Arsip:

SDGs

Reportase Webinar Tematik Sejarah Kebijakan Kesehatan Seri 4

“Perkembangan Kebijakan Komponen-Komponen Sistem Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023”

PKMK-Yogyakarta.  Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bekerjasama dengan Departemen Sejarah FIB UGM menyelenggarakan Webinar Seri Sejarah Kebijakan Kesehatan “Perkembangan Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023” pada Agustus hingga November 2025. Kali ini webinar mengangkat tema “Pelayanan Kesehatan” yang diselenggarakan pada Selasa (11/11/2025). Webinar ini menyoroti berbagai dinamika dan kebijakan dalam pelayanan kesehatan Indonesia sejak era reformasi hingga masa pasca-pandemi COVID-19. Melalui paparan para pembicara, kegiatan ini mengulas bagaimana desentralisasi, jaminan kesehatan nasional, dan transformasi sistem kesehatan berperan dalam membentuk arah pelayanan kesehatan yang lebih merata dan berkeadilan sosial. read more

Reportase Webinar Memahami Permenkes Nomor 11 Tahun 2025: Konsolidasi Standar Risiko dalam Ekosistem Kesehatan Nasional

Senin, 10 November 2025 

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM menyelenggarakan seminar daring bertajuk “Memahami Permenkes Nomor 11 Tahun 2025: Konsolidasi Standar Risiko dalam Ekosistem Kesehatan Nasional” pada Senin, 10 November 2025. Kegiatan ini membahas secara komprehensif Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2025 yang menjadi tonggak penting dalam implementasi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) di subsektor kesehatan. Regulasi ini tidak hanya menyatukan berbagai standar kegiatan usaha dan produk/jasa kesehatan, tetapi juga menjadi pedoman utama bagi pemerintah pusat, daerah, dan pelaku usaha mulai dari rumah sakit, klinik, laboratorium, apotek, hingga distribusi alat kesehatan untuk memastikan sistem kesehatan yang lebih transparan, aman, dan adaptif terhadap risiko. read more

Reportase Topik #3 Kebijakan Climate-Resilient dan Low Carbon Health System

Perubahan iklim kini menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat di Indonesia maupun dunia. Dampaknya tidak hanya meningkatkan risiko berbagai penyakit, melainkan juga menekan kapasitas sistem kesehatan nasional yang meliputi struktur pelayanan kesehatan, sumber daya manusia, hingga infrastruktur fasilitas kesehatan. Di sisi lain, sektor kesehatan juga berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca melalui konsumsi energi, limbah medis, serta rantai pasok farmasi dan alat kesehatan yang berjejak karbon tinggi. read more

Reportase Fornas Topik #2 Kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis dalam UU Kesehatan 2023

Part 1 Part 2 Part 1

Forum Nasional XV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) 2025 hari kedua dibuka dengan penuh semangat di Common Room Gedung Penelitian dan Pengembangan FK-KMK UGM. Acara dipandu oleh Ubaid Hawari, S.IKom selaku Master of Ceremony (MC). Tema yang diusung pada hari kedua ini adalah “Kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis dalam UU Kesehatan 2023: Dari Agenda Setting Menuju Implementasi Kebijakan”. Tema ini diangkat untuk mengupas tuntas terkait pelaksanaan program pendidikan dokter spesialis (residen) di Indonesia berdasarkan UU Kesehatan 2023 sebagai upaya untuk mencari solusi implementatif untuk mencetak dokter spesialis yang berkualitas dan mengatasi tantangan pemerataan di Indonesia. read more

Reportase Webinar UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, PP Nomor 28 Tahun 2024, dan Pasal – Pasal Terkait Pendidikan Residen

Reportase Webinar UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, PP Nomor 28 Tahun 2024,  dan Pasal – Pasal Terkait Pendidikan Residen

Webinar ini merupakan lanjutan dari webinar sebelumnya dengan topik yang sama yaitu Undang Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, dan Pasal-pasal terkait Pendidikan Residen. Pertemuan ini bertujuan untuk memperdalam lebih lanjut mengenai setiap pasal dalam UU Kesehatan Tahun 2023, dan juga menghubungkan dengan situasi yang sebenarnya di lapangan yang disampaikan oleh salah satu Rumah Sakit Penyelenggara Pendidikan Utama (RSPPU) yaitu Direktur Rumah Sakit Ortopedi Surakarta dan universitas yaitu Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (FK UNS). Moderator dalam webinar ini ialah dr Haryo Bismantara, MPH dari MMR UGM.

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D dalam pengantarnya menyampaikan bahwa sebelum UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 terbit, pendidikan spesialis masih menjadi tantangan karena jumlah FK yang menyediakan pendidikan spesialis masih terbatas, dan juga status mereka yang bukan sebagai pekerja menyebabkan permasalahan yang kompleks terkait pemenuhan hak dan kewajibannya. Melalui metode benchmarking, proses pada jalur 1 (residen masuk pendidikan melalui Universitas) perlu ditinjau lebih lanjut dengan melihat apa yang terjadi di Johns Hopkins University, terkait perkembangan karir para residen hingga profesor. Menariknya, proses pada jalur 2 (Residen masuk pendidikan melalui RSPPU) malah dapat memicu peluang perkembangan Departemen preklinik dan ilmu manajemen kebijakan dikarenakan RSPPU yang tidak mempunyai Departemen Biomedik dasar, kebijakan, dan manajemen, sama halnya dengan yang terjadi di Harvard Medical School.

Lebih jauh lagi, menyoroti pasal 219 pada UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 terkait kewajiban yang seharusnya diberikan pihak pelayanan kesehatan kepada residen adalah adanya kontrak tertulis secara perorangan antara Rumah Sakit (RS) dengan residen. Dimana hal tersebut sesuai dengan praktik global yang berlaku sama baik pada jalur 1 dan jalur 2. Diperkuat lagi dengan PP Nomor 28 Tahun 2024 yang menyebutkan bahwa residen diposisikan sebagai pegawai, yang selanjutnya mengacu pada UU Kesehatan dan UU Ketenagakerjaan.

Direktur Utama Rumah Sakit Ortopedi Dr. Soeharso Surakarta, Dr. dr. Romaniyanto, Sp.OT(K). Spine., MARS., membahas lebih lanjut mengenai pengalaman praktik yang telah terjadi di lapangan bahwa sejauh ini RS Ortopedi selaku RSPPU telah melaksanakan apa yang tertulis pada UU Kesehatan, dan dalam pelaksanaannya juga telah bermitra dengan universitas yaitu FK UNS. Namun pemenuhan hak dan kewajiban sebagai pekerja (pemberian gaji) pada residen belum bisa dilakukan karena bentuk kerja samanya bersifat tripartit (RS Orthopedi, RS Dr. Moewardi, dan FK UNS). Ditinjau dari mekanisme penerimaannya, bersifat terpusat melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Manusia Kesehatan (Dirjen SDMK) yang akan diuji oleh Kolegium, Kemenkes, universitas, dan staf RS. Penjaminan mutu residen juga telah dilakukan atas pendampingan dari universitas.

Memvalidasi, Prof. Dr. Reviono, dr. Sp. P(K) selaku Dekan FK UNS menyatakan bahwa kerja sama berlangsung dengan baik antara FK UNS dan RS Ortopedi selaku RSPPU. Menambahkan, sistem seleksi yang telah terlaksana sejauh ini cukup kompleks dan transparan. Setiap kebijakan baru yang disampaikan oleh pimpinan harus segera ditelaah dan diakomodir dengan baik. Menyoroti kembali terkait hak berupa gaji, telah dijelaskan dalam PP Nomor 93 tahun 2015 bahwa RS wajib memberikan insentif kepada residen, namun pada prakteknya hak tersebut kini tidak bisa diterapkan karena kebijakan pada peraturan baru yang berkata berlawanan dengan PP Nomor 93 Tahun 2015. Sehingga pihak RS hanya diperbolehkan untuk memberikan hak berupa uang transportasi, meskipun insentif residen telah dianggarkan sejak lama oleh rumah sakit.

Penelitian dan kajian lebih lanjut terkait pendidikan residen ini diharapkan menjadi peluang terbukanya kebijakan yang lebih mengakomodir hak dan kewajiban residen dan pihak-pihak terkait. Lebih lanjut, riset Implementasi yang membahas khusus tentang pendidikan residen dapat mendorong adanya inovasi kebijakan sesuai dengan benchmarking yang telah terjadi pada situasi global.

Reporter: Firda Alya dan dr Arvianto Nugroho (PKMK FK-KMK UGM)

Reportase Seri Webinar UU Kesehatan Tahun 2023, PP Nomor 28 Tahun 2024, dan Pasal-Pasal Terkait Pendidikan

PKMK-Yogyakarta, Kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis atau Residensi masih menjadi tantangan di Indonesia hingga saat ini. Residen diposisikan sebagai peserta didik yang seharusnya juga mendapatkan hak-hak sebagai karyawan, seperti mendapatkan honorarium sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan dan hak lainnya sesuai dengan peraturan yang sebelumnya diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran Nomor 20 Tahun 2013 dan saat ini tertuang dalam  Undang-Undang Kesehatan Tahun 2023.

Pada webinar kali ini, Guru Besar FK-KMK UGM, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D, menyampaikan pandangannya terkait kebijakan dokter spesialis melalui perspektif kajian UU Kesehatan 2023. Diketahui terdapat 2 jalur masuk residen, yaitu melalui universitas dan Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU) yang harus tetap ada keterlibatan dengan universitas di dalamnya. Pada UU Kesehatan 2023 tidak ada perbedaan hak dan kewajiban  terhadap residen yang masuk dari dua jalur tersebut. Terbukanya dua jalur masuk ini sejalan dengan praktik global pendidikan residen di beberapa negara lain.

Laksono, menekankan pentingnya riset implementasi kebijakan untuk memonitor dan mengevaluasi apakah ketentuan undang-undang—terutama yang menyelaraskan standar residensi Indonesia dengan praktik global—dapat diterapkan secara efektif. Diskusi tersebut juga menyoroti perlunya kolaborasi antara perguruan tinggi, rumah sakit, dan kolegium untuk menjamin mutu dan mengatasi tantangan historis seperti isu penggajian residen.

Guru Besar Pendidikan Kedokteran dan Bioetika FK-KMK UGM, Prof. dr. Rr. Titi Savitri Prihatiningsih MA., M. Med.,Ed., Ph.D., menanggapi bahwa di Indonesia masih terdapat pro dan kontra terkait penyelenggaraan pendidikan residen dikarenakan adanya perbedaan regulasi, jalur University based mengacu pada Undang-Undang Pendidikan Tinggi, sedangkan jalur Hospital based (RSPPU) mengacu pada Undang-Undang Kesehatan 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024. Terlebih, terdapat Peraturan Presiden terbaru tentang tata kelola penyelenggaraan tentang di Kementerian Pendidikan Tinggi, yang menyebutkan bahwa pengelolaan hanya sebatas pendidikan tinggi jenis akademik dan vokasi, tidak menyebutkan adanya pendidikan profesi. Hal ini dapat menjadi poin kunci bahwa penyelenggaraan pendidikan profesi dapat dilakukan oleh badan atau lembaga di luar Universitas.

Menurut Pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia, dr. Mohammad Syahril, Sp.P., MPH, harus ada pengawalan yang terstruktur dari seluruh stakeholders, baik Universitas, Rumah Sakit Penyelenggara Pendidikan Utama (RSPPU), Kolegium, serta Konsil Kesehatan Indonesia, mulai dari awal masuk hingga selesai. Sehingga diskusi bersama para stakeholders terkait perlu dilakukan untuk menyelaraskan regulasi yang telah berjalan dan rekomendasi yang akan diusulkan.

Webinar Tematik Sejarah Kebijakan Kesehatan Seri 1

“Perkembangan Kebijakan Komponen-Komponen Sistem Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023”

Senin, 22 September 2025  | 13.00 – 15.00 WIB

PKMK-Yogyakarta.  Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bekerjasama dengan Departemen Sejarah FIB UGM menyelenggarakan Webinar Seri Sejarah Kebijakan Kesehatan “Perkembangan Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023” pada April hingga Juni mendatang. Kali ini webinar mengangkat tema “Pembiayaan Kesehatan” yang diselenggarakan pada Senin (22/9/2025). Webinar ini menyoroti perkembangan pembiayaan kesehatan di Indonesia lintas periode, dengan fokus pada peran APBN dan JKN sebagai instrumen utama pendanaan. Selain itu juga memaparkan bagaimana alokasi anggaran kesehatan berkembang sejak era desentralisasi, berlanjut ke implementasi JKN, hingga tantangan saat pandemi COVID-19 dan kebutuhan adaptasi pada periode pasca-COVID.

Dalam pengantar Seri Pertama Webinar Tematik Sejarah Kebijakan Kesehatan, Baha’Uddin, S.S., M.Hum. menekankan pentingnya membaca kebijakan pembiayaan kesehatan melalui perspektif historis. Pak Baha’Uddin menguraikan perjalanan panjang sejak masa kolonial, ketika akses kesehatan terbatas bagi pegawai pemerintah dan tentara, hingga awal kemerdekaan yang masih mengandalkan APBN dengan fokus pada program massal seperti imunisasi dan pemberantasan penyakit menular. Tonggak penting muncul pada 1968 dengan lahirnya BPDPK untuk PNS dan ABRI, yang kemudian berubah menjadi Perum Husada Bhakti (1984), PT Askes (1992), dan akhirnya BPJS Kesehatan (2014) sebagai pelaksana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Setiap fase lahir dari dinamika sosial-ekonomi, termasuk krisis 1997/1998 yang memunculkan JPS-BK bagi masyarakat miskin.

Dalam pengantar ini, narasumber menekankan bahwa sejarah pembiayaan kesehatan di Indonesia merefleksikan evolusi dari sistem yang terfragmentasi menjadi sistem yang lebih inklusif dan terintegrasi. Dari hanya berfokus pada pegawai negeri di awal kemerdekaan, kini sistem pembiayaan kesehatan telah berupaya merangkul seluruh lapisan masyarakat. Meski jalan menuju cakupan kesehatan semesta masih penuh tantangan, proses historis ini menunjukkan komitmen negara dalam menegakkan amanat konstitusi: kesehatan sebagai hak dasar seluruh warga negara. Pak Baha menutup pengantarnya dengan mengingatkan peserta bahwa pembahasan detail lintas periode akan diperdalam oleh narasumber utama. Namun, memahami garis besar perjalanan historis ini menjadi kunci agar setiap analisis kebijakan pembiayaan kesehatan tidak dilepaskan dari konteks sejarah panjang yang melatarbelakanginya.

Dalam paparannya, M. Faozi Kurniawan, S.E., MPH  menjelaskan perkembangan kebijakan pembiayaan kesehatan Indonesia dari masa reformasi hingga periode pasca-COVID-19. Pak Faozi memulai dengan menyoroti kondisi ekonomi nasional pasca-1998, ketika PDB meningkat cukup pesat, tetapi penerimaan pajak tidak tumbuh sebanding. Situasi ini menyebabkan keterbatasan ruang fiskal untuk kesehatan sehingga pemerintah harus cermat mengalokasikan anggaran. Menurut beliau, pendanaan adalah blok fundamental dalam sistem kesehatan karena menopang keberlanjutan program lain.

Pada era desentralisasi (1999–2009), berbagai regulasi penting lahir, seperti UU Keuangan Negara (2003), UU Pemda (2004), dan UU SJSN (2004). Sejumlah program jaring pengaman juga diperkenalkan, mulai dari JPS-BK, JPK Gakin, hingga Askeskin dan Jamkesmas. Program-program ini membuka akses kesehatan bagi masyarakat miskin, meskipun pelaksanaannya menghadapi kendala data dan perbedaan kapasitas fiskal antar daerah. Memasuki era JKN (2009–2019), pendirian BPJS Kesehatan menjadi tonggak besar dengan target Universal Health Coverage. Pada tahap awal, integrasi berbagai skema (Jamkesmas, Jamkesda, Askes, Jamsostek) berhasil mencakup lebih dari 140 juta jiwa. Namun, implementasi masih dibayangi defisit keuangan BPJS, ketimpangan layanan antar wilayah, serta beban biaya pribadi masyarakat yang meski menurun, tetap relatif tinggi dibanding negara tetangga.

Pandemi COVID-19 (2020–2022) membawa perubahan signifikan dengan refocusing APBN dan lonjakan anggaran kesehatan. Fokus utama diarahkan pada program vaksinasi, insentif tenaga kesehatan, dan klaim perawatan pasien. Uniknya, pada masa ini BPJS justru mencatat surplus akibat menurunnya pemanfaatan layanan dan meningkatnya kepatuhan iuran. Di era pasca-pandemi, lahir UU Nomor 17 Tahun 2023 yang mengubah istilah pembiayaan menjadi “pendanaan kesehatan”. Transformasi diarahkan pada efisiensi, keadilan, dan kemandirian, termasuk melalui NHA, HTA, serta proyek SISOIN bernilai lebih dari Rp 60 Triliun. Pak Faozi menutup dengan refleksi bahwa meskipun arah kebijakan semakin kuat, tantangan besar tetap ada, yakni memastikan kemandirian pembiayaan di tengah ketergantungan pada pinjaman luar negeri.

Dalam sesi pembahasan, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. menekankan bahwa kajian mengenai sejarah kebijakan pembiayaan kesehatan di Indonesia, khususnya dari masa reformasi hingga pasca-COVID-19, masih merupakan sebuah proses yang terus berlangsung. Prof. Laksono menyebutnya sebagai recent history atau sejarah yang masih terjadi, sehingga belum dapat ditarik kesimpulan final. Dalam perspektif historiografi, kondisi ini berarti peristiwa-peristiwa yang sedang berjalan tetap terbuka terhadap perubahan maupun pengulangan pola kebijakan.

Narasumber menyoroti bahwa pandemi COVID-19 menghadirkan fenomena unik dalam pembiayaan kesehatan nasional. Semua biaya perawatan pasien COVID-19 tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan, melainkan dialokasikan dari pos anggaran lain, termasuk pinjaman luar negeri yang disalurkan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional. Hal ini menjadi catatan penting dalam sejarah pembiayaan kesehatan Indonesia, sebab memperlihatkan bagaimana mekanisme pendanaan lintas-sektor bekerja ketika menghadapi krisis besar. Menariknya, pada periode pandemi justru terjadi surplus keuangan di BPJS Kesehatan, meskipun sebelumnya lembaga ini kerap mengalami defisit, dan kembali menghadapi defisit setelah pandemi berakhir.

Dalam refleksinya, Prof. Laksono mempertanyakan arah keberlanjutan sistem pembiayaan kesehatan Indonesia. Pihaknya menggarisbawahi beberapa isu penting, antara lain: apakah belanja publik akan terus meningkat untuk kesehatan, sejauh mana kemampuan pemerintah membiayai masyarakat miskin, serta bagaimana prospek peran swasta dan industrialisasi sektor kesehatan. Selain itu, narasumber menyinggung perkembangan instrumen seperti Health Technology Assessment (HTA) yang diharapkan mampu meningkatkan efisiensi pembiayaan, meskipun implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk soal siapa yang akhirnya menanggung biaya dan siapa yang mendapatkan manfaat. Sebagai penutup, Prof. Laksono menekankan pentingnya melihat sejarah sebagai alat proyeksi ke depan. Catatan tentang defisit–surplus BPJS, kebijakan fiskal dalam krisis, hingga transformasi kelembagaan pasca-COVID-19 harus dipahami bukan hanya sebagai catatan masa lalu, tetapi juga sebagai pelajaran untuk merancang sistem pembiayaan kesehatan yang lebih adil, berkelanjutan, dan adaptif terhadap tantangan global maupun domestik.

Reporter:
Galen Sousan Amory, S. Sej.

Workshop Manajemen Penanggulangan Krisis Kesehatan

Manj Krisis yogyakarta 1

PKMK-Yogyakarta. Workshop Manajemen Penanggulangan Krisis Kesehatan (15/10/2025)Indonesia berada pada jalur “cincin api” dengan intensitas bencana yang tinggi. Dalam dua dekade terakhir, frekuensi kejadian bencana alam dan non-alam meningkat signifikan, dan hampir setiap kejadian memiliki konsekuensi langsung terhadap sistem kesehatan masyarakat. Gangguan pelayanan, keterlambatan distribusi logistik, tekanan besar pada SDM kesehatan, serta lemahnya koordinasi antar Lembaga menjadi tantangan nyata di lapangan.

Sebagai salah 1 upaya memperkuat kapasitas daerah menghadapi ancaman tersebut secara terencana, cepat, dan terukur, bukan sekadar reaktif. Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyelenggarakan Workshop Manajemen Penanggulangan Krisis Kesehatan, Rabu (15/10/2025) di Balai Pelatihan Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kegiatan ini diikuti oleh 30 peserta dari Dinas Kesehatan Provinsi dan seluruh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota se-Daerah Istimewa Yogyakarta, masing-masing sebanyak 5 orang sebagai perwakilan per wilayah, dengan metode kegiatan berupa ceramah, diskusi, dan praktik teknis.

Manj Krisis yogyakarta 2

Paparan materi pembuka disampaikan oleh dr. Gregorius Anung Trihadi, MPH (Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi DIY), yang menekankan bahwa keberhasilan respons krisis kesehatan sangat bergantung pada kecepatan koordinasi dan kejelasan struktur komando. Menurut Anung, pendekatan birokratis tidak cukup tanggap untuk menghadapi situasi darurat yang berkembang cepat, sehingga peran Health Emergency Operation Center (HEOC) menjadi sangat penting. HEOC berfungsi sebagai pusat komando berbasis data yang memungkinkan pengambilan keputusan cepat, terarah, dan terkoordinasi lintas bidang. Dalam konteks DIY yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana alam seperti erupsi gunung berapi, keberadaan sistem HEOC yang kuat serta peran aktif kepala dinas kesehatan di tingkat kabupaten/kota menjadi kunci kesiapsiagaan. Narasumber menekankan bahwa penetapan status krisis harus dilakukan secara cepat dan tepat agar respons lapangan tidak tertunda, karena keterlambatan satu hari saja dapat berimplikasi besar terhadap nyawa masyarakat.

Manj Krisis yogyakarta 2

Setelah membahas aspek kebijakan dan struktur komando, alur materi mengalir ke pembahasan yang lebih teknis tentang peran sistem informasi dalam krisis kesehatan yang disampaikan oleh Happy R. Pangaribuan, SKM, MPH (PKMK FK-KMK UGM) read more

Webinar Sehat Jasmani, Tenang Rohani: Mempersiapkan Kesehatan Calon Haji melalui MCU dan Wellness

Kamis, 2 Oktober 2025

Webinar bertema “Sehat Jasmani, Tenang Rohani: Mempersiapkan Kesehatan Calon Haji melalui MCU dan Wellness” menghadirkan kolaborasi antara RS dr. Soesilo Slawi dan PKMK-FKKMK UGM, didukung Pemerintah Kabupaten Tegal, serta berbagai pemangku kepentingan termasuk pelaku industri pariwisata. Acara ini mengupas pentingnya pemeriksaan kesehatan (MCU) dan program kebugaran sebagai inovasi medical wellness, khususnya bagi calon jamaah haji.

Video

Prof. Laksono Trisnantoro menegaskan bahwa persiapan kesehatan calon haji tidak bisa instan, melainkan harus menjadi proses jangka panjang. Dengan masa tunggu keberangkatan yang panjang, menjaga kondisi fisik dan mental sejak dini menjadi kunci agar jamaah mampu menjalankan ibadah haji secara optimal.

 Materi Video

Selanjutnya, Dr. dr. Probosuseno, Sp.PD.K-Ger, FINASIM, SE, MM, AIFO-K membahas pentingnya persiapan kesehatan bagi Muslim yang berencana melakukan ziarah haji serta menyoroti statistik masalah kesehatan yang dihadapi oleh peziarah selama bertahun-tahun, menekankan perlunya pemeriksaan dan persiapan kesehatan menyeluruh, pentingnya kesiapan fisik dan keuangan, serta mahram untuk peziarah wanita. Paparan dr. Probo juga menyentuh tentang peran pemerintah dalam memastikan bahwa hanya mereka yang benar-benar cocok untuk melakukan haji diperbolehkan untuk melakukannya.

Selain itu, persiapan dan pengelolaan kesehatan para peziarah haji, waktu tunggu yang lama merupakan tantangan yang dihadapi para peziarah Indonesia. Disini, perlu mengintegrasikan rekam medis dan program kesehatan ke dalam proses aplikasi haji untuk meningkatkan hasil kesehatan. Perlunya kolaborasi pemangku kepentingan yang lebih baik, termasuk kantor kesehatan dan otoritas agama, untuk mendidik peziarah dan meningkatkan kebugaran dan kesiapan mental mereka untuk perjalanan.

Video

Selanjutnya, pada sesi tanggapan dr.  Teguh Sukma Wibowo, M.M. menyoroti perlunya mendukung inovasi ini, karena banyak peziarah memerlukan evaluasi kesehatan dan menghadapi persyaratan kesehatan yang ketat dari Arab Saudi. Diskusi pada sesi ini juga menyentuh musim haji yang lalu, dengan kekhawatiran yang diangkat tentang kematian terkait kesehatan dan kebutuhan untuk pemeriksaan kesehatan yang lebih baik. dr. Teguh menekankan pentingnya menjaga kesehatan yang baik untuk memastikan peziarah dapat melakukan ziarah dengan benar.

Video

Kemudian dr. Iman Darjito, Sp. PD. membahas proses pemeriksaan kesehatan dan persiapan jamaah haji, dengan fokus pada waktu pemeriksaan medis dan kebutuhan untuk masa persiapan yang lebih lama. dr. Iman setuju bahwa durasi tiga bulan sebelum keberangkatan tidak cukup untuk persiapan yang tepat, dan menyarankan memperpanjang proses penyaringan hingga enam bulan sebelumnya. Pada sesi tersebut juga membahas pentingnya mempromosikan kebiasaan sehat di kalangan calon peziarah dan potensi untuk menggunakan dana dari lembaga pengumpulan haji untuk mendukung mereka yang tidak mampu membayar haji.

Selain menekankan sisi medis, webinar ini juga mendiskusikan integrasi wellness dengan pariwisata kesehatan di Guci. Dalam waktu dekat, Guci Medical Wellness Tourism akan diluncurkan pada 7–8 Oktober, di Kawasan Guci dengan menghadirkan talk show dan beragam paket kesehatan seperti akupunktur hingga aqua fitness.  Menjaga kesehatan adalah bagian dari ibadah. Dengan persiapan yang matang—fisik, mental, dan spiritual—jamaah diharapkan mampu menjalani haji dengan khusyuk, tenang, dan sehat.  (Elisabeth Listyani)

Weekdays Wellness Academic Retreat – Menemukan Energi Baru di Guci

Kamis, 25 September 2025

Sebuah inisiatif baru untuk mempromosikan Guci sebagai destinasi medical wellness dan retret akademik diperkenalkan dalam sebuah webinar “Weekdays Wellness & Academic Retreat: Menemukan Energi Baru di Guci.” Acara ini merupakan kolaborasi antara RS dr. Soesilo Slawi, PKMK-FKKMK UGM, dan Pemerintah Kabupaten Tegal, dengan dukungan penuh dari berbagai pihak termasuk pelaku industri pariwisata.

Video

Dalam pemaparannya, Profesor Laksono menekankan pentingnya hari kerja (weekdays) sebagai momentum terbaik untuk mengembangkan kegiatan wellness di Guci. Alasannya jelas yaitu suasana lebih sepi, harga lebih terjangkau, dan lingkungan yang lebih kondusif dibanding akhir pekan. Dengan kondisi tersebut, Guci dinilai ideal untuk retret akademik, yakni kegiatan yang memberi ruang bagi para dosen dan akademisi untuk keluar dari rutinitas, meningkatkan produktivitas, serta membangun kolaborasi dalam suasana tenang.

Konsep retret akademik lazim dilakukan di luar negeri, dapat diperkenalkan sebagai budaya baru yang potensial berkembang di Indonesia. Seperti Bellagio, Italia, menawarkan suasana tenang, indah, dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Lingkungan ini menghadirkan atmosfer yang kondusif bagi kegiatan akademik yang membutuhkan konsentrasi sekaligus relaksasi. Salah satu ikon penting di Bellagio adalah Rockefeller Foundation Bellagio Center, sebuah institusi yang sejak lama menyediakan ruang bagi akademisi, penulis, peneliti, seniman, hingga pembuat kebijakan untuk berkumpul, berdialog, dan mengembangkan ide-ide inovatif. Di Indonesia, dengan 250.000 dosen tersebar di seluruh negeri, peluang untuk menjadikan Guci sebagai pusat retret akademik akan sangat terbuka lebar.

Video

Sejumlah pemangku kepentingan turut menyampaikan pandangan. Heri Bastian, Manager Angkutan Penumpang Daop 5 Purwokerto, PT KAI Indonesia, menyatakan siap mendukung dengan memaksimalkan akses transportasi menuju Slawi. Elizabeth Ratih Dewi, Ketua BPC PHRI Kabupaten Tegal menekankan perlunya peningkatan kualitas manajemen hotel dan SDM pariwisata agar mampu melayani wisatawan wellness. Sementara itu, Rinto Kuswoyo, agen perjalanan Pelangi Wisata Tour, mengusulkan, adanya penerapan jam malam di kawasan untuk menjaga ketenangan peserta hingga penyediaan fasilitas spa medik dan integrasi dengan UMKM lokal. Profesor Laksono menambahkan pentingnya promosi ekstensif dan peningkatan kualitas makanan hotel dengan menu sehat berbasis hasil bumi lokal.

Webinar juga mengulas roadmap pengembangan Guci sebagai destinasi medical wellness. Potensi besar terletak pada sumber air panas dan hutan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Tantangan utama adalah rendahnya okupansi hotel di hari kerja, yang diharapkan dapat diatasi melalui program wellness dan retret akademik.  Pemerintah Kabupaten Tegal menegaskan komitmen mereka untuk mendukung penuh inisiatif ini.

Kawasan Guci tidak hanya menawarkan keindahan alam, tetapi dapat berfungsi sebagai wadah kolaborasi lintas disiplin. Contoh di Bellagio dapat menjadi inspirasi bagi pengembangan retreat akademik di Indonesia, khususnya dalam menjadikan destinasi wisata alam sebagai pusat kebugaran dan produktivitas.  Keindahan Guci dapat dinikmati pada peluncuran resmi Guci Medical Wellness Tourism yang akan digelar pada 7–8 Oktober 2025 mendatang. Acara tersebut diharapkan dapat menempatkan Guci sebagai destinasi utama retret kesehatan dan kebugaran di Indonesia.  (Elisabeth Listyani)