengan menyoroti kondisi ekonomi nasional pasca-1998, ketika PDB meningkat cukup pesat, tetapi penerimaan pajak tidak tumbuh sebanding. Situasi ini menyebabkan keterbatasan ruang fiskal untuk kesehatan sehingga pemerintah harus cermat mengalokasikan anggaran. Menurut beliau, pendanaan adalah blok fundamental dalam sistem kesehatan karena menopang keberlanjutan program lain.

Pada era desentralisasi (1999–2009), berbagai regulasi penting lahir, seperti UU Keuangan Negara (2003), UU Pemda (2004), dan UU SJSN (2004). Sejumlah program jaring pengaman juga diperkenalkan, mulai dari JPS-BK, JPK Gakin, hingga Askeskin dan Jamkesmas. Program-program ini membuka akses kesehatan bagi masyarakat miskin, meskipun pelaksanaannya menghadapi kendala data dan perbedaan kapasitas fiskal antar daerah. Memasuki era JKN (2009–2019), pendirian BPJS Kesehatan menjadi tonggak besar dengan target Universal Health Coverage. Pada tahap awal, integrasi berbagai skema (Jamkesmas, Jamkesda, Askes, Jamsostek) berhasil mencakup lebih dari 140 juta jiwa. Namun, implementasi masih dibayangi defisit keuangan BPJS, ketimpangan layanan antar wilayah, serta beban biaya pribadi masyarakat yang meski menurun, tetap relatif tinggi dibanding negara tetangga.

Pandemi COVID-19 (2020–2022) membawa perubahan signifikan dengan refocusing APBN dan lonjakan anggaran kesehatan. Fokus utama diarahkan pada program vaksinasi, insentif tenaga kesehatan, dan klaim perawatan pasien. Uniknya, pada masa ini BPJS justru mencatat surplus akibat menurunnya pemanfaatan layanan dan meningkatnya kepatuhan iuran. Di era pasca-pandemi, lahir UU Nomor 17 Tahun 2023 yang mengubah istilah pembiayaan menjadi “pendanaan kesehatan”. Transformasi diarahkan pada efisiensi, keadilan, dan kemandirian, termasuk melalui NHA, HTA, serta proyek SISOIN bernilai lebih dari Rp 60 Triliun. Pak Faozi menutup dengan refleksi bahwa meskipun arah kebijakan semakin kuat, tantangan besar tetap ada, yakni memastikan kemandirian pembiayaan di tengah ketergantungan pada pinjaman luar negeri.

Dalam sesi pembahasan, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. menekankan bahwa kajian mengenai sejarah kebijakan pembiayaan kesehatan di Indonesia, khususnya dari masa reformasi hingga pasca-COVID-19, masih merupakan sebuah proses yang terus berlangsung. Prof. Laksono menyebutnya sebagai recent history atau sejarah yang masih terjadi, sehingga belum dapat ditarik kesimpulan final. Dalam perspektif historiografi, kondisi ini berarti peristiwa-peristiwa yang sedang berjalan tetap terbuka terhadap perubahan maupun pengulangan pola kebijakan.

Narasumber menyoroti bahwa pandemi COVID-19 menghadirkan fenomena unik dalam pembiayaan kesehatan nasional. Semua biaya perawatan pasien COVID-19 tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan, melainkan dialokasikan dari pos anggaran lain, termasuk pinjaman luar negeri yang disalurkan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional. Hal ini menjadi catatan penting dalam sejarah pembiayaan kesehatan Indonesia, sebab memperlihatkan bagaimana mekanisme pendanaan lintas-sektor bekerja ketika menghadapi krisis besar. Menariknya, pada periode pandemi justru terjadi surplus keuangan di BPJS Kesehatan, meskipun sebelumnya lembaga ini kerap mengalami defisit, dan kembali menghadapi defisit setelah pandemi berakhir.

Dalam refleksinya, Prof. Laksono mempertanyakan arah keberlanjutan sistem pembiayaan kesehatan Indonesia. Pihaknya menggarisbawahi beberapa isu penting, antara lain: apakah belanja publik akan terus meningkat untuk kesehatan, sejauh mana kemampuan pemerintah membiayai masyarakat miskin, serta bagaimana prospek peran swasta dan industrialisasi sektor kesehatan. Selain itu, narasumber menyinggung perkembangan instrumen seperti Health Technology Assessment (HTA) yang diharapkan mampu meningkatkan efisiensi pembiayaan, meskipun implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk soal siapa yang akhirnya menanggung biaya dan siapa yang mendapatkan manfaat. Sebagai penutup, Prof. Laksono menekankan pentingnya melihat sejarah sebagai alat proyeksi ke depan. Catatan tentang defisit–surplus BPJS, kebijakan fiskal dalam krisis, hingga transformasi kelembagaan pasca-COVID-19 harus dipahami bukan hanya sebagai catatan masa lalu, tetapi juga sebagai pelajaran untuk merancang sistem pembiayaan kesehatan yang lebih adil, berkelanjutan, dan adaptif terhadap tantangan global maupun domestik.

Reporter:
Galen Sousan Amory, S. Sej.